Senin, 15 November 2010

BIOTEKNOLOGI PERTANIAN

BIOTEKNOLOGI PERTANIAN

BIOTEKNOLOGI MIKROBA UNTUK PERTANIAN ORGANIK

Alasan kesehatan dan kelestarian alam menjadikan pertanian organik sebagai salah satu alternatif pertanian modern. Pertanian organik mengandalkan bahan-bahan alami dan menghindari input bahan sintetik, baik berupa pupuk, herbisida, maupun pestisida sintetik. Namun, petani sering mengeluhkan hasil pertanian organik yang produktivitasnya cenderung rendah dan lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Masalah ini sebenarnya bisa diatasi dengan memanfaatkan bioteknologi berbasis mikroba yang diambil dari sumber-sumber kekayaan hayati.

Tanah sangat kaya akan keragaman mikroorganisme, seperti bakteri, aktinomicetes, fungi, protozoa, alga dan virus. Tanah pertanian yang subur mengandung lebih dari 100 juta mikroba per gram tanah. Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung pada aktivitas mikroba tersebut. Sebagian besar mikroba tanah memiliki peranan yang menguntungan bagi pertanian, yaitu berperan dalam menghancurkan limbah organik, re-cycling hara tanaman, fiksasi biologis nitrogen, pelarutan fosfat, merangsang pertumbuhan, biokontrol patogen dan membantu penyerapan unsur hara. Bioteknologi berbasis mikroba dikembangkan dengan memanfaatkan peran-peran penting mikroba tersebut.

Teknologi Kompos Bioaktif

Salah satu masalah yang sering ditemui ketika menerapkan pertanian organik adalah kandungan bahan organik dan status hara tanah yang rendah. Petani organik mengatasi masalah tersebut dengan memberikan pupuk hijau atau pupuk kandang. Kedua jenis pupuk itu adalah limbah organik yang telah mengalami penghacuran sehingga menjadi tersedia bagi tanaman. Limbah organik seperti sisa-sisa tanaman dan kotoran binatang ternak tidak bisa langsung diberikan ke tanaman. Limbah organik harus dihancurkan/dikomposkan terlebih dahulu oleh mikroba tanah menjadi unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman. Proses pengkomposan alami memakan waktu yang sangat lama, berkisar antara enam bulan hingga setahun sampai bahan organik tersebut benar-benar tersedia bagi tanaman.

Proses pengomposan dapat dipercepat dengan menggunakan mikroba penghancur (dekomposer) yang berkemampuan tinggi. Penggunaan mikroba dapat mempersingkat proses dekomposisi dari beberapa bulan menjadi beberapa minggu saja. Di pasaran saat ini banyak tersedia produk-produk biodekomposer untuk mempercepat proses pengomposan, misalnya: SuperDec, OrgaDec, EM4, EM Lestari, Starbio, Degra Simba, Stardec, dan lain-lain.

Kompos bioaktif adalah kompos yang diproduksi dengan bantuan mikroba lignoselulolitik unggul yang tetap bertahan di dalam kompos dan berperan sebagai agensia hayati pengendali penyakit tanaman. SuperDec dan OrgaDec, biodekomposer yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI), dikembangkan berdasarkan filosofi tersebut. Mikroba biodekomposer unggul yang digunakan adalah Trichoderma pseudokoningii , Cytopaga sp, dan fungi pelapuk putih. Mikroba tersebut mampu mempercepat proses pengomposan menjadi sekitar 2-3 minggu. Mikroba akan tetap hidup dan aktif di dalam kompos. Ketika kompos tersebut diberikan ke tanah, mikroba akan berperan untuk mengendalikan organisme patogen penyebab penyakit tanaman.

Biofertilizer

Petani organik sangat menghindari pemakaian pupuk kimia. Untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman, petani organik mengandalkan kompos sebagai sumber utama nutrisi tanaman. Sayangnya kandungan hara kompos rendah. Kompos matang kandungan haranya kurang lebih : 1.69% N, 0.34% P2O5, dan 2.81% K. Dengan kata lain 100 kg kompos setara dengan 1.69 kg Urea, 0.34 kg SP 36, dan 2.18 kg KCl. Misalnya untuk memupuk padi yang kebutuhan haranya 200 kg Urea/ha, 75 kg SP 36/ha dan 37.5 kg KCl/ha, maka membutuhkan sebanyak 22 ton kompos/ha. Jumlah kompos yang demikian besar ini memerlukan banyak tenaga kerja dan berimplikasi pada naiknya biaya produks

Mikroba-mikroba tanah banyak yang berperan di dalam penyediaan maupun penyerapan unsur hara bagi tanaman. Tiga unsur hara penting tanaman, yaitu Nitrogen (N), fosfat (P), dan kalium (K) seluruhnya melibatkan aktivitas mikroba. Hara N tersedia melimpah di udara. Kurang lebih 74% kandungan udara adalah N. Namun, N udara tidak dapat langsung dimanfaatkan tanaman. N harus ditambat oleh mikroba dan diubah bentuknya menjadi tersedia bagi tanaman. Mikroba penambat N ada yang bersimbiosis dan ada pula yang hidup bebas. Mikroba penambat N simbiotik antara lain : Rhizobium sp yang hidup di dalam bintil akar tanaman kacang-kacangan ( leguminose ). Mikroba penambat N non-simbiotik misalnya: Azospirillum sp dan Azotobacter sp. Mikroba penambat N simbiotik hanya bisa digunakan untuk tanaman leguminose saja, sedangkan mikroba penambat N non-simbiotik dapat digunakan untuk semua jenis tanaman.

Mikroba tanah lain yang berperan di dalam penyediaan unsur hara adalah mikroba pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Tanah pertanian kita umumnya memiliki kandungan P cukup tinggi (jenuh). Namun, hara P ini sedikit/tidak tersedia bagi tanaman, karena terikat pada mineral liat tanah. Di sinilah peranan mikroba pelarut P. Mikroba ini akan melepaskan ikatan P dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman. Banyak sekali mikroba yang mampu melarutkan P, antara lain: Aspergillus sp, Penicillium sp, Pseudomonas sp dan Bacillus megatherium. Mikroba yang berkemampuan tinggi melarutkan P, umumnya juga berkemampuan tinggi dalam melarutkan K.

Kelompok mikroba lain yang juga berperan dalam penyerapan unsur P adalah Mikoriza yang bersimbiosis pada akar tanaman. Setidaknya ada dua jenis mikoriza yang sering dipakai untuk biofertilizer, yaitu: ektomikoriza dan endomikoriza. Mikoriza berperan dalam melarutkan P dan membantu penyerapan hara P oleh tanaman. Selain itu tanaman yang bermikoriza umumnya juga lebih tahan terhadap kekeringan. Contoh mikoriza yang sering dimanfaatkan adalah Glomus sp dan Gigaspora sp.

Beberapa mikroba tanah mampu menghasilkan hormon tanaman yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Hormon yang dihasilkan oleh mikroba akan diserap oleh tanaman sehingga tanaman akan tumbuh lebih cepat atau lebih besar. Kelompok mikroba yang mampu menghasilkan hormon tanaman, antara lain: Pseudomonas sp dan Azotobacter sp.

Mikroba-mikroba bermanfaat tersebut diformulasikan dalam bahan pembawa khusus dan digunakan sebagai biofertilizer. Hasil penelitian yang dilakukan oleh BPBPI mendapatkan bahwa biofertilizer setidaknya dapat mensuplai lebih dari setengah kebutuhan hara tanaman. Biofertilizer yang tersedia di pasaran antara lain: Emas, Rhiphosant, Kamizae, OST dan Simbionriza.

Agen Biokontrol

Hama dan penyakit merupakan salah satu kendala serius dalam budidaya pertanian organik. Jenis-jenis tanaman yang terbiasa dilindungi oleh pestisida kimia, umumnya sangat rentan terhadap serangan hama dan penyakit ketika dibudidayakan dengan sistim organik. Alam sebenarnya telah menyediakan mekanisme perlindungan alami. Di alam terdapat mikroba yang dapat mengendalikan organisme patogen tersebut. Organisme patogen akan merugikan tanaman ketika terjadi ketidakseimbangan populasi antara organisme patogen dengan mikroba pengendalinya, di mana jumlah organisme patogen lebih banyak daripada jumlah mikroba pengendalinya. Apabila kita dapat menyeimbangakan populasi kedua jenis organisme ini, maka hama dan penyakit tanaman dapat dihindari.

Mikroba yang dapat mengendalikan hama tanaman antara lain: Bacillus thurigiensis (BT), Bauveria bassiana , Paecilomyces fumosoroseus, dan Metharizium anisopliae . Mikroba ini mampu menyerang dan membunuh berbagai serangga hama. Mikroba yang dapat mengendalikan penyakit tanaman misalnya: Trichoderma sp yang mampu mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh Gonoderma sp, JAP (jamur akar putih), dan Phytoptora sp. Beberapa biokontrol yang tersedia di pasaran antara lain: Greemi-G, Bio-Meteor, NirAma, Marfu-P dan Hamago.

Aplikasi pada Pertanian Organik

Produk-produk bioteknologi mikroba hampir seluruhnya menggunakan bahan-bahan alami. Produk ini dapat memenuhi kebutuhan petani organik. Kebutuhan bahan organik dan hara tanaman dapat dipenuhi dengan kompos bioaktif dan aktivator pengomposan. Aplikasi biofertilizer pada pertanian organik dapat mensuplai kebutuhan hara tanaman yang selama ini dipenuhi dari pupuk-pupuk kimia. Serangan hama dan penyakit tanaman dapat dikendalikan dengan memanfaatkan biokotro

Petani Indonesia yang menerapkan sistem pertanian organik umumnya hanya mengandalkan kompos dan cenderung membiarkan serangan hama dan penyakit tanaman. Dengan tersedianya bioteknologi berbasis mikroba, petani organik tidak perlu kawatir dengan masalah ketersediaan bahan organik, unsur hara, dan serangan hama dan penyakit tanaman.

FAO dikritik memiliki agenda tersembunyi yang sangat terkait dengan kepentingan perusahaan multinasional (MNC) produsen benih transgenik (simply rubber-stamps the industry agenda, Devinder Sharma). Sebagai catatan, 99 persen tanaman transgenik komersial serta hampir seluruh gen komersial dan metode transformasinya saat ini adalah milik MNC. Lebih lanjut, hari pelepasan laporan tersebut dikatakan sebagai a black day for humanity serta awal dijajahnya petani oleh industri transgenik.

Secara umum laporan FAO tersebut cukup lengkap dan bagus. Laporan diawali dengan kenyataan bahwa 842 juta orang saat ini kekurangan pangan kronis yang sebagian besar menghuni wilayah pertanian dan pedesaan di negara-negara miskin.

Selain kekurangan pangan kronis, miliaran orang menderita defisiensi mikronutrien karena kualitas dan diversitas pangan yang dikonsumsi sangat buruk. Dalam 30 tahun mendatang akan ada tambahan dua miliar manusia yang harus dicukupi kebutuhan pangannya.

FAO lebih lanjut menyatakan bahwa Revolusi Hijau telah mengajarkan kepada kita bagaimana pentingnya inovasi teknologi-benih unggul, pupuk, pestisida, dan mekanisasi pertanian-yang berhasil memberikan keuntungan yang luar biasa bagi si miskin melalui peningkatan efisiensi usaha tani, pendapatan yang meningkat, dan harga pangan yang rendah.

Peningkatan produktivitas, standar kehidupan, dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan akibat revolusi hijau telah mengangkat jutaan orang dari belitan kemiskinan.

Persentase populasi yang menderita kekurangan pangan di dunia menurun selama 30 tahun terakhir sejak Revolusi Hijau didengungkan, yaitu dari 28 persen pada periode 1969-1971 menjadi 17 persen pada tahun 1999-2001.

Penurunan persentase kekurangan pangan tertinggi disumbang oleh wilayah Asia Pasifik, yaitu dari 42 persen menjadi 16 persen. Penurunan yang kecil terjadi di Amerika Latin dan Karibia. Di wilayah Afrika Utara dan Timur penurunan persentase populasi yang menderita kekurangan pangan hanya terjadi pada dekade pertama Revolusi Hijau, sedangkan di Sub-Sahara Afrika praktis tidak mengalami penurunan. Jumlah orang yang menderita kekurangan pangan bahkan terus meningkat di kedua wilayah tersebut.

Penurunan persentase yang drastis penderita kekurangan pangan di wilayah Asia Pasifik sangat terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi pada tiga dekade terakhir. Sebagian besar pertumbuhan ekonomi tersebut dipicu oleh pertumbuhan yang tinggi di sektor manufaktur, jasa, (khusus untuk Indonesia) ekspor migas, kayu dan bahan tambang, serta stabilitas wilayah yang tinggi.

Akibat pertumbuhan ekonomi yang meningkat, daya beli masyarakat terhadap pangan meningkat. Selain itu, juga meningkatkan daya beli petani terhadap sarana produksi sehingga produksi pertanian juga meningkat. Melalui logika sederhana tersebut, tampak sisi kelemahan laporan FAO tentang Revolusi Hijau yang sebenarnya dimaksudkan untuk menjustifikasi uraian selanjutnya tentang revolusi gen.

Revolusi gen

Kata "revolusi gen" sengaja digunakan oleh FAO untuk menyatakan bahwa masih ada harapan untuk mengulang "kesuksesan" Revolusi Hijau, dengan cara mengadopsi teknologi terkini di bidang pertanian yang dikenal dengan nama bioteknologi pertanian.

FAO menyarankan ke semua negara di dunia untuk membangun kapasitas, menyusun strategi dan program, serta menerapkan bioteknologi pertanian. Sayangnya dalam laporan tersebut FAO terjebak sehingga bisa diartikan bahwa "bioteknologi pertanian" adalah tanaman transgenik. Padahal, bioteknologi pertanian meliputi juga pengendalian hama terpadu dengan memanfaatkan agen hayati, efisiensi pemupukan dengan memanfaatkan mikrob tanah, teknologi modern pengomposan, dan peningkatan bahan organik tanah serta kultur jaringan.

Beberapa teknologi yang lebih canggih disinggung sepintas dalam laporan FAO, yaitu molecular marker assisted breeding, seleksi in-vitro, pengembangan vaksin dan diagnostik, inseminasi buatan dan multiple ovulation-embryo transfer (MOET) untuk produksi dan pemuliaan ternak, serta chromosome-set manipulation dan sex reversal untuk mengubah kelamin ikan dan peningkatan produktivitas.

Hampir semua uraian dalam laporan FAO tersebut mengulas berbagai keunggulan dan keuntungan bagi siapa pun yang menerapkan tanaman transgenik. Semakin cepat semakin besar keuntungan yang bisa diperoleh. Bahkan, Prof Ingo Potrykus (penemu golden rice) menyatakan siapa pun yang menolak teknologi tersebut dan menyebabkan terhambatnya penerapan tanaman transgenik dituduh sebagai "crimes against humanity".

Dalam laporan tersebut disebutkan, adopsi kapas Bt (produksi Monsanto) di Amerika Serikat telah memberikan keuntungan ekonomi per tahun rata-rata sebesar 200 juta dollar AS hingga 250 juta dollar AS yang terdistribusikan bagi industri sebesar 35 persen, petani 46 persen, dan konsumen 19 persen.

Keuntungan ekonomi penerapan kapas Bt juga didapatkan di Argentina, China, Meksiko, dan Afrika Selatan, yaitu masing-masing sebesar 23, 470, 295, dan 65 dollar AS per hektar per musim tanam.

Kedelai RR (tahan herbisida Roundup Ready, Monsanto) mendulang keuntungan ekonomi pada tahun 2001 lebih dari 1,2 miliar dollar AS. Konsumen diuntungkan sebesar 652 juta dollar AS akibat harga yang rendah, dan Monsanto menerima 421 juta dollar AS sebagai technology revenue.

Petani yang terlebih dahulu menanam kedelai transgenik RR di AS dan Argentina mendapat keuntungan lebih dari 300 juta dollar AS dan 145 juta dollar AS, sedangkan petani di negara yang tidak menanam kedelai RR dirugikan sebesar 291 juta dollar AS pada tahun 2001 akibat menurunnya harga kedelai di pasaran dunia sebesar dua persen.

Dalam laporan juga diulas mengenai potensi keuntungan ekonomi yang akan diperoleh oleh Filipina bila menanam Golden Rice (padi transgenik yang disisipi gen beta-karotin, prekursor vitamin A), yaitu sebesar 137 juta dollar AS. Sebaliknya negara-negara di Afrika Barat akan mengalami kerugian karena tidak mengadopsi kapas Bt sebesar 21 juta dollar AS hingga 205 juta dollar AS setiap tahunnya.
Transgenik

Tidak ada satu kalimat atau satu alinea pun yang menggambarkan hal negatif tentang tanaman transgenik. Dengan demikian, banyak orang menjadi curiga karena laporan menjadi too good to be true, serta menyiratkan agenda tersembunyi di balik itu semua. Entah kebetulan entah tidak laporan tersebut dilepas simultan di Roma, di mana kantor FAO berada dan di Washington, di mana USAID berada. Sangat kebetulan juga laporan berselang tepat satu bulan dengan mulai berlakunya Regulasi Uni Eropa tentang Genetically Modified Food and Feed (EC Regulation No 1829/2003 dan 1830/2003) yang lebih ketat dan berlaku efektif untuk 25 negara di Uni Eropa sejak 18 April 2004.

Sejak beberapa tahun terakhir ini AS mengalami kesulitan besar dalam memasarkan produk transgeniknya terutama jagung dan kedelai. Petani AS kehilangan pendapatan dari ekspor jagung dan kedelai ke Uni Eropa masing-masing sebesar 300 juta dollar AS dan 1 miliar dollar AS per tahun (Santosa, "Biopolitik Pangan, Pertarungan Dua Raksasa", Kompas 13/8/03).

AS kemudian mengadukan masalah tersebut ke WTO. Di sisi lain AS melakukan subsidi besar-besaran terhadap petani mereka yang menyebabkan harga beberapa komoditas di pasar internasional jatuh. Pada tahun-tahun terakhir AS melakukan praktik dumping beberapa komoditas pertanian di antaranya jagung dan kedelai yang menyebabkan penanaman kedelai di Indonesia secara ekonomis tidak lagi menguntungkan karena biaya produksi jauh di atas harga kedelai impor. Indonesia pernah disarankan untuk mengajukan ini ke forum WTO tahun lalu, tetapi tidak ada komitmen pemerintah tentang hal tersebu

Berita menggembirakan datang dari Brasil yang bulan April lalu melaporkan AS ke WTO karena Pemerintah AS mensubsidi petani kapasnya (sejumlah 25.000 petani) sebesar 3 miliar dollar AS per tahun (80 persen hanya ke 2000 perkebunan besar). Subsidi tersebut telah menyengsarakan 15 juta petani kapas di Afrika, Asia, dan Amerika Latin karena keuntungan mereka menurun tajam yang mendorong mereka ke lembah kemiskinan.

Data-data tersebut di atas bertolak belakang dengan laporan FAO sehingga hari pelepasan laporan tersebut dikatakan juga sebagai a sad day for the global farming community, for democracy and good science. Rekayasa genetika penting, tetapi menjadi berwajah buruk ketika dipromosikan berlebihan sebagaimana dilakukan oleh FAO.

http://bioteknologiindonesia.blogspot.com/2009/02/bioteknologi-pertanian-harapan-bagi-si.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar