Ilmu
Jika ilmu tidak menyertai seseorang yang mengadakan perjalanan semenjak awal, yang berperan meletakkan pijakan kakinya pada jalan yang semestinya, hingga akhir perjalanannya, tentu dia akan berjalan bukan pada jalan yang semestinya, perjalanannya akan terhalang dan tidak sampai ke tujuan, tidak mendapat bukti petunjuk dan keberuntung-an serta pintunya tertutup. Ini merupakan kesepakatan pendapat para syaikh
dan orang-orang yang memiliki ma'rifat. Tidak ada yang mence-gah dari ilmu selain para perampok dan kaki tangan Iblis.
Al-Junaid bin Muhammad berkata, "Semua jalan tertutup bagi manusia selain orang yang mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam." Dia juga berkata, "Siapa yang tidak menghapal Al-Qur'an dan menulis hadits, berarti dia tidak layak diikuti, karena ilmu kami terikat oleh Al-Kitab dan As-Sunnah." Dia juga berkata, "Madzhab kami terikat oleh dasar-dasar Al-Kitab dan As-Sunnah.". Abu Hafsh berkata, "Siapa yang tidak menimbang perbuatan dan keadaannya di setiap waktu dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, tidak mencurigai apa yang melintas di dalam sanubarinya, maka dia tidak diang-gap para pemimpin.". Abu Sulaiman Ad-Darany berkata, "Boleh jadi pada hari-hari ter-tentu hatiku disusupi satu titik dari kebiasaan manusia. Tapi aku tidak akan menerimanya kecuali dengan menghadirkan dua saksi yang adil, yaitu Al- Kitab dan As-Sunnah.". As-Sary berkata, "Tasawwuf itu merupakan istilah untuk tiga makna: Cahaya ma'rifat tidak memadamkan cahaya wara', tidak membicara-kan suatu ilmu di dalam batin yang bertentangan dengan zhahir Al-Kitab, dan tidak membebaninya dengan karamah untuk mencabik selubung hal-hal yang diharamkan Allah.". Ahmad bin Abul-Hawary berkata, "Siapa yang mengerjakan suatu amal tanpa mengikuti As-Sunnah, maka amalnya batil.". Abu Yazid berkata, "Pernah terlintas dalam hatiku untuk raemo-hon kepada Allah agar aku terbebas dari perhatian terhadap wanita. Na-mun kemudian aku berkata sendiri, 'Bagaimana mungkin aku memohon hal seperti ini kepada Allah, sementara Rasulullah tidak memohon hal yang sama?' Maka aku pun tidak jadi memohon yang seperti itu. Kemudian Allah membuatku terbebas dari perhatian terhadap wanita, hingga aku tidak peduli apakah aku berhadapan dengan wanita ataukah dengan dinding."
Dia juga berkata, "Jika kalian melihat seseorang yang diberi karamah, sehingga dia dapat terbang di angkasa, maka janganlah kalian terpedaya, hingga kalian tahu bagaimana orang itu menempatkan dirinya pada perintah dan larangan, menjaga hukum dan melaksanakan syari-at."
Abu Utsman An-Nisabury berkata, "Pergaulan dengan Allah ialah dengan membaguskan adab, senantiasa takut dan merasa diawasi. Pergaulan dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ialah dengan mengikuti As-Sunnah dan mengikuti zhahir
ilmu. Pergaulan dengan waliwali Allah ialah dengan menghormati dan membantunya. Pergaulan dengan pakar ialah dengan akhlak yang baik. Pergaulan dengan saudara ialah senantiasa memasang muka berseri selagi bukan dalam hal-hal yang dosa. Pergaulan dengan orang-orang yang bodoh ialah dengan mendoakan dan mengasihi mereka."
Abul-Husain An-Nawawy berkata, "Jika kalian melihat seseorang yang mengaku memiliki keadaan tertentu bersama Allah yang membuatnya keluar dari batasan ilmu, maka janganlah kalian dekat-dekat dengannya."
Abu Sa'id Al-Kharaz berkata, "Hal-hal di dalam batin yang bertentangan dengan hal-hal yang zhahir, maka ia adalah batil."
Ahmad bin Hambal pernah menjelaskan berbagai masalah. Lalu dia bertanya kepada Abu Hamzah Al-Baghdady, seorang pemuka tasaw-wuf," Apa pendapatmu wahai orang sufi?" Maka Abu Hamzah menjawab, "Siapa yang mengetahui jalan yang benar, maka perjalanannya pun menjadi mudah. Tidak ada bukti petunjuk jalan kepada Allah selain dari mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dalam perbuatan, perkataan dan keadaannya." Inilah pernyataan-pernyataan yang dinukil dari para pemuka golongan sufi. Tapi juga banyak pernyataan yang dikisahkan dari sebagian di antara orang-orang sufi itu, yang menghindari ilmu dan tidak membutuhkannya, seperti perkataan di antara mereka, "Kami mengambil ilmu kami dari Yang Mahahidup dan tidak bisa mati, sedangkan kalian mengambil ilmu dari yang hidup namun bisa mati."
Siapa yang mencegahmu unruk menyampaikan riwayat dan pengabaran hadits, berarti dia akan menyusupkan hayalan-hayalan tasawwuf atau analogi filsafat. Siapa yang meninggalkan bukti petunjuk, maka jalannya akan sesat. Sementara tidak ada bukti petunjuk kepada Allah dan surga selain dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Setiap jalan yang tidak disertai bukti petunjuk Al-Kitab dan As-Sunnah, maka itu adalah jalan menuju neraka Jahannam dan jalannya syetan yang terkutuk.
Ilmu adalah yang menjadi landasan bukti petunjuk, dan yang bermanfaat dari ilmu adalah yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ilmu lebih baik daripada keadaan. Ilmu merupakan penentu hukum dan keadaan yang diberi ketentuan hukum. Ilmu merupakan petunjuk dan keadaan yang mengikutinya. Ilmu adalah yang memerintah dan melarang, sedangkan keadaan yang menerima perintah dan larang-an.
Keadaan merupakan pedang, yang jika tidak diikuti ilmu akan menjadi pembabat di tangan orang yang suka main-main. Keadaan merupakan kendaraan yang tidak bisa
berjalan sendiri. Jika tidak disertai ilmu, maka ia berjalan menuju tempat yang merusak. Keadaan seperti harta, yang bias berada di tangan orang baik dan orang jahat. Jika tidak disertai cahaya ilmu, maka ia akan menjadi bencana bagi pelakunya. Keadaan tanpa ilmu seperti api yang tidak ada penghembusnya. Manfaat keadaan hanya bagi pemiliknya, sedangkan manfaat ilmu seperti air hujan yang merambah permukaan tanah yang tinggi dan rendah, perut lembah dan semua pepohonan. Wilayah ilmu mencakup dunia dan akhirat, sedangkan wilayah keadaan tidak keluar dari pemiliknya atau bahkan lebih sempit lagi. Ilmu merupakan penentu yang membedakan antara keraguan dan yaqin, penyimpangan dan kelurusan, petunjuk dan kesesatan. Allah dapat diketahui dengan ilmu, lalu Dia disembah, diesakan, dipuji dan diagungkan. Dengan ilmu, orang-orang yang berjalan bisa sampai kepada Allah.
Dengan ilmu bisa diketahui berbagai macam syariat dan hukum, bisa dibedakan antara yang halal dan yang haram. Dengan ilmu persaudaraan bisa dijalin, dengan ilmu keridhaan kekasih bisa diketahui, dan dengan ilmu bisa menghantarkan ke tujuan yang dekat. Ilmu merupakan imam dan amal merupakan makmum. Ilmu merupakan pemimpin dan amal merupakan pengikut. Mengingat-ingat ilmu merupakan tas-bih, mencarinya merupakan jihad dan taqarrub, mengajarkannya merupakan shadaqah, mempelajarinya sama dengan pahala berpuasa dan mendirikan shalat malam. Kebutuhan terhadap ilmu lebih besar daripada kebutuhan terhadap makan dan minum.
Al-Imam Ahmad berkata, "Manusia lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhannya terhadap makanan dan minuman. Sebab seseorang membutuhkan makanan dan minuman sekali atau dua kali dalam se-hari, sementara kebutuhannya terhadap ilmu sebanyak hembusan na-pasnya."
Kami meriwayatkan dari Asy-Syafi'y, dia berkata, "Mencari ilmu lebih utama daripada shalat nafilah." Pernyataan serupa juga dinyatakan Abu Hanifah.
Bukti paling akurat yang menunjukkan kemuliaan ilmu, bahwa kelebihan orang berilmu daripada semua manusia seperti kelebihan rembulan pada malam purnama daripada semua bintang.
Pengarang Manazilus-Sa'irinb berkata, "Ilmu adalah yang tegak karena dalil dan yang kebodohan pun tersingkirkan." Maksudnya, ilmu itu mempunyai tanda sebelum dan sesudahnya. Tanda sebelumnya ialah yang ditegakkan dengan dalil, dan tanda sesudahnya ialah tersingkirnya kebodohan.
Ada tiga derajat ilmu, yaitu:
1. Ilmu jaly (nyata), yaitu yang tampak mata, bisa didengar dan disebar secara benar serta juga benar berdasarkan eksperimen. Ilmu yang nyata artinya tidak tersembunyi, yang terdiri dari tiga jenis:
- Yang bisa diterima penglihatan mata.
- Yang disandarkan kepada pendengaran, yang juga disebut ilmu penyebaran.
- Yang disandarkan kepada akal, yang juga disebut ilmu eksperimen.
Tiga jalan ini (penglihatan, pendengaran dan akal) merupakan jalan ilmu dan pintu-pintunya. Tapi sebenarnya jalan ilmu tidak terbatas pada tiga hal ini. Sebab setiap indera bisa mendatangkan ilmu dan menjadi jalannya. Perbedaan ilmu dengan ma'rifat, bahwa ma'rifat merupakan inti ilmu. Penisbatan ilmu dengan ma'rifat seperti penisbatan iman dengan ih-san. Ma'rifah merupakan ilmu khusus, kaitan ma'rifah lebih tersembunyi daripada kaitan ilmu. Pengungkapan ma'rifah lebih sempurna daripada pengungkapan ilmu.
2. Ilmu khafy (yang tak tampak dan tersembunyi), yang tumbuh di dalam rahasia-rahasia yang suci dari badan yang suci pula, karena disirami air latihan yang murni, tampak dalam napas-napas yang benar, dimiliki orang-orang yang mempunyai hasrat yang tinggi, pada saat-saat yang senggang. Ini merupakan ilmu yang menampakkan hal yang gaib,meniadakan yang ada dan mengisyaratkan perpaduan. Ini merupakan ilmu yang tersembunyi bagi orang-orang yang ada pada derajat pertama, yang disebut ma'rifah. Makna rahasia di sini bisa berarti ruh, bisa berarti Allah dan bisa berarti apa yang tersembunyi antara hamba dan Allah. Dikatakan rahasiarahasia yang suci, karena ia suci dari kekotoran dunia dan kesibukan-nya yang bisa menghambat ruh dari tempatnya yang menyenangkan. Makna badan yang suci ialah yang suci karena ketaatan kepada Allah dan yang tumbuh karena makanan yang halal. Selagi badan terbebas dari hal-hal yang haram dan kotor, yang dilarang agama, akal dan sifat kesatria, tentu hati akan menjadi suci, sehingga ia bisa ditaburi benih ilmu dan ma'rifah. Jika kemudian disirami dengan air latihan dan penempatan yang sesuai dengan syariat, maka orangnya bisa memetik hasil dan manfaat yang banyak. Tampak dalam napas-napas, maksud napas di sini ialah napas dzikir dan ma'rifah, atau napas cinta dan kehendak. Adapun napas yang benar ialah kebebasannya dari noda dan kotoran keduniaan. Maksud orang-orang yang memiliki hasrat yang tinggi ialah yang tidak bergantung kepada selain Allah, tidak menuju selain Allah dalam perjalanannya. Hasrat yang paling tinggi ialah yang berkaitan dengan Allah Yang Maha tinggi. Sedangkan hasrat yang paling luas ialah yang berkaitan dengan kemaslahatan hamba. Ini merupakan hasrat para rasul dan pewaris mereka. Maksud saat-saat senggang adalah saat-saat yang suci bersama Allah, waktu-waktu bermunajat dengan Allah. Menampak-kan yang gaib artinya mengungkap sesuatu yang gaib sehingga dapatdiketahui. Meniadakan yang ada artinya meniadakan kesaksian terhadap hal-hal selain Allah.
3. Ilmu ladunny. Jalan ilmu ini adalah keberadaannya, pengetahuannya adalah kesaksiannya, sifatnya adalah hukumnya. Antara ilmu ini dan antara yang gaib tidak ada hijab. Ilmu ladunny diisyaratkan kepada ilmu yang diperoleh hamba tanpa menggunakan sarana, tapi berdasarkan ilham dari Allah, yang diperkenalkan Allah kepada hamba-Nya, seperti ilmu Khidhir yang diperoleh tanpa sarana seperti halnya Musa. Allah befirman : "Telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (Al-Kahfi: 65)
Min ladunhu berupa kekuasaan yang menolong, sedangkan min indihi berupa pertolongan yang diberikan kepada orang-orang Mukmin. Ilmu ladunny merupakan buah ubudiyah, kepatuhan, kebersamaan dengan Allah, ikhlas karena-Nya dan berusaha mencari ilmu dari misykat Rasul-Nya serta ketundukan kepada beliau. Dengan begitu akan dibukakan kepadanya pemahaman Al-Kitab dan As-Sunnah, yang biasanya dikhususkan pada perkara tertentu. Ali bin Abu Thalib pernah ditanya seseorang, "Apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan kekhususan tertentu tentang suatu perkara kepada kalian, yang tidak diberikan kepada selain kalian?" Maka dia menjawab, "Tidak. Demi yang membelah biji-bijian dan menghembuskan angin, selain dari pemahaman tentang Al-Qur'an yang diberikan Allah kepada hamba-Nya." Inilah yang disebut ilmu ladunny yang hakiki, yaitu ilmu yang dating dari sisi Allah, ilmu tentang pemahaman Kitab-Nya. Sedangkan ilmu yang menyimpang dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, tidak diikat dengan keduanya, maka itu datang dari hawa nafsu dan syetan. Memang bias saja disebut ilmu ladunny. Tapi dari sisi siapa? Suatu ilmu bisa diketahui sebagai ilmu ladunny, jika ia sesuai dengan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang berasal dari Allah. Jadi ilmu ladunny ada dua macam: Dari sisi Allah, dan dari sisi syetan. Materinya disebut wahyu. Sementara tidak ada wahyu setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Tentang kisah Musa dengan Khidhir, maka bergantung kepada kisah ini untuk memperbolehkan ketidak butuhan wahyu kepada ilmu ladunny, merupakan kufur yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Perbedaannya, Musa tidak diutus sebagai rasul kepada Khidhir dan Khidhir tidak diperintah untuk menjadi pengikut Musa. Andaikan
Khidhir diperintahkan menjadi pengikut Musa, tentunya Khidhir diperintahkan untuk mendatangi Musa dan hidup bersama beliau. Karena itu Khidhir bertanya kepada Musa, "Kamukah Musa, nabi Bani Israel?" Musa menjawab, "Ya."
Sementara Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam diutus kepada semua manusia. Risalah beliau diperuntukkan bagi jin dan manusia di setiap zaman. Andaikan Musa dan Isa masih hidup, tentu keduanya menjadi pengikut beliau. Andaikan Isa bin Maryam turun ke bumi, tentu Isa akan menerapkan syariat beliau. Maka siapa yang beranggapan bahwa Isa dengan Muhammad sama seperti Musa dengan Khidhir, atau memperbolehkan anggapan seperti ini, maka hendaklah dia memperbarui Islamnya dan mengucapkan syahadatain sekali lagi secara benar. Karena dengan anggapan seperti itu dia telah keluar dari Islam secara total, dan sama sekali tidak bisa disebut wali Allah, tapi wali syetan.
Maksud perkataan, "Pengetahuannya adalah kesaksiannya", bahwa ilmu ini tidak bisa diambil dengan pemikiran dan kesimpulan, tapi dengan melihat dan menyaksikannya.
Maksud perkataan, "Sifatnya adalah hukumnya", bahwa sifat-si-fatnya tidak bisa diketahui kecuali dengan hukum-hukumnya, sifatnya terbatas pada hukumnya, saksinya adalah hukumnya. Hukum ini meru-pakan dalil, sehingga antaranya dan hal-hal yang tidak tampak tidak ada hijab. Berbeda dengan ilmu-ilmu lain.
Inilah yang diisyaratkan orang-orang, bahwa ilmu ini merupakan cahaya dari sisi Allah, yang mampu menghapus kekuatan indera dan hukum-hukumnya. Inilah makna yang diisyaratkan dalam atsar Ilahy : "Jika aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dia pergunakan untuk melihat...."
Ilmu ladunny yang datang dari Allah merupakan buah cinta ini, yang muncul karena mengerjakan nafilah setelah fardhu. Sedangkan ilmu ladunny yang datang dari syetan merupakan buah berpaling dari wahyu, mementingkan hawa nafsu dan memberi kekuasaan kepada syetan.
Hikmah
Allah befirman tentang hikmah ini : "Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan, barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak." (Al-Baqarah: 269).
"Dan, telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan, adalah karunia Allah sangat besar atasmu." (An-Nisa': 113).
Allah befirman tentang Isa Alaihis-Salam : "Dan, Allah akan mengajarkan kepadanya Al-Kitab, hikmah, Taurat dan Injil." (Ali Imran: 48).
Hikmah di dalam Al-Qur'an ada dua macam: Yang disebutkan sendirian, dan yang disusuli dengan penyebutan Al-Kitab. Yang disebutkan sendirian ditafsiri nubuwah, tapi ada pula yang menafsiri ilmu Al-Qur'an.
Menurut Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, hikmah adalah ilmu tentang Al-Qur'an, yang nasikh dan mansukh, yang pasti maknanya dan yang tersamar, yang diturunkan lebih dahulu dan yang diturunkan lebih akhir, yang halal dan yang haram dan lain sebagainya.
Menurut Adh-Dhahhak, hikmah adalah Al-Qur'an dan pemahaman kandungannya. Menurut Mujahid, hikmah adalah Al-Qur'an, ilmu dan pemahaman. Dalam riwayat lain darinya, hikmah adalah ketepatan dalam perkataan dan perbuatan. Menurut An-Nakha'y, artinya makna segala sesuatu dan pemahamannya. Menurut Al-Hasan, hikmah adalah wara' dalam agama Allah.
Adapun hikmah yang disusuli dengan penyebutan Al-Kitab ialah petunjuk amal, akhlak dan keadaan. Begitulah yang dikatakan Asy-Syafi'y dan imam-imam yang lain.
Pendapat yang paling tepat tentang makna hikmah ini seperti yang dikatakan Mujahid dan Malik, yaitu: Pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, ketepatan dalam perkataan dan perbuatan. Yang demiki-an ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan memahami Al-Qur'an, men-dalami syariat-syariat Islam serta hakikat iman.
Hikmah ada dua macam: Yang bersifat ilmu dan yang bersifat amal. Yang bersifat ilmu ialah mengetahui kandungan-kandungan segala sesuatu, mengetahui kaitan sebab dan akibat, penciptaan dan perintah, takdir dan syariat. Sedangkan yang bersifat amal ialah seperti yang dikatakan pengarang Manazilus-Sa'irin, yaitu meletakkan sesuatu pada tempat yang semestinya.
Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, ada tiga derajat hikmah, yaitu:
1. Engkau memberikan kepada segala sesuatu sesuai dengan haknya, tidak melanggar batasannya, tidak mendahulukan dari waktu yang telah ditetapkan dan tidak pula menundanya. Karena segala sesuatu itu mempunyai tingkatan dan hak, maka engkau harus memenuhinya sesuai dengan takaran dan ketentuannya. Karena segala sesuatu mempunyai batasan dan kesudahan, maka engkau harus sampai ke batasan itu dan tidak boleh melampauinya. Karena segala sesuatu mempunyai waktu, maka engkau tidak boleh mendahulukan atau menundanya. Yang disebut hikmah adalah mem-perhatikan tiga sisi ini. Ini hukum secara umum untuk seluruh sebab dan akibatnya, menu-rut ketentuan Allah dan syariat-Nya. Menyia-nyiakan hal ini berarti menyia-nyiakan hikmah, sama dengan menyia-nyiakan benih yang ditanam dan tidak mau menyirami tanah. Melampaui hak seperti menyirami benih melebihi kebutuhannya, sehingga benih itu terendam air, yang justru akan membuatnya mati. Mendahului dari waktu yang ditentukan seperti memanen buah sebelum masak. Begitu pula meninggalkan makanan, minuman dan pakaian, merupakan tindakan yang melanggar hikmah dan melampaui batasan yang diperlukan. Jadi yang disebut hikmah ialah berbuat menurut semestinya, dengan cara yang semestinya dan pada waktu yang semestinya. Allah telah
mempusakakan hikmah kepada Adam dan anak keturun-annya. Orang laki-laki yang sempurna ialah yang mempunyai hak waris secara sempurna dari ayahnya. Separoh laki-laki, seperti wanita, memperoleh separoh warisan. Hanya Allahlah yang mengetahui banyak-nya perbedaanperbedaan dalam masalah ini. Makhluk yang paling sempurna dalam pusaka hikmah ini adalah para rasul dan nabi. Yang paling sempurna diantara para rasul adalah Ulul-Azmi. Yang paling sempurna di antara Ulul-Azmi adalah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Karena itu Allah mengaruniakan hikmah kepada beliau dan umatnya, sebagaimana firman-Nya : "Sebagaimana Kami telah mengutus kepada kalian Rasul di antara kalian, yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian dan mensucikan kalian dan mengajarkan kepada kalian Al-Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kalian apa yangbelum kalian ketahui." (Al-Baqarah: 151). Setiap tatanan alam berkaitan dengan sifat ini, dan setiap celah di alam ini dan pada diri hamba merupakan penyimpangan dari sifat ini. Orang yang paling sempurna ialah yang paling banyak memiliki hikmah, dan yang paling tidak sempurna ialah yang paling sedikit menerima warisan hikmah. Hikmah mempunyai tiga send i: Ilmu, ketenangan dan kewibawaan. Kebalikannya adalah kebodohan, kegabahan dan terburu-buru.
2. Mempersaksikan pandangan Allah tentang janji-Nya, mengetahui keadilan Allah dalam hukum-Nya dan memperhatikan kemurahan hati Allah dalam penahanan-Nya. Artinya, engkau bisa mengetahui hikmah dalam janji dan ancaman Allah serta menyaksikan hukum-Nya dalam firman-Nya : "Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar." (An-Nisa': 40). Dengan begitu engkau bisa menyaksikan keadilan Allah dalam ancaman- Nya, kemurahan Allah dalam janji-Nya, dan semua dilandaskan kepada hikmah-Nya. Engkau juga bisa mengetahui keadilan Allah dalam hukum-hukum syariat-Nya dan hukum-hukum alam yang berlaku pada semua makhluk, yang di dalamnya tidak ada kezhaliman dan kesewenang-wenangan, termasukpula hukum-hukum yang diberlakukan terhadap orang-orang yang zhalim sekalipun. Allah adalah yang paling adil dari segala yang adil. Allah juga murah hati, yang simpanan-Nya tidak akan berkurang karena pemberian-Nya. Allah tidak memberikan karunia kepada seseorang melainkan berdasarkan hikmah, karena Allah Maha Murah hati dan Maha Bijaksana. Hikmah-Nya tidak bertentangan dengan kemurahan-Nya. Allah tidak meletakkan kemurahan dan karunia-Nya kecuali di tempat yang semestinya dan sesuai dengan waktunya, sesuai dengan takdir yang ditentukan hikmah-Nya. Andaikan Allah memben-tangkan rezki untuk semua hamba-Nya, tentu mereka semua akan bina-sa dan rusak. Sekiranya Allah mengetahui pada diri orang-orang kafir terdapat kebaikan dan mau menerima nikmat iman serta syukur ke-pada-Nya atas nikmat ini, cinta dan
pengakuan kepada-Nya, tentu Dia akan menunjukkan mereka kepada iman. Karena itu mereka bertanya kepada orang-orang Mukmin, "Orang-orang semacam inikah di anta-ra kita yang diberi anugerah oleh Allah?" Lalu Allah menjawab dengan firman-Nya,"Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?" (Al-An'am: 53). Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Mereka itulah orang-orang yang mengetahui kadar nikmat iman dan mere-ka bersyukur kepada Allah atas nikmat ini." Allah tidak memberi melainkan berdasarkan hikmah-Nya, tidak menahan melainkan berdasarkan hikmah-Nya, dan tidak menyesatkan melainkan berdasarkan hikmah-Nya pula.
3. Dengan tuntutan bukti engkau bisa mencapai bashirah, dengan petunjukmu engkau bisa mencapai hakikat, dan dengan isyaratmu engkau bisa mencapai sasaran. Artinya, dengan tuntutan dalil dan bukti engkau bisa mencapai dera-jat ilmu yang paling tinggi, yang juga disebut bashirah, yang penisbat-an ilmu dengan hati sama dengan penisbatan obyek pandangan ke pandangan mata. Ini merupakan kekhususan yang dimiliki para shahabat dan tidak dimiliki selain mereka dari umat Islam, dan bashirah ini merupakan derajat ulama yang paling tinggi. Allah befirman : "Katakanlah, 'Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan bashirah'." (Yusuf: 108). Dengan kata lain, aku dan para pengikutku ada pada bashirah. Tapi ada pula yang berpendapat, bahwa aku menyeru kepada Allah berdasarkan bashirah, dan orang yang mengikutiku juga mengajak kepada Allah berdasarkan bashirah. Pendapat mana pun yang lebih pas dari dua pendapat ini, yang pasti para pengikut beliau adalah orang-orang yang memiliki bashirah, yang menyeru kepada Allah berdasarkan bashirah. Dengan petunjukmu engkau bisa mencapai hakikat, artinya jika engkau memberikan petunjuk kepada orang lain, maka engkau bisa mencapai hakikat. Begitu pula sebaliknya, yaitu jika ada orang lain yang memberimu petunjuk, maka engkau bisa mencapai hakikat.
Firasat
Allah telah befirman kaitannya dengan tempat persinggahan firasat ini "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tandatanda." (Al-Hijr: 75).
Menurut Mujahid, mutawassimin (orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda) di dalam ayat ini artinya orang-orang yang memiliki firasat. Menurut Ibnu Abbas, artinya orang-orang yang memandang. Menurut Qatadah, artinya orang-orang yangmengambilpelajaran. Menurut Muqatil, artinya orang-orang yang berpikir.
Tidak ada yang menyimpang dalam pendapat-pendapat ini. Sebab orang yang memandang dan memperhatikan akibat dan kesudahan yang dialami orang-orang yang mendustakan, tentu akan mendapatkan fira-sat dan pelajaran serta pemikiran.
Allah befirman tentang orang-orang munafik : "Dan, kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan
tanda-tandanya, dan kamu benar-benar mengenal mereka dengan kiasankiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kalian." (Muhammad: 30).
Mengenal yang pertama merupakan firasat pandangan dan mata, sedangkan mengenal yang kedua merupakan firasat telinga dan pendengaran.
Firasat ada tiga macam:
Firasat Pertama: Berkaitan dengan iman. Sebabnya adalah cahaya yang dimasukkan Allah ke dalam hati hamba, sehingga dia bisa membedakan antara yang haq dan batil, yang jujur dan yang dusta. Hakikatnya, firasat ini menyusup ke dalam hati dan menajikan kebalikannya, melom-pat ke dalam hati seperti melompatnya singa ketika menerkam mang-sanya. Firasat ini tergantung pada kekuatan iman. Siapa yang imannya lebih kuat, maka firasatnya lebih tajam.
Abu Sa'id Al-Kharaz berkata, "Siapa yang memandang dengan cahaya firasat, maka dia memandang dengan cahaya kebenaran." Al-Wasithy berkata, "Firasat merupakan pancaran cahaya yang menyusup ke dalam hati, yang memungkinkan dapat mengetahui raha-siarahasia dalam hal-hal yang gaib, dari yang gaib kepada yang gaib, hingga dia dapat mengetahui sesuai seperti yang diperlihatkan Allah kepadanya."
Amr bin Najid menuturkan bahwa Syah Al-Karmany termasuk orang yang tajam firasatnya dan tidak pernah meleset. Dia pernah berkata, "Siapa yang menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan, menahan diri dari nafsu, mengisi batinnya dengan pengawasan Allah dan zhahir-nya dengan mengikuti As-Sunnah serta biasa memakan yang halal, maka firasatnya tidak akan meleset."
Abu Hafsh An-Nisabury berkata, "Seseorang tidak boleh membual tentang firasat, tetapi dia harus takut firasat dari orang lain. Sebab NabiShallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda, "Takutlah kalian terhadapfirasat orang Mukmin, karena dia memandang dengan cahaya Allah."Beliau tidak mengatakan, "Berfirasatlah kalian. Maka bagaimana mungkin seseorang membual mendapatkan firasat, padahal dia dalam posisi yang
harus mewaspadai firasat?"
Suatu hari Al-Junaid berbicara dengan beberapa orang. Lalu ada seorang Nasrani yang berdiri di hadapannya dengan sikap yang tidak kompromis, seraya bertanya, "Wahai Syaikh, apa makna sabda Muhammad, 'Takutlah kalian terhadap firasat orang Mukmin, karena dia memandang dengan cahaya Allah?'" Al-Junaid menundukkan kepala beberapa saat, lalu dia mengangkatnya lagi seraya berkata, "Masuklah Islam, karena kini sudah tiba saatnya bagimu untuk masuk Islam." Maka orang Nasrani itu pun masuk Islam.
Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah orang yang paling besar firasatnya dari umat ini. Sesudahnya adalah Umar bin Al-Khaththab. Tentang kete-patan firasat Umar ini sudah
sangat terkenal. Jika dia berkata, "Kukira begini", maka yang terjadi pun seperti yang dikatakannya itu. Bahkan firasat Umar ini juga sesuai dengan apa yang ditetapkan Allah. Firasat para shahabat adalah yang paling benar.
Dasar jenis firasat ini berasal dari kehidupan dan cahaya yang dianugerahkan
Allah kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya, sehing-ga hati mereka menjadi hidup, bersinar dan bercahaya, sehingga ham-pirhampir firasatnya tidak meleset.
Firasat Kedua: Firasat dengan cara latihan, membuat perut lapar, tidak tidur malam dan menyendiri. Jika jiwa dibebaskan dari segala macam kaitan, maka ia akan memiliki firasat dan pengungkapan hakikat, tergantung dari porsinya. Firasat ini bisa didapatkan orang Mukmin dan kafir, tidak menunjukkan kepada iman. Banyak orang bodoh yang terkecoh dengan firasat ini, karena banyak pendeta yang juga memiliki kejadiankejadian yang menakjubkan. Ini merupakan firasat yang tidak mengungkap
kebenaran yang bermanfaat dan tidak dengan cara yang lurus.
Firasat Ketiga: Yang berkaitan dengan bentuk penciptaan, yaitu seperti yang diisyaratkan para dokter dan lain-lainnya. Mereka mengacu kepada bentuk penciptaan untuk mengetahui akhlak, karena memang ada kaitan yang erat antara keduanya, sesuai dengan hikmah yang ditetapkan Allah, seperti pembuktian dengan kecilnya ukuran kepala yang lebih kecil dari ukuran secara normal, yang membuktikan kecilnya ukuran otak, yang berarti menunjukkan sempitnya pikiran. Begitu pula sebaliknya.
Kebanyakan firasat dikaitkan dengan mata, karena mata merupakan cermin hati dan tanda yang tersimpan di dalamnya. Berikutnya dengan lisan, karena lisan merupakan utusan dan penerjemahnya. Dasar firasat juga bisa dikaitkan dengan penampilan, keliaran, keadaan rambut dan lain sebagainya. Tapi masalah ini harus diperhatikan dan seseorang tidak boleh langsung membuat keputusan berdasarkan firasat semata. Sebab dalam keadaan seperti kesalahannya lebih banyak. Tanda-tanda ini hanya sekedar sebagai sebab dan bukan sesuatu yang pasti, yang hu-kumnya berbeda tergantung dari perbedaan syarat-syaratnya atau karena adanya perintang.
Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Firasat ialah menyimak hukum sesuatu yang tidak ada di tempat, tanpa meminta bukti kehadiran-nya." Maksudnya, jika engkau bisa melihat hukum sesuatu yang tidak ada di tempat. Jika dengan cara menyimak itu engkau bisa mengetahui hukumnya, maka itulah yang disebut firasat. Jika dengan mata, maka itu namanya melihat.
Menurut Syaikh, ada tiga derajat firasat, yaitu:
1. Firasat yang datang jarang-jarang, yang turun di lisan seseorang yang tidak beradab, sekali sepanjang hidupnya, karena kebutuhan yang ingin didengarkan orang yang hendak mengadakan perjalan kepada Allah secara benar, tidak tergantung kepada sebab pemaparannya, mendatangkan tanda kebaikan. Tapi hal ini tidak bisa lepas dari perdukunan atau yang serupa dengan perdukunan, sebab yang demikian itu tidak
muncul dari isyarat mata. Yang dimaksudkan Syaikh adalah firasat yang dinyatakan orang-orang yang lalai, yang tidak memiliki kesadaran hati, yang datang jarangjarang, yang lisannya tidak tersentuh dzikir kepada Allah, yang hati-nya tidak merasa tenang dan di luar kesengajaannya. Tentang firasat yanmendatangkan tanda kebaikan, sesungguhnyaRasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga menyukai tanda kebaikan dan taajub kepadanya. Memang dalam hal ini juga termasuk ra-malan yang buruk. Tetapi orang Mukmin tidak meramal yang buruk, karena meramal yang buruk itu termasuk syirik. Apa yang didengar dari ramalan ini tidak boleh menghalangi tujuan dan kebutuhannya. Tapi dia harus bertawakal kepada Allah dan percaya kepada-Nya serta menyingkirkan keburukan ramalan yang buruk dengan tawakal itu. Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu, dari Nabi ShallallahuAlaihi wa Sallam, beliau bersabda, "Ramalan yang buruk itu adalasyirik. Tidak termasuk golongan kami kecuali jika membebaskan diri darinya, tetapi Allah menyingkirkan-nya dengan tawakal."
2. Firasat yang diperoleh karena menanam iman, yang muncul karena keadaan yang baik dan yang berbinar karena cahaya pengungkapan.Firasat ini khusus bagi orang-orang yang beriman. Maka dikatakan, "Yang diperoleh karena menanam iman". Iman diserupakan dengan tanaman, karena tanaman itu bisa tumbuh dan berkembang, bisa bersih karena disirami, bisa memberikan hasilnya setiap saat menurut izin Rabb-nya, yang akarnya menancap kuat di bumi dan yang cabangcabangny menjulang di langit. Siapa yang menanam iman di tanah hatinya yang baik dan subur, menyiraminya dengan air keikhlasan shidq dan mengikuti perintah, maka sebagian di antara buah yang akan dipetiknya adalah firasat ini. Benarnya firasat berasal dari benarnya keadaan. Selagi keadaan lebih baik, maka firasat pun semakin baik pula. Inilah makna firasat yan muncul dari keadaan yang baik. Yang berbinar karena cahaya pengungkapan, artinya cahaya pengungkapan termasuk sejumlah buah yang dihasilkan firasat. Kekuatan firasat tergantung dari kekuatan cahaya ini dan kelemahannya. Sedangkan kekuatan cahaya itu dan kelemahannya tergantung pada kekuatan dan kelemahan materinya.
3. Firasat orang yang mulia, yang tidak bisa didatangkan oleh pikiran, dinyatakan orang pilihan, baik dengan pernyataan yang jelas maupun melalui simbol-simbol. Firasat orang yang mulia ini merupakan salah satu dari dua ta'wil tentang firman Allah, "Sesungguhnya Rabbmu telah menjadikamnupemimpin yang ditaati." (Maryam: 24). Yang dimaksudkan di dalam ayat ini adalah Al-Masih. Firasat ini tidak bisa didatangkan oleh pikiran, tapi masuk ke dalam hati tanpa diketahui penyebabnya. Orang pilihan yang mengabarkan firasat ini terkadang menyatakannya secara langsung dan jelas dan terkadang dengan isyarat, karena hendak menutupi keadaannya atau menjaga apa yang dikabarkannya.
Pengagungan
Tempat persinggahan ini mengikuti ma'rifat. Seberapa banyak ma'rifat yang dimiliki seorang hamba, maka sebanyak itu pula ada pengagungan terhadap Allah di dalam hatinya. Hamba yang paling mengetahui Allah adalah yang paling banyak pengagungan kepada-Nya. Allah telah mencela orang yang tidak mengagungkan-Nya sesuai dengan hak keagungan-Nya, mencela orang yang tidak mengetahui-Nya sesuai dengan hak pengetahuan tentang-Nya, mencela orang yang tidak mensifati Allah sesuai dengan hak sifat-Nya, padahal perkataan mereka berkisar pada masalah ini. Firman Allah: "Mengapa kalian tak percaya akan kebesaran Allah?" (Nuh: 13).
Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, artinya: Mengapa kalian tidak percaya bahwa Allah mempunyai kebesaran? Menurut Sa'id bin Jubair, artinya: Mengapa kalian tidak mengagungkan Allah sesuai dengan hak keagungan-Nya? Menurut Al-Kalby, artinya: Mengapa kalian tidak takut keagungan milik Allah? Menurut Al-Hasan, artinya: Kalian tidak mengetahui hak Allah, dan kalian tidak mensyukuri nikmat-Nya.
Ruh ibadah adalah pengagungan dan cinta. Jika satu di antara keduanya tidak menyertai yang lainnya, maka ibadah itu akan rusak dan gugur. Jika keduanya diberikan kepada yang dicintai dan diagungkan, maka itufah hakikat pujian.
Pengarang Manazilus-Sa'irin mengatakan, "Pengagungan artinya mengetahui keagungan dan tunduk kepada keagungan itu." Menurutnya ada tiga derajat pengagungan, yaitu:
1. Pengagungan perintah dan larangan, yaitu tidak menentangnya dengan mencari-cari keringanan yang bersifat mengabaikan dan dengan kekerasan yang berlebih-lebihan serta tidak menafsiri dengan alas an tertentu yang bisa melemahkan ketundukan. Inilah tiga perkara yang menajikan pengagungan perintah dan larangan:
- Mencari-cari keringanan yang membuat pelakunya tidak mengikuti secara sempurna.
- Bertindak secara berlebih-lebihan yang membuat pelakunya melang-gar batas perintah dan larangan.
- Mena'wili perintah dan larangan dengan alasan tertentu.
Yang pertama disebut tafrith (mengabaikan) dan yang kedua disebut ifrath (berlebih-lebihan). Allah tidak menurunkan suatu perintah me- lainkan syetan mempunyai kecenderungan di dalamnya, entah kepada pengabaian, entah kepada sikap berlebih-lebihan. Sementara itu, agama Allah ada di tengah-tengah di antara dua sisi ini, seperti lembah yang terletak di antara dua gunung atau seperti jalan lurus di antara dua jalan yang menyesatkan. Allah telah melarang sikap berlebih-lebihan sebagaimana firman-Nya : "Hai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cara tidak benar dalam agama kalian." (Al-Maidah: 77).
Berlebih-lebihan ada dua macam:
- Yang mengeluarkan seseorang dari keadaannya sebagai orang yang taat, seperti menambah satu rakaat dalam shalat dari yang semestinya, puasa pada hari-hari yang dilarang berpuasa, sa'i antara Shafa dan Marwah sebanyak sepuluh kali dan lain-lainnya, yang dilakukan secara sengaja.
- Berlebih-lebihan karena takut ada kerugian, seperti shalat malam sepanjang malam, terus-menerus berpuasa sekalipun tidak berpuasa pada hari-hari yang dilarang berpuasa, bertindak semena-mena terhadap diri sendiri dalam beribadah dan membaca wirid dan lain sebagainya. Inilah yang disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam seperti yang diriwayatkan Al-Bukhary : "Sesungguhnya agama ini mudah. Sekali-kali seseorang tidak mengeraskan agama melainkan dia akan dikalahkan. Maka berkatalah yang benar, bertaqarrublah, permudahlah, dan memohonlah pertolongan pada pagi dan petang hari serta pada sebagian akhir malam." Beliau juga bersabda: "Hendaklali salah seorang di antara kalian shalat sesuai dengan kerajinannya. jika merasa lemah, maka hendaklali dia berbaring." (Diriwayatkan Al-Bukhary).
Perintah dan larangan juga tak boleh dita'wili dengan alasan tertentu, seperti sebagian orang yang mena'wili larangan khamr, karena bias menimbulkan permusuhan dan perkelaian serta menimbulkan keru- sakan. Jika tidak ada dampak-dampak ini, maka khamr boleh diminum.
2. Pengagungan hukum, yaitu tidak dicari yang bengkok, tidak ditolak dengan ilmu dan tidak diridhai penggantinya. Derajat pertama mengandung pengagungan hukum agama dan syari-at. Sedangkan derajat ini mengandung pengagungan hukum alam dan takdir Allah. Hal ini dikhususkan pengarang dengan sebutan hukum. Di samping keharusan hamba memperhatikan hukum agama, dengancara mengagungkannya, maka dia juga harus memperhatikan hokum alam, yang pengagungannya dengan tiga cara:
- Tidak mencari atau melihat adanya hukum alam yang bengkok dan menyimpang, tapi seorang hamba harus melihat semua hukum alam itu lurus, karena ia keluar dari hikmah yang tidak mengenal penyimpangan dan pembengkokan. Mungkin menurut sebagian orang hal ini sulit diterima. Sebagian orang yang mengingkari takdir beranggapan bahwa dalam penciptaan Allah Yang Maha Pengasih tidak ada sesuatu yang tidak seimbang dan bengkok. Kufur dan kedurhakaan merupakan ketidakseimbangan yang paling besar. Berarti hal ini bukan termasuk penciptaan, kehendak dan takdir-Nya. Golongan lain yang berbeda dengan mereka berkata, bahwa hal ini termasuk penciptaan Allah dan takdir-Nya, dan tidak ada ya menyimpang dalam kedurhakaan itu. Semua yang ada di alam ini
adalah lurus. Dua golongan ini sama-sama sesat, menyimpang dari petunjuk yang lurus. Bahkan golongan yang kedua lebih jauh penyimpang sebab mereka menjadikan kufur dan kedurhakaan sebagai jalan lurus dan bukan jalan yang bengkok serta menyimpang. Karena dua golongan ini tidak memilah antara qadha' dan yang diberi ketetap-an qadha', antara hukum yang dihukumi, membuat mereka menyimpang semuanya.
- Tidak ditolak dengan ilmu. Dengan kata lain, qadha' dan qadar Allah serta hukum alam-Nya tidak bertentangan dengan agama, syariat dan hukum agama-Nya, yang memungkinkan terjadinya penolakan dan pertentangan di antara keduanya. Ini merupakan kehendak-Nya yangberkaitan dengan alam, dan itu merupakan kehendak-Nya yanberkaitan dengan agama. Sekalipun keduanya saling berbeda, tapi pengagungan masing-masing di antara keduanya tidak harus menentangkan yang satu dengan yang lain, karena keduanya merupakan sifat bagi Allah, dan sifat-sifat Allah tidak saling bertentangan.
- Tidak diridhai penggantinya. Artinya orang yang sudah sampai pada kesaksian hukum, maka dia tidak akan menuntut penggantinya dan tidak menyembah Allah dengan mencari pengganti.
3. Pengagungan Allah, yaitu tidak menjadikan selain-Nya sebagai sebab, tidak melihat adanya hak atas-Nya dan tidak menentang pilihan-Nya. Derajat ini merupakan pengagungan Allah yang menjadi penentu hukum, yang mencipta dan yang memerintah, yang sebelumnya mencakup pengagungan qadha'-Nya. Pengagungan Allah ini meliputi tiga perkara:
- Tidak menjadikan selain-Nya sebagai sebab. Artinya, janganlah engkau menjadikan sesuatu selain Allah sebagai sebab untuk berhubungan dengan-Nya, tapi Dialah yang.menjadi penghubung hamba kepada- Nya. Tidak boleh ada yang menjadi penghubung kepada Allah selain Allah. Selain Allah tidak boleh dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Tidak ada yang menunjukkan tentang Allah kecuali Allah. Selain-Nya tidak bisa menjadi petunjuk kepada-Nya dan selain-Nya tidak bisa mendekatkan kepada-Nya. Allahlah yang menjadikan sebab sebagai sebab.
- Tidak melihat hak atas-Nya. Dengan kata lain, siapa pun tidak boleh merasa mempunyai hak atas Allah. Tapi Allahlah yang mempunyai hak atas makhluk-Nya. Dalam atsar di kalangan kaum Isra'il disebutkan, bahwa Daud Alaihis-Salam berkata, "Ya Rabbi, demi hak bapak-bapakku atas-Mu." Maka Allah mewahyukan kepada beliau, "Hai Daud, apa hak bapak-bapakmu atas Aku? Bukankah Aku yang memberi mereka petunjuk, menganugerahi dan memilih mereka? Akulah yang mempunyai hak atas mereka." Sekalipun begitu hamba tetap mempunyai hak atas Allah, seperti memberikan pahala kepada hamba-hamba yang taat, menerima taubat di antara mereka yang bertaubat dan memenuhi doa mereka. Inilah hak-hak terpenting yang dipenuhi Allah, sesuai dengan hokum janji dan kemurahan-Nya, bukan karena itu semua merupakan hak yang bisa dituntut dari-Nya. Jadi yang pasti Allahlah yang mempunyai hak atas hamba. Sedangkan hak hamba atas Allah semata karena menurut ketentuan kemurahan dan kemuliaan Allah.
- Tidak menentang pilihan-Nya. Dengan kata lain, jika engkau meli hat bahwa Allah telah menentukan suatu pilihan bagimu atau bagi orang lain, maka janganlah engkau
menentang atau menolak pilih an-Nya itu, tapi ridhalah dengan pilihan-Nya bagi dirimu, karena yang demikian ini mencerminkan pengagungan terhadap Allah.
Sakinah
Sakinah (ketenangan) termasuk tempat persinggahan pemberiandan bukan pencarian dan usaha. Allah telah menyebutkan kata sakinah ini di enam tempat dalam Kitab-Nya, yaitu: "Dan, Nabi mereka mengatakan kepada mereka, 'Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya Tabut kepada kalian, yang di dalamnya terdapat ketenangan dari Rabbmu'." (Al-Baqarah: 248).
"Kemudian Allah menuninkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman." (At-Taubah: 26).
"Di waktu dia berkata kepada temannya, 'Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita'. Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepadanya (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya." (At-Taubah: 40).
"Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang yang beriman, supaya keimanan mereka bertambah di samping keiman-an mereka (yang telah ada)." (Al-Fath: 4).
"Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawahpohon, maka Allah menge-tahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenang-an yang dekat (waktunya)." (Al-Fath: 18).
"Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan Jahiliyah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang Mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa." (Al-Fath: 26).
Jika Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah menghadapi masalah yang berat, maka dia membaca ayat-ayat yang di dalamnya terkandung ketenangan. Saya sendiri pernah mencoba membaca ayat-ayat ini untuk mengenyahka kegundahan di dalam hati. Maka saya bisa merasakan pengaruhnya yang amat besar dalam mendatangkan ketenangan.
Makna sakinah adalah ketenangan dan thuma'ninah yang diturunkan Allah ke dalam hati hamba-Nya ketika mengalami keguncangan dan kegelisahan karena ketakutan yang mencekam. Setelah itu dia tidak lagi merasakannya, karena ketakutan itu sudah disingkirkan, sehingga menambah imannya, kekuatan keyakinan dan keteguhan hatinya. Karena itu Allah mengabarkan ketenangan yang diturunkan-Nya kepada Ra-sulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kepada orang-orang Mukmin ketika mereka dalam keadaan cemas dan gelisah, seperti saat hij rah, yaitu ketika beliau dan Abu Bakar bersembunyi di dalam gua, sementara musuh-musuh beliau ada di atas kepala. Andaikan
di antara mereka ada yang melongok ke bawah, tentulah mereka akan melihat beliau dan Abu Bakar. Begitu pula pada saat perang Hunain, karena pasukan Muslimin melari-kan diri setelah mendapatkan gempuran serangan musuh. Sebagian di antara mereka tidak mempedulikan nasib sebagian yang lain. Begitu pula saat perjanjian Hudaibiyah, ketika hati mereka dirasuki perasaan cemas dan gelisah atas sikap orang-orang kafir, yang memaksakan syarat-syarat perjanjian yang harus diterima orang-orang Muslim.
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, "Setiap sakinah yang
disebutkan di dalam Al-Qur'an berarti thuma'ninah atau ketenangan, kecuali yang disebutkan di dalam
Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Sakinah merupakan istilah untuk tiga perkara:
- Sakinah Bani Israel yang dimasukkan ke dalam Tabut.
- Sakinah yang disampaikan kepada orang yang sedang dibicarakan, bukan termasuk sesuatu yang bisa dicari dan dimiliki, tapi merupakan anugerah dari Allah, yang diturunkan ke lisan orang yang benar, seperti wahyu yang diturunkan ke dalam hati para nabi. Jika sakinah ini turun ke dalam hati seseorang, maka dia menjadi tenang, tunduk dan pasrah, lisannya tidak mengatakan kecuali yang baik, seakan ada penghalang antara lisan itu dan perkataan-perkataan kotor dan kebatilan. Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata, "Kami saling membicarakan bahwa sakinah ini turun ke lisan Umar dan hatinya, lalu dia menyampaikannya."
- Sakinah yang turun ke dalam hati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallain dan hati orang-orang Mukmin. Sakinah ini merupakan sesuatu yang mampu menghimpun kekuatan dan ruh, menenangkan orang yang tadinya dicekam rasa takut, menghibur hati yang sedih dan gelisah serta menenangkan orang yang durhaka, lancang dan enggan. Syaikh menyebutkan bahwa sesuatu yang diturunkan Allah ke dalam hati Rasul-Nya dan hamba-hamba-Nya yang Mukmin, mencakup tiga makna: Cahaya, kekuatan dan ruh, yang menghasilkan tiga buah: Ketenangan orang yang takut, kegembiraan orang yang sedih dan ketenangan orang yang durhaka, lancang dan enggan. Dengan ruh sakinah ini ada kehidupan hati. Dengan cahayanya hati menjadi bersinar, dan dengan kekuatannya ada keteguhan dan hasrat. Dengan cahaya, seorang hamba bias
menyingkap bukti-bukti iman, hakikat keyakinan, bisa mem-bedakan antara yang haq dan batil, petunjuk dan kesesatan, keraguan dan keyakinan. Dengan kehidupan, menghasilkan kesadaran, pemikiran dan membuatnya waspada terhadap kelalaian. Dengan kekuatan, menghasilkan kelurusan, kejujuran dan ma'rifah yang benar, penguasaan jiwa dan membebaskannya dari aib dan kekurangan. Karena itu sakinah ini bias menambah keimanan yang sudah ada. Ketenangan kewibawaan yang diturunkan Allah sebagai sifat orang yang memilikinya, merupakan cahaya dari sakinah yang ketiga ini dan merupakan buahnya.
Menurut Syaikh, ada tiga derajat sakinah, yaitu:
1. Sakinah kekhusyu'an saat melaksanakan pengabdian, berupa memenuhi hak, mengagungkan dan menghadirkan hati. Yang dimaksudkan adalah ketenangan, kewibawaan dan kekhusyu'an yang diperoleh pelakunya karena berbuat kebajikan. Allah befirman : "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?" (Al-Hadid: 16).
Karena iman mengharuskan munculnya kekhusyu'an dan memang iman itu menyeru kepada kekhusyu'an, maka Allah menyeru mereka dari kedudukan iman ke kedudukan kebajikan. Dengan kata lain Allah befirman, "Belumkah tiba saatnya bagi mereka untuk mencapai kebajikan dengan iman?" Untuk mewujudkannya ialah dengan kekhusyu'an mereka saat mengingat apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Memenuhi hak artinya memenuhi hak pengabdian, yang zhahir maupun batin. Pengagungan pengabdian mengikuti pengagungan terhadap Allah yang disembah. Seberapa jauh pengagungan kepada Allah bersemayam di dalam hati hamba, maka sejauh itu pula pengagungannya terhadap pengabdian kepada-Nya. Menghadirkan hati ialah saat
menyaksikan Allah yang disembah, seakan-akan dia benar-benar da-pat melihat-Nya.
2. Sakinah saat bermu'amalah, dengan menghisab diri, lemah lembut terhadap makhluk dan memperhatikan hak Allah. Derajat inilah yang biasa digeluti orang-orang sufi dan yang menjadi ciri mereka dalam bermu'amalah dengan Allah serta dengan makhluk, yang bisa diperoleh dengan tiga perkara:
- Menghisab diri, sehingga dapat diketahui apa yang menjadi bagiannya dan apa kewajibannya. Kebersihan dan kesuciannya tergantung dari hisab ini. Al-Hasan berkata, "Demi Allah, engkau tidak melihat seorang Mukmin melainkan dia berdiri di hadapan diri sendiri seraya bertanya, "Apa yang kamu kehendaki dari kata ini? Apa yang kamu kehendaki dari sesuap makanan? Apa yang kamu kehendaki dengan masuk atau keluar dari suatu tempat?" Dengan hisab ini dia bisa mengetahui aib dan kekurangannya, lalu memungkinkan untuk membenahinya.
- Lemah lembut terhadap makhluk, sesuai dengan kelaziman dalam bermu'amalah dengan mereka, tidak memperlakukan mereka den keras dan kaku, karena cara ini justru
membuat mereka lari menghindar, merusak hati dan hubungan dengan Allah serta membuang buang waktu. Tidak ada yang lebih bermanfaat dalam bermu'amalah dengan manusia kecuali dengan lemah lembut. Hal ini harus diterapkan kepada orang asing, sehingga bisa merebut hati dan cintanya, atau terhadap sahabat dan kekasih, untuk menjaga kelangsungan hubungan dan kasih sayang, atau terhadap musuh dan orang yang membenci, untuk memadamkan kekerasannya dan menghentikan kejahatannya.
- Memperhatikan hak Allah. Hal ini bisa mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan di dunia maupun di akhirat. Dua tingkatan di atas tidak dianggap benar kecuali dengan memenuhi hak Allah.
3. Sakinah yang menguatkan keridhaan terhadap bagian dirinya, mencegah dari pembualan dan menempatkan orang yang memilikinya pada batasan ubudiyah. Sakinah ini tidak turun kecuali ke dalam hati nabi atau wali. Orang yang memiliki sakinah ini harus ridha kepada bagiannya dan tidak menoleh ke bagian yang diterima orang lain. Sehingga orang yang memiliki sakinah ini juga tidak membual. Sebab bualan muncul dari hati yang tidak memiliki sakinah. Orang yang memiliki sakinah ini juga tidak melanggar batasan ubudiyah. Jika dikatakan bahwa sakinah ini tidak turun kecuali ke dalam hati nabi atau wali, karena ini merupakan karunia Allah yang paling agung. Maka dari itu Allah tidak menjadikannya kecuali bagi Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin, seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur'an.
Thuma'ninah
Allah befirman tentang thuma'ninah (ketentraman) ini : "(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram." (Ar-Ra'd: 28).
"Hai jiwa yang tentram, kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hambahamba- Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (Al-Fajr: 27-30)
Thuma'ninah merupakan ketentraman hati terhadap sesuatu, tidak cemas dan gelisah. Di dalam atsar disebutkan, "Kejujuran merupakan ketentraman dan kebohongan merupakan kebimbangan."
Allah menjadikan thuma'ninah di dalam hati orang-orang yang
beriman dan di dalam jiwa mereka, lalu memberikan kabar gembira, bahwa yang masuk surga adalah orang-orang yang memiliki jiwa yang thuma'ninah. Firman Allah, "Hai jiwa yang tentram, kembalilah kepada Rabbmu", merupakan dalil bahwa jiwa itu tidak kembali kepada Allah kecuali jika dalam keadaan thuma'ninah. Maka di antara doa yang biasa diucapkan orang-orang salaf, "Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku jiwa yang thuma'ninah kepada-Mu."
Pengarang Manazilus-Sa'irin mengatakan, "Thuma'ninah adalah ketenangan yang dikuatkan rasa aman yang sesungguhnya, menyerupai pandangan mata secara langsung."
- Sakinah merupakan keadaan secara tiba-tiba yang terkadang disertai dengan hilangnya rasa takut. Sedangkan thuma'ninah merupakan pengaruh yang timbul dari adanya sakinah. Seakan-akan thuma'ninah merupakan puncak dari sakinah.
- Sebagai gambaran, keberuntungan yang diperoleh karena sakinah, seperti seseorang yang berhadapan dengan musuh. Ketika musuh lari darinya, maka hatinya menjadi tenang. Sedangkan thuma'ninah seperti benteng yang pintunya terbuka, lalu dia masuk ke dalamnya, sehingga dia merasa aman dari musuh. Thuma'ninali sifatnya lebih umum, karena ditunjang ilmu, pengabarannya, keyakinan dan keberuntungan. Maka dari itu hati menjadi thuma'ninah karena bacaan Al-Qur'an, karena ada iman kepadanya, mengetahuinya dan mendapat petunjuknya. Sedangkan sakinah merupakan keteguhan hati yang dapat mengusir rasa takut dan hilangnya kecemasan, seperti keadaan pasukan Allah yang dapat membunuh musuh.
Ada tiga derajat thuma'ninah, yaitu:
1. Thuma'ninah hati karena menyebut asma Allah. Ini merupakan thuma'ninah-nya orang takut yang beralih ke harapan, dari kegelisahan ke hukum dan dari cobaan ke pahala. Thuma'ninah bisa muncul karena menyebut asma Allah dan membaca Kitab-Nya. Tapi sifat thuma'ninah ini lebih umum dari sekedar menyebut asma Allah atau membaca Kitab-Nya. Jika seseorang dirundung rasa takut sekian lama, lalu Allah hendak mengenyahkan rasa takut-nya itu, maka Dia menurunkan sakinah kepadanya, sehingga hatinya menjadi tenang dan beralih ke harapan. Dengan begitu dia menjadi thuma'ninah dan merasa aman dari ketakutannya. Maksud kegelisahan yang beralih ke hukum, bahwa orang yang merasa gelisah karena harus menanggung berbagai macam kewajiban dan beban perintah, apalagi orang yang mendapat tugas menyampaikan risalah dari Allah, memusuhi musuhmusuh Allah dan orang-orang yang menghadang jalan-Nya, padahal tugas-tugas tidak akan mampu dijalankan manusia, maka tentu saja hatinya akan merasa gelisah dan kesabarannya bisa melemah. Jika Allah hendak menenangkannya, maka Dia menurunkan sakinah kepadanya, kemudian dia menjadi thuma'ninah karena pasrah kepada hukum agama dan hukum alam. Dia tidak akan merasa thuma'ninah kecuali dengan dua hukum ini. Seberapa jauh kesaksiannya terhadap dua hukum ini, maka sejauh itu pula thuma'ninah-nya. Dia merasa tentram beralih ke hukum agama, karena dia tahu bahwa itu adalah agama yang benar dan merupakan jalannya yang lurus. Dia merasa tentram beralih ke hukum alam atau takdir, karena dia mengetahui bahwa dia tidak ditimpa sesuatu me-lainkan sudah ditakdirkan Allah. Apa pun yang dikehendaki-Nya pasti akan terjadi dan apa pun yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi. Maksud beralih dari kegelisahan cobaan ke
pahala, bahwa jika kesaksian seseorang tentang pahala menjadi kuat, maka hatinya menjadi tenang dan tentram, karena dia merasa akan mendapatkan penggan-ti. Cobaan terasa semakin berat karena dia tidak melihat pahala di balik cobaan itu. Tapi karena kuatnya kesaksian terhadap pahala ini, adakalanya seseorang justru merasakan kenikmatan cobaan yang menimpanya dan tidak ingin jauh-jauh dari cobaan itu. Banyak orang berakal yang merasa yakin terhadap efektifitas suatu obat yang amat pahit, maka dia justru bisa menikmati kepahitannya itu, karena dia melihat manfaat di balik penderitaannya meminum obat tersebut.
2. Thuma'ninah ruh saat mencapai tujuan pengungkapan hakikat, saat merindukan janji dan saat berpisah untuk berkumpul kembali. Ruh menjadi thuma'ninah jika melihat tujuannya dan tidak ingin menengok ke belakang. Sedangkan pengungkapan hakikat di sini ada dua macam:
- Pengungkapan jalan yang menghantarkan ke tujuan, yaitu mengungkap hakikat iman dan syariat Islam.
- Pengungkapan tujuan perjalanan, yaitu mengetahui asma' dan si-fat. Ruh juga akan merindukan apa yang dijanjikan kepadanya. la menjadi thuma'ninah karena apa yang dijanjikan itu. Ruh juga-menjadi thuma'ninah jika dia berpisah dengan hal-hal yang sudah menjadikebiasaannya, seperti orang yang lapar lalu mendapatkan makanan, yang membuatnya merasa thuma'ninah.
3. Thuma'ninah karena menyaksikan kasih sayang Allah, thuma'ninah kebersamaan menuju kekekalan dan thuma'ninah kedudukan menuju cahaya azaly. Derajat ini berkaitan dengan kefanaan dan kekekalan. Orangyang sampai kepada kesaksian kebersamaan merasa tentram karena kasih saying Allah. Maksud thuma'ninah kebersamaan menuju kekekalan, bahwa jika seseorang tidak merasakan thuma'ninah karena kekekalan yang akan dijalaninya, maka dia akan melepaskan ubudiyah. Jika dia merasakan thuma'ninah terhadap kekekalan ini, maka itulah yang disebut thuma'ninah kebersamaan menuju kekekalan. Thuma'ninah kedudukan menuju cahaya azaly, artinya thuma'ninah karena mengetahui ketetapan azaly yang tidak akan berubah dan ber-ganti. Jika hati merasa tentram karena mengetahui ketentuan Allah di dalam azal, maka inilah yang disebut thuma'ninah kedudukan karena cahaya azal.
Himmah
Himmah merupakan bentuk lain dari kata hammu, yang merupakan permulaan kehendak atau hasrat. Jadi himmah dikhususkan sebagai kesudahan kehendak atau tekad.
Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Dalam sebagian atsar llahy disebutkan, Allah befirman, 'Aku tidak melihat perkataan orang yang bijak, tetap Aku hanya melihat hasratnya'."
Orang awam berkata," Bobot seseorang terletak pada kebaikannya."
Orang khusus berkata, "Bobot seseorang terletak pada apa yang dicarinya." Dengan kata lain, bobot seseorang terletak pada himmah dan apa yang dicarinya.
Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Himmah artinya suatu kekuasaan yang secara murni mendorong kepada maksud, yang tidak bisa dibendung pelakunya dan dia tidak bisa berpaling darinya."
Jika himmah hamba bergantung kepada Allah secara benar dan tulus, maka itulah himmah yang tinggi, yang tidak bisa dibendung pelakunya, atau tidak bisa diabaikannya, karena kekuasaannya yang kuat dan keharusannya untuk mencari tujuan yang diinginkan. Dia juga tidak bias berpaling darinya ke selain hukum-hukumnya. Orang yang memiliki
himmah ini begitu cepat mencapai tujuannya dan mendapatkan apa yang dicarinya, selagi tidak ada penghalang yang merintanginya.
Menurut Syaikh, ada tiga derajat himmah, yaitu:
1. Himmah yang menjaga hati dari kesenangan kepada keliaran yang fana, membawanya untuk menyenangi yang kekal, dan membersihkannya dari noda kelambanan. Yang fana artinya dunia dan seisinya. Maksudnya, hati harus berzu-hud di dunia dan menghindarinya. Ruh dan hati orang-orang yang menyenangi dunia dalam keadaan liar di dalam jasad mereka, karena ia merasa tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, sehingga hati itu menjadi liar. Sedangkan orang-orang yang menghindari dunia me-lihat dunia itu takut kepada mereka. Tidak ada yang lebih liar di dalam hati selain dari sesuatu yang menjadi penghalang antara hati itu dan apa yang diinginkannya. Karena itu seseorang yang menghalangi orang lain untuk mendapatkan harta, adalah orang yang pali ng dibenci dan mereka paling liar serta jalang terhadap dirinya.
2. Himmah yang mempusakakan kesinisan terhadap ketidakpedulian karena beberapa alasan, penurunan amal dan keyakinan terhadap harapan. Orang yang memiliki derajat ini mencurigai himmah dan hatinya, andaikan ia meremehkan karena alasan-alasan tertentu. Dia tidak puas jika perhatiannya hanya tertuju ke rupa amal dan terbatas kepada tujuan saat beramal, karena yang demikian ini bisa menurunkan amal. Sedangkan keyakinan terhadap harapan bisa menimbulkan kesantaian.
3. Himmah yang naik meninggalkan keadaan dan mu'amalah, tidak ter pancang kepada imbalan pengganti dan derajat, meninggalkan sifat untuk menuju dzat. Himmah ini terlalu tinggi jika pemiliknya bergantung kepada keadaan atau pengaruh amal, atau bergantung kepada mu'amalah. Tapi maksudnya bukam meniadakan mu'amalah itu, tapi tetap melaksanakannya tanpa bergantung kepadanya. Himmah ini tampak semakin tinggi karena pemiliknya tidak terpaku kepada imbalan yang akan diperoleh- nya sebagai pengganti dan derajat yang didapatkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar