Selasa, 02 November 2010

KUMPULAN CERPEN 2

NYANYIAN MALAIKAT

Cerpen: Sunlie Thomas Alexander

MALAIKAT akan senantiasa bernyanyi. Mengiringi orang-orang memetik sahang, kata nenek sembari menghisap kreteknya dalam-dalam. Amir mencoba membayangkan rupa malaikat itu.

Cantik, berhidung mancung, berbibir tipis yang selalu merekah basah, dan bermata cemerlang sebiru laut. Mengenakan gaun panjang putih bersih berenda-renda yang menjuntai sampai ke tanah. Dengan sepasang sayap putih yang berpendaran kemilau, mengepak-ngepak lembut. Seperti gambar di buku cerita yang pernah dilihatnya di perpustakaan sekolah.

Berminggu-minggu sejak itu, ia selalu memasang telinga menunggu nyanyian itu terdengar, seperti kata nenek, menyelinap di antara gemerisik daun-daun lada, kicau burung-burung, senda gurau para perempuan memetik sahang, dan suara riak air sungai yang tersibak dilewati kapal-kapal pengangkut kayu dan biduk sampan. Setiap pulang sekolah, tanpa berganti pakaian ia sudah berlari-lari ke ladang. Ikut membantu emak dan ayuk.

Tetapi sampai masa panenan berakhir dan orang-orang kembali mulai menebang junjung, menanam bibit-bibit baru, nyanyian itu tak kunjung didengarnya. Apakah nenek berbohong? Sebagaimana juga cerita tentang peri hutan yang suka mandi di kolong pada petang hari saat hujan gerimis, kuntilanak-kuntilanak yang sering begagit di pohon Aro belakang rumah, atau hantu Mawang yang bisa menyamar sebagai manusia, menyerupai siapa saja yang dikehendakinya.

"Nenek tidak bohong, Cung.."

"Lalu kenapa Amir tidak pernah mendengarnya, Nek?"

"Suatu saat Amir pasti akan mendengarnya."

"Apakah suara malaikat itu merdu, Nek?" tanyanya belum puas.
"Ya, merdu. Merdu sekali."

"Semerdu suara emak?"

"Ya, semerdu suara emakmu." Nenek kembali menghisap kreteknya. Amir suka sekali mendengar emak menyanyi.

Amir jadi merindukan suara emak menyanyi. Nyanyian yang selalu meninabobokannya dalam mimpi indah tentang bidadari-bidadari yang cantik dan baik hati, taman-taman bunga yang terbentang luas dengan lembah-lembah hijau nan sejuk dan sungai-sungai yang mengalir jernih.

Sejak ayah pergi membawa kapal motor pengangkut kayu gelondongan ke Jakarta lewat sungai besar yang membelah kampung dan tidak pernah kembali, emak tidak pernah lagi bernyanyi. Kata Oom Taufiq, anak buah ayah yang membawa pulang kapal, ayah menghilang entah ke mana dan tidak pernah ditemukan saat kapal bersandar di Kali Baru untuk membongkar muatan.

"MALAIKAT itu selalu bergerak seperti cahaya. Sehingga mustahil bagi mata kita untuk dapat melihatnya." Amir tercenung mendengar kata-kata Pak Haji Faqih, orang tua yang selalu mengajarinya dan anak-anak kampung lainnya mengaji, belajar mengeja alif bata di surau.

"Tapi kata nenek, kita bisa mendengar suara malaikat menyanyi, Wak(8?" Amir langsung mengangkat tangan bertanya. Pak Haji Faqih hanya tersenyum tipis, disapunya wajah lugu murid kecilnya itu. Anak yang selalu paling banyak bertanya. Dan ketika berhenti di mata anak itu yang berbinar-binar menunggu jawabannya, ia seperti melihat sesuatu yang bergejolak. Dia dapat merasakan ada sesuatu yang lain pada diri anak tersebut. Entah apa.

"Hanya nabi yang pernah mendengar suara malaikat, Nak," tukasnya lembut. "Tapià" Pak Haji Faqih tidak langsung meneruskan, namun kembali menelusuri wajah anak di hadapannya dengan agak ragu, "Mungkin saja nenekmu benar."

Dalam tidur, Amir tersenyum bahagia. Sedemikian lelap dalam mimpi yang indah itu. Sehingga tidak didengarnya sedikit pun suara dengus, rintihan, dan erang tertahan sampai subuh menjelang dari kamar sebelah, di mana tubuh emak sedang ditindih sesosok lelaki yang diharuskan oleh emak dipanggilnya ayah.

INI bukan pertama kali ia menyaksikan lelaki itu menempeleng emak. Seperti yang sudah-sudah, disusul makian kotor dan barang-barang dibanting. Amir terbelalak di belakang pintu kamar ketika melihat bagaimana lelaki itu meraih okulele tua kesayangan ayah yang tergantung di dinding ruang tamu lalu membantingnya ke lantai. Dia ingin berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar. Okulele mengkilap yang dulu sering dipetik ayah sore-sore mengiringi emak menyanyi itu pecah berantakan. Emak meraung keras.

"Babi kau Taufiq! Anjing!" emak menangis tersedu-sedu memeluk okulele yang pecah itu. Lelaki itu menyeringai lebar lalu tertawa terkekeh.

"Pokoknya besok kalau Ko. Akhiong datang, ladang itu harus jadi dijual!" tukasnya sambil melotot besar lalu menyalakan sebatang rokok.

"Sekali aku bilang tidak, tetap tidak, lelaki tak tahu diuntung!" emak balas melotot tak kalah galak.

"Perempuan bagak! Tanah itu mengandung banyak timah, tahu! Harganya tinggi! Lagi pula buat apa kau mempertahankan lagi ladang itu? Masih mau nanam sahang?" lelaki itu tersenyum sinis. "Kau pikir harga sahang agik pacak naik? Ka dak nengok, di mane-mane urang nanam sahang saro bae! Mane pupuk lah mahal, junjung lah dak tahu agik nek nebang di mane!"

"Kalau aku tetap tidak mau jual, kau mau apa?" suara emak melengking.
"Tetap akan kujual."

"Bangsat! Apa hak kau menjualnya? Itu ladang peninggalan Muis, lakiku!" emak menjerit.

"Hei, yang jadi suamimu sekarang itu aku! Aku!" bentak lelaki itu sambil memukul-mukul dadanya sendiri.

"Kalau begitu sekarang juga aku minta cerai! Rugi aku mau menikah denganmu! Aku minta talak tiga!" emak menjadi kalap.

Amir mencengkeram daun pintu semakin keras. Keringat deras membasahi seragam sekolah yang masih dikenakannya. Sungguh tidak dapat dibayangkannya ladang itu akan dijual. Terlintas olehnya malaikat jelita yang bernyanyi dan memetik harpa di atas junjung sahang itu.

HUJAN rintik-rintik menjadi deras. Masih terdengar olehnya suara-suara ramai berseru tegang di belakang, juga suara emak yang menjerit-jerit ketakutan dan menangis tersedu-sedu. Dengan nafas terengah-engah didayungnya sekuat tenaga sampan kecil miliknya yang dulu dibuatkan ayah.

Tiba-tiba terdengar olehnya sayup-sayup suara nyanyian itu. Semakin keras bersamaan dengan semakin jauh sampan yang dikayuhnya bergerak membelah riak sungai. Sedemikian indah, sehingga ia terpana. Nyanyian itu seperti diiringi suara semacam tiupan terompet, namun lain. Bunyinya membahana lantang, bergema di langit petang yang semakin gelap. Kuning keungu-unguan. Suara alat musik apakah itu? Amir tidak pernah mendengarnya. Tapi seketika ia jadi teringat pada cerita yang pernah dituturkan nenek, dan terkesima. Apakah itu bunyi tiupan sangkakala? Dia ingat nenek pernah mengatakan, malaikat Israfil akan meniup sangkakala pada hari kiamat.

***

http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2004/04/nyanyian-malaikat.html

NEGERI DIBALIK BULAN

Cerpen Achmad Munjid

Bunga, sayang...

Kutulis surat ini di sebuah kafe, sesaat setelah senja melenyap di kaki langit Kota Laut yang tenteram. Tahukah kamu, sejak kita memutuskan untuk tidak pernah lagi saling bertemu, aku segera berkemas mengikuti pelayaran panjang yang tak akan kembali ini.

Aku bergabung bersama rombongan yang kira-kira terdiri dari dua ribu orang, dengan dua kapal yang selalu meluncur gagah membelah gelombang. Sebagian besar mereka adalah para pengungsi korban kerusuhan

Kalau saja matamu yang indah bisa ikut menyaksikan pemandangan luar biasa menakjubkan malam itu, kau pun tentu akan tak kuasa menahan hasrat seperti setiap orang di antara kami yang tergabung dalam kudus ini. Ialah suatu dorongan murni yang demikian teguh untuk segera menembus lautan waktu. Untuk meninggalkan seluruh nestapa dan derita, dan menyongsong kehidupan baru di negeri penuh pesona, Negeri di Balik Bulan.

Bungaku sayang, entah setelah berapa jam kami menunggu dengan perasaan hampir-hampir putus asa, menjelang pagi di awal milenium itu akhirnya kami pun benar-benar menjadi saksi atas munculnya sebuah garis lurus berwarna putih keperakan yang kilau-kemilau dan kian membiru di kedua ujungnya. Itulah suatu wujud yang tak sabar telah kami tunggu-tunggu dengan jantung kian berdebar. Garis itu mula-mula nampak sebagai cahaya tipis yang memantul dari wajah bulan yang menyembul dari balik menara mercusuar

Karena efeknya yang sangat lembut pada retina, sama sekali tak kami sadari bahwa dalam beberapa detik berikutnya garis itu sebenarnya telah menjadi sapuan sinar teramat tajam yang membuat segenap wujud di depan kami tampak bahkan lebih nyata dari manifestasinya di siang hari.

Ketika itu garis cahaya yang telah menyerap segenap ketakjuban kami pun telah menjadi sebentuk sabuk permata raksasa yang mendekap lautan. Di depan kami, kini menjelmalah serupa hologram jalan raya maha licin dan terang-benderang yang siap menghantarkan manusia ke tempat segala tujuan.

Maka, gegap-gempitalah puja-puji dan sorak-sorai kami mengawali perjalanan panjang itu. Diiringi suara mesin kapal yang menderu dan bunyi yang terus mendengung panjang saling bersahutan, kafilah kami bergegas. Kapal kami bertolak ke arah barat, dituntun oleh kemilau garis mukjizat yang membangkitkan segenap gairah bahagia manusia itu. Setelah beberapa mil baru kami sadari bahwa ternyata bahkan kami tak sempat lagi menengok ke belakang untuk sekedar mengucapkan "selamat tinggal" pada Pelabuhan Teluk Malina, tempat di mana seluruh penderitaan telah kami kubur untuk selama-lamanya.

Ketika segenap keajaiban yang telah melenyapkan setiap ingatan dan kata-kata itu akhirnya mendadak berpendar tanpa bekas, tubuh kami serasa serakan lembaran-lembaran kapas yang baru saja mendarat setelah melayang-layang mengarungi nun berlapis langit.

Kami tak akan pernah kurang suatu apa. Seperti sudah kami buktikan sendiri, setiap kali berlabuh, masyarakat di mana kami singgah bukan cuma telah mengenali kami. Mereka selalu menjemput kami dengan segala kebesaran, tepat di bibir pantai tempat kapal kami merapat.

Kehadiran Anda adalah isyarat akan terpeliharanya kesejahteraan hidup kami dan anak cucu kami selanjutnya. Hanya karena nasib telah menentukan bahwa kami tidak bisa bergabung dengan Anda, maka kami menahan diri untuk tidak turut serta. Tapi, ijinkanlah kami mengantar Anda sekalian dengan sekadar perbekalan yang mungkin diperlukan sampai tempat persinggahan berikutnya, pinta tetua mereka begitu kami berpamitan.

Lalu, dari Pelabuhan Teluk Malina itu, kapal kita pun melaju, menembus langit harapan. Kita berpelukan di ujung haluan, menyongsong samudera yang menggelora. Bintang-bintang berkedipan setengah terpejam karena iri dan ikan-ikan pun terpaku di balik karang, mengintip betapa setiap helaan nafas dan aliran darah kita begitu sempurna menyatu. Meski akan ada jutaan peristiwa yang mengharu-biru, pelukan kita tak akan pernah melemah, hingga para malaikat terharu dan Tuhan tak lagi mengijinkan kita tersentuh bahaya.

Yang biru membentang dan menggelora itu? Laut, Sayang. Ia amat dalam. Tapi, kamu harus tahu, masih lebih dalam lagi cinta yang telah melahirkanmu. Lagi-lagi sepasang tangannya yang mungil itu ditepuk-tepukkannya gembira. Kini ganti tanganmu yang membelainya.

Tapi, itu siapa, Ma?

Ooh, anakku, itulah orang-orang dan anak-anak yang malang, Sayang. Orang-orang menyebut mereka kaum gelandangan. Makanya, jadilah anak yang cerdas, penuhilah hatimu dengan cinta dan kasih sayang, supaya kelak kamu bisa menolong mereka.

Ya, Mama, matanya berkaca-kaca. Kita pun menciumnya haru dan mesra, kita berciuman haru dan mesra. Dan dunia pun terkesima. Lalu, kita melanjutkan perjalanan di bawah naungan langit yang kian luas mengembang. Sementara kebahagiaan kian penuh mengisi cakrawala.

Betapa pun kini kau tak ada bersamaku. Lagi pula, tanpa pertengkaran dan perpisahan itu, mustahil pula rasanya kini aku berada di tengah kafilah para musafir ini. Bungaku, sungguh, sebelum meninggalkan Pelabuhan Teluk Malina dulu, keadaan seperti ini membuat hatiku demikian pilu. Bahwa akhirnya kita tak bisa hidup bersama adalah luka yang nyaris tak tertanggungkan pedihnya. Hanya kekuatan suci cintalah yang telah memberiku tenaga untuk bertahan dan membiarkan anak panah yang entah telah dibidikkan oleh tangan siapa terus menghunjam di dadaku. Kuhayati seluruh rasa sakitnya, tanpa merintih, tanpa mengadu, bahkan kepada Tuhan. Memang, aku tak pernah bisa berhasil dengan sempurna. Itulah sebabnya, aku terpaksa melukis sebagian cabikan luka itu dengan darah yang menetes dari sana, kutulis rasa sakitnya menjadi puisi, dan kusenandungkan rintihan piluku sebagai lagu.

Tapi kini, semua itu telah kutanggalkan di Pelabuhan Teluk Malina, di Kota Lama, tempat kita bertahun-tahun terus bercumbu diam-diam tanpa mengenal waktu. Kalau suatu hari kau sempat menemukannya kembali di suatu galeri milik seorang teman, di toko-toko buku, atau mendengar pengamen bis kota yang menyanyikan lukaku. Hanya itulah yang bisa kutinggalkan sebagai kenangan untukmu. Semoga ia pun bisa menjadi hiburan bagi para kekasih yang mengalami derita sepertiku.

Kini, aku telah tenteram dalam bentangan triliunan mil perjalanan yang akan terus kutempuh sepanjang waktu, menuju negeri segala kedamaian, Negeri di Balik Bulan. Beruntung aku masih menyimpan alamat kamu sehingga aku bisa mengirim surat ini, sebagai bukti bahwa aku tetap mengenangmu. Memang, pada akhirnya, tak ada lagi yang patut disesali. Juga apa yang telah terjadi di antara kita.

Meski tak lagi bisa menyentuhmu, dari jauh aku senantiasa bisa mencium kembali setiap aroma yang dulu kunikmati dari segenap pori-pori tubuhmu. Bungaku, cinta yang suci memang tetap indah untuk dikenang. Ia abadi.

***

http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2004/04/negeri-di-balik-bulan.html

AGONI PENGANTIN

Cerpen Dina Oktaviani

Baiklah. Aku akan menikahimu. Meski alasan yang kita dapatkan hanya makin membikin engkau dan aku ragu.

Dalam ruang berbentuk lingkaran, orang-orang segera mengambil bagiannya dalam pesta. Menyantap semua yang selayaknya dihidangkan dalam perayaan. Di tengah-tengah mereka, pengantin perempuan memucat. Ia memandang pengantin lelaki dan berkata pada dirinya sendiri: inilah yang kauinginkan. Pengantin lelaki berdiri tegak tanpa kehilangan sedikit pun garis puas di wajahnya. Perempuan itu merasakan mual yang berlebihan meski tahu dirinya mandul.

Inilah yang kauinginkan. Mengapa rasa takut itu jadi milikmu sekarang? Berhari-hari sebelum hari kemarin engkau masih bisa berkata tidak pada siapa pun. Engkau menulis apa pun yang kauinginkan. Semua yang kauanggap benar adalah sungguh benar. Orang-orang memanjakanmu dengan larangannya dan engkau menghindar. Engkau bantah semua perkataan yang tak baik bagi kegelisahanmu. Engkau pun sendiri.

Tinggal di sebuah kamar di sebuah rumah di sebuah kota. Engkau memasak makanan yang baru bagimu. Makan siang mengganti sarapan yang selalu tertunda. Mendengar lagu-lagu dari penyanyi lama yang baru kausukai. Ada delapan baris rak penuh buku di kamarmu dan engkau mampu menyerap hanya dengan memandang punggung judulnya. Lantas engkau duduk saja di hadapan rak itu, meletakkan cermin ukuran wajah di mukamu. Memandangi bayangan sendiri sambil berulang-ulang menghisap rokok dan menuang air ke cangkir. Memikirkan sumber penghasilan baru. Membuat catatan-catatan berisi hutang-hutang kecil. Bosan, lantas kau mencoba menuliskan sesuatu yang belum pernah kautuliskan sebelumnya.

Waktu adzan kau tak melakukan apa-apa tapi mematung menatap cermin. Kadang kaukencangkan suara tape karena tahu tak ingin sembahyang atau menangis. Jika melintas bayangan penghuni rumah yang lain di jendela kamarmu engkau mengambil sebuah buku besar dan berpura-pura telah membacanya sejak lama.

Kalau datang semangat kau segera mandi sore-sore, menyiapkan isi tas dan pergi mengunjungi tempat-tempat yang kau kenal. Melihat orang-orang berlatih apa saja. Menonton pertunjukan yang gratisan. Duduk-duduk di kafe bersama beberapa kenalan sampai giliran makan. Jika kecewa dengan mereka kau pergi ke tempat yang tak dikunjungi kawan-kawanmu. Toko buku atau swalayan.

Engkau akan pulang larut malam. Melangkah menuju rumah sambil mendengar kasak-kusuk beberapa tetangga yang sedang main kartu di lapangan depan rumah. Kalau pulang lebih awal kau mendengarkan lagu-lagu kesukaanmu lagi sambil terganggu oleh para lelaki di luar yang bercakap soal politik dan kejahatan-kejahatan kecil di kampung.

Makan makanan sisa siang atau keluar mencari cemilan. Memegangi handphone, mengetik beberapa pesan, memilih nama-nama dan nomor-nomor dan lebih sering tak jadi mengirimkannya pada siapa pun. Saat putus asa atas pesan-pesan itu, kau menyimpan nomormu sendiri dengan nama "God" dan mengirimkan pesan-pesan itu ke nomormu sendiri. Sekejap saja pesan-pesan itu tiba di handphone-mu dan kau membukanya dengan dada berdebar: Tuhan mencoba mendekatiku!

Setelah bermain-main dengan pesan-pesan konyol itu engkau pun tertidur dengan sedikit paksaan fisik. Mulai lelap saat subuh datang dan berakibat bangun siang. Sebulan sekali kau masih selalu bisa merasakan puncak kegelisahan itu. Ketika seseorang menyapamu lewat pesan-pesannya dan mengundangmu datang. Engkau pun menyiapkan kebohongan-kebohongan kecil bagi pemilik rumah untuk mendapat izin keluar tengah malam.

Dengan rasa cemas buatan yang menjelma jadi nyata engkau menuju jalan raya dan menyetop taksi. Membuka pakaian luarmu dan memasukkannya ke dalam tas. Kedinginan. Tiba di sebuah hotel. Bertemu seseorang dari masa depan dan memasuki lift.

Engkau melakukannya. Mengulang-ulang sedikit adegan yang kau ketahui. Hampir setiap pukul dua pagi, usai menusukkan puncak kegelisahanmu ke dalam puncak kegelisahannya, engkau merengek lapar. Lelaki di sampingmu memesan makanan dan menggendongmu di punggungnya menuju meja makan. Kalian makan. Engkau memancingnya bercakap soal politik dan kebudayaan agar lelaki itu tak lupa bahwa engkau tak cuma datang membawa tubuh. Lelaki itu mengagumi kecerdasanmu lalu kelelahan dan tidur. Engkau bersikeras melelapkan diri di ketiaknya.

Begitulah engkau menikmati usia tujuh belasmu. Beberapa hari sebelum hari kemarin. Tetapi mulai hari kemarin engkau mulai terganggu dengan hidupmu sendiri. Engkau melihat anak-anak seusia yang bukan kawanmu menata masa depan yang lebih terang meski tak cemerlang. Engkau merasa mual ketika melewati kampus-kampus mereka. Engkau mengalami migrain melihat festival-festival band. Jantungmu berdegup tidak normal mendengar mereka tertawa di mana saja.

Engkau ingin merasa bahwa engkau memang bukan bagian dari mereka. Engkau ingin meyakinkan bahwa engkau telah jauh lebih lama hidup dan mengalami segala jenis kesepian dan masalah. Engkau ingin orang-orang melihatmu sebagai gadis tua yang angkuh saja. Agar mereka segan dan tak kasihan. Tetapi tidak bisa. Mereka semua tahu kau baru mengakhiri usia tujuh belasmu dan mereka tahu engkau terbuang. Engkau tak bekerja dan tak sekolah. Engkau tak bersuami dan tak bersama keluarga. Maka sebagian dari mereka memandangmu kasihan. Sementara orang-orang yang sadar bahwa engkaulah yang memisahkan diri, mengacuhkanmu.

Mulai hari kemarin engkau tak berharap ke hotel itu lagi. Pesan-pesanmu tak terbalaskan. Engkau menemukan kelaminmu mulai menebarkan bau busuk. Engkau pun sibuk menambalnya dengan bedak-bedak dan pembalut yang wangi. Lalu engkau mengingat ibu, mamas, mbak yu dan adik-adikmu yang jauh. Lalu engkau teringat bapak yang bertahun kauanggap bejat.

Lalu engkau mencari-cari nomor telepon teman-teman SD. Mendapatkan beberapa dan mengabarkan bahwa dirimu hidup sendirian dengan maksud agar mereka tahu bahwa dirimu sukses tanpa siapa pun. Tetapi engkau teringat ibu, mamas, mbak yu, adik-adik dan bapak yang bejat itu lagi. Tiba-tiba engkau merasa takut kalau-kalau suatu hari mereka menagih masa depan kepadamu. Apa yang dapat kaubawa pulang? Tetapi aku tak mau pulang, katamu. Tetapi tidak bisa begitu. Engkau pasti pulang. Mereka akan menuntutmu pulang sebelum engkau punya tempat pulang yang lain. Aku akan mengelak. Tapi mereka akan mengejarmu. Ke mana pun. Bagaimana pun.

Mulai hari kemarin ia tak ingin lagi pergi ke rumah-rumah pelacuran itu. Ia menemukan dirinya merindukan bau busuk kelamin istrinya. Ia kehilangan kebiasaan-kebiasaan yang tak mampu didapatkan atau dikembalikannya lagi. Ia turun ke jalan-jalan utama pada Minggu pagi dan bergabung dengan para pejalan kaki. Ia menyadari dirinya telah menjadi bukan siapa-siapa yang tak melakukan apa-apa bagi siapa-siapa, ketika sebuah pesan memaksa masuk: Apa kamu merindukanku? ***

http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2006/01/agoni penganten.html

PERAMPOK

Cerpen Teguh Winarsho AS

MENGGIGIL tubuh Rasti, berjalan cepat menerobos udara subuh. Berkali-kali ia mengeratkan jaket, berusaha mengusir dingin. Kabut masih mengeremang di udara, terkadang menghalang pandang mata Rasti yang sembab merah. Semalam Rasti hanya tidur beberapa jam. Beberapa jam yang sangat menggelisahkan. Pandu, anak laki-laki semata wayangnya sudah dua hari demam, tergolek di atas ranjang. Tapi bukan itu yang membuat Rasti gelisah. Bukan. Siang nanti ia bisa membawa Pandu ke dokter dan pasti sembuh. Rasti selalu percaya pada para dokter yang bisa memberi keajaiban, seperti malaikat.

Pandu masih tidur nyenyak sewaktu Rasti keluar rumah. Rasti sebenarnya bisa mengajak Pandu, menggendongnya di belakang dengan kain jarik. Mungkin Pandu akan tetap tidur nyenyak di gendongannya hingga ia kembali ke rumah. Menyiapkan makan pagi dan siang sedikit berangkat ke dokter. Tapi Rasti tak tega melihat dirinya tampak begitu hina, seperti pengemis, di depan Palwito, suaminya. Rasti tak tahu apa yang akan dikatakan Palwito jika pagi-pagi buta ia datang mengetuk pintu sambil menggendong Pandu. Bagaimana tatap mata Palwito. Perasaan Palwito. Ah…

Tapi rumah itu masih gelap. Tubuh Rasti kian menggigil. Kedua lututnya tiba-tiba gemetar. Rasti masih ingat, dulu ia pernah berjanji tak akan sudi menginjakkan kaki di rumah itu. Tapi nyatanya pagi ini ia harus datang. Pagi ini ia harus ketemu Palwito yang sudah enam hari tak pulang. Ya, pagi ini ia harus berjuang mati-matian menjaga perasaannya sendiri. Ah, apa yang sedang dilakukan Palwito di dalam rumah itu? Rasti tiba-tiba merasa batinnya perih. Rumah di depannya jauh lebih bagus dari rumah yang sudah hampir sepuluh tahun ia tempati. Warna catnya masih baru. Juga kursi ukir di teras. Pot-pot bunga. Lampu hias.

Sekali lagi mengeratkan jaket, dengan lutut gemetar Rasti melangkah pelan. Rasti tak ingin membuang waktu sia-sia. Halaman rumah itu kurang begitu nyaman untuk berdiri menegakkan tubuhnya yang menggigil gemetar. Ia harus segera ketemu Palwito. Ya, hanya Palwito. Bukan yang lain. Rasti terus melangkah pelan, hati-hati, takut menginjak ranting kering dan menimbulkan bunyi. Rasti tak ingin membangunkan orang lain di pagi buta kecuali Palwito, suaminya!

Rasti kini telah berdiri di depan pintu. Sebentar lagi ia akan mengetuk pintu. Sebentar lagi ia akan ketemu Palwito yang muncul dari balik pintu. Sebentar lagi ia akan bertatap muka dan bicara dengan Palwito. Rasti sudah menyiapkan kata-kata yang akan ia muntahkan dari mulutnya. Tentu Palwito hanya mengenakan sarung dan kaus oblong kusam, lubang-lubang. Atau celana pendek butut dan telanjang dada. Rambutnya kusut acak-acakan. Rasti tahu kebiasaan Palwito yang tak pernah berubah dari dulu.

Tapi, ah, benarkah kebiasaan buruk itu masih berlangsung di sini? Masih adakah kaus kusam dan celana pendek butut? Bagaimana jika tiba-tiba Palwito muncul dengan piyama halus dan wangi? Rambutnya disisir rapi? Bukankah….

Rasti tersentak. Pikiran semacam itu tak pernah muncul dalam otaknya. Tak juga semalam ketika gelisah tak bisa tidur. Sesaat Rasti memperhatikan tubuhnya dari atas hingga bawah. Ia hanya mengenakan daster dirangkap jaket kulit dan sandal jepit usang melekat di kedua kakinya yang kotor lumpur lantaran jalan becek sisa hujan kemarin siang. Rasti kemudian meraba-raba rambutnya. Ah, ia terburu-buru hingga lupa tak sempat sisiran. Rambutnya hanya ia ikat dengan tali karet yang tanpa sengaja ia temukan di dapur. Sedang wajahnya? Lagi-lagi Rasti lupa sekadar cuci muka. Rasti mencoba melihat wajahnya di kaca depannya lewat bayangan lampu hias di teras. Tapi kaca itu terlalu gelap.

Mendadak Rasti gamang. Ragu. Bayangan Palwito mengenakan piyama halus, wangi, rambutnya disisir rapi, tiba-tiba terus berkelebat-kelebat dalam benaknya. Rasti memang belum pernah melihat Palwito mengenakan piyama, tapi bayangan itu tampak begitu nyata. Rasti memukul-mukul kepalanya mencoba mengusir bayangan itu, tapi ia justru mendapati kaca di depannya tiba-tiba berubah seperti layar televisi menampilkan gambar Palwito mengenakan piyama halus, wajahnya bersih, turun dari ranjang empuk menghampiri pintu. Langkah Palwito tegas di atas lantai marmer mengkilat. Tubuhnya menebarkan wangi.

Masih berdiri di depan pintu, Rasti urung mengetuk pintu. Bayangan itu begitu menganggu. Rasti tak mau ketemu Palwito mengenakan piyama, rambutnya disisir rapi. Tak mau ketemu Palwito tubuhnya menebar wangi. Ia hanya mau ketemu Palwito dengan sarung dan kaus oblong butut, lubang-lubang. Palwito dengan celana pendek kusam dan telanjang dada. Palwito dengan rambut acak-acakan. Palwito dengan wajah kusut. Palwito dengan keringat bau jengkol…

RASTI melangkah cepat. Ia harus segera sampai rumah sebelum Pandu bangun. Sebelum bocah laki-laki itu menangis keras. Sepanjang jalan pulang Rasti geram, terus merutuki kebodohannya tak berani mengetuk pintu rumah Palwito. Seandainya ia berani mengetuk pintu dan ketemu Palwito, tentu kini ia pulang dengan tenang. Tapi Rasti sadar, ia sendiri yang membuat kesalahan. Ia terlalu buru-buru hingga lupa berdandan. Diam-diam ia takut terlihat buruk di depan Palwito. Ah…

Rasti mendapati Pandu sudah bangun, tapi tak menangis. Mata bocah laki-laki itu sayu menatap ibunya yang baru datang. Rasti tersenyum sebelum beringsut ke dapur menyiapkan sarapan pagi. Siang sedikit ia mesti membawa Pandu ke dokter. Rasti selalu percaya pada dokter yang bisa memberi keajaiban, seperti malaikat. Tapi, ah, tiba-tiba Rasti merasa enggan membawa Pandu ke dokter sebelum ketemu Palwito. Ya, ya, ia mesti ketemu Palwito terlebih dulu untuk minta uang. Tapi benarkah? Rasti tiba-tiba termangu. Beku.

Rasti ingat, uang yang ia simpan di bawah tumpukan pakaian di lemari lebih dari cukup untuk membawa Pandu ke dokter. Tapi, entahlah, Rasti merasa perlu minta uang lagi pada Palwito. Merasa perlu memberi tahu Palwito bahwa Pandu sakit. Merasa perlu mengingatkan Palwito bahwa sudah enam hari tak pulang!

Sementara Rasti sibuk di dapur, di kamarnya Pandu terus merintih. Wajahnya pucat, matanya berkedip-kedip kian sayu…

UDARA subuh selalu dingin. Membuat Rasti menggigil. Apalagi kali ini Rasti tak pakai jaket. Rasti telah mengganti daster dan jaketnya dengan celana jeans dan kaos ketat, membuatnya tampak lebih seksi. Baru tadi siang ia membeli celana jeans dan kaos ketat itu. Ia tak ingin terlihat jelek di depan Palwito. Sudah tujuh hari Palwito tak pulang. Ah… Tapi, ah, Rasti segera ingat, ia merasa tak punya barang berharga di rumahnya yang bisa mengundang kawanan perampok. Rumah-rumah lain jauh lebih pantas. Rasti kembali melangkah cepat. Sesekali kakinya terantuk batu. Rasti yakin tak ada perampok yang masuk rumahnya. Ia tak punya barang berharga di rumah. Ya, ia hanya punya Pandu. Hanya Pandu…

http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2006/01/perampok.html

MALAM – MALAM NINA

Cerpen Lan Fang

Ini sudah hari ke empat Nina kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin mendung dengan mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan masai lalu duduk termenung.

Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Nina bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya.

Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil di depan rumah.

Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia bekerja sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik sebuah plaza megah. Anita supel, periang dan pandai berdandan.

Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah restaurant. Tetapi yang mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama. Kepulan rokok mild juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.

Tetapi aku bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya bila pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku terganggu. Aku tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan. Toh mereka selalu membayar uang kost tepat waktu.

Nina datang dua bulan yang lalu dan menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di bawahku. Ia tidak secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan matanya yang selalu beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja kamarnya yang selalu tertata, tetapi kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia membuatku teringat kepada seorang perempuan yang nyaris sempurna. Perempuan di masa lampau yang…ah…aku luka bila mengingatnya.

"Nina, ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak bisa mengerem lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah. Warung sudah tutup pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang. Tetapi Nina kulihat masih termangu dengan mata kosong.

Ia menoleh dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak mendengarkan apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di matanya yang selalu beriak. Tetapi ia cuma menggeleng.

"Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia menganggapku rese’.

Lagi-lagi hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu kubaca pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke mana mengejewantah.

Nina memang tidak pernah bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya, asalnya, sekolahnya, perasaannya, atau tentang laki-laki yang kerap meneleponnya. Aku sendiri juga tidak pernah menanyakannya. Mungkin ada hal-hal yang tidak ingin dia bagi kepada orang lain. Maka biarlah ia menyimpannya sendiri. Bukankah aku juga seperti itu?

Sepi terasa lindap, seakan menancapkan kuku-kukunya mengoyak angin yang terluka. Hening itu benar-benar ada di antara aku dan Nina. Aku merasa tersayat. Karena sunyi seperti ini sudah kusimpan lima tahun lamanya. Kenapa sekarang mendadak hadir kembali?

Lalu aku bangkit dari dudukku, mengambil satu seri kartu sebesar kartu domino. Tetapi yang tergambar bukan bulatan-bulatan merah. Tetapi berbagai macam bentuk berwarna hitam. Aku menyimpannya sudah lama. Sejak mataku selalu berembun, lalu embun itu menitik di ujung hati. Sejak sepi yang tanpa warna mulai mengakrabi aku. Sejak itulah aku mulai berbagi resah dengan kartu-kartu ini. Mereka banyak memberiku tahu tentang apa saja yang aku ingin tahu.

Anita dan Tina sering melihatku bermain dengan kartu-kartuku di tengah malam ketika mereka pulang. Sejak melihatku bermain dengan kartu-kartu ini, mereka juga sering ikut bermain. Ada saja yang mereka ceritakan padaku melalui kartu-kartu ini. Jualan yang sepi, para langganan yang pelit memberikan tips sampai kepada pacar-pacar mereka yang datang dan pergi.

Nina tertawa sumbang. "Bayu memang tidak punya uang. Istrinya yang kaya. Istrinya yang memegang kendali perusahaan. Istrinya sudah mengetahui hubungan kami. Dia lalu mengusirnya keluar dari perusahaan.

"Bayu mengecewakanku, Mbak," sentaknya. Kali ini embun-embun di matanya berguguran menjadi rintik hujan. Mengalir deras menganak di lekuk-lekuk pipinya. "Bayu menipu hatiku, Mbak! Ia takut tidak bisa hidup kaya bila pergi bersamaku. Aku benci padanya!" Hujan itu sudah menjadi badai. Riuh rendah bergemuruh seakan puting beliung yang akan merubuhkan apa saja. Lara berkubang seperti seonggok daun-daun gugur di matanya yang tersayat.

"Apa yang kau inginkan darinya?"

"Aku ingin dia sakit…sesakit yang kurasakan!"

Aku tercenung. Sesakit itu pula yang pernah kurasakan. Betapa rasa benci itu melebihi rasa sakit. Aku juga benci setengah mati kepada Prihadi. Kenapa ia tidak mencariku kalau ia mencintaiku? Kenapa sejak istrinya yang begitu sempurna itu menemuiku, ia juga tidak pernah muncul? Lalu ketika istrinya "membantuku" untuk menyelesaikan semuanya, ia juga tidak ada kabar berita? Padahal sudah kucari seakan sampai ke ujung dunia. Apakah itu sudah merupakan kesepakatan mereka berdua?
Akhirnya, aku merasa pencarianku sia-sia. Ia kucari sampai ke ujung mimpi. Kubatin, kupanggil, kunanti, dengan seluruh pengharapan dan kerinduan. Tetapi ruang hampa yang kudapati. Sehingga, kuputuskan untuk bersahabat saja dengan rasa benci dan rasa sakit. Mungkin akan menjadi lebih ramah dan menyenangkan.

Malam demi malam, kusumpahi kandungan perempuan yang nyaris sempurna itu. Aku tidak rela menggenapi kesempurnaannya sebagai seorang perempuan dengan seorang anak, sementara ia menyuruh dokter untuk menyendok dengan mudah sebiji kacang hijau kecil di dalam rahimku. Biarkan ia juga menikmati sepi yang sama seperti sepi yang dibelikannya untukku.

Sejak malam itu, malam-malam Nina juga menjadi sibuk. Nina menjadi sangat menyukai malam seperti aku. Setiap malam, ia mengirimkan rasa sakit yang dirasakannya kepada Bayu.

***

http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2006/01/malam-malam-nina.html

DI DUSUN LEMBAH KRAKATAU

Cerpen St. Fatimah*)

Banjo berjalan gontai pelan-pelan di belakang emaknya. Burung-burung gagak hitam terbang rendah, berkoak-koak memekak. Di atas, langit yang damai tak menjanjikan sama sekali rasa aman.

Lewat baris-baris pohon jati di sepanjang jalan, si emak dan anak laki-lakinya itu dapat melihat lembah Krakatau yang melandai berombak-ombak. Tak mereka jumpai lagi sosok-sosok manusia yang berarak tak henti-henti mendaki seperti semut, tak peduli disambut oleh lingkaran awan tebal dan gumpalan langit tak berawan. Sebuah kabar burung tentang anak siluman telah memutus urat keberanian mereka.
"Banjo!"
Emaknya tiba-tiba berhenti.

Mendengar namanya dipanggil, anak itu terkejut. Bukan karena takut, melainkan karena firasat yang semakin dekat. Kenyataan yang akan datang tentang firasat itu bisa terasa sangat sakit, bahkan bisa juga mematikan.
"Kau lelah, Jo? Sepertinya Emak terlalu memaksamu berjalan hingga sejauh ini. Maafkan Emak, Jo."

Sesudah mengusap liur yang meleleh di sudut bibirnya, si emak menggandeng tangan Banjo, dan ucapnya lagi, "Ayo kita pergi ke pohon besar di sana itu. Kita buka bekal makanan kita. Kau lapar kan?"

Banjo tidak menjawab dengan kata-kata. Ia mengangguk saja, lalu mengekor patuh di belakang emaknya.

Tidak jauh dari situ tampak pohon besar yang rimbun daunnya. Di situ emak membuka buntalan kain sarung, sementara anak laki-lakinya selonjor, melenturkan otot-otot kakinya, dengan bersandar pada batang pohon besar itu.
"Banjo, duduklah dekat Emak sini."

Banjo merangkak menuju emaknya.Emak mengeluarkan dua lembar daun jati tua. Ia melipat satu lembar daun jati itu sedemikian rupa di atas telapak tangannya, hingga membentuk semacam mangkok makan. Diisinya mangkok daun jati itu dengan nasi, gorengan ikan asin, dan sayuran rebus. "Kau ingin Emak menyuapimu?"
Banjo mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda setuju.

Emak menyeringai senang, memperlihatkan sederetan gigi yang warna putihnya tak sempurna. Ia senang melihat anak laki-lakinya makan dengan lahap. Ia seketika lupa bagaimana anak-anak penduduk dusun sini melempari Banjo dengan tomat busuk dan batu kerikil. Sementara orang-orang dewasa melihat kejadian itu tanpa bereaksi apa pun selain tertawa. Apa yang lucu dari melihat seorang bocah laki-laki yang pasrah begitu saja ditawur bocah-bocah sebayanya, dilempari batu hingga mengakibatkan luka memar dan berdarah di sekujur tubuhnya? Apa semua lelucon tak pernah berperasaan?

Barangkali penduduk dusun sini meyakininya demikian. Mereka terpingkal tanpa rasa kasihan. Beberapa di antara mereka mencorongkan tangan di mulut dan meneriaki anak lelaki malangnya dengan kata-kata kasar. Mereka mengerumuninya dan menggiring ke luar dusun. Emak sudah hapal dengan perlakuan penduduk dusun ini; tanpa perasaan mendendam ia berbisik pada diri sendiri, "Barangkali mereka capek kerja ladang seharian, lalu mereka mencoba mencari hiburan."

Emak dengan sabar dan telaten membesarkan hati putra semata wayangnya itu. Tak ada yang benar-benar membuat hatinya meluap kegembiraannya, selain ketika bisa melihat wajah Banjo tampak tersenyum sewaktu tidur. Dalam pikirannya, senyum Banjo sewaktu tidur itu berarti segala-galanya. Leluhurnya pernah bilang, jika di pertengahan tidurnya seorang anak mengigau atau menjerit-jerit, itu artinya ada bayangan hitam yang menempel pada si anak. Dan emak tak mau bayangan hitam itu satu kali saja menempeli putra tunggalnya.

Dusun yang bermandikan cahaya kekuningan matahari menghilang di kejauhan, berangsur-angsur digelapkan oleh kabut petang musim penghujan. Tapi musim penghujan bukan halangan besar bagi penduduk dusun untuk mencari nafkah. Karena mereka percaya Hyang Air dan Hyang Angin telah mereka buat kenyang dan senang hati dengan upacara, tumbal, dan sesaji. Kepercayaan itu juga yang membuat emak dan Banjo terusir dari dusun itu.

Tapi, tiba-tiba kabut itu dikejapkan cahaya kilat --dan sungguh mengejutkan. Begitu ganjil kedatangan kilat itu. Kini yang dilihatnya bukan lagi kepulan kabut yang mengendap-endap lambat menyergap, tapi semacam gumpalan asap tebal yang mirip kepala raksasa yang bertonjol-tonjol menyeramkan.

Hatinya bergetar, berdegup-degup tak karuan. Terus terang emak sedang ketakutan. Dinantikannya sampai sosok itu melontarkan setidaknya satu patah kata lebih dulu. Sungguh pun diketahuinya kecil kemungkinannya sosok itu adalah orang dusun yang dikenalnya, tapi entah mengapa ia masih mau berdiri memaku menunggu sosok tanpa wajah itu menegurnya.

Hingga….akhirnya sosok berwajah lembut nan cerlang itu tersenyum padanya, bersamaan muncul lingkaran cahaya terang memusar lalu memancar --begitu seterusnya-- di belakangnya. Cantik, sungguh cantik. Dua belah mata yang berbinar tegas, meninggalkan sorot yang menggores tajam setiap memandang. Bibirnya menggumpal padat berisi dan basah mengkilap. Kulit wajahnya halus sempurna dan seputih kapas. Wajah itu sungguh bercahaya menggetarkan dada dan menyejukkan hatinya, sampai-sampai mulut emak menganga. Beberapa kali ia pun menghela napas, menggeleng-gelengkan kepalanya, sementara balas tersenyum balik. Ia berubah seperti anak kecil yang tengah mendapati sebatang kembang gula yang tiba-tiba tergenggam di kedua tangannya.

Lama. Malam tambah hening, tambah senyap, tambah penuh tanya. Tak kelihatan lagi kejapan-kejapan kilat yang berseliweran membelah langit di atas. Sekonyong-konyong meluncur dari sela bibir makhluk cantik itu, tapi bibir padat berisi itu tiada bergerak, terdengar begitu saja, kata-katanya sangat jelas dan berbunyi, "Susui jabang bayiku hingga datang malam purnama kedua puluh tujuh…."

Serasa emak dikepung anak buah malaikat maut, linglung tak tahu apa yang mesti diperbuat. Jantungnya bunyi berdegup-degup, kedua belah matanya terus berkedip-kedip. Jari-jarinya gemetar ketika menepuk-nepuk kulit pipinya yang kisut-kendur. Suara bicara sosok itu yang menggema per kata-kata, di telinganya persis wangsit Hyang, memekakkannya hingga kemerotak persendian di sekujur tubuhnya kalah beradu dengan kemerosak gesekan dedaun yang diterjang angin amat kencang, amat mencekam.

Belum genap emak menghilangkan kekalutannya, tiba-tiba sosok mahacantik itu melesat dekat ke arahnya. Hingga ia harus memejamkan matanya rapat-rapat, dan hanya dua cuping telinganya yang waspada. "Akan kuambil kembali ia bilamana purnama telah sempurna….!" Hanya beberapa detik setelah gaungnya suara kakupak dari arah sawah penduduk di kanan-kirinya menghampiri gendang telinganya. Hanya beberapa detik setelah angin kencang tiba-tiba tenang, jalanan berbatu itu kembali gelap gulita. Nyala obor di tangan emak gemetar lamban.

Hingga…hingga sepertinya emak melihat kelebat sinar putih. Tinggi dan besar. Mendekat…Mendekat…Lalu melampaui diri tegaknya di tepi mulut gua. Melingkari tubuh Banjo yang meringkuk lelap.Tak ada perlawanan. Tatapan emak telah menjadi begitu hampa. ***

http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2005/08/Di dusun lembah krakatau.html

BISIKAN ANEH …….

Cerpen Yanusa Nugroho

Jangan lupakan aku. Kabari aku jika kau sudah sampai di sana, begitu katamu ketika melepaskan kepergianku. Namun, pada saat yang bersamaan, perasaan ini berkata lain. Ada sesuatu yang tiba-tiba melintas, dan dengan caranya yang aneh pula dia mengatakan bahwa yang akan terjadi adalah sebaliknya.

Tetapi, itulah. Aku sendiri tak tahu lagi kepada siapa aku menaruh kepercayaan. Dusta itu sudah terlalu sering menghujaniku. Kebohongan rasanya seperti genting pada setiap rumah, atau jendela dengan kaca-kaca timah menorehkan warna-warninya di kehidupanku. Sehingga, jangan heran jika pada akhirnya aku pun mendiamkan saja apa yang terjadi pada diriku. Toh, akhirnya kau berbohong kepadaku.
"Jangan lupa, ya.." Itu ucapanmu sambil melemparkan senyum dari bibir yang biasa kau berikan padaku untuk kulumatkan di malam-malam kita tempo hari.
Ah, sandiwara apa lagi yang tengah kau mainkan, manisku? Bahkan ketika kukatakan bahwa kepergianku ini untuk sesuatu yang penting bagi kita, dan kau menunjukkan keberatan karena lamanya kita berpisah, aku sudah tahu bahwa itu hanya pura-pura saja. Kepura-puraan seutas tali layang-layang, yang kau tarik seolah menurunkan, yang sesungguhnya membuat terbangnya kian tinggi. Aku tahu, sayangku, aku tahu.
Maka, ketika pesawat ini mendarat dan aku melanjutkan perjalanan dengan landrover, mendaki dan menjelajahi tanah tak ramah, aku pun kian tergelak-gelak oleh sandiwara yang kau mainkan. Tidak, kau tidak bermain, tetapi menyutradari lakonku. Aha, kau menjadi sutradaranya!

Aku tahu kau tengah menimbang-nimbang dan menggores-goreskan naskah yang kau edit sendiri, dan mengarahkan langkahku untuk menemui kegagalan itu. Kau pikir aku tak tahu apa yang kucari? Kau pikir aku tak tahu siapa yang akan kutemui? Meskipun ketika kukatakan bahwa aku sendiri tak yakin benar akan apa yang akan kucari ini, dan kau mencegahku --ah, betapa manisnya adegan itu-- aku tahu bahwa sebetulnya kau tengah berdoa agar aku cepat-cepat pergi dan menjumpai bibir jurang kehampaan yang menganga.

"Sudah lama kenal sama Mahmud?" Tiba-tiba orang yang menjemputku bicara. Aku tak percaya manusia besi ini bisa bicara. Sejak kedatangannya di bandara, dan setelah hampir tiga jam dia bersamaku, baru ini yang diucapkannya.

Kau tahu, sayangku, caranya bicara menunjukkan bahwa apa yang diucapkannya hanyalah sebuah basa-basi, pemerah bibir. Dia tak punya kepentingan apa-apa denganku, karenanya dia bertanya tentang sesuatu yang tak berkaitan dengan urusannya. Bayangkan, jika saja kujawab "sudah", lantas dia mau bilang apa? Atau misalnya aku berdusta dengan mengatakan "belum", kira-kira apa yang akan dijadikannya pertanyaan berikutnya? Tak ada. Persis seperti caramu menghadapiku. Semuanya basa-basi.

"Sudah."
"O...berapa lama?"

Nah, apa kataku. Dia hanya mencoba berbasa-basi lagi.

"Sepuluh tahun...," jawabku asal saja.

"Teman kuliah?"

"Bukan."

"Teman kerja?"

"Bukan."

Nah, betul, kan, kataku, dia tak bisa menyambung dengan kata-kata lagi. Itu semua

karena dia hanya berbasa-basi.

"Kita akan sampai di ibukota kecamatan kira-kira dua jam lagi. Dan karena di dalam dua jam itu saya khawatir kita tidak menemukan kedai atau apa pun, sebaiknya kita mampir dulu di pasar ini. Sekalian kita cari pompa bensin."

"O...bagaimana mungkin dalam dua jam perjalanan kita tidak bisa menemukan warung, atau kedai makanan?" "...?"

Dia hanya menatapku dengan bingung. Otaknya tak cukup cerdas mencari sebuah kalimat yang bisa membuatku paham. Lalu, sambil menengok ke kanan dan ke kiri, mencari warung, dia kembali tenggelam dalam kebisuannya.

Selama menunggu makanan di kedai, aku membayangkan serbuk racun ditaburkan di makanan yang akan kumakan. Ah, jangan kau pura-pura, sayangku, dia adalah orang suruhanmu. Jangan menyangkal, aku tahu. Engkau ingin tahu bagaimana aku bisa tahu? Haha...untuk apa? Membuktikan bahwa kau adalah seorang juru catat yang andal? Dia dengan mudahnya menyuruh si pemilik warung untuk menaburkan sejenis sianida atau racun apalah namanya, ke dalam makananku.

"Saya belum lapar..."

Dan lihatlah wajahnya yang tolol itu.

"Saya sudah pesan 2 piring dan Anda setuju kita makan dulu. Kenapa tiba-tiba merasa belum lapar?"

"Maaf, ini perut saya. Sayalah yang paling tahu kondisinya."

"Hmm...tapi kita harus bayar 2 piring."

"Tak masalah. Saya akan bayar. Kalau mau, silakan makan punya saya..."

Piring dan lauk dihidangkan. Ikan bakar, sambal dan lalapan.

Aku tiba-tiba diserang hawa aneh yang membuatku berubah pikiran. Ucapan Mahmud yang sungguh-sungguh itu membuatku berpikir tentang semua yang tengah kulakukan ini. Aku yang semula percaya padamu, Des, tentang syarat yang kau ajukan itu, dan itu kubuktikan dengan kesungguhanku berangkat, tiba-tiba menjadi ragu, karena setelah kupikir, mungkin ini hanya alasan penolakanmu atas lamaranku. Namun, ketika kau pun agaknya meragukan permintaanmu sendiri, sementara aku jadi kian menggebu berangkat, aku mulai bimbang dengan semua ucapanmu. Dan ketika sesampai di tempat ini, bicara dengan Mahmud, aku...ah, entahlah.
Bagaimana jika kayu itu memang kutemukan? Aneh. Gila. Nonsense.
"Ada, Mas."

"Apanya?"

"Kayunya. Mau seberapa panjang?"

Aku terdiam. Terus terang, aku tak punya kesiapan untuk itu.

"Kalau mau dimasukkan tas, ya, paling-paling 50 cm cukup, kan?"

Aku masih diam. Jadi, kayu itu memang ada dan bisa kumasukkan tasku. Ah, gila. Terus, aku harus bagaimana? Setelah kayu itu ada di tanganku dan itu mencukupi

syarat perkawinan kita, Desy? Aku harus bagaimana?

"Maaf, tapi permintaan Mbak Desy memang agak langka. Soalnya, biasanya yang minta kayu itu adalah seorang dukun." ujar Mahmud sambil tersenyum, dan tangannya mencolek ikan goreng. Dukun? Ah, skenario apalagi yang kau kembangkan untuk lakon kita, Desy? Ahh, aku tak tahu lagi, apakah setelah berjam-jam waktuku hilang di jalan, dengan berbagai rajaman pikiran meninggalkanmu, cutiku yang terbuang sia-sia, dan kayu yang memang ada itu, kemudian..."dukun"? Aku tak tahu lagi apakah aku masih punya sisa tenaga untuk mengawinimu, Des? Terus terang aku lelah mendengar bisik-bisik yang selalu menggaung di kepalaku ini. Aku ingin berhenti. Aku ingin agar bisikan itu berhenti dan aku bisa lebih tenang menjalani sisa lakonku sendiri. ***

http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2005/08/bisikan-aneh.html

KUPU – KUPU TIDUR

Cerpen Wawan Setiawan

Kupu-kupu itu bersayap kuning, terbang ke sana kemari di tanah samping. Coba lihat, ia sedang mencari sesuatu, di balik daun bunga sepatu. O, ternyata benar, ia sedang menitipkan telurnya. Nanti telur-telur itu jadi ulat. Ulat-ulat itu merayap dari daun ke daun. Memangsa daun-daun itu, nyaem nyaem nyaem, ia besar, gemuk, lalu masuk ke kepompong. Nah sudah. Coba lihat, dari satu ujung lubang kepompong, lepaslah seekor kupu-kupu, warnanya kuning, seperti induknya.

Aku mengimajikan proses itu. Sebuah proses alami. Alam telah menyediakan segala sesuatunya, agar semuanya dapat berproses, tentu secara alami pula. Kupu-kupu kuning tadi telah pergi, ke halaman rumah tetangga. Di samping rumah ada sirsak, pisang, mangga, dan pepaya. Ada juga bluntas dan gambas. Di bawah pohon dan perdu itu, sedikit menghampar rumput hijau, halus, enak di kaki. Di halaman depan, sama, ada rumput hijau. Di atasnya, ada pepaya, alamanda, cemara pipih, dan melati. Tanaman itu mengisi hari-hariku, ya di tengah-tengah alam semesta yang besar dan "tenang" ini, aku ditimpa keraguan, kebimbangan.

"Hesti, aku sudah mempertaruhkan hidupku, tapi jalan hidup ternyata lain. Aku tak sanggup lagi mampir di rumah kita, yang konon bertabur bintang berjuta. Berbulan bundar, persis harapanku. Tapi bulan dan bintang di rumah kita adalah milikmu. Aku ditakdirkan tidak memilikinya."

Itu ucapan Sapto. Lelaki itu kemudian tak lagi kembali. Sapto telah pergi, lenyap ditelan kebiruan gunung. Sapto mengembara dari gunung ke gunung yang konon wilayah warisan nenek moyangnya.

"Ya, Sapto, bila itu jalan hidupmu, pilihanmu, setialah pada janjimu, pada dirimu. Aku tak kuasa. Jalan hidup kita memang beda. Memang telah kuserahkan diriku padamu, tapi tampaknya tak dapat penuh. Kuserahkan diriku hanya separuh, dan kau menerimanya juga dengan separuh dirimu. Kita sama-sama mengerti. Dan akhirnya memaklumi. Di tengah alam semesta yang besar ini, aku akhirnya sendiri. Bapak ibuku sudah pergi. Adik satu-satuku sudah dibawa suami. Di rumah ini, bagai seorang paranormal, aku merajut masa depan yang gambar-gambarnya samar-samar."

Tak kusadari air mata menetes, tak banyak, hanya satu dua. Tapi itu sudah cukup. Keterharuanku pada jalan hidupku membuatku mengerti, bahwa setiap orang akan digiring kepada jalan hidupnya masing-masing. Ada yang ikhlas menerima, ada yang memberontakinya.

Lelaki itu dulu kutemui di bangsal sebuah gedung teater. Saat itu ada latihan drama. Saat itu aku baru lulus sarjana akuntansi. Meskipun aku suka hitung-menghitung, aku juga suka nonton drama. Bahkan latihan sebelum main, kutonton juga. Itu seperti kita kalau makan kue Hari Raya yang akan dipanaskan dalam van. Rasanya sudah enak, dan memang sudah bisa dinikmati. Dalam kisah drama yang kutonton, ada bagian peristiwa yang menampilkan sisi kehidupan seorang paranormal. Dikisahkan, paranormal pamit pada istrinya untuk bertapa di sebuah lereng gunung di selatan kota. Tapi pertapanya gagal karena tergoda seorang wanita. Sang pertapa kemudian kembali lagi menjadi orang biasa. Entah dari mana Sapto tahu ada latihan drama di Gedung Pemuda pusat kota itu. Sapto sendiri hanya tamat SMA. Ia memilih belajar sendiri dari hal-hal yang dia sukai, dan sangat antusias dengan astronomi, astrologi, serta ekonomi makro. Selain itu, ia menggandrungi puisi dan pijat refleksi. Mungkin background inilah yang mendorongnya datang ke Gedung Pemuda.

Hernowo? Ya, dialah itu, Hernowo. Lelaki itu adalah suami keduaku. Aku bertemu dengannya, lagi-lagi, ketika ada acara latihan drama. Waktu itu pagi nan dingin, di pinggirian kota, sebuah kelompok teater sedang berlatih pernapasan. Aku diajak seorang teman, aku ikut namun sekadar menonton; sambil baca-baca koran pagi, kudengar mereka teriak-teriak. Mereka disadarkan oleh Hernowo: baik ketika udara masuk atau keluar, yang bergerak hanyalah Tuhan. Dengan sugesti itu, mereka tak hanya diingatkan oleh pentingnya udara, namun juga oleh pentingnya "Tuhan".

Hernowo adalah seorang suami yang nafsu seksnya kuat. Mungkin dampak dari latihan pernapasan digabung dengan bawaan dari sono-nya. Tak seperti Sapto yang kikir seks, Hernowo boros. Sehingga sering aku dibikin kewalahan.
"Hesti, kecerdasanku adalah maksimal. Namun tampaknya aku kewalahan meladenimu diskusi. Semangat hidupku terlalu besar, sayang kurang diimbangi daya intelektual." Demikian pengakuan Hernowo suatu malam, setelah melakukan hubungan suami istri entah yang ke berapa ribu kali.

"Tapi kau pelaku yang baik, man of action. Kamu mampu menghimpun orang-orang, menggerakkan mereka, meski gerakan mereka di atas panggung. Aku lega dipertemukan Tuhan bersuamikan dirimu." Demikian hiburku pada malam yang lain sambil melap-lap tubuhnya yang penuh keringat. Kusuapi dia dengan STMJ khas diriku seperti yang diminatinya.

Sebenarnya aku sudah mulai bisa tinggal di dalam hatinya. Dia juga sangat kerasan hidup di hatiku. Tapi sayang seribu sayang, melalui cerita seorang teman, dan juga aku pernah tahu sendiri, Hernowo masih punya waktu berpacaran dengan salah satu anak buah teaternya. Kerinduanku pada keindahan romantisme perkawinan pupus sudah. Mungkin karena dia menganggapku janda yang kesetiaannya sudah terkoyak.

"Sudahlah, sudah. Kau bisa bayangkan sendiri, di sudut kamarmu yang remang-remang, bahwa akhirnya aku bercerai dengan Hernowo. Hernowo itu terlalu alamiah. Termasuk dalam hal bercinta. Tak apalah. Biarlah semua mengalir, Pantha Rei. Aku mengalir. Sapto mengalir. Hernowo juga mengalir."

Kembali mataku menangkap kepak kupu-kupu kuning itu dengan kesepianku yang lengkap. Aku tak mau lagi jadi ulat. Aku ingin jadi kupu-kupu. Ulat merayap dari daun ke daun. Kupu-kupu itu terbang dari bunga ke bunga, taman ke taman. Aku ingin terbang. Dan ini yang penting, aku tak ingin memakai dua sayap yang di situ ada Sapto dan Hernowo. Dulu aku terbang dengan sayap Ibu dan Bapakku. Kemudian aku terbang dengan sayap Sapto dan Hernowo. Aku ingin menciptakan sayap sendiri, sayap khas Hesti. Mungkin bahan bakunya dari Ibu, Bapak, Sapto, dan Hernowo, atau yang lain.

Dalam kesepianku, kini, aku menekuri diriku yang sibuk merajut sayap. Tak apa, mumpung angkasa masih menyediakanku ruang. Diriku belum sama sekali hampa. Lingkunganku masih tertawa dan terbuka. Kotaku, meski tetap angkuh, toh masih mau menyapa.

Kulihat diriku menekuri diriku. Di sela-sela berbagai daunan berembun, bagai peri, aku mulai melesat dari daun ke daun. Dan kulihat dari pohon ke pohon. Sedang di atas angkasa membuka mulutnya yang tak bertepi, dibanjiri sinar mentari.


http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2005/07/kupu-kupu-tidur.html

MIMPI TERINDAH SEBELUM MATI

Cerpen Maya Wulan

RAMADHANI, sekalipun sedang sekarat, aku masih ingat dengan ucapanku pada suatu kali. Di satuan waktu yang lain, berkali-kali kukatakan kelak aku akan lebih dulu pergi darimu. "Mati muda," kataku datar. Dan kau selalu saja mengunci mulutku dengan cara mencium bibirku. Memutus kata-kataku yang menurutmu tidak pantas. Hanya saja pada satu waktu, sebelum akhirnya kita harus berpisah untuk meluncur dihembuskan ke perut bumi, kau sempat menampar pipi kiriku ketika lagi-lagi aku mengulang kalimat tentang kematian itu. Tidak ada lagi ciuman seperti biasanya. Aku berpikir mungkin kau sudah tak bisa bersabar menghadapiku. Atau kau terlalu takut? Padahal aku sudah begitu sering bicara tentang daun yang bertuliskan namaku di ranting pohon itu. Bahwa dia, kataku, sedang menguning dan beranjak kering untuk kemudian bersegera gugur. Usianya sangat pendek, tidak akan sampai menyaingi usia kita di sana.

Tetapi kemudian kita bertemu lagi di tempat yang kita sebut kehidupan. Hanya saja situasi yang ada sangat berbeda. Kita masih seusia, tetapi tidak bisa dikatakan sebagai seorang yang dewasa. Bicara saja kita masih tidak tertata rapi. Ke sana kemari, khas bahasa anak-anak. Semua sangat berbeda dengan apa yang pernah kita lalui bersama di satuan waktu yang lampau. Sebelum kita berdua tertiupkan ke alam ini.

NAFASKU terpatah-patah. Aku merasa sangat lelah. Seperti seorang perempuan renta yang sedang menunggu masa tutup usia. Berjalan hanya dalam khayal yang sesungguhnya kedua kaki tak pernah melangkah kemana pun. Tapi aku memang belum tua. Meski juga tak bisa berlari-lari. Aku hanya terus berbaring dan berbaring. Sejak kepergian ayahku ke surga. Mataku masih menampung sekian banyak buliran bening yang belum mendapat giliran untuk tumpah. Aku terlanjur tertidur. Dan kini, aku bermimpi.

Ayahku berdiri dalam nuansa yang begitu lembut namun terkesan asing bagiku. Aku mencoba memanggilnya, tetapi suaraku tersumbat di tenggorokanku yang kering. Sudah lama sekali aku tidak minum air lewat mulutku. Hanya selang infus itu yang terus menembus tangan kananku selama ini. Ayahku begitu sunyi, seolah tak melihat kehadiranku di sini. Barangkali debur rindu di dadaku yang membuncah tak cukup keras untuk menjadi tanda keinginanku bertemu dengannya?

Aku melihat lagi gambaran ketika ayahku meninggalkanku dan ibuku. "Ayah harus ke luar negeri," kata ibuku padaku suatu malam.

"Untuk apa?" tanyaku.

"Untuk bekerja," sahut ayahku. "Ayah janji tidak akan pergi lama. Kau bisa menandai hari dengan terus mencoreti setiap penanggalan di kalender meja kerja ayah. Setiap hari. Dan tanpa kau sadari, ayah sudah akan kembali di sini."

Aku memasang wajah tak percaya, "Ayah janji?"

Ayahku mengangguk mantap. Ibuku tersenyum melihat tingkahku. Dan aku mengantarkannya ke bandara dengan berat hati.

Selanjutnya, aku disibukkan dengan mencoreti kalender milik ayahku. Tetapi ayahku pergi begitu lama. Sampai aku kelelahan menunggu dan mulai malas mencoreti kalender seperti yang pernah diminta ayah. Aku mulai menangis dan marah pada ibuku, juga semua orang. Tubuhku melemah karena aku selalu menolak makanan bahkan minuman. Aku enggan bicara, termasuk pada teman sepermainanku, Ramadhani. Sampai suatu hari ibuku mengatakan kalau ayahku tidak akan pulang lagi. "Ayah sudah terbang ke surga," katanya.

Sejak itu aku sangat membenci angka-angka. Aku benci penanggalan dan tidak mau melihat kalender terpajang di rumah. Aku benci menghitung sesuatu. Aku juga mulai suka melukai diriku sendiri. Hingga akhirnya aku jatuh sakit dan harus terbaring di rumah sakit yang bagiku baunya sangat tidak enak.

Bayangan ayahku dan nuansa lembut itu perlahan-lahan memudar. Aku mencari-cari dan menajamkan pandanganku, tetapi percuma. Di hadapanku, suasana berganti menjadi demikian putih dan rapat oleh kabut tebal yang mengeluarkan hawa dingin. Satu sosok laki-laki dewasa tampak berjalan menembus kabut menuju padaku. Tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Dia tersenyum dan menggandeng tanganku. Kulit tangannya terasa begitu halus di telapakku.

Kemudian semua terpastikan. Seseorang di atas kepalaku, menarik sesuatu dari tubuhku. Ada yang terlepas dengan begitu lekas. Sangat cepat, tetapi sempat membuatku tercekat.

Aku lupa semua mimpiku. Tiba-tiba ayahku sudah memelukku dengan eratnya. Sementara kau menangis di pelukan ibuku, di ujung pembaringanku. Dokter mencabut selang infusku. Aku berteriak untukmu, "Aku akan merindukan ciumanmu, Ramadhani." Tapi lagi-lagi kau tak dapat mendengarku, melainkan hanya terus menangis.

***

http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2005/06/mimpi-terindah-sebelum-mati.html

PEREMPUAN ABU – ABU

Cerpen Lan Fang

Sesosok perempuan muncul seperti bayangan, sehalus angin dan tanpa suara di sampingku. Perempuan itu mendadak muncul dan duduk di sampingku ketika aku sedang benar-benar tidak tahu apa lagi yang harus kutulis. Padahal aku sudah menghabiskan lima gelas kopi, sebungkus rokok kretek, dan tiga kaleng guiness beer.

Tetapi aku tidak memusingkan perempuan itu. Aku tetap menghisap rokok kretekku dan menghembuskan asapnya kuat-kuat dengan harapan mendapat imajinasi dari gumpalan asap itu.

"Apakah aku pelacur?" Perempuan itu bicara kepadaku.

"Kamu pelacur bukan?" Aku balik bertanya tanpa menoleh kepadanya. Itu pertanyaan klise yang tidak perlu kujawab.

"Menurutmu definisi pelacur itu bagaimana?" Ia bertanya lagi.

"Tidur dengan lebih dari satu laki-laki," sahutku asal saja. Lagi-lagi tanpa menoleh.
"Tidur? Hanya tidur? Masa tidur saja tidak boleh?" Ia masih mendebat. "Dan katamu…lebih dari satu laki-laki. Hm…bagaimana dengan laki-laki yang tidur dengan lebih dari satu perempuan? Apakah dia juga bisa disebut pelacur laki-laki?" Ia nyerocos tanpa jeda.

Aku terkejut ketika bersirobok pandang dengan bola mata perempuan itu. Matanya berwarna abu-abu! Tidak ada hitam. Dan tidak ada putih.

"Bagaimana?" Ia mengejarku dengan pertanyaannya.

"Apanya yang bagaimana?" Aku tergagap sembari masih berusaha menguasai diri.

"Apakah aku pelacur?" Ia mengulangi pertanyaannya.

Kali ini, di matanya yang abu-abu tampak tergenang butiran-butiran berlian yang ditahannya tidak runtuh bila ia mengerjapkan kelopak matanya.

Aku menarik napas panjang. Membenarkan posisi dudukku.

"Kamu sedang butuh bahan cerita bukan? Tulislah aku…" Ia bertanya dan menjawab sendiri seakan-akan tahu apa yang kurasakan.

"Ya," sahutku dengan nada berat dan sangsi.

Tetapi, bukan soal pelacur atau perempuan bermata abu-abu, tambahku dalam hati. Aku penulis roman cinta. Aku butuh cerita cinta.

"Sebenarnya kamu siapa?" tanyaku pada akhirnya.

"Apakah itu perlu buat kamu?" Ia balik bertanya.

Ah! Aku bukan pengacara yang siap diajak berdebat kata dan bersilat lidah setiap saat.

Aku pengarang yang sedang mati kata.

"Baik. Panggil saja aku Maya." Ia berkata seakan-akan bisa membaca pikiranku.

"Maya? Nama kamu Maya?"

Perempuan itu tertawa. "Kamu pengarang kan? Apalah arti sebuah nama untuk pengarang? Shakespeare juga berkata begitu kan? Dan "Maya" artinya bisa tidak bisa ya, bisa mimpi bisa nyata, bisa…."

"Ya ya ya, Maya atau siapa pun kamu, sekarang berceritalah!" tukasku kesal. Aku memang tidak butuh namamu. Aku butuh ceritamu. Butuh imajinasimu.

"Apa yang kau lihat?" Suaranya bertanya setengah mendesah.

"Warna tubuhmu…" Kudengar suaraku seperti datang dari alam lain.

"Apa yang kamu lihat dari warna tubuhku?"

"Abu-abu…," gumamku.

Perempuan itu tertawa. Suaranya merdu. "Kenapa tidak kau tulis?"

Astaga!
"Apa bukan anjing namanya, kalau Yudistira mempertaruhkan Drupadi, istrinya di atas meja dadu hanya untuk sebuah Astinapura?! Apa bukan anjing namanya, kalau Yudistira hanya duduk terpana ketika Drupadi, istrinya, ditelanjangi Duryudana?! Apa bukan anjing namanya, kalau harga diri Yudistira lebih mahal daripada harga Drupadi, belahan jiwanya?!" Ia kembali nyerocos dengan berapi-api.

Aku terdiam tidak mampu menjawab. Perempuan itu tertawa sinis. Sekarang ia mengambil sekaleng guiness di dekat laptopku. Dengan sekali tegak, sekaleng guiness meluncur melewati bibirnya, lidahnya, tenggorokannya, perutnya, ususnya, kandung kemihnya, dan mungkin akan berakhir di toilet. Ia menjilati busa guiness yang tersisa di bibirnya yang indah.

Astaga! Lidahnya juga abu-abu!

"Lalu, menurutmu, siapakah Drupadi?" Ia bertanya dengan lidah abu-abunya. "Ng…Drupadi, istri yang setia. Ia mengikuti Pandawa menjalani hukuman kalah judi dibuang ke dalam hutan berpuluh-puluh tahun lamanya tanpa berkeluh kesah. Ia bahkan bersumpah tidak akan menyanggul rambutnya sebelum keramas darah Duryudana…," jawabanku terdengar gamang. Entah benar atau tidak menurut perempuan itu.

Perempuan itu mendengus. "O…, begitu menurutmu. Drupadi begitu putih," ujarnya dengan nada sinis. "Lalu, kalau menurutmu, dia begitu setia dan putih, kenapa ia tidak bisa mencapai nirwana?" sambungnya lagi-lagi dengan membelalakkan matanya yang abu-abu.

Ah, orang bilang, mata adalah jendela jiwa. Tetapi mata perempuan ini semua abu-abu. Aku tidak bisa membaca apa yang ada di dalam jiwanya. Orang bilang, lidah adalah senjata kata. Tetapi lidah perempuan ini juga abu-abu. Aku tidak tahu ia bicara putih atau hitam. Orang bilang, jantung hati adalah naluri jiwa yang paling jujur. Tetapi jantung hati perempuan ini juga abu-abu. Aku tidak tahu apakah dia bohong atau jujur. Orang bilang, tubuh adalah bahasa. Tetapi tubuh perempuan ini semua abu-abu. Aku tidak tahu ia benar atau salah.

"Menurutmu, apakah Drupadi tidak bisa mencapai nirwana karena ia berselingkuh dan tidur dengan lima pandawa: Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa, sekaligus? Karena ia kotor? Karena ia hitam?" Ada luka menganga di mata abu-abunya.

"Atau, menurutmu, apakah Drupadi tidak bisa mencapai nirwana karena ternyata ia berselingkuh batin dengan lebih mencintai Arjuna daripada Yudistira, suaminya?" Ada darah menetes dari lidahnya yang abu-abu.

"Lalu, menurutmu, apakah Drupadi itu pelacur?" Ada luka dan darah membanjir dari jantung hatinya. Aku terdiam seribu kata. Tidak mampu menjawab. Karena setelah sekian lama melihat perempuan itu dalam bungkusan warna abu-abu, mendadak saja begitu banyak warna merah mengucur dari matanya, dari lidahnya, mulutnya, tubuhnya, jantung hatinya, air matanya. Darah!

"Apakah aku pelacur?" Untuk kesekian kalinya ia mengulangi kata-katanya.
Aku merasakan dadaku sesak.

"Apakah kamu Drupadi?" tanyaku sengau.

"Apa perlu untukmu siapa aku? Apakah aku Drupadi, apakah aku Maya, apakah aku

pelacur? Kau hanya perlu cerita, tulis apa yang kau rasa, mungkin apa yang tertulis lebih jujur dari kata yang terucap."

Masih dengan tubuh telanjangnya, ia mendekat padaku, menciumiku dengan lidahnya yang berdarah, melekatkan wajahku pada air mata darah, membiarkan mataku mengembara ke dalam jantung hatinya yang berdarah, merapatkan tubuhku dengan tubuhnya yang berdarah. Malam merapat pagi, ketika aku bersetubuh dengan perempuan abu-abu itu di atas darah...

http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2004/10/perempuan-abu-abu.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar