Selasa, 02 November 2010

MADARIJUS SOLIHIN ( PENDAKIAN MENUJU ALLAH 4 )

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, tafwidh ini ada tiga derajat:

1. Hamba harus mengetahui bahwa dia tidak memiliki kesanggupan sebelum berbuat, tidak merasa aman dari tipu daya, tidak boleh putus asa dari pertolongan dan tidak mengandalkan niatnya. Dia harus yakin bahwa kesanggupannya untuk berbuat ada di Tangan Allah dan bukan di tangannya sendiri. Jika Allah tidak memberinya kesanggupan, maka dia adalah orang yang lemah. Dia tidak bergerak kecuali karena Allah dan bukan karena dirinya. Maka bagaimana mungkin dia merasa aman dari tipu daya, sementara dia orang yang digerakkan dan bukan yang menggerakkan? Jika Allah menghendaki, maka Dia bisa membuatnya lemah dan tak berkeinginan, seperti firman Allah tentang orang-orang yang tidak mendapatkan taufiq-Nya : "Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah mlemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka, Tinggallah kalian bersama orang-orang yang tinggal itu'." (At-Taubah: 46).

Tipu daya Allah terhadap hamba ialah memotong materi taufiq darinya, membiarkannya, tidak peduli terhadap apa pun yang dilakukannya, tidak menggerakkannya kepada hal-hal yang diridhai-Nya. Ini bukan merupakan hak yang bisa dituntut dari Allah, sehingga Allah bisa disebut zhalim karena tidak memberikan taufiq ini. Mahasuci Allah dari hal itu. Tapi taufiq itu hanya sekedar karunia Allah, yang karenanya Dia layak dipuji saat memberikannya kepada seseorang atau pun saat tidak memberikannya kepada seseorang. Jika Allah merupakan penggerak bagi hamba, paling berkuasa, hanya Dialah yang menciptakan dan memberi rezki serta Dia paling penyayang di antara para penyayang, maka bagaimana mungkin hamba itu berputus asa dari pertolongan-Nya?

Perkataan, "Tidak mengandalkan niatnya", artinya tidak terlalu terhadap niatnya sendiri dan tidak bersandar kepadanya. Sebab niat dan hasratnya ada di Tangan Allah, bukan di tangannya sendiri. Niat itu kembali kepada Allah dan bukan kepada dirinya sendiri.

2. Merasakan kegundahan, sehingga seorang hamba tidak melihat satu amal pun yang menyelamatkan, dosa yang merusak dan sebab yang diemban. Artinya, seorang hamba harus melihat kefakiran dan kebutuhannya kepada Allah. Dia melihat bahwa dalam setiap atom zhahir dan batinnya tidak lepas dari kebutuhan terhadap Allah. Keselamatannya tergantung kepada Allah dan bukan karena amalnya. Tidak melihat dosa yang merusak artinya kebutuhannya terhadap Allah menghalanginya untuk mengerjakan dosa yang merusak. Tidak melihat sebab yang diemban artinya memberikan kesaksian bahwa yang mengemban sebab itu adalah Allah dan bukan dirinya.

3. Mempersaksikan kesendirian Allah yang menguasai gerak dan diam, yang menahan

dan membentangkan, mengetahui perbuatan Allah terhadap hamba dan perbuatan Allah yang dinisbatkan kepada Diri- Nya sendiri.

Derajat ini berkaitan dengan kesaksian terhadap sifat-sifat Allah dan keadaan-Nya. Derajat pertama dan kedua berkaitan dengan kesaksian terhadap keadaan hamba dan sifat-sifatnya. Artinya mempersaksikan gerak dan diamnya alam, yang semuanya berasal dari Allah.

Keyakinan terhadap Allah

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Keyakinan ini adalah warna hitam mata tawakkal, titik tengah lingkaran kepasrahan dan relung hati penyerahan din."

Perbuatan ibu Musa yang melarung putranya di sungai seperti yang diperintahkan Allah kepadanya, merupakan keyakinan terhadap Allah. Sebab kalau tidak ada keyakinan terhadap Allah, mana mungkin dia mau menghanyutkan buah hatinya di atas permukaan air sungai yang bergelombang dan berombak, yang membawanya entah ke mana? Artinya, keyakinan ini merupakan inti tawakkal seperti halnya warna hitam yang merupakan bagian terpenting pada mata, atau seperti titik tengah dalam suatu lingkaran, yang semua sisi-sisinya berpusat kepadanya, atau seperti relung hati, yang menjadi bagian terpenting dari hati. Jadi kalau sekiranya kepasrahan merupakan hati, maka keyakinan ini merupakan relungnya. Sekiranya kepasrahan merupakan mata, maka

keyakinan merupakan warna hitamnya. Sekiranya kepasrahan merupakan lingkaran, maka keyakinan merupakan titik tengahnya.

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, keyakinan terhadap Allah ini ada tiga derajat:

1. Derajat keputusasaan. Maksudnya keputusasaan hamba dalam melawan hukum, agar dia tidak merasa mendapat bagian. Artinya, orang yang yakin kepada Allah merasa tidak bisa lari dari qadha' dan hukum-Nya, karena Allah telah menetapkan hukum dan urusan bagi dirinya. Apabila Allah telah menetapkan hukum, rezki, keadaan, ilmu, bagian dan lain-lainnya bagi seseorang, maka semua itu akan terjadi pada dirinya. Jika tidak menetapkannya, maka semua itu juga tidak akan terjadi pada dirinya.

2. Derajat aman. Maksudnya keamanan yang dirasakan hamba dari kehilangan apa yang telah ditetapkan dan dituliskan baginya, sehingga dia beruntung mendapatkan ruh ridha, atau setidak-tidaknya ada keyakinan atau sentuhan lembut kesabaran. Seorang hamba yang merasakan keputusasaan di atas juga akan merasa aman. Dengan kata lain, orang yang benar-benar mengetahui Allah dan apa yang ditetapkan Allah bagi dirinya, maka dia akan merasa aman dan tidak khawatir akan kehilangan bagian yang telah ditetapkan Allah baginya dan yang telah tertulis di dalam kitab. Dengan perasaan ini dia beruntung mendapatkan ruh ridha dan kenikmatannya. Sebab orang yang ridha akan merasakan

kenikmatan karena ridha-nya. Kalaupun hamba tidak sanggup mendapatkan ruh ridha, setidaktidaknya dia mendapatkan keyakinan atau kekuatan iman dan meli-hat Allah dengan hatinya. Kalaupun hasil ini masih meleset, maka setidaktidaknya dia mendapatkan sentuhan lembut kesabaran dan kesudahan yang baik.

3. Melihat keazalian Allah, untuk membebaskan diri dari ujian yang menghalangi tujuan. Maksudnya, selagi hati mempersaksikan kesendirian Allah yang memi-liki sifat azali, maka ia tidak terlalu sibuk dengan permintaan, karena semuanya sudah ditetapkan dalam hukum Allah yang azali. Sehingga ia tidak merasa ada penghambat yang menghalangi tujuannya.

Sabar

Menurut Al-Imam Ahmad, kata sabar disebutkan di dalam Al- Qur'an di tujuh puluh tempat. Menurut ijma' ulama umat, sabar ini wajib, dan merupakan separoh iman. Karena iman itu ada dua paroh; separoh ada-lah sabar dan separoh lagi adalah syukur. Sabar ini disebutkan dalam Al-Qur'an dalam enam belas versi:

1. Perintah sabar, seperti firman-Nya : "Dan, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat." (Al-Baqarah: 45).

2. Larangan melakukan sebaliknya, seperti firman-Nya : "Dan, janganlah kalian bersikap lemah dan janganlah (pula) kalian bersedih hati." (Ali Imran: 139). Sikap lemah dan selalu bersedih hati artinya tidak sabar. Karena itu dilarang.

3. Pujian terhadap pelakunya, seperti firman-Nya : "Dan, orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Al- Baqarah: 177).

4. Keharusan sabar karena Allah mencintainya, seperti firman-Nya : "Dan, Allah mencintai orang-orang yang sabar." (Al-Baqarah: 146).

5. Allah bersama orang-orang yang sabar, dan ini merupakan kebersamaan secara khusus, yang berarti menjaga, melindungi dan menolong mereka, bukan sekedar kebersamaan secara umum, seperti firman- Nya : "Dan, bersabarlah kalian, karena Allah beserta orang-orang yang sabar." (Al-Anf al 46).

6. Pengabaran Allah bahwa sabar ini lebih baik bagi para pelakunya, seperti firman-Nya :

"Tetapi jika kalian bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar." (An-Nahl: 126).

7. Allah memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik, seperti firman-Nya : "Dan, sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orangorang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (An-Nahl: 96).

8. Orang-orang yang sabar diberi balasan tanpa batas, seperti firman- Nya : "Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (Az-zumar: 10).

9. Orang-orang yang sabar mendapatkan kabar gembira, seperti firman- Nya : "Dan, sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedi-kit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buahbuahan. Dan, berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (Al-Baqarah: 155).

lO. Jaminan pertolongan bagi orang-orang yang sabar, seperti firman-Nya : "Ya (cukup), jika kalian bersabar dan bertakwa, dan mereka datang menyerang kalian dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kalian dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda." (Ali Imran: 125). Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda : "Dan ketahuilah bahwa pertolongan itu beserta kesabaran."

11. Pengabaran dari Allah bahwa orang-orang yang sabar adalah orang - orang yang mulia, seperti firman-Nya : "Tetapi orang yang sabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan." (Asy-Syura: 43)!

12. Pengabaran dari Allah bahwa pahala amal shalih hanya layak diperoleh orang-orang yang sabar, seperti firman-Nya : "Kecelakaan yang besarlah bagi kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidak diperoleh pahala itu kecuali oleh orang-orang yang sabar. "(Al-Qashash: 80).

13. Pengabaran bahwa hanya orang-orang yang bersabarlah yang bias mengambil pelajaran dan manfaat dari ayat-ayat Allah, seperti firman- Nya : "Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang, dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yangpenyabar dan banyak bersyukur." (Ibrahim: 5).

14. Pengabaran bahwa keberuntungan yang diharapkan, keselamatan dari sesuatu yang ditakuti dan masuk surga, diperoleh orang-orang yang memperolehnya karena kesabaran mereka, seperti firman-Nya : "Dan, para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan), 'Keselamatan bagi kalian berkat kesabaran kalian'. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu." (Ar-Ra'd: 24).

15. Sabar mempusakakan derajat kepeloporan dan kepemimpinan. Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam berkata, "Dengan kesabaran dan keyakinan dapat diperoleh kepemimpinan dalam agama." Lalu dia membawa ayat : "Dan, Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar, dan mereka meyakini ayat-ayat Kami." (As-Sajdah: 24).

16. Allah mengaitkan kesabaran dengan berbagai posisi dalam Islam, iman, keyakinan, takwa, tawakkal, syukur, amal shalih, rahmat dan lain sebagainya. Karena itu sabar

termasuk bagian dari iman, seperti kedudukan kepala dari tubuh. Tidak ada artinya iman bagi seseorang yang tidak memiliki kesabaran, sebagaimana tidak ada artinya tubuh tanpa kepala. Umar bin Al-Khaththab berkata, "Hidup yang paling baik ialah yang kami lalui dengan kesabaran."

Di dalam sebuah hadits disebutkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda : "Sungguh menakjubkan urusan orang Mukmin. Sesungguhnya semua urusannya merupakan kebaikan baginya, dan yang demikian itu tidak dimiliki kecuali orang Mukmin saja. jika mendapat kesenangan, dia bersyukur, maka itu merupakan kebaikan baginya, dan jika ditimpa penderitaan, dia sabar, maka itu merupakan kebaikan baginya."

Ada seorang wanita yang menderita sakit ayan. Lalu dia meminta kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam agar berdoa bagi kesem-buhannya. Maka beliau bersabda, "Jika engkau ingin, maka engkau bisa bersabar dan engkau mendapatkan surga, dan jika engkau ingin, maka aku bisa berdoa kepada Allah agar memberikan afiat kepadamu." Maka wanita itu berkata, "Aku sudah membuka kekuranganku. Maka berdoalah kepada Allah agar tidak membuka kekuranganku di akhirat." Maka beliau berdoa baginya.

Beliau memerintahkan orang-orang Anshar untuk bersabar menghadapi hal-hal yang kurang menyenangkan sepeninggal beliau, hingga mereka bersua beliau di liang kubur. Beliau juga memerintahkan untuk sabar saat berhadapan dengan musuh dan sabar saat ditimpa musibah. Beliau memerintahkan orang yang ditimpa musibah agar melakukan hal yang paling bermanfaat baginya, yaitu sabar dan mencari ridha Allah, karena yang demikian itu akan meringankan musibahnya dan melipat-gandakan pahalanya. Mengeluh dan gundah hati justru membuat musibah itu terasa semakin berat dan menghilangkan pahala.

Sabar menurut pengertian bahasa adalah menahan atau bertahan. Jika dikatakan, "Qutila Fulan Shabran", artinya Fulan terbunuh karena hanya bertahan. Jadi sabar artinya menahan diri dari rasa gelisah, cemas dan amarah; menahan lidah dari keluh kesah; menahan anggota tubuh dari kekacauan.

Sabar ini ada tiga macam: Sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari kedurhakaan kepada Allah, dan sabar dalam ujian Allah. Dua macam yang pertama merupakan kesabaran yang berkaitan dengan tindakan yang dikehendaki dan yang ketiga tidak berkait dengan tindakan yang dikehendaki.

Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Kesabaran Yusuf menghadapi rayuan istri Tuannya lebih sempurna daripada kesabaran beliau saat dimasukkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya, saat dijual dan saat berpisah dengan bapaknya.

Sebab hal-hal ini terjadi di luar kehendaknya, sehingga tidak ada pilihan lain bagi hamba kecuali sabar menerima musibah. Tapi kesabaran yang me-mang beliau kehendaki dan diupayakannya saat menghadapi rayuan istri Tuannya, kesabaran memerangi nafsu, jauh lebih sempurna dan utama, apalagi di sana banyak faktor yang sebenarnya menunjang untuk memenuhi rayuan itu, seperti keadaan beliau yang masih bujang dan

muda, karena pemuda lebih mudah tergoda oleh rayuan. Keadaan beliau yang terasing, jauh dari kampung halaman, dan orang yang jauh dari kampung halamannya tidak terlalu merasa malu. Keadaan beliau sebagai budak, dan seorang budak tidak terlalu peduli seperti halnya orang merdeka.Keadaan istri tuannya yang cantik, terpandang dan tehormat, tan-pa ada seorang pun yang melihat tindakannya dan dia pula yang menghendaki untuk bercumbu dengan beliau. Apalagi ada ancaman, seandain-ya tidak patuh, beliau akan dijebloskan ke dalam penjara dan dihinakan. Sekalipun begitu beliau tetap sabar dan lebih mementingkan apa yang ada di sisi Allah."

Ibnu Taimiyah juga pernah berkata, "Sabar dalam melaksanakan ketaatan lebih baik daripada sabar menjauhi hal-hal yang haram. Karena kemaslahatan melakukan ketaatan lebih disukai Allah daripada kemaslahatan meninggalkan kedurhakaan, dan keburukan tidak taat lebih dibenci Allah daripada keburukan adanya kedurhakaan."

Ada tiga jenis lain dari sabar, yaitu:

1. Sabar karena pertolongan Allah. Artinya mengetahui bahwa kesabaran itu berkat pertolongan Allah dan Allahlah yang memberikan kesabaran, sebagaimana firman-Nya,

"Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaramnu itu melainkan dengan pertolongan Allah." (An-Nahl: 127). Jika Allah tidak membuat beliau sabar, maka beliau tidak akan sabar.

2. Sabar karena Allah. Artinya pendorong sabar adalah cinta kepada Allah, mengharapkan Wajah-Nya dan taqarrub kepada-Nya, bukan untuk menampakkan kekuatan jiwa dan ketabahan kepada manusia atau tujuan-tujuan lain.

3. Sabar beserta Allah. Artinya perjalanan hamba bersama kehendak Allah, yang berkaitan dengan hukum-hukum agama, sabar dalam melaksanakan hukum-hukum itu dan menegakkannya.

Banyak definisi dan pengertian yang dibuat para ulama dan orangorang salaf tentang sabar. Yang pasti Allah telah memerintahkan kesabaran yang baik, pengampunan yang baik dan penghindaran yang baik di dalam Kitab-Nya. Saya pernah mendengar Ibnu Taimiyah berkata,

"Kesa-baran yang baik ialah yang tidak disertai pengaduan, pengampunan yang baik ialah yang tidak disertai celaan, dan penghindaran yang baik ialah yang tidak disertai ucapan yang menyakitkan."

Pengaduan kepada Allah tidak menajikan kesabaran, karena Ya'qub Alaihis-

Salam telah berjanji untuk bersabar dengan baik, dan seorang nabi tidak akan mengingkari janjinya. Namun beliau tetap mengadu kepada Allah : "Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan kcsusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tidak mengetahuinya." (Yusuf: 86). Yang benar, mengadukan Allah dapat menajadikan kesabaran, dan bukan pengaduan kepada Allah.

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Sabar artinya menahan diri dalam menghadapi hal-hal yang tidak disenangi dan membelenggu lisan agar tidak mengadu. Ini merupakan tempat persinggahan yang paling sulit bagi orang awam dan jalan cinta yang paling terjal serta jalan tauhid yang paling diingkari.

Dikatakan sulit bagi orang awam, karena orang awam baru memulai perjalanan dan belum terlatih untuk menempuh satu etape pun. Jika dia mendapat ujian, maka dia mudah gundah dan sulit menghadapi musibah, sehingga berat untuk sabar. Dia belum terlatih sehingga sulit untuk sabar, dan dia bukan termasuk orang yang mencintai sehingga sulit menerima musibah dengan penuh keridhaan terhadap kekasih yang dicintainya.

Dikatakan jalan cinta yang paling terjal, karena ci nta ini mengharus-kan adanya kesukaan orang yang mencintai dalam menghadapi cobaan dari kekasihnya. Sementara sabar mengharuskan adanya kebencian terhadap hal itu dan keterpaksaan menahan diri saat menghadapinya. Maka sabar merupakan jalan cinta yang paling terjal.

Dikatakan jalan tauhid yang paling diingkari, karena di dalam sabar terdapat kekuatan pengakuan. Orang sabar mengaku memiliki kete-guhan hati yang kuat. Berarti hal ini harus berbenturan dengan kemur-nian tauhid. Sebab pada hakikatnya tidak seorang pun memiliki kekuatan. Semua kekuatan hanya milik Allah. Itulah sebabnya maka sabar merupakan sesuatu yang diingkari di jalan tauhid, dan bahkan sabar merupakan kemungkaran yang paling diingkari. Tauhid mengembalikan segala sesuatu kepada Allah dan sabar mengembalikan segala sesuatu kepada diri sendiri. Keteguhan hati dalam tauhid adalah sesuatu yang harus diingkari.

Perkataannya yang terakhir ini tidak bisa diterima. Yang benar, sabar merupakan tempat persinggahan yang paling kuat di jalan cinta dan merupakan keharusan bagi orang-orang yang mencintai serta merupakan hasrat yang paling dibutuhkan dalam setiap etape perjalanan. Kebu-tuhan orang yang mencintai terhadap kesabaran ini sangat urgen. Maka hanya para wali Allah dan para kekasih-Nya yang disifati Allah sebagai orangorang yang sabar.

Menurut pengarang Maiiazilus-Sa'irin, ada tiga derajat sabar, yaitu:

1. Sabar dalam menghindari kedurhakaan, dengan memperhatikan peringatan, tetap teguh dalam iman dan mewaspadai hal yang haram. Yang lebih baik lagi adalah sabar

menghindari kedurhakaan karena malu. Ada dua sebab dan dua faidah sabar dalam menghindari kedurhakaan.

Dua sebabnya adalah:

- Takut terjadinya peringatan, sebagai akibat dari kedurhakaan itu.

- Malu terhadap Allah, karena nikmat-Nya dibalas dengan kedurhakaan.

Adapun dua faidahnya adalah:

- Tetap teguh dalam iman.

- Mewaspadai hal-hal yang haram.

Memperhatikan peringatan dan takut kepadanya membangkitkan kekuatan iman terhadap pengabaran dan pembenaran kandungan-nya. Sedangkan malu terhadap Allah membangkitkan kekuatan ma'rifat dan mempersaksikan makna-makna asma dan sifat-Nya. Yang lebih baik lagi jika pendorongnya adalah cinta, sehingga seorang ham-ba tidak mendurhakai-Nya karena cinta kepada-Nya. Sedangkan keteguhan dalam iman mendorong untuk meninggalkan kedurhakaan. Sebab kedurhakaan pasti akan mengurangi iman atau bahkan menghilangkannya sama sekali, memadamkan cahayanya, melemahkan kekuatannya dan mengurangi buahnya. Sedangkan mewaspadai halhal yang haram merupakan kesabaran meninggalkan hal-hal yang mubah, sebagai kehati-hatian agar tidak menjurus kepada yang haram.

2. Sabar dalam ketaatan, dengan menjaga ketaatan itu secara terus-me nerus, memeliharanya dengan keikhlasan dan membaguskannya de ngan ilmu. Pernyataan pengarang Manazilus-Sa'irin ini menunjukkan bahwa ketaatan yang dilakukan dapat menjadi pendorong untuk meninggal-kan kedurhakaan, sehingga kesabaran dalam melaksanakan ketaatan ini setingkat lebih tinggi daripada kesabaran meninggalkan kedurhakaan. Yang benar, dan seperti yang telah dijelaskan di atas, meninggalkan kedurhakaan hanya sekedar menyempurnakan ketaatan. Syaikh menyebutkan bahwa sabar dalam derajat ini dilakukan dengan tiga cara: Terus-menerus taat, ikhlas dalam ketaatan dan melaksana-kannya menurut ilmu atau membaguskannya dengan ilmu. Ketaatan menjadi mundur jika kehilangan salah satu dari tiga perkara ini. Jika seorang hamba tidak menjaga ketaatan secara terus-menerus, maka ia akan menggugurkan ketaatan itu. Jika dia menjaganya terus-menerus, maka di hadapannya ada dua perintang: Tidak ikhlas, seperti dimak-sudkan karena selain Allah, dan pelaksanaannya yang tidak berdasar-kan ilmu, seperti tidak mengikuti As-sunnah.

3. Sabar dalam musibah, dengan memperhatikan pahala yang baik, menunggu rahmat jalan keluar, meremehkan musibah sambil menghitung uluran karunia dan mengingat nikmat-nikmat yang telah lampau.

Inilah tiga pakaian kesabaran yang dapat dikenakan seorang hamba ketika mendapat musibah :

Pertama, memperhatikan pahala yang baik. Seberapa jauh perhatian, pengetahuan dan keyakinannya terhadap pahala ini, maka sejauh itu pula dia akan merasa ringan dalam memikul beban musibah, karena dia merasa akan mendapatkan pengganti. Hal ini seperti orang yang sedang membawa beban yang amat berat, dan dia melihat hasil dan keuntungan yang baik pada akhirnya. Jika tidak demikian, maka ba-nyak kemaslahatan dunia dan akhirat yang akan terbuang sia-sia. Seorang hamba lebih suka mengemban beban dunia karena ingin mendapatkan hasil di akhirat. Sementara jiwa lebih menyukai kesenangan yang ada di dunia. Tapi akal yang sehat lebih condong ke hasil di ke-mudian hari.

Kedua, menunggu rahmat jalan keluar atau kenikmatannya. Menunggu- nunggu kenikmatan jalan keluar dari musibah dapat meringankan beban musibah dan kesulitan yang sedang dihadapi, apalagi jika disertai kekuatan harapan dan usaha mencari jalan keluar.

Ketiga, meremehkan musibah, yang dapat dilakukan dengan dua cara: menghitung karunia Allah yang telah dilimpahkan kepadanya, dan mengingat-ingat nikmat Allah yang pernah diterimanya. Yang pertama berkaitan dengan keadaan dan yang kedua berkaitan dengan masa lampau.

Pengarang Manazilus-Sa'irin, mengatakan, "Sabar yang paling lemah ialah sabar karena Allah. Ini merupakan kesabaran orang-orang awam. Di atasnya adalah sabar berkat pertolongan Allah. Ini merupakan kesabaran orang-orang yang menghendaki Allah. Di atasnya adalah sabar menurut hukum Allah. Ini merupakan kesabaran orang-orang yang berjalan kepada Allah.

Kesabaran karena Allah yang merupakan kesabaran orang-orang awam ialah kesabaran mengharapkan pahala-Nya dan takut siksa-Nya. Kesabaran orang-orang yang mengharapkan Allah adalah kesabaran ber-kat kekuatan dari pertolongan dari Allah. Dua golongan ini tidak melihat ada kesabaran pada dirinya dan tidak pula mempunyai kekuatan untuk sabar. Di atasnya adalah kesabaran menurut hukum Allah. Artinya dia sabar mendapatkan hukum-hukum yang berlaku bagi dirinya, yang disukai maupun yang dibencinya.

Menurut pengarang Manazilus-Sa 'inn, kesabaran karena Allah merupakan kesabaran yang paling lemah. Yang benar, sabar karena Allah le-bih tinggi daripada sabar berkat pertolongan Allah. Karena sabar karena Allah berkaitan dengan Uluhiyah-Nya, sedangkan sabar berkat pertolongan Allah berkaitan dengan Rububiyah-Nya. Apa-apa yang ber-kait dengan Uluhiyah-Nya lebih sempurna daripada apa-apa yang berkait dengan Rububiyah-Nya. Di samping itu, sabar karena Allah merupakan cermin ibadah, dan sabar berkat pertolongan Allah merupakan permohonan uluran pertolongan dari-Nya. Ibadah merupakan tujuan dan permohonan pertolongan merupakan sarana. Sabar berkat pertolongan Allah menjadi hak persekutuan bagi orang Mukmin dan kafir, orang baik dan orang buruk. Setiap orang yang mempersak-sikan hakikat alam tentu mendapatkan kesabaran dari Allah. Sedangkan sabar karena Allah merupakan tempat persinggahan para nabi, rasul, shiddiqin dan orangorang yang mengamalkan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in.

Sabar menurut hukum-hukum Allah artinya sabar menerima takdir- Nya. Sabar ini ditempatkan pada tingkatan ketiga dan yang paling tinggi.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, sabar dalam ketaatan dan sabar menjauhi kedurhakaan, lebih sempurna daripada kesabaran menerima takdir-Nya, seperti kesabaran Yusuf Alaihis-Salam. Kesabaran beliau dengan tetap menjaga ketaatan dan menjauhi kedurhakaan merupakan kesabaran atas pilihan sendiri, karena cinta kepada Allah.

Sedangkan kesabaran menerima hukum-hukum Allah merupakan kesabaran yang pasti dan tidak bisa dihindari. Tentu saja ada per-bedaan di antara keduanya.

Ridha

Para ulama telah sepakat bahwa ridha merupakan sunat atau sunat mu'akkad. Ada dua pendapat yang berbeda tentang wajibnya. Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah mengisahkan dua pendapat ini dari rekan-rekan Al-Imam Ahmad. Tetapi Al-Imam Ahmad sendiri menyatakannya sunat. Tidak pernah disebutkan adanya perintah ridha seperti halnya perintah sabar. Penyebutannya hanya sebatas pujian terhadap orang-orang yang ridha.

Ibnu Taimiyah juga berkata, "Tentang riwayat dari Allah yang menyatakan, 'Siapa yang tidak sabar menerima cobaan-Ku dan tidak ridha terhadap qadha'-Ku, maka hendaklah ia mengambil sesembahan selain Aku', maka ini adalah kisah Isra'iliyat, yang sama sekali tidak pernah diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam." Apalagi de-ngan pendapat yang mengatakan bahwa ridha itu bukan termasuk amal yang diusahakan, tapi merupakan pemberian dan anugerah, lalu dikata-kan, "Bagaimana mungkin ridha ini diperintahkan, sedangkan hamba tidak ditakdirkan untuk ridha?"

Ada tiga pendapat tentang ridha ini:

- Ridha termasuk satu kedudukan yang mulia, yaitu puncak dari tawak-kal. Berarti hamba bisa mencapai ridha ini dengan usahanya. Ini merupakan pendapat para ulama Khurasan.

- Ridha termasuk keadaan dan tidak bisa diupayakan hamba, tapi ridha ini turun ke hati hamba seperti keadaan-keadaan lainnya. Ini merupakan pendapat para ulama Irak. Perbedaan antara kedudukan dan keadaan, kedudukan diperoleh karena usaha, sedangkan keadaan sema-ta karena pemberian dan anugerah.

- Golongan ketiga ada di antara golongan pertama dan kedua. Menurut mereka, dua pendapat ini dapat disatukan, bahwa permulaan ridha bias diusahakan hamba, yang berarti termasuk kedudukan, sedangkan kesudahannya termasuk keadaan dan tidak bisa diupayakan hamba. Permulaannya merupakan kedudukan dan kesudahannya merupakan keadaan. Mereka yang menganggap ridha termasuk kedudukan atau amal yang bisa diupayakan, berdalih bahwa Allah memuji pelakunya dan menganjurkannya.

Ini berarti mereka mampu mengupayakannya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda : "Yang merasakan manisnya iman ialah orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sebagai rasul."

Beliau juga bersabda : "Siapa yang mengucapkan saat mendengar adzan, 'Aku ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sebagai rasul', maka diampuni dosanya."

Dua hadits ini merupakan inti kedudukan agama dan sekaligus merupakan puncaknya, yang di dalamnya terkandung ridha terhadap Rububiyah dan Uluhiyah Allah, ridha kepada Rasul-Nya, ketundukan, ridha kepada agama-Nya dan kepasrahan kepada-Nya. Siapa yang menghimpun empat perkara ini, maka dia adalah orang yang shiddiq. Memang hal ini mudah diucapkan, tapi termasuk sulit dan berat jika datang co-baan, apalagi jika ada sesuatu yang bertentangan dengan nafsu dan keinginannya, sehingga akan tampak apakah ridha itu hanya sekedar di lisan atau memang merupakan keadaan dirinya.

Ridha kepada Rububiyah Allah mengandung ridha terhadap pengaturan- Nya terhadap hamba, juga mengandung pengakuan terhadap kesendirian-Nya dalam tawakkal, keyakinan, penyandaran dan permintaan pertolongan. Sedangkan ridha kepada Rasul-Nya mengandung kesempurnaan kepatuhan dan kepasrahan kepadanya, sehingga keberadaan Rasul-Nya lebih penting daripada keberadaan dirinya, tidak men-can petunjuk kecuali dari kalimat-kalimatnya, tidak ridha kepada selain hukumnya, dalam masalah apa pun, zhahir maupun batin. Sedangkan ridha kepada agama-Nya berarti patuh kepada hukum, perintah dan larangan agama, sekalipun mungkin bertentangan dengan kehendaknya

atau pendapat guru dan golongannya.

Yang pasti dalam masalah ini, ridha adalah sesuatu yang bisa diupayakan ditilik dari sebabnya, dan merupakan pemberian jika ditilik dari hakikatnya. Jika memang sebab-sebabnya dimungkinkan dan pohonnya dapat ditanam, maka buah ridha juga bisa dipetik. Sebab ridha merupakan akhir dari tawakkal. Siapa yang pijakan kakinya mantap pada tawakkal, penyerahan diri dan kepasrahan, tentu akan mendapatkan ridha. Tapi karena sulitnya mendapatkan ridha ini, maka Allah tidak mewajibkan-nya kepada makhluk-Nya, sebagai rahmat dan keringanan bagi mereka. Namun begitu Allah menganjurkannya kepada mereka, memuji pelaku-nya dan mengabarkan bahwa pahala yang mereka terima adalah keridhaan Allah terhadap mereka, dan ini merupakan pahala yang lebih agung daripada surga dan seisinya. Siapa yang ridha kepada Rabb-nya, maka Dia juga ridha kepadanya. Karena itu ridha ini merupakan pintu Allah yang paling besar, surga dunia, kehidupan orang-orang yang mencintai dan kenikmatan orang-orang yang banyak beribadah. Di antara faktor yang paling besar mendatangkan ridha ialah mengikuti apa yang Allah ridha kepadanya, karena inilah yang akan menghantarkan kepada ridha.

Yahya bin Mu'adz pernah ditanya, "Kapankah seorang hamba mencapai kedudukan ridha?" Maka dia menjawab, "Jika dia menempatkan dirinya pada empat landasan tindakan Allah kepadanya, lalu dia berkata, "Jika Engkau memberiku, maka aku menerimanya. Jika Engkau menahan pemberian kepadaku, maka aku ridha. Jika Engkau membiarkanku, maka aku tetap beribadah. Jika Engkau menyeruku, maka aku

memenuhinya."

Ridha tidak disyaratkan untuk tidak merasakan penderitaan dan hal-hal yang tidak disukai. Tapi keadaan ini tidak boleh dihadapi dengan kemarahan atau penolakan takdir. Karena itu banyak orang yang tidak bisa ridha karena hal-hal yang tidak disukai, seraya berkata, "Ini tidak mungkin menurut tabiat." Itu hanya bisa dihadapi dengan sabar. Sebab

bagaimana mungkin ridha dan kebencian bisa menyatu padahal keduanya saling bertentangan?

Yang benar, tidak ada pertentangan antara ridha dan kebencian. Adanya penderitaan dan kebencian tidak menajikan ridha, seperti ridhanya orang yang sakit untuk minum obat, ridhanya orang puasa pada hari yang sangat panas yang harus menanggung derita lapar dan dahaga atau ridhanya mujahid fi sabilillah yang harus menanggung derita luka dan lainlainnya.

Jalan ridha merupakan jalan yang paling singkat dan paling dekat ke tujuan. Tapi sulit dan berat. Tapi kesulitannya tidak seberat ke-sulitan jalan mujahadah, karena di sana tidak ada rintangan dan kesudah-an, selain dari hasrat yang tinggi, jiwa yang suci dan menerima apa pun yang dating dari Allah. Yang demikian itu relatif lebih mudah bagi hamba, apalagi dia mengetahui kelemahan dirinya. Allah berfirman :

"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hambahamba- Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (Al-Fajr: 27-30)

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Di dalam ayat ini Allah tidak memberikan jalan bagi orang yang marah. Ridha merupakan syarat bagi hamba agar dapat masuk surga Allah. Ridha adalah berada dalam ikatan agama seperti yang dikehendaki Allah, tanpa ragu-ragu dan tanpa pengingkaran, di mana pun hamba berada." Menurutnya, ada tiga derajat ridha, yaitu:

1. Ridha secara umum, yaitu ridha kepada Allah sebagai Rabb dan membenci ibadah kepada selain-Nya. Ini merupakan poros Islam dan membersihkannya dari syirik yang besar. Ridha kepada Allah sebagai Rabb artinya tidak mengambil penolong selain Allah, yang diserahi kekuasaan untuk menangani dirinya dan menjadi tumpuan kebutuhannya. Allah befirman : "Katakanlah, 'Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah, padahal Dia adalah Rabb bagi segala sesuatu?'" (Al-An'am: 164).

Menurut Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, maksud Rabb dalam ayat ini adalah tuan dan sesembahan. Di awal surat juga disebutkan : "Katakanlah, 'Apakah akan aku

jadikan Rabb selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi?'" (Al-An'am: 14).

Arti Rabb di dalam ayat ini adalah sesembahan, penolong, pelin-dung dan tempat kembali. Hal ini mencerminkan loyalitas yang meng- haruskan adanya ketaatan dan cinta. Di bagian tengah surat Allah juga befirman : "Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur'an) kepadamu dengan terperinci?" (Al-An'am: 114). Artinya, layakkah selain Allah aku jadikan hakim yang mengadili perkara antara diriku dan diri kalian dan yang kita perselisihkan? Padahal Kitab ini adalah pemimpin semua kitab. Maka bagaimana mungkin kita menyerahkan perkara kepada kitab yang bukan Kitab-Nya? Sementara Kitab-Nya itu diturunkan secara rinci, jelas dan menyeluruh? Jika engkau memperhatikan tiga ayat ini lebih cermat, tentu eng-kau akan tahu bahwa di sana terkandung ridha kepada Allah sebagai Rabb, ridha kepada Islam sebagai agama dan ridha kepada Muhammad sebagai rasul. Banyak orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb dan tidak mencari Rabb selain-Nya. Tapi mereka tidak menjadikan Allah sebagai satu-satunya penolong dan pelindung, tetapi mereka mengangkat penolong selain-Nya, karena menganggap penolong ini dapat mendekatkan mereka kepada Allah. Bahkan loyalitasnya kepada penolong ini seperti loyalitas mereka kepada raja. Tentu saja ini merupakan syirik. Yang disebut tauhid ialah tidak mengambil selain Allah sebagai penolong. Al- Qur'an banyak ditebari penjelasan sifat orang-orang musyrik, yang pada intinya mereka mengambil para penolong selain Allah. Banyak juga orang yang mengangkat selain Allah sebagai hakim yang berhak membuat keputusan hukum bagi dirinya. Jadi ada tiga sendi tauhid, yaitu: Tidak mengambil selain Allah sebagai Rabb, sebagai sesembahan dan sebagai hakim. Penafsiran ridha kepada Allah sebagai Rabb ialah membenci penyembahan kepada selain-Nya, dan ini merupakan kesempurnaan dari ridha ini. Siapa yang memberikan hak-hak ridha kepada Allah sebagai Rabb, tentu akan membenci penyembahan kepada selain-Nya. Sebab ridha terhadap kemurnian Rububiyah mengharuskan adanya kemurnian ibadah kepada-Nya, sebagaimana ilmu tentang tauhid Rububiyah mengharuskan adanya ilmu tentang tauhid Uluhiyah. Ridha ini membersihkan dari syirik yang besar, yang pada hakikat-nya syirik itu ada dua macam, besar dan kecil. Ridha ini membersihkan pelakunya dari syirik besar. Sedangkan syirik kecil dapat dibersihkan jika seorang hamba berada di tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, ridha ini menjadi benar de-ngan tiga syarat: Allah paling dicintai hamba daripada cintanya kepada segala sesuatu, yang paling layak unruk diagungkan, dan paling layak untuk ditaati.

2. Ridha terhadap Allah. Dengan ridha inilah dibacakan ayat-ayat yang diturunkan. Ridha terhadap Allah ini merupakan ridha terhadap qadha' dan qadar-Nya, dan ini merupakan permulaan perjalanan orang-orang yang khusus.

Pengarang Manazilus-Sa'irin menjadikan derajat ini lebih tinggi dari derajat sebelumnya. Menurutnya, seseorang belum dianggap masuk Islam kecuali dengan derajat yang pertama. Jika dia sudah berada di sana, berarti dia sudah berada dalam Islam. Sedangkan derajat ini termasuk mu'amalah hati, yang diperuntukkan bagi orang-orang yang khusus, yaitu ridha terhadap hukum-hukum Allah dan ketetapan-Nya.

Dikatakan sebagai permulaan perjalanan bagi orang-orang yang khusus, karena ridha ini merupakan pendahuluan untuk keluar dari jiwa atau keluarnya hamba dari bagian untuk dirinya dan menempatkan diri pada kehendak Allah, bukan pada kehendaknya. Inilah yang dikatakan Syaikh. Tapi dengan menempatkan derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama, perlu dipertimbangkan lagi. Mestinya, derajat pertama lebih tinggi daripada derajat ini. Sebab derajat pertama bersifat khusus, sedangkan derajat ini bersifat umum. Ridha kepa-da qadha' bisa dilakukan orang Mukmin dan juga orang kafir. Sasaran-nya adalah tunduk kepada qadha' dan qadar Allah. Lalu apalah artinya jika hal ini dibandingkan dengan ridha kepada Allah sebagai Rabb, Ilah dan sesembahan? Di samping itu, ridha kepada Allah sebagai Rabb merupakan keharusan, bahkan termasuk keharusan yang kuat. Siapa yang tidak ridha kepada-Nya sebagai Rabb, maka Islamnya tidak dianggap sah, begi-tu pula amal dan keadaannya. Sedangkan ridha kepada qadha'-Nya merupakan sunat dan bukan wajib, sekalipun ada pula yang menganggapnya wajib. Ridha kepada Allah sebagai Rabb meliputi ridha terhadap-Nya. Ridha kepada Rububiyah Allah berarti keridhaan hamba kepada perintah, larang-an, pemberian, penahanan, pembagian dan qadar-Nya. Siapa yang tidak ridha terhadap semua ini, berarti dia tidak ridha kepada-Nya sebagai Rabb dari segala sisi, sekalipun mungkin dia ridha kepada-Nya sebagai Rabb dari sebagian sisinya. Ridha kepada-Nya sebagai Rabb juga berkait dengan

Dzat-Nya, sifat, asma', Rububiyah-Nya yang bersifat khusus mau-pun umum, yaitu ridha kepada-Nya sebagai pencipta, pengatur, pemberi perintah dan larangan, raja, pemberi, penahan, hakim, pelindung, penolong, pemberi afiat, pemberi cobaan, dan lain-lainnya dari sifat-sifat Rububiyah. Sedangkan ridha terhadap Allah ialah keridhaan hamba ter- hadap apa yang dilakukan Allah dan apa yang diberikan kepadanya. Karenanya penyebutan ridha ini ha-nya berkait dengan pahala dan balasan, seperti firman-Nya, "Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yangpuas lagi diridhai-Nya."

Ridha kepada Allah merupakan dasar ridha terhadap Allah. Ridha terhadap Allah merupakan buah ridha kepada Allah. Artinya, ridha kepada Allah berkaitan dengan asma' dan sifat-sifat-Nya, sedangkan ridha terhadap Allah berkaitan dengan pahala dan balasan-Nya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga mengaitkan rasa manisnya iman dengan orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb dan tidak mengaitkannya dengan orang yang ridha terhadap Allah, sebagaimana sabda beliau, "Yang merasakan manisnya iman ialah orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sebagai rasul." Beliau men-jadikan ridha kepada Allah sebagai pasangan ridha kepada agama dan nabi-Nya. Tiga perkara ini merupakan dasar agama.

Ridha kepada Allah sebagai Rabb mengandung tauhid dan ubudiyah kepada-Nya, penyandaran, tawakkal, takut, berharap, mencintai dan sabar karena-Nya. Ridha kepada-Nya mencakup syahadat la ilaha illallah. Ridha kepada Muhammad sebagai rasul mencakup syahadat bahwa Muhammad adalah rasul Allah. Ridha kepada Islam sebagai agama mencakup ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya. Tiga perkara ini menghimpun semua unsur dalam agama.

Perolehan ridha dalam derajat ini tergantung dari keberadaan yang diridhai hamba, apakah yang diridhai itu lebih dicintai dari segala sesuatu, lebih layak diagungkan dan lebih berhak ditaati, yang semua ini merupakan kaidah-kaidah ubudiyah, dan yang dari sini muncul cabangcabangnya.

Karena cinta yang sempurna itu merupakan kecenderungan hati secara total kepada yang dicintai, maka kecenderungan ini membawanya untuk taat dan mengagungkannya. Selagi kecenderungannya kuat, maka ketaatannya lebih sempurna dan pengagungannya lebih banyak. Kecenderungan ini mengharuskan adanya iman, dan bahkan merupakan ruh dan intinya iman. Lalu apakah yang lebih tinggi kedudukannya daripada sesuatu yang menjadikan Allah paling dicintai hamba, lebih layak diagungkan dan paling berhak ditaati?

Dengan cara inilah seorang hamba bisa merasakan manisnya iman, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda :"Tiga perkara, siapa yang tiga perkara ini adapada dirinya, maka akan merasakan manisnya iman, yaitu: Siapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, siapa yang mencintai seseorang, dia tidak mencintainya melainkan karena Allah, dan siapa yang tidak suka kembali kepada kekufuran, setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu, sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke neraka."

Beliau mengaitkan manisnya iman dengan ridha kepada Allah sebagai Rabb, yaitu keberadaan Allah sebagai sesuatu yang paling dicintai hamba, begitu pula Rasul-Nya. Karena cinta yang sempurna dan ikhlas ini merupakan buah ridha, maka ridha ini lebih tinggi daripada ridha kepada Rububiyah Allah, dan buahnya juga lebih tinggi, yaitu manisnya iman.

Perkataan Syaikh, "Dengan ridha inilah dibacakan ayat-ayat yang diturunkan", dia mengisyaratkan kepada firman Allah," Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungaisungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar." (Al-Maidah: 119).

Allah juga befirman di dalam surat Al-Mujadilah : "Dan, dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawah-nya sungai-sungai, mereka kekal di

dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung." (Al-Mujadilah: 22).

Firman Allah lainnya : "Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orangyang takut kepada Rabbnya." (Al-Bayyinah: 8).

Ayat-ayat ini mengandung balasan yang mereka terima, karena kebenaran, iman, amal-amal shalih dan jihad mereka memerangi musuhmusuh Allah. Allah ridha terhadap mereka dan Dia membuat mereka ridha terhadap-Nya. Yang demikian ini diperoleh setelah mereka ridha kepada Allah sebagai Rabb, ridha kepada Islam sebagai agama dan ridha kepada Muhammad sebagai rasul.

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, ridha ini dapat menjadi be-nar dengan tiga syarat: Menyelaraskan berbagai keadaan pada diri ham-ba, tidak membuat permusuhan dengan manusia dan tidak meminta-minta dengan merengek-rengek kepada makhluk.

Ridha terhadap Allah tidak akan terwujud kecuali dengan tiga syarat ini. Orang yang ridha harus menyelaraskan dan menyeimbangkan berbagai keadaan dirinya. Nikmat atau cobaan harus diterima dengan ridha, bahwa itu merupakan pilihan terbaik dari Allah bagi dirinya.

Yang dimaksudkan menyelaraskan berbagai keadaan di sini bukan tunduk dan pasrah begitu saja. Karena yang demikian ini bertentangan dengan tabiat manusia dan bahkan bertentangan dengan tabiat hewan. Juga bukan berarti menyeimbangkan ketaatan dan kedurhakaan, karena yang demikian ini menajikan ubudiyah dari segala sisi. Tapi maksudnya adalah menyeimbangkan antara nikmat dan cobaan dalam keridhaan, yang bisa dilihat dari beberapa sisi, yaitu:

1. Hamba adalah pihak yang memasrahkan. Pihak yang memasrahkan harus ridha terhadap pilihan pihak yang dipasrahi, apalagi jika dia tahu kesempurnaan hikmah, rahmat, kasih sayang, kelembutan dan kebagusan pilihannya.

2. Hamba bisa memastikan bahwa tidak ada perubahan terhadap kali-mat Allah dan tidak ada bantahan terhadap hikmah-Nya, dan apa pun yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi dan apa pun yang tidak dike-hendaki- Nya tidak akan terjadi. Dia juga tahu bahwa masing-masing di antara nikmat atau cobaan sudah ditetapkan dalam qadha' Allah dan qadar- Nya semenjak semula.

3. Dia adalah hamba semata. Yang disebut hamba itu tidak boleh marah terhadap keputusan Tuannya. Semua harus diterima dengan ridha.

4. Hamba adalah pihak yang mencintai. Orang yang mencintai secara tulus dan benar adalah yang ridha terhadap apa pun yang dilakukan kekasihnya.

5. Hamba tidak tahu apa kesudahan dari segala urusan. Yang lebih tahu tentang

kemaslahatan dan yang bermanfaat baginya adalah Tuannya.

6. Hamba adalah bodoh dan zhalim, sedangkan Allah menghendaki kemaslahatan baginya dan menyediakan sebab-sebabnya. Di antara sebab-sebab yang paling nyata ialah apa yang tidak disukai hamba. Kemaslahatannya karena hal-hal yang tidak disukainya justru lebih nyata daripada kemaslahatannya karena hal-hal disukai. Firman Allah : "Diwajibkan atas kalian berperang padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian bend. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian, dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui sedang kalian tidak mengetahui." (Al-Baqarah: 216).

7. Dia adalah orang Muslim, dan orang Muslim adalah orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah, tidak menentang ketetapan hukum-Nya dan tidak marah karenanya.

8. Dia adalah orang yang mengetahui Rabb-nya, berbaik sangka kepada- Nya dan tidak bersikap curiga terhadap qadha' dan qadar-Nya. Persangkaannya yang baik terhadap Allah mengharuskannya untuk menyeimbangkan berbagai keadaan dirinya dan ridha terhadap pilih-an- Nya.

9. Bagian yang diterimanya tergantung dari ridha dan amarahnya. Jika dia ridha terhadap pilihan Allah, maka dia juga akan mendapatkan ridha- Nya, dan jika dia marah terhadap pilihan Allah, maka dia juga akan menerima murka-Nya.

10.Dia tahu bahwa sekiranya dia ridha, maka ridhanya itu bisa berubah menjadi nikmat dan karunia, beban yang diembannya juga semakin ringan dan ada kegembiraan yang dirasakannya. Namun jika dia marah, maka beban yang diembannya akan terasa semakin berat dan tidak menambah kecuali kesulitan. Inti masalah ini, bahwa imannya kepada qadha' Allah merupakan kebaikan baginya, seperti yang di-sabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam : "Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, tidaklah Allah menetapkan qadha' bagi orang Mukmin melainkan itu merupakan kebaikan baginya. Jika dia ditimpa kesenangan, lalu dia bersyukur, maka itu menjadi kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan, lalu dia bersabar, maka itu menjadi kebaikan baginya, dan yangdemikian itu hanya bagi orang Mukmin saja."

11. Dia tahu bahwa kesempurnaan ubudiyahnya justru tampak ketika ada ketetapan hukum yang dibencinya. Sekiranya yang terjadi pada diri nya hal-hal yang disukainya, tentu dia akan jauh dari ubdudiyah ke pada Allah. Ubudiyahnya tidak akan menjadi sempurna, sekalipun disertai kesabaran, tawakkal, ridha, tunduk, pasrah dan lain-lainnya, kecuali jika ada qadar yang dibencinya. Yang menjadi pertimbangan bukan terletak pada keridhaan terhadap qadha' yang sesuai dengan tabiat, tetapi terletak pada qadha' yang menyakitkan dan dihindari tabiat.

12.Dia tahu bahwa ridhanya terhadap Allah dalam berbagai keadaan akan membuahkan keridhaan Allah terhadapnya. Jika dia ridha terhadap rezki yang sedikit, maka Allah ridha terhadap amalnya yang sedikit. Jika dia ridha terhadap Allah dalam semua keadaan dan menyeimbangkannya, maka dia akan mendapatkan Allah lebih cepat ridha kepadanya.

13. Dia tahu bahwa kegembiraan dan kenikmatannya yang paling besar ialah ridha terhadap Allah, karena ridha merupakan pintu Allah yang paling besar dan tempat peristirahatan orang-orang yang memiliki ma'rifat serta surga dunia.

14.Amarah merupakan pintu keresahan, kekhawatiran, kesedihan, kehancuran hati, persangkaan yang buruk terhadap Allah. Ridha membebaskannya dari semua itu dan membukakan pintu surga dunia sebelum surga akhirat.

15. Ridha mendatangkan thuma'ninah, hati yang dingin, kedamaian dan keteguhannya. Sedangkan amarah mendatangkan kegundahan, kegelisahan dan keguncangan hati.

16. Ridha menurunkan ketenangan, dan tidak ada yang lebih berman-faat selain dari ketenangan ini. Selagi ketenangan turun ke dalam hati, maka ia menjadi teguh dan keadaannya menjadi baik. Sedangkan amarah menjauhkan hati itu dari ketenangan.

17. Ridha membukakan pintu keselamatan, sehingga hatinya menjadi selamat dan bersih dari dusta, dengki dan khianat. Tidak ada yang selamat dari adzab Allah kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat. Tidak mungkin hati dikatakan selamat jika di dalam-nya juga ada amarah dan tidak ridha. Selagi hamba lebih ridha, maka hatinya lebih selamat. Dengki, dusta dan khianat merupakan pasang-an amarah. Keselamatan hati, kelapangan dan kebajikannya merupakan pasangan ridha.

18. Amarah akan mendatangkan ketidakteguhan hamba di hadapan Allah. Dia tidak ridha kecuali terhadap sesuatu yang sesuai dengan tuntutan tabiat dan nafsunya. Padahal di sana ada ketetapan yang sesuai dengan tabiatnya dan ada pula yang tidak sesuai. Jika ada ketetapan yang tidak sesuai, maka dia menjadi marah, sehingga dia tidak teguh dalam ubudiyah, dan jika ada ketetapan yang sesuai dengan tabiatnya, maka dia menjadi teguh dalam ubudiyah. Tidak ada yang menghilangkan ketimpangan ini dari hamba selain dari ridha.

19.Amarah membuka pintu keragu-raguan terhadap Allah, qadha' dan qadar-Nya, hikmah dan ilmu-Nya. Jarang sekali orang yang marah terlepas dari keragu-raguan yang menyusup ke dalam hatinya, sekali-pun mungkin dia tidak menyadarinya. Amarah dan keragu-raguan merupakan pasangan. Inilah makna yang terkandung dalam hadits riwayat At-Tirmidzy dan lain-lainnya, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

"Sekiranya engkau sanggup berbuat dengan ridha disertai keyakinan, maka lakukanlah. Jika engkau tidak sanggup, maka sabar dalam menghadapi sesuatu yang dibenci jiwa terdapat kebaikan yang banyak."

20. Ridha kepada apa yang ditakdirkan termasuk kebahagian anak Adam, dan marah kepada takdir merupakan penderitaannya, sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Musnad dan riwayat At-Tirmidzy, dari hadits Sa'd bin Abi Waqqash Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda : "Di antara kebahagiaan anak Adam ialah memohon pilihan yang ter-baik kepada Allah Azza wajalla, dan di antara kebahagiaan anak Adam ialah ridhanya kepada apa yang ditetapkan Allah. Di antara penderi-taan anak Adam ialah amarahnya kepada apa yang ditetapkan Allah, dan di antara penderitaan anak Adam ialah tidak mau memohon pilihan yang terbaik kepada Allah."

21. Ridha membuatnya tidak putus asa karena sesuatu yang tidak bias didapatkannya dan tidak gembira karena apa yang didapatkannya. Ini termasuk tanda kebaikan iman.

22. Siapa yang hatinya dipenuhi keridhaan kepada takdir, maka Allah memenuhi dadanya dengan kekayaan, rasa aman dan kepuasan, me- ngosongkan hatinya agar hanya mencintai-Nya dan tawakkal kepa-da- Nya.

23. Ridha membuahkan rasa syukur, yang termasuk kedudukan iman yang paling tinggi, bahkan itu merupakan hakikat iman, sedangkan ama-rah akan membuahkan kebalikannya, yaitu mengkufuri nikmat, dan bisabisa mengkufuri Pemberi nikmat. Jika hamba ridha kepada Rabb-nya dalam setiap keadaan, niscaya akan membuatnya syukur kepada-Nya, sehingga dia termasuk orang-orang yang ridha lagi syukur. Jika tidak ridha, maka dia termasuk orang-orang yang marah dan ini merupakan jalan orang-orang kafir.

24.Ridha menjauhkan hasrat dan kerakusan terhadap dunia, yang merupakan pangkal segala kesalahan dan dasar semua bencana. Ridha kepada Allah dalam setiap keadaan bisa menghapus materi bencana ini.

25. Biasanya syetan lebih berhasil memperdayai manusia saat dia marah dan saat menuruti syahwat, karena di sana terdapat umpannya. Terlebih lagi jika amarahnya sudah memuncak, maka dia akan mengatakan sesuatu yang tidak diridhai Allah, melakukan sesuatu yang tidak diridhai Allah dan meniatkan sesuatu yang tidak diridhai Allah. Karena itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda saat kematian putranya, Ibrahim, "Hati boleh bersedih dan mata boleh berlinang air mata, tapi kami tidak mengatakan kecuali yang diridhai Rabb." Sebab kematian anak biasanya merupakan peletup bagi hamba untuk marah kepada takdir. Dalam keadaan seperti itu beliau tidak mengucapkan kata-kata yang membuat kebanyakan orang merasa marah, lalu mereka pun mengatakan sesuatu yang tidak diridhai Allah. Maka dari itu Al-Fudhail bin Iyadh justru terlihat tersenyum saat anaknya raeninggal. Sehingga ada yang bertanya kepadanya, "Mengapa engkau justru tertawa saat anakmu meninggal?" Dia menjawab, "Sesungguhnya Allah telah menetapkan takdir-Nya. Maka aku ridha terhadap takdir-Nya itu." Sebagian orang ada yang menentang sikap Al-Fudhail ini, seraya berkata :

"Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menangis saat putra beliau meninggal dan mengabarkan bahwa hati boleh bersedih dan mata boleh menitikkan air mata." Padahal beliau berada di puncak keridhaan. Maka bagaimana mungkin tindakan Al-Fudhail itu diang-gap sebagai keutamaannya?" Yang pasti, hati Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah hati yang lapang, menyempurnakan semua tingkatan, seperti ridha terhadap Allah dan menangis karena kasih sayang kepada anak kecil. Beliau mempunyai kedudukan ridha dan kasih sayang serta kelembutan hati. Sedangkan hati Al-Fudhail tidak lapang untuk diisi ridha dan kasih sayang. Di dalam hatinya tidak terhimpun dua perkara ini.

26. Ridha adalah pilihan Allah bagi hamba-Nya, dan amarah merupakan kebencian yang tidak dipilih Allah bagi hamba-Nya, dan ini termasuk jenis penentangan, yang tidak bisa dibebaskan kecuali dengan ridha terhadap Allah dalam segala keadaan.

27.Ridha mengeluarkan hawa nafsu dari hati. Hawa nafsu orang yang ridha mengikuti kehendak Rabb-nya, yaitu kehendak yang dicintai dan diridhai-Nya. Ridha dan keinginan mengikuti hawa nafsu tidak akan menyatu di dalam hati untuk selama-lamanya.

28. Ridha terhadap Allah dalam segala keadaan membuahkan ridha Allah bagi hamba. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, pahala itu termasuk jenis amal. Dalam atsar Isra'iliyat disebutkan, bahwa Musa Alaihis-Salam bertanya kepada Rabb-nya, "Apakah yang bisa mendekatkan diriku dengan ridha-Mu?" Maka Allah menjawab, "Sesungguhnya Ridha-Ku ada dalam ridhamu kepada qadha'-Ku."

29. Ridha terhadap qadha' adalah sesuatu yang paling berat bagi jiwa, karena ridha ini bertentangan dengan nafsu, tabiat dan keinginan-nya. Jiwa tidak akan tenang hingga ia ridha terhadap qadha'. Pada saat itulah ia berhak mendapat seruan dari Allah, "Hai jiwa yang tenang...."

30. Orang yang ridha menerima perintah-perintah Rabb-nya, baik yang berupa perintah agama maupun takdir, dengan lapang, tunduk dan patuh. Sedangkan yang marah menerima perintah-Nya dengan kebalikannya, kecuali jika perintah itu sesuai dengan tabiat dan kehendak-nya. Tapi ridha ini tidak mendatangkan pahala baginya, karena dia tidak ridha kepada Allah yang telah menetapkan qadha' baginya dan memerintahnya.

31. Semua penentangan pada dasarnya adalah tidak ridha, dan semua ketaatan pada dasarnya adalah ridha. Hal ini dapat diketahui seseorang yang benar-benar mengetahui sifat-sifat dirinya, dan mengetahui ketaatan atau kedurhakaan yang muncul dari sifat-sifat tersebut.

32. Tidak ridha membukakan pintu bid'ah dan ridha menutup pintu bid'ah. Jika engkau memperhatikan bid'ah golongan Rafidhah, Kha-warij dan lain-lainnya, tentu engkau akan mengetahui bahwa semua itu bermula dari tidak adanya ridha terhadap hukum alam atau hu-kum agama, atau kedua-duanya.

33. Ridha merupakan pembatas aturan agama, zhahir maupun batin. Semua urusan tidak lepas dari lima hai, yaitu: hal-hal yang diperintahkan, yang dilarang, yang mubah, nikmatyang menyenangkan, dan cobaan yang menyengsarakan. Jika hamba mempergunakan ridha dalam semua perkara ini, berarti dia telah mengambil bagian yang banyak dari Islam dan mendapat keberuntungan.

34. Ridha membebaskan hamba dari penentangan terhadap Rabb, berkaitan dengan hukum dan ketetapan-ketetapan-Nya. Sedangkan ama-rah merupakan penentangan terhadap Rabb, karena hamba tidak ridha kepada-Nya. Dasar penentangan Iblis terhadap Rabb-nya ialah tidak ridha terhadap hukum-hukum-Nya, agama maupun alam.

35. Semua yang ada di alam ini tunduk kepada kehendak Allah, hikmah dan kekuasaan-Nya. Hal ini sesuai dengan asma' dan sifat-sifat-Nya. Siapa yang tidak ridha terhadap apa yang diridhai Allah, berarti dia tidak ridha terhadap asma' dan sifat-sifat-Nya, yang berarti tidak ridha kepada-Nya sebagai Rabb.

36. Setiap takdir yang dibenci hamba dan tidak sesuai dengan kehendaknya, tidak lepas dari dua perkara:

- Itu merupakan hukuman atas dosanya, namun hai ini diibaratkan obat dari suatu penyakit, yang andaikan Allah tidak memberinya obat, tentu dia akan terjerumus ke dalam kebinasaan.

- Itu bisa menjadi sebab untuk mendapatkan suatu nikmat, yang tidak bisa didapatkan kecuali lewat sesuatu yang dibenci itu. Sebab sesuatu yang dibenci pasti akan berakhir dan tidak berlalu selamalamanya. Sementara nikmat yang muncul setelah itu tidak terpu-tus.

37.Hukum Allah pasti berlaku pada diri hamba-Nya dan qadha'-Nya adil padanya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, "Hukum-Mu berlaku pada diriku, qadha'-Mu adil pada diriku." Siapa yang tidak ridha terhadap keadilan Allah, maka dia termasuk orang yang zhalim dan jahat.

38.Hamba tidak ridha, entah karena tidak mendapatkan apa yang disukainya, entah karena mendapatkan apa yang dibencinya. Jika dia yakin bahwa apa yang tidak dia dapatkan bukan untuk menimpakan musibah kepadanya, dan musibah yang menimpanya bukan untuk membuatnya tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya, maka tidak ada gunanya dia marah setelah itu jika dia tidak mendapatkan apa yang dianggapnya bermanfaat dan mendapatkan apa yang di-anggapnya bermudharat.

39.Ridha termasuk amal-amal hati seperti halnya jihad yang termasuk amal-amal anggota tubuh. Masing-masing di antara keduanya merupakan puncak gundukan iman.

40.Kedurhakaan yang pertama kali terhadap Allah di dalam ini adalah semata-mata muncul dari tidak ridha. Iblis tidak ridha terhadap keputusan Allah, berupa hukum alam yang memuliakan Adam, tidak pula ridha terhadap hukum agama, yang memerintahkannya sujud kepa-da Adam, dan Iblis tidak ridha karena Adam berada di

surga. Maka dia membujuknya untuk memakan dari pohon yang dilarang. Setelah itu kedurhakaan terus menjalar, berupa tidak sabar dan tidak ridha.

41.Hamba yang ridha beserta pilihan Allah dan menerima pilihan Allah bagi dirinya. Hal ini muncul dari kekuatan ma'rifatnya tentang Allah dan pengetahuan tentang dirinya.

42.Harus disadari bahwa penahanan Allah bagi hamba-Nya yang mencintai pada hakikatnya adalah pemberian, dan musibah yang ditimpakan kepadanya pada hakikatnya adalah afiat. Sebab Allah tidak menahan karena bakhil atau tidak ada yang diberikan, tapi karena mempertimbangkan kebaikan bagi hamba-Nya yang Mukmin. Jadi penahanan-Nya merupakan pilihan yang terbaik baginya. Orang yang berakal dan ridha ialah yang menganggap cobaan sebagai afiat, menganggap penahanan sebagai nikmat, dan menganggap kefakiran sebagai kekayaan. Allah telah mewahyukan kepada sebagian nabi-Nya, "Jika engkau melihat kedatangan orang fakir, maka katakanlah, 'Sela-mat datang wagai syiar orang-orang shalih'. Dan jika engkau melihat kedatangan orang kaya, maka katakanlah, 'Ini adalah dosa yang dipercepat hukumannya'." Orang yang ridha ialah yang menganggap nikmat Allah yang diberikan kepadanya, berupa hal-hal yang dibencinya, lebih banyak daripada nikmat Allah yang diberikan kepadanya, berupa hal-hal yang disukainya, seperti yang dikatakan sebagian orang arif, "Wahai anak Adam, nikmat Allah yang diberikan kepadamu berupa hal-hal yang engkau benci, lebih banyak dan lebih besar daripada nikmat Allah yang diberikan kepadamu, berupa hal-hal yang engkau sukai."

43. Hamba harus tahu bahwa Allah adalah Yang Awal sebelum segala sesuatu dan Yang Akhir sesudah segala sesuatu, Yang Menundukkan segala sesuatu, Yang Berkuasa atas segala sesuatu. Dialah yang menciptakan menurut kehendak dan pilihan-Nya. Hamba tidak bisa menentukan pilihan bagi Allah dan siapa pun yang tidak bisa memilih beserta Allah atau pun bersekutu dalam hukum-Nya. Hamba bukan sesuatu yang layak untuk diingat. Allahlah yang memilih keberadaannya dan memilih baginya menurut qadha' dan qadar-Nya, berupa afiat atau cobaan, kaya atau miskin, mulia atau hina, pandai atau bodoh. Sebagaimana Allah yang sendirian dalam mencipta, maka Dia juga sendirian dalam memilih dan mengatur bagi hamba. Semua urusan milik Allah. Allah telah befirman kepada Nabi-Nya : "Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu." (Ali Imran: 128). Jika hamba sudah yakin bahwa semua urusan ada di Tangan Allah dan dia tidak berhak atas satu urusan pun, sedikit atau banyak, maka tidak ada pilihan lain baginya kecuali ridha terhadap apa pun yang terjadi.

44. Ridha Allah terhadap hamba-Nya lebih besar daripada surga dan seisinya. Sebab ridha merupakan sifat Allah, sedangkan surga merupakan ciptaan-Nya. Allah befirman, "Allah menjanjikan kepada orang-orang yang Mukmin, lelaki dan perempuan (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungaisungai, mereka kekal di dalamnya,

dan (mendapat) tempat-tempatyang bagus di surga Adn. Dan, keridhaan Allah adalah lebih besar." (At- Taubah: 72). Ridha Allah ini merupakan balasan atas ridha mereka di dunia terhadap Allah. Karena ini merupakan pahala yang paling mulia, maka sebabnya pun merupakan amal yang paling mulia.

45. Jika hamba ridha kepada Allah dan terhadap Allah atas semua keadaan, maka dia tidak akan memilih ini dan itu. Ridhanya terhadap apa pun yang diberikan kepadanya sudah cukup baginya. Dia mengingat Allah sebagai pengganti dari permohonan kepada-Nya. Bahkan permohonannya kepada Allah dijadikan sebagai pertolongan untuk dapat mengingat- Nya dan mencapai ridha-Nya. Hamba yang meminta semacam ini akan mendapat pemberian yang paling baik, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits qudsy : "Siapa yang sibuk mengingat-Ku hingga lalai memohon kepada-Ku, maka Aku memberinya yang paling baik dari apa yang Kuberikan kepada orang-orang yang meminta." (Diriwayatkan At-Tirmidzy dan Ad- Darimy). Orang-orang yang meminta tentu saja memohon kepada-Nya. Allah memberikan yang baik seperti yang mereka pinta. Sedangkan orangorang yang ridha senantiasa ridha terhadap Allah, lalu Allah memberikan ridha-Nya terhadap mereka.

46. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menganjurkan agar hamba menca-pai kedudukan yang paling tinggi. Jika tidak sanggup, maka cukup pertengahan kedudukan, sebagaimana sabda beliau, "Beribadahlah kepada Allah, seakan-akan engkau melihat-Nya." Ini mencakup selu-ruh kedudukan, Islam, iman dan ihsan. Kemudian beliau melanjut-kan, "Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu." Jika tidak bisa mencapai kedudukan yangpertama, maka dianjurkan untuk mencapai kedudukan kedua, yaitu tahu bahwa Allah mengetahui dan melihatnya, di mana pun dia berada.

47. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memuji orang-orang yang ridha terhadap hukum, pengetahuan dan pemahaman qadha', dan menganggap mereka mendekati derajat nubuwah, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits tentang sekumpulan utusan yang datang kepada beliau, lalu beliau bertanya kepada mereka, "Siapakah kalian?" Mereka menjawab, "Kami adalah orang-orang yang beriman." Beliau bertanya lagi, "Apa tanda iman kalian?" Mereka menjawab, "Sabar saat ditimpa musibah, syukur saat menda-pat kesenangan, ridha terhadap qadha', lurus dan benar di tempat pertempuran dan tidak mencaci maki musuh." Beliau bersabda, "Mereka adalah orang-orang yang bijak dan beril-mu. Karena pemahaman ini hampir-hampir mereka menjadi nabi."

48. Ridha memegang kendali semua kedudukan agama, ruh dan kehidupannya. Ridha adalah ruh tawakkal dan hakikatnya, ruh keyakinan, ruh cinta, bukti ketulusan cinta, ruh syukur dan buktinya. Ar-Rabi' bin Anas berkata, "Tanda cinta kepada Allah adalah banyak mengingat-Nya, sebagaimana jika engkau mencintai sesuatu, tentu engkau akan banyak mengingatnya. Tanda agama adalah ikhlas karena Allah di saat sendirian atau

saat ramai. Tanda syukur adalah ridha terhadap qadar Allah dan pasrah kepada qadha'-Nya."

49.Ridha menggantikan kedudukan berbagai ibadah yang sulit dilaku-kan badan. Ridhanya akan memberikan kemudahan dan meninggi-kan derajatnya. Telah disebutkan dalam atsar Isra'ilyat, bahwa ada seorang ahli ibadah yang senantiasa beribadah kepada Allah. Suatu hari dia bermimpi bahwa Fulanah, seorang wanita tetangganya yang menjadi penggembala, kelak akan masuk surga. Ahli ibadah itu bertanya tentang tetangga yang dimaksudkan itu, lalu dia meminta agar diperkenankan menginap di rumahnya selama tiga hari saja, agar dia bisa melihat apa saja yang dilakukan wanita itu. Selama tiga hari itu ahli ibadah senantiasa shalat malam, sementara wanita tersebut tidur. Pada siang harinya dia berpuasa, sedangkan wanita itu tidakpuasa. Ahli ibadah penasaran, lalu dia bertanya, " Apakah engkau tidak mem-punyai amal selain yang kulihat saat ini?" Wanita itu menjawab, "Demi Allah, memang hanya inilah yang kulakukan." Ahli ibadah terus bertanya, sampai akhirnya dia berkata, "Cobalah ingat-ingat, mungkin masih ada yang lain." Akhirnya wanita itu berkata, "Benar, ada satu perkara yang sangat remeh bagiku, bahwa jika aku ditimpa kesempitan, maka aku tidak mengharap kelapangan. Jika aku sakit, maka aku tidak mengharap kesehatan. Jika aku dibakar terik matahari, maka aku tidak mengharap keteduhan." Ahli ibadah itu meletakkan tangannya di atas kepala, lalu berkata, "Ini perkara yang remeh? Demi Allah, ini adalah perkara yang besar dan para ahli ibadah pun banyak yang tidak sanggup mengerjakan-nya.". Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Sia-pa yang ridha terhadap apa yang diturunkan dari langit ke bumi, maka dosadosanya telah diampuni." Dalam sebuah hadits marfu' disebutkan, "Hal terbaik yang diberikan kepada hamba ialah ridha terhadap pembagian yang diberikan Allah kepadanya.." Dalam atsar lain disebutkan, "Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia mengujinya. Jika hamba itu sabar, maka Dia memilihnya, dan jika hamba itu ridha, maka Dia mensucikannya." Dalam wasiat Luqman kepada anaknya disebutkan, "Kuwasiatkan kepadamu beberapa perkara yang dapat mendekatkan dirimu kepada Allah dan menjauhkanmu dari kemurkaan-Nya, yaitu hendaklah engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya, hendaklah engkau ridha terhadap qadar Allah, dalam perkara yang engkau sukai maupun yang engkau benci." Di antara orang arif ada yang berkata, "Siapa yang tawakkal kepada Allah dan ridha terhadap qadar-Nya, maka dia telah menegakkan iman, tangan dan kakinya hanya untuk mencari kebaikan serta menegakkan akhlak yang baik, yang mendatangkan kemaslahatan bagi uru-annya."

50. Ridha membuka akhlak yang baik dalam bermu'amalah dengan Allah dan bermu'amalah dengan manusia, karena akhlak yang baik itu termasuk ridha, dan akhlak

yang buruk itu termasuk amarah. Akhlak yang baik mengangkat pelakunya ke derajat orang yang ber-puasa pada siang harinya dan mendirikan shalat pada malam hari-nya. Sedangkan akhlak yang buruk menghapus kebaikan, sebagaimana api yang menghanguskan kayu bakar.

51.Ridha membuahkan kesenangan hati terhadap apa pun yang ditakdirkan, ketenangan dan kedamaian jiwa dalam menghadapi keadaan macam apa pun dari urusan dunia, kepuasan dan kepasrahan terhadap Rabb-nya dan tidak membuat dirinya mengeluh dan mengadu kepa-da selain-Nya. Maka sebagian orang arif ada yang menyebut ridha dengan akhlak yang baik beserta Allah, sehingga dalam dirinya tidak ada penentangan terhadap kekuasaan Allah dan komentar yang macam- macam, sehingga dapat menodai akhlaknya. Dia tidak akan berkata, "Manusia sangat membutuhkan hujan. Ini adalah hari yang sangat panas. Kemiskinan adalah musibah." Dia tidak menyebut sesuatu pun yang ditetapkan Allah dengan sebutan yang tercela, kalau memang Allah tidak mencelanya, karena semua itu bisa menajikan ridha. Ibnu Mas'udberkata, "Kemiskinandan kekayaan merupakan dua tunggangan, dan aku tidak peduli mana yang kujadikan tunggangan. Jika miskin, maka di dalamnya ada kesabaran, dan jika kaya, di dalamnya ada pengeluaran." Ibnu Abil-Hawary berkata, "Ada seseorang berkata, 'Aku ingin malam ini lebih panjang dari semestinya'. Maka kukatakan, "Ada baiknya dan ada pula buruknya. Baiknya, dia berharap dapat lebih banyak beribadah dan bermunajat. Buruknya, dia berharap yang tidak dikehendaki Allah dan menyukai apa yang tidak disukai Allah." Umar bin Al-Khaththab berkata, "Aku tidak peduli apa yang terjadi pada diriku pada pagi dan sore hari, apakah aku susah atau senang." Suatu hari Umar bin Al-Khaththab dibuat marah oleh istrinya, Ati-kah. Maka Umar berkata kepada istrinya, "Demi Allah, aku benar-benar akan membuatmu celaka." Atikah menyahut, "Apakah engkau bisa mengeluarkan aku dari Islam setelah Allah memberikan petunjuk kepadaku?" "Tidak," jawab Umar. Atikah berkata, "Lalu kecelakaan macam apa lagi yang hendak engkau timpakan kepadaku setelah itu? Dengan kata lain, Atikah ridha terhadap keadaan apa pun dan tidak ada yang membuatnya celaka selain dari membuatnya keluar dari Islam. Sementara tak seorang pun bisa melakukannya.

52.Keadaan yang paling baik ialah menginginkan Allah, yang hanya bias dilakukan dengan keyakinan dan ridha terhadap Allah. Karena itu Sahl berkata, "Bagian makhluk dalam keyakinan tergantung pada bagian mereka dalam ridha, dan bagian mereka dalam ridha tergantung dari kehendak mereka terhadap Allah."

53.Ridha membebaskan hamba dari cela selagi Allah tidak mencelanya, membebaskan dari kecaman selagi Allah tidak mengecamnya. Jika hamba tidak ridha terhadap sesuatu, maka Allah mencelanya dengan berbagai macam celaan dan kecaman, karena

yang demikian itu mencerminkan rasa malunya yang sedikit terhadap Allah. Andaikan seseorang membuat makanan bagimu lalu dia menghidang-kannya kepadamu, namun engkau mencela makanan itu, berarti engkau telah memancing kemarahannya dan membuat dia tidak sudi lagi menyuguhimu.

54. Nabi Sliallallalni Alaihi wa Sallam memohon ridha terhadap qadha', seperti yang disebutkan di dalam Al-Musnad : "Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang yang gaib dan kekuasaan-Mu atas niakhluk, hidupkanlah aku sekiranya hidup itu lebih baik bagiku, dan matikanlah aku sekiranya niati itu lebih baik bagiku. Aku memohon ketakutan kepada-Mu saat sembunyi-sembunyi dan saat terang-terangan. Aku memohon kepada-Mu kalimat yang benar saat marah dan saat ridha. Aku memohon kepada-Mu kesederhanaan saat fakir dan saat kaya. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak habis. Aku memohon kepada-Mu kesenangan yang tidak terputus. Aku memohon kepada-Mu ridha setelah qadha'. Aku memohon kepada-Mu hidup yang dingin setelah kematian. Aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang Wajah-Mu Yang Mulia. Aku memohon kepada-Mu kerinduan bersua dengan-Mu, tanpa ada kesulitan dan yang mudharat serta tidak ada cobaan yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan hiasan iman, dan jadikanlah kami pemimpin orang-orang yang mendapat petunjuk."

Saya mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Beliau memohon ridha kepada-Nya setelah qadha'. Sebab pada saat itulah akan terlihat hakikat ridha. Sedangkan ridha sebelum ada qadha', hanya sebatas hasrat untuk ridha menerimanya. Ridha ini akan tampak setelah ada qadha'."

55. Ridha terhadap qadar Allah tidak membuat hamba untuk meridhai manusia dengan kemurkaan Allah dan mencela mereka dengan sesuatu yang tidak diperkenankan Allah, serta memuji mereka dengan karunia Allah. Pada mulanya dia zhalim, karena meridhai dan mencela mereka, berikutnya dia musyrik karena memuji mereka. Namun jika hamba ridha terhadap qadha', maka dia tidak akan mencela atau memuji mereka.

56. Ridha bisa mengosongkan hati hamba, mengurangi kegelisahan dan kegundahannya, lalu dia tekun beribadah kepada Rabb-nya dengan hati yang ringan, tanpa diberati beban dunia dan segala keresahannya, seperti yang disebutkan Ibnu Abid-Dunya dari Bisyr bin Al-Mujasyi'y, dia berkata, "Aku pernah berkata kepada seorang ahli ibadah, "Berilah aku nasihat." Maka ahli ibadah itu berkata, "Tempatkanlah dirimu bersama qadar seperti yang dikehendakinya, karena yang demikian ini bisa mengosongkan hatimu dan mengurangi kegelisahanmu. Dan, jangan-lah engkau marah kepadanya, sehingga di dalam dirimu tertanam kemarahan, sementara engkau tidak menyadarinya, sehingga ia melemparkan dirimu bersama orang-orang yang dimurkai Allah."

57.Jika hamba tidak ridha terhadap satu qadar, maka dia akan mentela berbagai macam qadar, entah dengan tubuhnya, hatinya atau keadaannya. Jika sudah begitu, maka dia akan mencela pembuat qadar dan juga manusia. Akhirnya Allah dan semua manusia

mencelanya. Karena mereka saling cela-mencela, maka kemudian menajikan ubudiyah. Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu berkata, "Aku menjadi pelayan Ra-sulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam selama dua puluh tahun. Sela-ma itu pula beliau tidak pernah bertanya kepadaku, "Mengapa kamu berbuat begitu?" Beliau juga tidak berkata kepadaku jika aku tidak melakukan sesuatu, "Mengapa kamu tidak berbuat begitu?" Dan beliau tidak pernah berkata kepadaku karena sesuatu yang sudah terja-di, "Sekiranya tidak terjadi." Dan, beliau juga tidak berkata kepadaku karena sesuatu yang tidak terjadi, "Sekiranya terjadi." Jika sebagian keluarga beliau ada yang mencelaku, maka beliau bersabda, "Biarkan dia. Kalau memang ada sesuatu yang ditakdirkan, tentu ia akan terjadi."

58. Jika ada keseimbangan antara dua perkara kaitannya dengan ridha Allah, yang ini diridhai-Nya bagi hamba lalu menakdirkannya, dan yang ini tidak diridhai-Nya bagi hamba lalu tidak menakdirkannya, maka antara keduanya harus ada keseimbangan yang dikaitkan dengan hamba, sehingga dia bisa meridhai apa yang diridhai Allah dalam dua keadaan ini.

59. Allah melarang hamba mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam hokum agama dan syariat. Berarti di sana ada ubudiyah sesuai dengan perintah syariat agama. Sedangkan ubudiyah perintah-Nya yang berkaitan dengan qadar ialah tidak mendahului Allah kecuali jika ada kemaslahatan yang pasti. Berarti masalah mendahului harus sesuai dengan perintah qadar dan agama. Jika yang diwajibkan adalah sabar atau ridha, lalu dia mengabaikannya, berarti dia mendahului syariat dan qadar-Nya.

60. Cinta, ikhlas dan pasrah kepada Allah tidak akan terwujud kecuali lewat ridha. Orang yang mencintai tentu ridha terhadap kekasihnya dalam keadaan bagaimana pun. Imran bin Hushain terserang sakit perut dan terus-menerus buang air besar. Dia diam telentang cukup lama, tidak bisa duduk apalagi berdiri. Tempat tidurnya dilubangi untuk buang air besar. Suatu hari Mutharrif bin Abdullah Asy-Syikhir masuk ke dalam rumah Hushain, dan langsung menangis saat melihat keadaannya. "Mengapa engkau menangis?" tanya Hushain. "Karena aku melihat keadaanmu yang mengenaskan ini," jawab Mu-tharrif. "Tak perlu engkau menangis, karena apa yang paling kusukai tentu juga paling disukai Allah." Setelah diam beberapa saat, dia berkata lagi, "Aku ingin memberitahukan sesuatu kepadamu, semoga Allah memberikan manfaat kepadamu, dan rahasiakanlah hal ini hingga aku meninggal dunia, bahwa para malaikat mengunjungiku. maka aku menyambut kedatangan mereka, dan mereka mengucapkan salam kepadaku, hingga aku dapat mendengar salam mereka." Ketika Sa'd bin Abi Waqqash datang di Makkah, sementara dia buta, maka banyak orang yang datang kepadanya dan meminta" agar dia berdoa bagi mereka. Maka dia memenuhi permintaan mereka dan berdoa bagi mereka. Abdullah bin As-Sa'ib berkata, "Ketika itu aku masih kecil. Aku menemuinya dan memperkenalkan diri kepadanya. Rupanya dia sudah

mengenalku. Aku berkata, "Wahai paman, engkau berdoa bagi mereka, hingga mereka pun sembuh dari penyakitnya. Lalu mengapa engkau tidak berdoa bagi dirimu sendiri agar Allah mengembalikan penglihatanmu?" Sa'd tersenyum lalu berkata, "Wahai anakku, qadha' Allah ini lebih kucintai daripada penglihatanku."

61.Amal-amal anggota tubuh dilipatgandakan hingga bilangan terten-tu. Sedangkan amal hati tidak ada batasan penggandaannya. Sebab amal anggota tubuh memang ada batasan penghabisan dan pemberhentiannya, sehingga pahalanya tergantung dari batasannya. Sedangkan amal hati terus-menerus berkait, sekalipun kesaksian hamba terhadap amal ini surut. Contohnya, cinta dan ridha merupakan keadaan orang yang mencin-tai dan ridha. Perasaan ini tidak akan berpisah sama sekali darinya, senantiasa berhubungan selagi keadaannya tetap seperti itu. Bahkan perasaan itu terus bertambah sekalipun anggota tubuhnya melemah. Bahkan dalam keadaan lemah dan diam ini perasaan tersebut semakin bertambah dan lebih banyak dari orang yang banyak mendirikan shalat-shalat nafilah. Tambahan perasaan itu bertambah banyak pada saat dia tidur, lebih banyak daripada orang yang mendirikan shalat. Jika engkau masih belum bisa menerima hal ini, perhatikanlah keadaan orang yang tidur dan hatinya bersama Allah dengan orang yang mendirikan shalat, sementara hatinya melalaikan Allah. Allah melihat hati, hasrat dan niat, tidak melihat rupa amal. Nilai seorang hamba tergantung pada hasrat dan kehendaknya. Siapa yang tidak bisa dibuat ridha karena sesuatu selain Allah, sekalipun dia diberi dunia dan seisinya, maka dialah orang yang berkedudukan. Siapa yang dibuat ridha karena sesuatu yang sedikit, maka dia juga termasuk orang yang berkedudukan, sekalipun amalnya sama.

62. Keadaan orang yang ridha dan pasrah, menjadi teratur, saat senang maupun saat susah, karena dia sudah menyerahkan kehendaknya kepada kehendak Allah. Setiap orang yang mencintai tentu merindukan perjumpaan dengan kekasihnya dan mementingkan keridhaannya. Kembali ke pembahasan semula tentang syarat-syarat ridha, bahwa syarat kedua ialah tidak membuat permusuhan dengan manusia. Dengan kata lain, ridha dianggap sah dan benar jika seorang hamba menggugurkan permusuhan dengan makhluk, karena permusuhan ini bisa menajikan keadaan ridha dan menajikan pengaitan segala sesuatu ke tangan yang menetapkan qadha' dan qadar.

Permusuhan ini menimbulkan beberapa dampak:

- Kecenderungan kepada kebalikan ridha.

- Mengurangi tauhid, jika dikaitkan dengan permusuhan yang dilancarkan hamba kepada selain Pencipta segala sesuatu.

- Melalaikan sebab yang menimbulkan permusuhan itu. Sekiranya hamba kembali kepada sebab, maka kesibukannya untuk melenyapkan permusuhan ini lebih tepat dan lebih bermanfaat baginya. Jika dalam pandangan seorang hamba sudah terhimpun kesaksian terhadap qadar, tauhid, hikmah dan keadilan, tentu dia lebih suka menutup pintu permusuhan dengan makhluk, kecuali dalam perkara yang sesuai dengan hak Allah dan Rasul-Nya. Orang yang ridha tentu tidak akan memusuhi dan tidak mencela kecuali terhadap sesuatu yang berkaitan dengan hak Allah. Begitulah keadaan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau tidak pernah memusuhi dan tidak mencela seseorang kecuali dalam perkara yang berkaitan dengan hak Allah. Beliau juga tidak marah kepada diri sendiri. Tapi jika ada kehormatan Allah yang dilanggar, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi kemarahan beliau sampai akhirnya beliau membalasnya karena Allah. Permusuhan dapat memadamkan cahaya ridha, mengganti kemanisan dengan kepahitannya, kejernihan dengan kekeruhannya.

Syarat ridha yang ketiga ialah tidak meminta-minta dan merengekrengek kepada makhluk, karena meminta-minta ini mencerminkan penentangan, permusuhan dan menghindar dari Dzat yang menguasai manfaat dan mudharat, lalu beralih kepada orang yang terhadap dirinya pun dia tidak bisa mengendalikan manfaat dan mudharat. Sedangkan meminta dengan merengek-rengek dan mendesak, menajikan keadaan ridha dan sifatnya. Allah memuji orang-orang yang tidak meminta kepada manusia secara merengek-rengek, "Dan, orang yang tidak menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak."(Al-Baqarah: 273).

Segolongan ulama berpendapat, maksudnya mereka meminta kepada orang lain sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, tetapi mereka tidak meminta secara mendesak dan merengek-rengek. Jadi Allah menajikan dari mereka meminta secara mendesak, dan tidak menajikan meminta-minta secara mutlak. Menurut Ibnu Abbas, jika mereka mempunyai makan pagi, maka mereka tidak meminta untuk makan malam, dan jika mereka mempunyai makan malam, mereka tidak meminta untuk makan pagi.

Golongan lain berpendapat, bahwa mereka sama sekali tidak meminta- minta, sebab mereka disifati sebagai orang-orang yang menjaga kehormatan dirinya dan sifat-sifat mereka pun sudah diketahui. Sebab seandainya mereka menghinakan diri dengan meminta-minta, tentunya orang yang tidak mengetahui siapa diri mereka yang sebenarnya, akan menyangka bahwa mereka adalah orang-orang yang kaya.

Meminta-minta ini pada dasarnya adalah haram, lalu diperbolehkan karena ada kebutuhan yang mendesak dan keadaan yang memaksa, karena meminta-minta ini merupakan jenis kezhaliman terhadap hak Rububiyah, kezhaliman terhadap hak orang yang diminta dan sekaligus hak orang yang meminta.

Dikatakan kezhaliman terhadap hak Rububiyah Allah, karena hal ini menyatakan permintaan, kebutuhan dan kehinaan kepada selain Allah, yang demikian ini termasuk ubudiyah. Hal ini juga sama dengan meletakkan permintaan bukan pada tempatnya, meminta kepada yang tidak layak untuk dimintai, kezhaliman terhadap pengesaan Allah dan keikhlasan kepada-Nya, menodai kebutuhan, tawakkal dan keridhaan terhadap pembagian-Nya, lebih suka meminta kepada manusia daripada kepada Allah. Semua ini bisa mengurangi hak tauhid, memadamkan cahayanya dan melemahkan kekuatannya.

Dikatakan kezhaliman terhadap hak orang yang dimintai, karena dia meminta

kepadanya apa yang sebenarnya bukan merupakan miliknya, sehingga dia meminta hak yang bukan haknya, membebani orang yang dimintai dengan keberatan pengeluaran atau celaan jika dia tidak memberinya. Kalau pun memberi, maka dia akan memberinya dengan berat hati, dan kalau pun tidak memberi, maka dia harus menanggung rasa malu dan tekanan batin. Tapi jika yang diminta merupakan hak orang yang meminta, maka tidak termasuk dalam hal ini.

Dikatakan kezhaliman terhadap orang yang meminta, karena meminta- minta itu sama dengan meneteskan air mukanya dan menghinakan dirinya kepada selain Khaliqnya, menempatkan dirinya pada kedudukan yang sangat rendah, ridha terhadap runtuhnya kemuliaan dan kehormatannya, menjual kesabaran, ridha, tawakkal, kepuasan pada pembagiannya dan lmerasa lebih membutuhkan manusia. Jadi jelas hal ini merupakan kezhaliman terhadap diri sendiri. Telah disebutkan dalam Ash-Shahihain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda : "Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, salah seorang di antara kalian mengambil seutas talinya lalu dia memanggul kayu bakar di atas punggungnya dan menjualnya kepada manusia, lebih baik baginya daripa-da dia menemui seseorang lalu meminta-minta kepadanya, diberi atau tidak diberi."

Di dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda : "Salah seorang di antara kalian pergi pada pagi hari lalu memanggul kayu bakar di atas punggungnya, lalu dia menjualnya dan tidak meminta- minta kepada manusia, lebih baik baginya daripada dia meminta minta kepada seseorang, diberi atau tidak diberi. Yang demikian itu karena tangan yangdi atas lebih baik daripada tangan yangdi bawah, dan mulailah dengan memberi orang yang ada dalam tanggunganmu."

Al-lmam Ahmad menambahi, "Dia mengambil tanah lalu memasukkannya ke dalam mulutnya, lebih baik baginya daripada memasukkan apa yang diharamkan Allah ke dalam mulutnya."

Di dalam Shahih Al-Bukhary disebutkan dari Az-Zubair bin Al-Awwam Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Salah seorang di antara kalian mengambil seutas talinya, lalu memanggul seikat kayu bakar di atas punggungnya lalu menjualnya, sehingga Allah menjaga mukanya, lebih baik baginya daripada dia meminta- minta kepada manusia, mereka memberinya atau tidak memberinya."

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Abu Sa'id Al-Khudry Radhiyallahu Anhu, bahwa ada beberapa orang dari kalangan Anshar yang meminta kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu beliau memberi mereka. Kemudian mereka meminta lagi dan beliau memberi mereka. Kemudian mereka meminta lagi dan beliau memberi mereka, hingga semua harta yang ada di tangan beliau habis. Lalu beliau bersabda kepada

mereka, "Apa pun kebaikan yang ada di tanganku, maka seka-li-kali aku tidak akan menyimpannya dan aku akan memberikannya kepada kalian. Namun siapa yang menjaga kehormatan dirinya dari memintaminta, maka Allah akan menjaga kehormatannya. Siapa yang meminta kecukupan, maka Allah akan mencukupkan baginya, dan siapa yang berusaha bersabar, maka Allah membuatnya bersabar. Tidaklah seseorang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran."

Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Aku per-nah meminta kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Maka be-liau memberiku. Kemudian aku meminta lagi kepada beliau dan beliau memberiku. Kemudian beliau bersabda kepadaku, "Wahai Hakim, memang harta ini menarik dan manis. Siapa yang mengambilnya dengan kemurahan jiwa, maka dia akan diberkahi, dan siapa yang mengambilnya karena dorongan nafsu, maka dia tidak akan diberkahi, dan dia se-perti

orang yang makan namun tidak kenyang. Tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah."

Hakim berkata, "Aku berkata, "Wahai Rasulullah, demi yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak mau menerima sesuatu pun dari seseorang sepeninggal engkau, hingga aku meninggal dunia."

Abu Bakar pernah mengundang Hakim dan akan memberikan bantuan kepadanya. Namun dia tidak mau menerimanya sedikit pun. Begitu pula yang dilakukan Umar, namun dia juga tidak mau menerimanya. Lalu Umar berkata, "Wahai semua orang Muslim, aku bersaksi kepada kalian tentang diri Hakim, bahwa aku menawarkan kepadanya bagiannya dari harta tebusan ini, namun dia tidak mau mengambilnya, sebab dia tidak mau menerima pemberian dari seorang pun sepeninggal Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, hingga dia meninggal dunia."

Dari A'idz bin Amr Radhiyallahu Anhu, bahwa ada seorang laki-laki menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam serta meminta kepada beliau. Maka beliau memberinya. Ketika orang itu sudah menginjakkan kakinya di luar ambang pintu, maka beliau bersabda, "Sekiranya mereka mengetahui akibat dari meminta-minta, maka tak seorang pun mau berjalan menemui seseorang lalu meminta sesuatu kepadanya." (Diriwayat-kan An-Nasa'y).

Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Khalid bin Ady Al-Juhanny Radhiyallahu Anhu, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Barangsiapa menerima hal yang ma'ruf dari saudaranya, tanpa mengharap dan memintanya, maka hendaklah dia menerimanya dan janganlah menolaknya, karena itu semata rezki yang digiring Allah kepadanya."

Masih banyak hadits-hadits lain yang menjelaskan larangan untuk meminta-minta kepada manusia dan kehinaannya. Ini merupakan salah satu dari dua makna syarat ridha, yaitu tidak meminta-minta dengan cara merengek-rengek dan mendesak. Makna kedua

ialah tidak meminta dengan mendesak dan merengek-rengek dalam doa, karena yang demikian ini menodai ridhanya. Hal ini dianggap sah-sah saja di satu sisi dan di-anggap tidak sah di sisi lain. Dianggap sah jika orang yang berdoa merengek-rengek dalam doanya untuk mendapatkan bagian dari kehidupan dunia. Jika dia merengek-rengek kepada Allah untuk mendapatkan ridha-Nya dan untuk taqarrub kepadanya, maka hal ini tidak menodai ridhanya. Di dalam sebuah ateardisebutkan, "Sesungguhnya Allah menyu-kai orang yang merengek-rengek dalam doa."

Di dalam Sunan At-Tirmidzy disebutkan dari hadits Abu Salih, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Barangsiapa tidak mau memohon kepada Allah, maka Allah murka kepadanya."

Karena permintaan dan permohonan kepada Allah membuat-Nya ridha, berarti merengek-rengek kepada-Nya saat meminta atau pun berdoa tidak mengurangi ridha. Hakikat ridha adalah menyesuaikan diri dengan ridha Allah. Yang menajikan ridha ialah memaksa, menetapkan atau menentukan suatu pilihan kepada Allah, tanpa mengetahui apakah pilihan itu diridhai Allah atau tidak, seperti orang yang mendesak kepada Allah untuk merebut kekuasaan orang lain, atau meminta kekayaan bagi dirinya. Yang seperti ini bisa menajikan ridha, karena dia tidak yakin Allah meridhainya.

Kembali ke pembahasan semula tentang derajat ridha, bahwa derajat ketiga adalah ridha dengan ridha Allah. Seorang hamba tidak melihat hak untuk ridha atau marah, lalu mendorongnya untuk menyerahkan keputusan dan pilihan kepada Allah. Dia mau melakukannya sekalipun akan diceburkan ke kobaran api.

Derajat ini lebih tinggi daripada dua derajat sebelumnya, karena ini merupakan derajat orang yang telah menyerahkan dirinya kepada Allah, mempersaksikan ridha karena Allah dan berasal dari Allah, melihat dirinya seakan tidak ada artinya apa-apa, fana dan akan binasa. Dia mencurigai dirinya, sifatnya, ridha dan amarahnya. Dia menganggap dirinya terlalu kecil dan hina, tak ubahnya cahaya pelita yang kecil di bawah terik matahari. Sehingga dia tidak berhak melihat bagi dirinya ada ridha dan amarah.

Syukur

Syukur termasuk tempat persinggahan yang paling tinggi dan lebih tinggi daripada ridha. Ridha merupakan satu tahapan dalam syukur.

Sebab mustahil ada syukur tanpa ada ridha. Seperti yang sudah disinggung di bagian terdahulu, syukur merupakan separoh iman, separoh lainnya adalah sabar. Allah memerintahkan syukur dan melarang kebalikannya, memuji pelakunya, mensifatinya sebagai makhluk-Nya yang khusus, menjanjikan kepadanya dengan pahala yang baik, menjadikan syukur sebagai sebab untuk mendapatkan tambahan karunia- Nya, memelihara dan menjaga nikmat-Nya. Allah juga mengabarkan bahwa orang-orang yang

bersyukur adalah mereka yang dapat mengambil manfaat dan pela-jaran dari ayat-ayat-Nya, mengambil salah satu dari asma'-Nya, karena Allah adalah Asy-Syakur, yang berarti menghantarkan orang yang bersyukur kepada Dzat yang disyukurinya, sementara orang-orang yang bersyukur di antara hamba-hamba-Nya amat sedikit. Allah befirman : "Dan, bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada- Nya kalian mcnyembah." (Al-Baqarah: 172).

"Dan, Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan dan hati, agar kalian bersyukur." (An- Nahl: 78).

"Dan (ingatlah) tatkala Rabb kalian memaklumkan, Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih'." (Ibrahim: 7).

"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi seinua orang yang sangat sabarlagi banyak bersyukur." (Luqman: 31).

Allah menamakan Diri-Nya Asy-Syakir dan Asy-Syakur, dan juga menamakan orang-orang yang bersyukur dengan dua nama ini. Dengan begitu Allah mensifati mereka dengan sifat-Nya dan memberikan nama kepada mereka dengan nama-Nya. Yang demikian ini sudah cukup untuk menggambarkan kecintaan dan karunia Allah yang diberikan kepada orang-orang yang bersyukur. Pengabaran tentang sedikitnya orang-orang yang bersyukur di dunia ini, berarti menunjukkan kekhususan mereka, seperti flrman-Nya :"Dan sedikit sekali di antara hamba-hamba-Ku yang bersyukur." (Saba'':13).

Di dalam Asli-Shahihain disebutkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa ketika kedua telapak kaki beliau bengkak karena terla-lu lama berdiri mendirikan shalat malam, lalu ada orang yang bertanya kepada beliau, "Mengapa engkau melakukan yang demikian itu, padahal Allah telah mengampuni dosa engkau yang telah lampau dan yang akan datang?" Maka beliau menjawab, "Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?"

Beliau juga pernah berkata kepada Mu'adz, "Demi Allah wahai Mu'adz, aku benar-benar mencintaimu. Maka janganlah engkau lupa mengucapkan setiap usai shalat,

"Ya Allah, tolonglah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu."

Syukur dilandaskan kepada lima sendi: Orang yang bersyukur tunduk kepada yang disyukuri, mencintai-Nya, mengakui nikmat-Nya, me- muji-Nya karena nikmat itu, dan tidak menggunakan nikmat itu untuk sesuatu yang dibenci-Nya.

Inilah lima sendi dan dasar syukur. Jika ada salah satu di antaranya yang hilang, maka sendi syukur itu pun menjadi lowong, yang membuat syukur tidak sempurna. Siapa pun yang berbicara tentang syukur dan batasan-batasannya, tentu akan kembali ke lima sendi ini dan pembicaraannya berkisar padanya.

Banyak orang yang membicarakan perbedaan antara pujian dan syukur, mana yang lebih tinggi dan lebih utama di antara keduanya? Di dalam hadits disebutkan, "Pujian adalah pangkal syukur. Siapa yang tidak memuji Allah, maka dia tidak bersyukur kepada Allah."

Perbedaan di antara keduanya, bahwa syukur lebih umum jika diti-lik dari jenis-jenis dan sebab-sebabnya, namun lebih khusus jika ditilik dari kaitan-kaitannya. Sedangkan pujian lebih umum jika ditilik dari kaitankaitannya, namun lebih khusus jika ditilik dari sebab-sebabnya. Artinya, syukur itu bisa dengan hati yang menunjukkan ketundukan, dengan lisan yang menunjukkan pengakuan, dengan anggota tubuh yang menunjukkan ketaatan. Sedangkan kaitannya adalah nikmat, tanpa si-fat-sifat Dzat Allah. Maka tidak bisa dikatakan, "Kami bersyukur kepada Allah atas hidup, pendengaran, penglihatan dan ilmu-Nya." Allah adalah yang dipuji dengan sifat-sifat ini, sebagaimana Dia dipuji karena kebaik-an dan keadilan-Nya. Syukur dilakukan karena kebaikan dan nikmat.

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Syukur merupakan istilah untuk mengetahui nikmat, karena mengetahui nikmat ini merupakan jalan untuk mengetahui Pemberi nikmat. Karena itu Allah menamakan Islam dan iman di dalam Al-Qur'an dengan syukur."

Mengetahui nikmat merupakan salah satu dari beberapa rukun syukur, bukan karena ia bagian dari syukur seperti yang disebutkan di atas, bahwa syukur itu merupakan pengakuan terhadap nikmat, pujian kepada Allah karena nikmat itu dan mengamalkan nikmat seperti yang diridhai-Nya, tapi karena mengetahui nikmat ini merupakan rukun syukur yang paling besar, sehingga syukur mustahil ada tanpa mengetahui nikmat.

Nikmat merupakan jalan untuk mengetahui Pemberi nikmat, artinya dengan mengetahui nikmat itu akan membuat seorang hamba bias mengetahui Pemberi nikmat. Jika dia mengetahui Pemberi nikmat, tentu akan mencintainya dan bersungguh-sungguh dalam mengharapkan-Nya. Sebab siapa yang mengetahui Allah, tentu akan mencintai-Nya, dan siapa yang mengetahui dunia, maka Allah akan membuatnya membenci dunia.

Menurut Syaikh, makna-makna syukur ada tiga macam: Mengetahui nikmat, menerima nikmat dan memuji karena nikmat itu.

Mengetahui nikmat artinya menghadirkan nikmat itu di dalam pikiran, mempersaksikan dan membedakannya. Menerima nikmat artinya menerimanya dari Pemberi nikmat, dengan memperlihatkan kebu-tuhan kepada nikmat, yang sebenarnya dia tidak berhak menerimanya, apalagi dia mengeluarkan harga untuk mendapatkannya. Dia melihat dirinya seperti anak kecil yang hanya bisa menerima pemberian. Memuji karena nikmat itu artinya memuji Pemberi nikmat.

Ada dua macam ten-tang pujian ini, yaitu: Umum dan khusus. Umum artinya mensifati Allah dengan sifat murah hati dan mulia, bajik, baik, luas pemberian-Nya dan

Iain sebagainya. Sedangkan yang khusus ialah menyebut-nyebut nikmat- Nya dan mengabarkan bahwa nikmat itu telah sampai kepadanya, sebagaimana firman-Nya : "Dan, tcrhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu menyebutnyebutnya."

(Adh-Dhuha: 11).

Ada dua pendapat tentang menyebut-nyebut nikmat Allah ini:

Pertama, menyebut nikmat itu dan mengabarkannya, seperti perkataan hamba, "Allah telah melimpahkan nikmat kepadaku berupa ini dan itu." Menurut Muqatil, artinya bersyukurlah saat menyebut nikmat yang dilimpahkan kepadamu. Adapun nikmat seperti yang disebutkan dalam surat Adh-Dhuha ini ialah seperti anak yatim yang mendapat perlindungan setelah terlantar, mendapat petunjuk setelah tersesat, mendapat kecukupan setelah kekurangan. Menyebut-nyebut nikmat ini meru-pakan gambaran syukur. Disebutkan dalam atsar yang dimarfu'kan, "Siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, tidak mensyukuri yang banyak. Siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, tidak bersyukur kepada Allah. Menyebut-nyebut nikmat Allah adalah syukur, dan tidak menyebut- nyebutnya adalah kufur. Bersatu itu rahmat dan perpecahan itu adzab."

Kedua, Menyebut-nyebut nikmat yang diperintahkan dalam ayat ini ialah menyeru kepada Allah dan menyampaikan risalah-Nya serta mengajari umat. Menurut Mujahid, artinya nubuwah. Menurut Az-Zajjaj, artinya: Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dan beritahukanlah nubuwah yang diberikan Allah kepadamu. Menurut Al-Kalby, artinya Al-Qur'an dan perintah untuk membacanya. Yang benar adalah mencakup kedua macam pengertian ini, sebab kedua-duanya merupakan bentuk nikmat yang diperintahkan untuk disyukuri dan disebut-sebut. Dengan menampakkan nikmat ini berarti mensyukurinya. Perintah Allah untuk mensyukuri nikmat merupakan bentuk lain dari nikmat Allah dan kemurahan-Nya kepada hamba. Sebab manfaat syukur kembali kepada hamba, di dunia dan di akhirat, bukan kembali kepada Allah. Hambalah yang mengambil manfaat dari syukurnya, sebagaimana firman-Nya : "Dan, barangsiapa yang bersukur (kepada Allah), maka sesungguhnyaia bersyukur untuk dirinya sendiri." (Luqman: 12).

Menurut pengarang ”Manahijus Sa’irin”, syukur ada tiga derajat, yaitu:

1. Mensyukuri hal-hal disukai. Ini merupakan syukur yang bisa dilakukan orang-orang Muslim, Yahudi, Nasrani dan Majusi. Di antara keluasan rahmat Allah, bahwa yang demikian ini dianggap syukur, menjanjikan tambahan dan memberikan pahala. Jika engkau mengetahui hakikat syukur, dan bagian hakikatnya ada-lah menggunakan nikmat Allah sebagai penolong untuk taat dan mendapatkan ridha-Nya, berarti engkau telah mengetahui kekhusus-an pemeluk Islam sesuai dengan derajat ini, dan bahwa hakikat mensyukuri apa-apa yang disukai ini sebenarnya bukan milik selain orang-orang Muslim. Memang di antara rukun dan bagian-bagiannya ada yang menjadi bagian selain orang-orang Muslim, seperti pengakuan terhadap nikmat itu dan pujian terhadap Pemberi

nikmat. Karena semua makhluk be-rada dalam nikmat Allah. Siapa pun yang menyatakan Allah sebagai Rabb, satusatunya pencipta dan yang memberi karunia, maka dia akan mendapat tambahan nikmat-Nya. Tetapi permasalahannya terletak pada kesempurnaan hakikat syukur, yaitu meminta nikmat itu untuk mendapatkan ridha-Nya. Aisyah Radhiyallahu Anha pernah menulis surat kepada Mu'awiyah, yang di antara isinya, "Minimal kewajiban yang diberikan orang yang diberi nikmat terhadap yang memberi nikmat ialah janganlah menjadikan nikmat yang diberikan itu sebagai sarana untuk mendurhakai-Nya."

2. Syukur karena mendapatkan sesuatu yang dibenci. Ini bisa dilakukan orang yang tidak terpengaruh oleh berbagai keadaan, dengan tetap memperlihatkan keridhaan, atau dilakukan orang yang bias membedakan berbagai macam keadaan, dengan menahan amarah, tidak mengeluh, memperhatikan adab dan mengikuti jalan ilmu. Orang yang bersyukur macam inilah yang pertama kali dipanggil masuk surga. Syukur justru pada saat mendapatkan sesuatu yang dibenci lebih berat dan lebih sulit daripada syukur pada saat mendapat sesuatu yang disukai. Maka dari itu derajat ini lebih tinggi tingkatannya, yang tidak bisa dilakukan kecuali salah satu dari dua orang: Pertama, seseorang yang tidak membedakan berbagai macam keadaan. Dia tidak peduli apakah sesuatu yang dihadapinya itu disukai atau dibenci, dia tetap bersyukur atas keadaannya, dengan menampakkan keridhaan atas apa yang dihadapinya. Kedua, orang yang bisa membedakan berbagai macam keadaan. Pada dasarnya dia tidak menyukai sesuatu yang

diben-ci dan tidak ridha jika hal itu menimpanya. Tapi kalau pun benar-be-nar menimpanya, toh dia tetap bersyukur kepada Allah. Cara syukur-nya ialah dengan menahan amarah, tidak berkeluh kesah, memper-hatikan adab dan ilmu. Sebab ilmu dan adab menyuruh syukur kepada Allah, baik dalam keadaan sempit maupun lapang, dalam keadaan senang maupun susah. Orang yang bersyukur dengan cara ini merupakan orang yang perta-ma kali dipanggil masuk surga, karena dia menghadapi sesuatu yang dibenci dengan syukur. Sementara kebanyakan orang menghadapinya dengan kegelisahan dan amarah, ada yang menghadapinya dengan sabar, dan ada yang menghadapinya dengan ridha. Sedangkan syukur merupakan tingkatan yang lebih tinggi dari ridha dalam menghadapi sesuatu yang dibenci.

3. Hamba tidak mempersaksikan kecuali Pemberi nikmat. Jika dia mem-persaksikan-Nya karena ubudiyah, maka dia menganggap nikmat dari-Nya itu amat agung. Jika dia mempersaksikan-Nya karena cinta, maka kesusahan terasa manis. Jika dia mempersaksikan-Nya karena penge-saan, maka dia tidak mempersaksikan apa yang datang dari-Nya seba-gai nikmat atau kesusahan. Orang-orang yang ada dalam derajat ini dibagi menjadi tiga macam: Orang yang memiliki kesaksian ubudiyah, orang yang memiliki kesaksian cinta, dan orang yang memiliki kesaksian pengesaan. Kesaksian

ubudiyah artinya kesaksian hamba terhadap tuannya yang memiliki kekuasaan terhadap dirinya. Pada hamba atau budak jika berada di hadapan tuannya, maka mereka lupa kemulian diri sendiri, memperhatikan dengan seksama ke arah tuannya, lupa memperhatikan keadaan diri sendiri. Keadaan seperti ini banyak dilihat dalam pertemuan

di hadapan raja umpamanya. Orang yang memiliki kesaksian semacam ini, apabila mendapat nikmat dari tuannya, maka dia menganggap dirinya terlalu kerdil untuk menerimanya, namun hatinya tetap dipenuhi dengan rasa cinta kepada tuannya. Kesaksian cinta juga tak berbeda jauh keadaannya dengan kesaksian ubudiyah. Hanya saja orang yang memiliki kesaksian ini merasakan yang berat menjadi ringan, yang pahit terasa manis. Sedangkan kesaksian pengesaan tidak terpengaruh oleh rupa, tidak mempersaksikan nikmat dan tidak pula cobaan.

Malu

Allah befirman sehubungan dengan salah satu tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in ini : "Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat (segala perbuatannya)?" (Al-Alaq: 14).

"Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati." (Al-Mukmin: 19).

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melewati seseorang yang sedang menasihati saudaranya tentang rasa malu. Maka be-liau bersabda kepada orang itu, "Biarkan saja dia, karena rasa malu itu sebagian dari iman."

Di dalam Ash-Shaihain disebutkan dari Imran bin Hushain Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Rasa malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan."

Juga di dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang le-bih. Yang paling utama adalah perkataan la ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu itu cabang dari iman."

Juga di dalam Ash-Shahihain dari Abu Sa'id Al-Khudry Radhiyallahu Anhu, bahwa dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang lebih mudah merasa malu daripada gadis di tempat pingitan- nya. Jika melihat sesuatu yang tidak disukai beliau, maka kami bisa melihatnya pada raut muka beliau."

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Sesungguhnya di antara perkataan nubuwah pertama yang diketahui manusia adalah: Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu."

Ada dua makna berkaitan dengan hadits ini: Pertama, ini merupakan peringatan dan pengabaran, yang artinya: Siapa yang tidak malu tentu akan berbuat sesukanya. Kedua, ini merupakan pembolehan, yang artinya: Lihatlah perbuatan yang hendak engkau lakukan. Jika termasuk sesuatu yang tidak mengundang rasa malu, maka lakukanlah. Namun yang benar adalah yang pertama.

Banyak definisi malu yang diberikan para ulama, seperti Al-Junaid yang berkata, "Karena melihat berbagai macam karunia dan melihat keterbatasan diri sendiri, maka di antara keduanya muncul suatu keadaan yang disebut malu. Hakikatnya adalah akhlak yang mendorong untuk meninggalkan keburukan dan mencegah pengabaian dalam memenuhi hak Allah."

Sebagian orang arif berkata, "Hidupkanlah rasa malu dengan berkumpul bersama orang-orang yang mempunyai rasa malu. Hidupkanlah hati dengan kemuliaan dan rasa malu. Jika keduanya hilang dari hati, maka di dalamnya tidak ada kebaikan yang menyisa."

Dalam atsar Ilahy Allah befirman, "Wahai anak Adam, kamu tidak merasa malu kepada-Ku. Aku sudah membuat manusia lupa aibmu, Aku membuat bumi lupa dosa-dosamu dan Aku menghapus dari induk Kitab kesalahan-kesalahanmu. Jika tidak, tentu Aku akan menghisabmu pada hari kiamat."

Al-Fudhail bin Iyadh berkata, "Lima tanda penderitaan: Kekerasan hati, kejumudan mata, sedikit malu, keinginan terhadap dunia dan anganangan yang muluk-muluk." Dalam atsar Ilahy disebutkan,

"Hamba-Ku benar-benar tidak adil terhadap-Ku. Dia berdoa kepada- Ku dan Aku malu untuk tidak memper-kenankannya, namun dia durhaka kepada-Ku dan dia tidak malu kepada-Ku."

Malunya Allah terhadap hamba tidak bisa diketahui melalui suatu pemahaman dan tidak bisa digambarkan akal, karena itu merupakan rasa malu yang timbul dari kemurahan hati, kebajikan dan keagungan. Yang pasti Allah merasa malu terhadap hamba-Nya, jika hamba itu menengadahkan tangan lalu kembali dengan hampa.

Rasa malu bisa dibagi menjadi sepuluh macam:

1. Malu karena berbuat salah, seperti malunya Adam Alaihis-Salam yang melarikan diri saat di surga. Allah bertanya, "Mengapa kamu lari dari-Ku wahai Adam?" Adam menjawab, "Tidak wahai Rabbi, tapi karena aku merasa malu terhadap Engkau."

2. Malu karena keterbatasan diri, seperti rasa malunya para malaikat yang senantiasa bertasbih pada siang dan malam hari dan tak ada waktu senggang pun tanpa tasbih. Namun begitu pada hari kiamat mereka berkata, "Maha suci Engkau, kami tidak menyembah kepada-Mu dengan sebenar-benarnya penyembahan."

3. Rasa malu karena pengagungan, atau rasa malu karena memiliki ma'- rifat. Sejauh

mana ma'rifat seseorang terhadap Rabb-nya, maka sejauh itu pula rasa malunya terhadap Nya.

4. Malu karena kehalusan budi, seperti rasa malunya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam saat mengundang orang-orang pada acara walimah Zainab. Karena mereka tidak segera pulang, maka beliau bangkit dari duduknya dan merasa malu untuk mengatakan kepada mereka, "Pulanglah kalian."

5. Malu karena menjaga kesopanan, seperti malunya Ali bin Abu Thalib ketika hendak meminta baju besi kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena dia menjadi suami putri beliau.

6. Malu karena merasa diri terlalu hina, seperti malunya hamba yang memohon berbagai macam keperluan kepada Allah, dengan menganggap dirinya terlalu hina untuk itu.

7. Malu karena cinta, yaitu rasa malunya orangyang mencintai di hadapan kekasihnya. Bahkan tatkala terlintas sesuatu di dalam hatinya saat berjauhan dengan kekasihnya, dia tetap merasa malu, tanpa diketahui apa sebabnya, apalagi jika kekasihnya muncul secara tiba tiba di hadapannya.

8. Malu karena ubudiyah ialah rasa malu yang bercampur dengan cinta dan rasa takut. Seorang hamba merasa ubudiyahnya masih kurang, sementara kekuasaan yang disembah terlalu agung, sehingga ubudiyahnya ini membuatnya merasa malu.

9. Malu karena kemuliaan ialah malunya hamba yang memiliki jiwa yang agung tatkala berbuat bajik atau memberikan sesuatu kepada orang lain. Sekalipun dia sudah bekorban dengan mengeluarkan sesuatu, toh dia masih merasa malu karena kemuliaan jiwanya.

10.Malu terhadap diri sendiri, yaitu rasa malunya seseorang yang memiliki jiwa besar dan mulia, andaikan dirinya merasa ridha terhadap kekurangan dirinya dan merasa puas melihat kekurangan orang lain. Dia merasa malu terhadap dirinya sendiri, sehingga seakan-akan dia mempunyai dua jiwa, yang satu merasa malu terhadap yang lainnya. Ini merupakan rasa malu yang paling sempurna. Sebab jika seorang hamba merasa malu terhadap diri sendiri, maka dia lebih layak untuk merasa malu terhadap orang lain.

Malu ini ada tiga derajat, yaitu:

1. Malu yang muncul karena seorang hamba tahu bahwa Allah melihat dirinya, hingga mendorongnya untuk bermujahadah, mencela keburukannya dan membuatnya tidak mengeluh. Selagi seorang hamba mengetahui bahwa Allah melihat dirinya, maka hal ini akan membuatnya malu terhadap Allah, lalu mendorongnya untuk semakin taat. Hal ini seperti hamba yang bekerja di hadapan tuannya, tentu akan semakin giat dalam bekerja dan siap memikul bebannya, apalagi jika tuannya berbuat baik kepadanya dan dia pun mencintai tuannya. Keadaan ini berbeda dengan hamba yang tidak ditunggui dan dilihat tuannya. Sementara Allah senantiasa melihat hamba-Nya. Jika hati merasa bahwa Allah

tidak melihatnya, maka ia tidak merasa malu kepada-Nya. Yang demikian ini juga mendorongnya untuk mengecam keburukannya, karena rasa malu. Namun dorongan yang lebih tinggi lagi ialah karena cinta. Rasa malu ini membuat hamba urung mengadu dan mengeluh kepada selain Allah.

2. Malu yang muncul karena merasakan kebersamaan dengan Allah, sehingga menumbuhkan cinta, merasakan kebersamaan dan tidak suka bergantung kepada makhluk. Kebersamaan dengan Allah ada dua macam: Umum dan khusus. Yang umum ialah kebersamaan ilmu dan keikutsertaan, seperti firman-Nya : "Dan, Dia bersama kalian di mana saja kalian berada." (Al-Hadid: 4).

"Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainlah Dialah yang keempatnya. Dan, tiada (pembicaraan antara) lima orang melainkan Dialah yang keenamnya. Dan, tiada pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada." (Al-Mujadilah: 7).

Sedangkan kebersamaan yang khusus ialah kedekatan bersama Allah, seperti firman-Nya "Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan mereka yang berbuat kebajikan." (An-Nahl: 138).

"Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Al-Baqarah: 153).

Dua makna ini merupakan kesertaan Allah dengan hamba. Kata ma'a dalam Bahasa Arab berarti kesertaan atau penggabungan yang selaras, tidak mengharuskan adanya pencampuran, kedekatan dan berdampingan. Sedangkan kata dekat, tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an kecuali dengan pengertian yang bersifat khusus, yaitu ada dua macam: Kedekatan Allah dengan orang yang berdoa kepada-Nya, dengan cara mengabulkannya, dan kedekatkan Allah dengan orang yang beribadah kepada-Nya, dengan cara memberinya pahala. Yang pertama seperti firman Allah : "Dan, apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku ,maka (jawablah), bahwaAku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku." (Al-Baqarah: 186). Ayat ini turun karena para shahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Apakah Allah itu dekat sehingga kami bermunajat dengan-Nya, ataukah Allah itu jauh sehingga kami berseru kepada-Nya?" Maka turun ayat ini sebagai jawabannya. Yang kedua seperti sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Keadaan hamba yang paling dekat dengan Rabbnya ialah tatkala dia sujud, dan saat yang paling dekat antara Rabb dan hamba-Nya ialah pada tengah malam." Kedekatan ini mendorong hamba untuk mencintai. Selagi cinta semakin bertambah, maka dia semakin merasakan kedekatan. Cinta itu mempunyai dua macam kedekatan: Kedekatan sebelumnya dan kedekatan sesudahnya. Kedekatan ini membuat hati bergantung dan senantiasa berhubungan dengan Allah.

  1. Malu yang muncul karena melepaskan ruh dan hati dari makhluk, tidak ada kekhawatiran, tidak ada pemisahan dan tidak berhenti untuk mencapai tujuan. Jika ruh

dan hati bersama Pencipta semua makhluk, maka ia akan merasakan kedekatan dengan-Nya dan seakan bisa menyaksikan-Nya secara langsung, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran untuk berpisah dengan-Nya. Di dalam hati itu juga tidak ada sesuatu selain Allah.

Shidq

Shidq (benar, jujur, lurus, tulus) merupakan tempat persinggahan yang paling agung dan juga menjadi asal-usul tempat-tempat persinggahan lainnya. Shidq merupakan jalan paling lurus. Siapa yang tidak berjalan di atasnya, berarti dia adalah orang yang gagal dalam perjalanan-nya. Dengan shidq ini pula dapat dibedakan antara orang munafik dan orang yang beriman, antara penghuni surga dan penghuni neraka. Shidq merupakan pedang Allah di bumi, yang setiap kali diletakkan di atas sesuatu, maka ia akan memotongnya, dan setiap kebatilan yang dihadapi-nya tentu ditebasnya hingga habis. Shidq merupakan ruh amal, poros segala keadaan, pintu masuk orang-orang yang hendak menuju tempat Allah, dasar bangunan agama dan sendi keyakinan. Derajatnya mengikuti derajat nubuwah, yang merupakan derajat paling tinggi. Mata air dan sungai di surga mengalir ke tempat para shiddiqin atau shadiqin (orang-orang yang benar).

Allah memerintahkan orang-orang yang beriman agar bersama orang-orang yang benar, karena mereka termasuk orang-orang yang secara khusus mendapatkan nikmat Allah, bersama para nabi, syuhada dan shalihin, dan mereka inilah teman-teman yang paling baik : "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar." (At-Taubah: 119).

"Dan, barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan, mereka itulah

teman yang sebaik-baik-nya." (An-Nisa': 69).

Allah telah mengabarkan tentang orang-orang yang berbuat kebajikan dan memuji mereka karena amal mereka, berupa iman, kepasrahan diri, sabar dan benar, bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki shidq. Allah juga membagi manusia menjadi shadiq dan munafik, sebagaimana firman-Nya : "Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka." (Al-Ahzab: 24).

Asas iman adalah shidq, sedangkan asas kemunajikan adalah dusta. Dusta dan iman tidak akan bersatu, tapi yang satu tentu akan memerangi yang lainnya. Allah juga mengabarkan bahwa tidak ada yang bisa menyelamatkan hamba dari siksa pada hari kiamat selain dari shidq-nya.

Shidq dalam perkataan artinya menegakkan lisan dalam perkataan seperti tegaknya bulir pada tangkainya. Shidq dalam perbuatan artinya menegakkan amal pada

perintah dan mengikuti As-Sunnah, seperti tegaknya kepala di atas jasad. Shidq dalam keadaan artinya menegakkan amal hati dan anggota tubuh pada keikhlasan. Seberapa jauh kesempurnaan perkara-perkara ini dan tegaknya, maka sejauh itu pula shidq-nya.

Karena itu Abu Bakar yang memiliki puncak tanda shidq disebut Ash- Shiddiq. Sementara itu, Ash-Shiddiq lebih tinggi daripada ash-shaduq, dan ash-shaduq lebih tinggi daripada ash-shadiq, yang semua merupa-kan pelaku dari sifat shidq.

Di antara tanda shidq ialah ketenangan hati, dan di antara tanda dusta ialah keragu-raguan, sebagaimana yang disebutkan dari hadits Al-Hasan bin Ali, dari Nabi Shdllallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Kebenaran itu adalah ketenangan dan kedustaan itu adalah keraguraguan. "

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Sesungguhnya kebenaran itu memberi petunjuk kepada kebajikan, dan kebajikan itu memberi petunjuk ke surga. Sesungguhnya seseorang itu senantiasa benar hingga dia ditetapkan di sisi Allah sebagai orang yang benar. Dan, sesungguhnya dusta itu memberi petunjuk kepada kekejian, dan kekejian itu memberi petunjuk ke neraka. Sesungguhnya seseorang senantiasa dusta hingga dia ditetapkan di sisi Allah sebagai pendusta."

Beliau menjadikan shidq sebagai kunci dan permulaan derajat shid-diq dan sekaligus tujuannya, yang sama sekali tidak bisa dicapai pendus-ta, tidak dalam perkataan, perbuatan atau keadaannya, terutama orang yang berdusta terhadap Allah, dalam sifat dan asma'-Nya, seperti menafi-kan apa yang ditetapkan-Nya dan menetapkan apa yang dijanjikanNya, atau dusta dalam agama dan syariat-Nya, seperti menghalalkan apa yang diharamkan- Nya dan mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya.

Banyak definisi dan ungkapan tentang hakikat shidq. Ada yang berpendapat, shidq adalah perkataan yang benar dihadapan orang yang engkau takuti dan juga yang engkau harapkan. Ada pula yang berpendapat, artinya lurus saat sembunyi dan terang-terangan. Sementara orang yang dusta, penampakannya lebih baik daripada yang tidak ditampakkannya, seperti orang munafik yang zhahirnya lebih baik daripada batinnya. Ada pula yang berpendapat, orang yang shadiq ialah yang bersiap sedia untuk mati dan tidak merasa malu jika rahasia dirinya terungkap. Dalam atsar Ilahy disebutkan, "Siapa yang benar kepada-Ku saat sembunyi-sembunyi, maka Aku membenarkannya saat terangterangan di tengah makhluk-Ku."

Sahl bin Abdullah berkata, "Pengkhiatan shiddiqin yang pertama kali ialah bisikan terhadap diri sendiri."

Yusuf bin Asbath berkata, "Semalam saja aku bermu'amalah dengan Allah secara benar, lebih kusukai daripada aku menghunus pedang di jalan Allah."

Al-Harits Al-Muhasiby berkata, "Orang yang shadiq adalah orang yang tidak peduli sekiranya semua bagian di hati manusia yang menjadi miliknya tidak diberikan

kepadanya, selagi dia dapat memperbaiki hatinya, dia tidak suka jika mereka mengetahui kebaikan amalnya dan dia tidak benci jika mereka mengetahui keburukan amalnya. Jika dia benci karena mengetahui keburukannya, berarti dia menghendaki kehormat-an

di mata mereka, dan ini bukan tanda para shiddiqin."

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Shidq merupakan kata untuk sebuah hakikat sesuatu, pencapaian dan keberadaan."

Shidq merupakan pencapaian sesuatu, kelengkapan dan kesempur-naan kekuatannya serta kebersamaan bagian-bagiannya, seperti jika dikatakan, "Azimah shadiqah", yang berarti hasrat yang benar, yaitu jika hasrat itu kuat dan sempurna.

Ada tiga derajat shidq, yaitu:

1. Shidq dalam tujuan. Dengan shidq seorang hamba berhak bergabung dalam perjalanan ini, segala rintangan akan sirna, yang tertinggal akan ketahuan dan yang rusak bias diperbaiki. Tanda orang yang shadiq ialah tidak membawa penyeru yang mengajaknya untuk membatal-kan perjanjian, yang membuatnya tidak sabar dalam menghadapi musuhnya dan tidak membuatnya mengendorkan semangat. Shidq dalam tujuan artinya kesempurnaan hasrat dan kekuatan kehendak. Di dalam hati ada pendorong yang benar dan kecenderungan yang keras untuk mengadakan perjalanan. Bergabung dalam perjalanan ini belum dianggap sah kecuali dengan shidq ini. Tanda orang yang shadiq ialah tidak membawa penyeru yang mengajaknya untuk membatalkan perjanjian, artinya bahwa orang yang shadiq secara hakiki, maka semua kekuatan ruhnya diserahkan kepada kehendak Allah dan dipersiapkan untuk bersua dengan-Nya. Siapa yang keadaannya seperti ini, maka dia akan membawa suatu sebab yang membuatnya tidak membatalkan perjanjian dengan Allah. Musuh yang membuat hamba tidak sabar ialah orang-orang yang lalai dan orang-orang yang memotong perjalanan hati kepada Allah. Yang paling berbahaya bagi orang yang shadiq ialah berteman dengan mereka. Kalau pun harus bergaul dengan mereka, maka bolehlah bergaul dengan badannya saja, tidak dengan hati dan ruhnya.

2. Tidak mengangan-angankan kehidupan kecuali untuk kebenaran, tidak

mempersaksikan dirinya kecuali pengaruh kekurangan dan tidak merasa senang karena ada keringanan. Artinya, seorang hamba tidak suka hidup kecuali untuk menyebarkan apa yang disukai Kekasihnya, melaksanakan ubudiyah kepada-Nya dan memperbanyak sebab yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya, bukan karena alasan keduniaan dan bukan karena dorongan hawa nafsu, sebagaimana yang dikatakan Umar bin Al-Khaththab, "Kalau tidak ada tiga perkara, tentu aku tidak suka tetap hidup, yaitu memegang kendali kuda fi sabilillah, menghidupkan waktu malam dan berkumpul bersama orang-orang yang memilih perkataan-perkataan yang bagus, sebagaimana memilih korma-korma yang bagus." Tidak mempersaksikan dirinya kecuali pengaruh kekurangan, maksudnya melihat diri sendiri serba kekurangan, banyak aibnya dan hina.

Siapa yang mengetahui Allah, tentu mengetahui dirinya sendiri, yang berarti dia melihat diri sendiri dari kaca mata kekurangan. Tidak merasa senang karena ada keringanan, ini terjadi karena kesem-purnaan shidqnya, kekuatan kehendaknya dan hasrat untuk maju ke depan, yang membuat dirinya tidak melihat kepada kesenangannya karena ada keringanan. Jika keringanan lebih dia sukai daripada hasrat yang kuat, lalu dia berkeinginan menenangkan dirinya, maka hal ini disebut shidq. Jika seorang hamba tidak berpuasa dalam perjalanan, mengqashar dan menjama' shalat saat diperlukan, mempercepat shalat saat ada kesibukan, atau keringanan-keringanan lain yang disukai Allah untuk diamalkan, maka hal ini tidak mengurangi shidq. Tapi keringanan yang bersifat ta'wil dan dilandaskan kepada perbe-daan pendapat di kalangan madzhab dan pendapat-pendapat yang bisa benar dan bisa salah, maka hal ini bisa menajikan shidq.

3. Shidq dalam mengetahui shidq. Shidq tidak dianggap betul menurut ilmu orang-orang yang khusus kecuali dengan satu kalimat, bahwa ridha Allah harus sesuai dengan amal, keyakinan, tujuan dan keadaan hamba. Hamba itu ridha dan diridhai, amal-amalnya diridhai, keadaannya benar dan tujuannya lurus. Jika seorang hamba mengenakan pakaian pinjaman, maka amalnya yang paling bagus adalah dosa, keadaannya yang paling benar adalah dusta dan tujuannya yang paling bersih adalah diam tak berusaha. Artinya, shidq yang sebenarnya hanya dapat diperoleh orang yang benar dalam pengetahuannya tentang shidq Dengan kata lain, keadaan shidq tidak bisa diperoleh kecuali setelah mendalami ilmu shidq.

Kemudian definisi lebih lanjut tentang shidq ini, bahwa shidq tidak akan lurus kecuali jika ridha Allah sesuai dengan amal, keadaan, keyakinan dan tujuan hamba. Ini merupakan keharusan shidq, faidah dan hasilnya. Jika seorang hamba membenarkan Allah, maka Allah akan meridhai amal, keadaan, keyakinan dan tujuannya, bukan berarti ridha Allah itu merupakan shidq. Artinya, shidq itu dapat diketahui dengan menye-suaikan dengan ridha Allah. Tapi dari mana hamba bias mengetahui ridha-Nya?

Di sana ada orang shadiq yang benar-benar merasa harus mengikuti perintah, berserah diri kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam secara zhahir dan batinnya, mengikuti beliau, beribadah dengan melakukan ketaatan kepada Allah tatkala bergerak dan saat diam, dengan memurnikan tujuan karena Allah semata. Allah tidak meridhai

hamba kecuali dengan keadaan seperti ini.

Seorang hamba ridha dan diridhai, karena dia ridha kepada Allah sebagai Rabb, ridha kepada Islam sebagai agama dan ridha kepada Muhammad sebagai rasul. Karena itu Allah pun ridha kepada hamba dan amal-amalnya diridhai-Nya.

Maksud perkataan Syaikh, "Jika seorang hamba mengenakan pakaian pinjaman...." dan seterusnya, bahwa dia mengenakan pakaian orangorang yang shadiqin,

namun ruh dan hatinya tidak seperti mereka, maka dia seperti orang yang merasa kenyang padahal belum diberi apa-apa, sehingga dia seperti orang yang mengenakan dua pakaian palsu. Inilah amalnya yang paling bagus, dan karenanya dia akan disiksa, seperti siksa yang diberikan kepada orang yang berjihad atau membaca Al-Qur'an karena riya'.

Itsar

Itsar (mengutamakan kepentingan orang lain) termasuk salah satu tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Allah telah befirman tentang hal ini : "Dan, mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).

Dan, siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orangorang yang beruntung." (Al-Hasyr: 9).

Jadi itsar kebalikan dari kikir. Orang yang mengutamakan orang lain berarti meninggalkan apa yang sebenarnya dia perlukan. Sedangkan orang kikir adalah orang yang menginginkan apa yang tidak ada di tangan-nya. Jika sudah mendapatkan apa yang diinginkannya, maka dia tidak mau mengeluarkannya atau bakhil. Jadi bakhil merupakan hasil dari kikir. Kikir menyuruh kepada bakhil, sebagaimana sabda Nabi ShallallahuAlaihi wa Sallam : "Jauhilah oleh kalian kikir, karena kikir itu membinasakan orang-orang sebelum kalian. la menyuruh mereka kepada kebakhilan hingga mere-ka pun bakhil, dan menyuruh mereka kepada pemutusan hubungan persaudaraan, hingga mereka pun memutuskan hubungan persaudaraan."

Orang yang bakhil ialah yang memenuhi ajakan kikir, sedangkan mu'tsir (orang yang mengutamakan kepentingan orang lain) memenuhi ajakan kemurahan hati dan kedermawanan. Kebalikan itsar adalah atsa-rah, artinya tidak peduli keperluan saudaranya karena dia juga memerlu-kannya atau lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri. Inilah yang disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada orang-orang An-shar : "Sepeninggalku kalian akan menemui orang-orang yang suka mengutamakan kepentingan diri sendiri. Maka bersabarlah kalian hingga kalian bersua aku di alam kubur."

Orang-orang Anshar adalah mereka yang disifati Allah sebagai itsar, seperti firman-Nya di dalam ayat di atas. Mereka disifati dengan tingkat-an kedemawanan yang paling tinggi.

Sebab dermawan itu ada tiga macam:

- Miliknya tidak merasa terkurangi dan tidak keberatan untuk mengeluarkannya, atau disebut sakha'.

- Memberikan lebih banyak dari miliknya dan menyisakan sedikit atau menyisakan jumlah yang sama dengan yang dikeluarkan, yang disebut jud.

- Memberikan semua miliknya kepada orang lain sekalipun dia memerlukannya, yang disebut itsar.

Qais bin Sa'd bin Ubadah adalah orang yang paling dermawan di antara orang-orang yang dikenal dermawan. Suatu hari dia jatuh sakit, sementara saudara-saudaranya tidak segera menjenguknya. Maka dia menanyakan kemana mereka itu? Ada yang menjawab, bahwa mereka sedang mengurus hutang yang dia salurkan kepada orang-orang. Maka dia berkata, "Semoga Allah menghinakan harta yang telah menghalangi para

saudara untuk menjenguk orang yang sakit." Kemudian dia menyuruh seseorang untuk menyerukan pernyataan, "Siapa yang mempunyai hutang kepada Qais, maka hutangnya dianggap lunas." Pada sore harinya daun pintu rumah Qais jebol, karena banyaknya orang yang hendak menjenguknya.

Suatu hari orang-orang bertanya kepada Qais, "Apakah engkau tahu orang yang lebih dermawan daripada engkau?" Qais menjawab, "Ya, ada. Suatu kali kami berada di sebuah perkampungan dan kami singgah di rumah seorang wanita. Ketika suaminya tiba, wanita itu berkata, "Ada beberapa orang tamu yang singgah di rumah-mu."

Maka orang itu langsung menghela seekor onta dan menyembelihnya. Dia berkata, "Kalian diam saja di tempat." Besoknya dia menghela onta lain dan menyembelihnya. Kami pun berkata, "Onta yang engkau sembelih semalam pun hanya sedikit yang kami makan." Orang itu berkata, "Aku tidak memberi makan tamu-tamuku yang hanya bermalam saja."

Kami berada di rumahnya dua atau tiga hari, dan selama itu hujan turun terus-menerus. Ketika kami hendak melanjutkan perjalanan, kami tinggalkan uang seratus dinar di rumahnya, dan kami katakan kepada wanita itu, "Sampaikan pamit kami kepada suamimu." Lalu kami langsung meninggalkan rumahnya, karena orang itu sedang keluar rumah. Pada tengah hari kami mendengar teriakan dari arah belakang, "Berhen-tilah kalian hai para pengembara yang terlaknat. Apakah kalian mem-bayar jamuanku?" Setelah kami saling berhadapan, dia berkata, "Ambil lagi uang kalian ini, atau lebih baik aku menghunjamkan tombakku ini kepada kalian." Maka kami pun mengambil lagi uang kami, dan setelah itu orang tersebut balik lagi.

Kedermawanan itu ada sepuluh macam, yaitu:

1. Kedermawanan dengan pengorbanan jiwa. Ini merupakan tingkatan yang paling tinggi, seperti yang dikatakan dalam syair, "Kedermawanan dengan jiwa yang dihindari orang bakhil pengorbanan jiwa adalah puncak tertinggi kedermawanan."

2. Kedermawanan dengan kekuasaan. Kedermawanan orang yang memiliki kekuasaan membuatnya tidak mempedulikan kekuasaannya dan dia lebih mengutamakan keperluan orang lain yang perlu dibantu.

3. Kedermawanan dengan kesenangan, ketenangan dan istirahatnya. Dia mengabaikan waktu istirahatnya untuk berpayah-payah demi kemaslahatan orang lain, sampai-sampai dia tidak sempat tidur.

4. Kedermawanan dengan ilmu. Ini juga termasuk tingkatan yang paling tinggi, karena

mendermakan ilmu lebih baik daripada mendermakan harta, karena ilmu lebih mulia daripada harta.

5. Kedermawanan dengan memanfaatkan kedudukan, seperti meminta to long kepada seseorang untuk menemui seorang pemimpin.

6. Kedermawanan dengan memanfaatkan badan dengan berbagai jenis-nya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Pada setiap persendian salah seorang seorang di antara kalian ada shadaqahnya. Setiap hari yangpadanya matahari terbit, lalu dia bertin-dak secara adil di antara dua orang adalah shadaqah. Membantu orang berkaitan dengan hewan tunggangannya, lalu dia menaikkannya ke atas punggungnya atau dia mengangkatkan barang dagangannya ke atasnya adalah shadaqah. Kata-kata yang baik adalah shadaqah. Setiap langkah kaki waktu seseorang berjalan menuju shalat adalah shadaqah. Menyingkirkan gangguan dari jalan adalah shadaqah." (Muttafaq Alaihi).

7. Kedermawanan dengan kehormatan diri, seperti yang dilakukan Abu Dhamdham, seorang shahabat. Setiap pagi dia berkata, "Ya Allah, aku tidak mempunyai harta yang bisa kushadaqahkan kepada manusia. Maka aku bershadaqah kepada mereka dengan kehormatan diriku. Siapa yang mencaciku atau menuduhku, maka sudah terbebas dari pembayaran tebusan kepadaku." Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang mendengarnya bersabda, "Siapakah di antara kalian yang bisa berbuat seperti Abu Dhamdham?" Kedermawanan seperti ini bisa membersihkan dada, menenangkan hati dan membuat seseorang tidak ingin bermusuhan dengan orang lain.

8. Kedermawanan dengan kesabaran dan menahan diri. Ini merupakan tingkatan yang mulia dan lebih bermanfaat bagi pelakunya daripada mendermakan harta. Tidak ada yang bisa melakukannya kecuali orang yang memiliki jiwa besar. Siapa yang tidak bisa menjadi dermawan dengan hartanya, maka dia bisa bederma dengan kesabarannya. Allah menetapkan hukum qishash. Namun siapa yang melepaskan hak tebusan, maka itu merupakan tebusan bagi dosanya. Dengan kedermawanan ini seseorang bisa merasakan pahalanya di dunia dan di akhirat.

9. Kedermawanan dengan akhlak, perilaku dan budi pekerti yang baik. Ini di atas tingkatan kedermawanan dengan sabar, menguasai diri dan maaf. Tingkatan ini dapat mengangkat pelakunya ke derajat orang yang puasa pada siang harinya dan shalat tahajjud pada malam harinya, serta dapat memberatkan timbangan. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda : "janganlah sekali-kali engkau menghina sedikit pun dari hal yang ma'ruf, sekalipun engkau menemui saudaramu dengan wajah yang berseri."

10. Kedermawanan dengan membiarkan apa yang ada di tangan manu sia dan tidak menengok kepadanya serta tidak mengusiknya dengan apa pun.

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, ada tiga derajat itsar, yaitu:

1. Engkau lebih mengutamakan manusia daripada dirimu sendiri, dalam perkara yang

tidak mengusik agamamu, tidak memotong jalanmu dan tidak merusak waktumu. Dengan kata lain, engkau mendahulukan kemaslahatan mereka daripada kemaslahatanmu, seperti membuat mereka kenyang sekalipun engkau harus lapar, memberikan pakaian kepada mereka sekalipun pakaianmu compang-camping, memberikan minuman kepada mereka sekalipun engkau dahaga, selagi hal itu tidak berpengaruh terhadap munculnya penyimpangan yang tidak diperkenankan agama, seperti engkau memberikan seluruh hartamu kepada mereka, lalu engkau dudukduduk saja dan menjadi beban bagi orang lain atau meminta-minta kepada orang lain. Mengutamakan kemaslahatan orang lain namun justru merusak agama orang yang diutamakan, juga dicela di sisi Allah dan di tengah manusia. Mengutamakan kemaslahatan manusia ini juga tidak boleh memutuskan perjalananmu kepada Allah, seperti mementingkan pergaulan dengan teman lalu engkau melupakan dzikir kepada Allah atau engkau sibuk mengurusi kelompokmu dan lalai ibadah kepada Allah. Perumpamaan dirimu seperti seorang musafir yang bertemu seseorang di tengah perjalanan, lalu orang itu menghentikannya dan mengajak-nya mengobrol ke sana ke mari, hingga musafir itu ketinggalan dari rombongannya. Itsar ini dapat dilakukan dengan tiga cara:

- Mengagungkan hak. Siapa yang melihat besarnya hak yang harus dipenuhi, tentu dia akan melaksanakannya, memperhatikan hak tersebut dan tidak akan menyia-nyiakannya. Dia juga akan tahu bahwa jika dia tidak memenuhi hak itu sebagaimana mestinya, berarti dia belum mencapai derajat itsar.

- Membenci sifat kikir. Sebab jika dia membenci kikir tentu bias mengutamakan kemaslahatan orang lain.

- Mencintai akhlak yang mulia. Sejauh mana dia mencintai akhlak yang mulia, maka sejauh itu pula dia mengutamakan kemaslahatan orang lain.

2. Mengutamakan ridha Allah daripada ridha selain-Nya, sekalipun berat cobaannya, berat kesulitannya, dan lemah usaha dan badannya. Artinya, seorang hamba harus berkehendak dan melakukan sesuatu yang dimaksudkan untuk mendapatkan ridha-Nya sekalipun mem-buat manusia marah. Ini merupakan derajat para nabi. Di atasnya lagi para rasul dan di atasnya lagi Ulul-Azmi dan di atasnya lagi adalah Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena beliau menegakkan kehidupan untuk seluruh alam, harus memurnikan dakwah kepada Allah, menghadapi permusuhan orang-orang yang dekat dan jauh karena agama Allah. Beliau lebih mengutamakan ridha Allah daripada ridha manusia dalam segala segi, dan dalam hal ini beliau tidak peduli terhadap celaan orang-orang yang suka mencela. Semua hasrat, kehendak dan niat semata tertuju pada ridha Allah, menyampaikan risalah-Nya, meninggikan kalimat-Nya dan memerangi musuhmusuh- Nya, sampai akhirnya agama Allah dapat mengalahkan semua agama, hujjah-Nya tegak di seluruh alam dan nikmat-Nya menjadi

sempurna atas orang-orang Mukmin. Cobaan memang besar pada awal mulanya. Tapi jika tetap sabar, te-guh dan maju terus, tentu cobaan itu akan berubah menjadi karunia dan rintangan berubah menjadi pertolongan. Yang demikian ini seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Selagi seseorang lebih mengutakan ridha Allah daripada ridha manusia, mampu menahan diri dalam menghadapi cobaan dan sabar, niscaya Allah akan merubah cobaan dan rintangan itu menjadi kenikmatan, kegembiraan dan pertolongan, tergantung dari kadar ridhanya, merubah ketakutan menjadi rasa aman, keletihan menjadi ketenangan, ujian menjadi nikmat, kebencian menjadi cinta. Ini merupakan sunnatullah yang tidak bisa dirubah-rubah, bahwa sia-pa yang lebih mengutamakan ridha manusia daripada ridha Allah, maka Allah akan murka kepadanya dan menghinakannya serta menye-rahkan cobaan ke tangannya sendiri, sehingga hanya penyesalan yang akan dia dapatkan. Sedangkan orang ybang mengutamakan ridha Allah dengan terpaksa dan hati yang mengganjal, maka dia tidak akan meraih tujuan yang dikehendakinya dari manusia dan tidak mendapatkan ridha Allah. Pasalnya, ridha manusia tidak terukur, tidak diperintahkan dan tidak bisa diprioritaskan. Berarti ini adalah sesuatu yang mustahil. Kalau perlu engkau harus lebih banyak marah kepada mereka. Jika mereka membencimu dan marah kepadamu, tapi engkau mendapatkan ridha Allah, maka itu lebih baik bagimu daripada mereka suka kepadamu tapi Allah tidak ridha kepadamu. Jika engkau dihadapkan pada dua pilihan kemarahan, maka pilihlah kemarahan mereka asalkan engkau mendapatkan ridha Allah, karena boleh jadi mereka akan ridha kepadamu setelah itu. Asy-Syafi'y pernah berkata, "Ridha manusia itu merupakan sasaran yang tidak bisa diukur. Maka ikutilah ridha yang mendatangkan kemaslahatan bagi dirimu." Sementara itu, tak ada kemaslahatan yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba kecuali dengan mementingkan ridha Allah daripada ridha selain-Nya.

3. Menisbatkan itsar kepada Allah dan bukan kepada dirimu. Sebab orang yang terjun dalam itsar mengaku memiliki kekuasaan. Kemudian dia harus meninggalkan kesaksian itsar itu, kemudian tidak merasa memiliki hak untuk meninggalkan atau mengerjakan. Artinya, Allahlah yang membuatmu bisa mengutamakan ridha Allah. Jadi, seakan-akan engkau telah menyerahkan masalah ini kepada-Nya. Jika selainmu yang engkau utamakan, berarti dialah yang lebih ber-hak, dan bukan dirimu. Apabila seorang hamba mengaku bisa mengutamakan selainnya, berarti dia mengaku memiliki kekuasaan. Padahal kekuasaan yang haki-ki adalah milik Allah dan Allahlah yang berkuasa atas segala sesuatu. Jika hamba keluar dari pengakuan ini, berarti dia benar dalam itsar-nya.

Akhlak

Allah befirman kepada Nabi-Nya : "Dan, sesungguhnya kamu benar-benar berakhlak yang agung." (Al- Qalam: 4).

Ibnu Abbas dan Mujahid berkata, "Artinya berada pada agama yang agung. Tidak ada agama yang lebih kucintai dan kuridhai selain dari Islam."

Menurut Al-Hasan Radhiyallahii Anhu, artinya adalah adab-adab Al- Qur'an. Menurut Qatadah, artinya apa yang diperintahkan Allah dan yang dilarang-Nya. Dengan kata lain, kamu berada pada akhlak yang diciptakan Allah seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur'an.

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan, bahwa Hisyam bin Hakim pernah bertanya kepada Aisyah tentang akhlak Rasulullah ShaUallaliu Alaihi wa Sallam. Maka Aisyah menjawab, "Akhlak beliau adalah Al- Qur'an." Lalu Hisyam berkata, "Tadinya aku ingin bangkit dan tidak bertanya apa pun."

Allah telah menghimpun akhlak-akhlak yang mulia pada diri beliau seperti yang difirmankan-Nya "Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh." (Al-A'raf: 199).

Ja'far bin Muhammad berkata, "Allah telah memerintahkan Nabi- Nya untuk memiliki akhlak-akhlak yang mulia. Di dalam Al-Qur'an tidak disebutkan satu ayat pun yang menghimpun beberapa akhlak yang mulia seperti yang disebutkan di dalam ayat ini. Ketika ayat ini turun, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya kepada Jibril, "Apa maksudnya ini?" Jibril menjawab, "Aku tidak tahu. Biar kutanyakan terlebih dahulu." Maka Jibril menanyakannya kepada Allah, lalu dia turun lagi dan berkata, "Sesungguhnya Allah memerintahkan agar kamu menyambung hubungan dengan orang yang memutuskannya, memberi orang yang tidak mau memberimu dan memaafkan orang yang berbuat zhalim kepadamu."

Seseorang yang ditaati orang banyak mempunyai tiga keadaan yang tidak bisa dihindarinya:

- Menyuruh dan melarang mereka dengan sesuatu yang mendatang-kan kemaslahatan bagi mereka.

- Menerima ketaatan yang mereka berikan kepadanya.

- Harus siap menghadapi dua jenis manusia: Orang yang sejalan dengannya dan mendukungnya, orang yang bertentangan dengannya dan memusuhinya.

Ada kewajiban yang harus dilakukan pada masing-masing keadaan ini. Kewajibannya menyuruh dan melarang ialah menyuruh kepada yang ma'r'uf. Hal yang ma'ruf di sini adalah sesuatu yang bermaslahat bagi mereka. Sedangkan kewajiban melarang ialah melarang dari kebalikannya. Kewajibannya menerima ketaatan mereka ialah dengan mengambil hal-hal yang paling mudah menurut mereka dan tidak membebani mereka dengan hal-hal yang berat dan sulit yang bisa merusak mereka. Kewajibannya menghadapi orang-orang yang bodoh ialah berpaling dari mereka, tidak menghadapi mereka dengan sikap yang sama atau membalasnya, seperti yang difirmankan Allah, "Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf

serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh."

Menurut Mujahid, artinya maafkanlah akhlak dan perbuatan manusia tanpa menghinakan, seperti menerima alasan mereka, mudah memberi maaf, memberi kemudahan, tidak perlu merinci kesalahan hingga mendetail dan tidak mengorek hakikat hingga bagian-bagian yang paling dalam.

Begitulah akhlak Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu berkata, "Rasulullah adalah orang yang paling baik akhlaknya." Dia juga berkata, "Aku tidak pernah menyentuh kain beludru dan sutra yang lebih halus dari kulit Rasulullah. Aku tidak pernah mencium aroma yang lebih harum dari aroma Rasulullah. Aku menjadi pelayan Rasulullah selama sepuluh tahun, namun sekali pun beliau tidak pernah berkata kepadaku, "Uh", dan tidak pula bertanya, "Mengapa kamu berbuat begitu?" untuk sesuatu yang kulakukan, dan tidak pula bertanya, "Mengapa kamu tidak berbuat begitu?" untuk sesuatu yang tidak kulakukan." Rasulullah Shallallaliu Alaihi wa Sallam pernah mengabarkan bahwa kebajikan itu ialah akhlak yang baik.

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari An-Nuwas bin Sam'an Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah tentang kebajikan dan dosa. Maka beliau menjawab, "Kebajikan ialah akhlak yang baik, sedangkan dosa ialah sesuatu yang

bersemayam di dalam dadamu dan engkau tidak suka jika manusia mengetahuinya."

Di dalam riwayat At-Tirmidzy, yang menurutnya hadits hasan shahih, disebutkan dari Abud-Darda' Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, "Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan orang Mukmin pada hari kiamat selain dari akhlak yang baik, dan sesungguhnya Allah benar-benar membenci orang keji lagi berkata kotor."

Disebutkan pula dalam riwayat At-Tirmidzy dan dia menshahihkannya,

dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga. Maka beliau menjawab, "Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik." Lalu beliau ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka. Maka beliau menjawab, "Mulut dan kemaluan."

Disebutkan pula dalam riwayat At-Tirmidzy dan dia menshahihkannya, dari Aisyah Radhiyallahu Anha, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, "Sesungguhnya orang-orang Mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya di antara mereka, dan yang paling baik di antara mereka ialah yang paling baik terhadap istrinya di antara mereka."

Di dalam As-Sunan disebutkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Sesungguhnya dengan akhlaknya yang baik orang Mukmin benar-be-nar bisa mendapatkan derajat orang yang berpuasa dan mendirikan shalat malam."

Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari Jabir Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, "Sesungguhnya orang yang paling kucintai di antara kalian dan yang paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat ialah yang paling baik akhlaknya di antara kalian. Dan, sesungguhnya orang yang paling kubenci dan yang paling jauh dariku pada hari kiamat ialah orang yang banyak bicara tanpa ada manfaatnya, orang yang mem-fasihfasihkan bicaranya karena riya' dan mutafaiqahun." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, kami sudah mengetahui orang yang banyak bicara tanpa ada manfaatnya dan orang yang memfasih-fasihkan bicaranya karena riya'. Lalu apakah mutafaiqahun itu?" Beliau menjawab, "Orang-orang yang sombong."

Semua kandungan agama adalah akhlak. Selagi ada tambahan akhlak pada dirimu, berarti ada tambahan agama. Menurut Al-Kattany, tasawwuf juga merupakan akhlak. Selagi ada tambahan akhlak pada dirimu, berarti ada tambahan tasawwuf. Ada yang berpendapat, akhlak yang baik ialah memberikan derma, tidak mengganggu dan menguasai diri saat menghadapi gangguan.

Yang pasti, akhlak yang baik didasarkan kepada empat sendi, yaitu:

- Sabar, yang mendorongnya menguasai diri, menahan amarah, tidak mengganggu orang lain, lemah lembut, tidak gegabah dan tidak terge-sagesa.

- Kehormatan diri, yang membuatnya menjauhi hal-hal yang hina dan buruk, baik berupa perkataan maupun perbuatan, membuatnya memiliki rasa malu, yang merupakan pangkal segala kebaikan, mencegahnya dari kekejian, bakhil, dusta, ghibah dan mengadu domba.

- Keberanian, yang mendorongnya pada kebesaran jiwa, sifat-sifat yang tinggi, rela bekorban dan memberikan sesuatu yang paling dicintai.

- Adil, yang membuatnya berada di jalan tengah, tidak meremehkan dan tidak berlebih lebihan.

Empat sendi ini sekaligus merupakan sumber akhlak yang baik dan utama. Sedangkan empat sumber akhlak yang rendah ialah:

- Kebodohan, yang menampakan kebaikan dalam rupa keburukan, menampakkan keburukan dalam rupa kebaikan, menampakkan kekurang-an dalam rupa kesempurnaan dan menampakkan kesempurnaan dalam rupa kekurangan.

- Kezhaliman, yang membuatnya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, memarahi perkara yang mestinya diridhai, meridhai sesuatu yang mestinya dimarahi dan lain sebagainya dari tindakan-tindakan yang tidak proporsional.

- Syahwat, yang mendorongnya menghendaki sesuatu, kikir, bakhil, tidak menjaga kehormatan, rakus dan hina.

- Marah, yang mendorongnya bersikap takabur, dengki dan iri, mengadakan permusuhan dan menganggap orang lain bodoh. Dari himpunan semua ini, maka tersusunlah akhlak yang tercela.

Sedangkan sumber dari empat perkara ini ada dua macam, yaitu: Perta-ma, jiwa yang berlebih-lebihan saat lemah, yang melahirkan kebodohan, kehinaan, bakhil, kikir, celaan, kerakusan dan kekerdilan. Kedua, jiwa yang berlebih-lebihan saat kuat, yang melahirkan kezhaliman, amarah, kekerasan, kekejian dan kesewenang-wenangan.

Sebagian akhlak yang tercela melahirkan sebagian yang lain, sebagaimana sebagian akhlak yang terpuji juga melahirkan sebagian sifatnya yang lain. Akhlak yang baik ada di antara dua akhlak yang tercela, seperti kedermawanan yang ada di antara bakhil dan boros, tawadhu' yang ada di antara kehinaan dan takabur. Selagi jiwa menyimpang dari pertengahan ini, tentu ia akan cenderung kepada salah satu di antara dua sisinya yang tercela. Siapa yang menyimpang dari akhlak tawadhu', maka ia akan menyimpang ke sifat takabur dan riya atau ke kehinaan dan kekerdilan. Siapa yang menyimpang dari kesabaran yang terpuji, maka ia menyimpang ke kegundahan dan keguncangan atau ke kekerasan hati dan kekasar-an tabiat.

Akhlak sangat bermanfaat bagi orang yang mengadakan perjalan-an dan dapat menghantarkan ke tujuan dengan segera. Dengan akhlak-nya dia akan membentuk dirinya yang sulit untuk dirubah, karena yang paling sulit untuk dirubah pada tabiat manusia adalah akhlak yang telah membentuk jiwanya.

Menurut pengarang Manazilus-Sairin, ada tiga derajat akhlak, yaitu:

1. Engkau harus mengetahui kedudukan makhluk, bahwa dengan takdir mereka saling berhubungan, kekuatannya terbelenggu dan hukum-nya terbatas. Dengan pengetahuan ini engkau bisa mengambil tiga manfaat: Semua makhluk merasa aman dari gangguanmu, termasuk pula anjing, engkau mendapat cinta makhluk dan keselamatan dari gangguan makhluk. Dengan derajat ini terbentuk tiga hal:

- Akhlak yang baikdalambermu'amalah dengan manusia dan bagaimana cara mempergauli mereka.

- Akhlak yang baik dalam bermu'amalah dengan Allah.

- Derajat kefanaan yang dilandaskan kepada asalnya.

Jika engkau mengetahui kedudukan dan derajat manusia, hukum-hukum qadar pada diri mereka, bahwa mereka terikat dengan qadar dan sama sekali tidak bisa keluar darinya, yang kekuatan dan kemampuan mereka terbatas dan mereka tidak bisa beralih kepada yang lain, maka dengan begitu engkau bisa mengambil tiga manfaat, salah satu di antaranya, makhluk merasa aman dari gangguanmu. Jika seseorang melihat keberadaan mereka secara hakiki, tentu dia tidak akan menuntut dari mereka sesuatu yang tidak mereka sanggupi. Ikut-lah perintah Allah kepada Nabi-Nya dalam menghadapi mereka, yaitu dengan menerima maaf mereka. Dengan cara itu mereka akan selamat dari tekanannya atau kewajiban yang dia berikan di luar kesanggupan mereka. Dalam keadaan seperti ini mereka tentu akan merasa aman dari tindakan pemimpinnya, sekalipun mungkin mereka menyimpang dari hokum syariat. Sebab jika mereka orang-orang yang terbatas dan terkurung, maka tuntutan dari mereka juga harus dise-suaikan dengan keadaan mereka yang terkurung itu. Jika mereka tidak bisa memenuhi hak-hakmu atau berbuat buruk kepadamu, maka ja-nganlah engkau menghadapi mereka dengan cara yang sama dan ja-nganlah memusuhi mereka, tapi ampunilah mereka dan terimalah permintaan maaf mereka. Karena mereka hanya sekedaf sebagai alat dan sudah ada ketetapan hukum yang berlaku pada diri mereka. Dengan cara ini engkau akan bias mempersaksikan hakikat atas kejahatan mereka terhadap dirimu, seperti yang dikatakan seorang arif, "Jika engkau berbuat zhalim, maka yang berkuasa atas dirimu tidak zhalim."

Di sini ada sebelas kesaksian yang harus diperhatikan hamba ketika mendapat gangguan dari orang-orang lain dan dalam menghadapi kejahatan mereka:

a. Kesaksian qadar. Artinya, apa yang terjadi pada dirinya merupakan kehendak Allah, qadha' dan qadar-Nya. Sehingga dia melihat diri nya seperti orang yang tersiksa karena udara panas dan dingin, sakit, derita, hembusan angin, tidak mendapat hujan dan lain-lainnya. Segala sesuatu terjadi karena kehendak Allah. Apa pun yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan apa pun yang tidak dikehendaki- Nya tidak akan terjadi. Jika dia mempersaksikan hal ini, maka dia akan merasa tenang, bahwa memang itulah kejadian yang dike hendaki Allah. Kalau pun ada kegundahan, itu hanya sewajarnya saja, seperti kegundahan karena kena udara panas atau dingin.

b. Kesaksian sabar. Dengan sabar ini dia melihat kesudahannya, pahala yang diterima pelakunya, kelapangan dan kegembiraan yang dialaminya serta tidak menanggung penyesalan dan dendam. Siapa pun yang menyusupkan rasa dendam ke dalam hatinya, maka dia akan mendapat penyesalan.

c. Kesaksian ampunan, kelapangan dada dan kelembutan. Selagi se orang hamba mempersaksian keutamaan dan kemuliaan ampunan ini, maka sekejap pun matanya tidak akan beralih dari sifat ini. Siapa yang mendapat tambahan ampunan dari Allah, berarti dia mendapat kemuliaan. Maaf, kelapangan dada dan kelembutan ini terkandung ketenangan, kedamaian dan dapat menghapus dendam.

d. Kesaksian ridha. Ini lebih tinggi daripada kesaksian maaf dan kela pangan dada, yang tidak dimiliki kecuali jiwa yang tenang, apalagi jika sebab yang menimpanya adalah melaksanakan agama Allah. Ini merupakan keadaan orang yang mencintai dengan sebenarnya dan ridha menerima apa pun dari kekasihnya. Jika dia mengeluh, maka itu merupakan bukti kepalsuan cintanya.

e. Kesaksian ihsan. Maksudnya menghadapi orang yang berbuat jahat dengan cara yang baik dan tetap memperlakukannya secara baik setiap kali dia berbuat jahat kepadanya.

f. Kesaksian keselamatan dan hati yang dingin. Ini merupakan kesak sian yang amat mulia bagi orang yang menyadarinya. Hatinya tidak masyghul karena gangguan yang diterimanya dan tidak terpengaruh. Memang keselamatan merupakan sesuatu yang paling bermanfaat dan nikmat. Tapi jika hati sibuk hanya dengan urusan ini, ber arti dia meninggalkan sesuatu yang lebih penting lagi, dengan begitu dia menjadi orang yang terkecoh.

g. Kesaksian keamanan. Jika dia tidak membalas dan mendendam orang yang menyakitinya, tentu dia akan merasa aman. Tapi jika dia mendendam, maka dia akan

terus dirasuki rasa takut dan menanamkan permusuhan baru. Jika dia memaafkan dan tidak ingin membalas, maka tidak akan muncul pemusuhan baru atau permusuhan yang ada semakin menghangat. Maaf dan kelapangan dada-nya harus bisa mencabik belenggu permusuhan.

h. Kesaksian jihad. Artinya mempersaksikan munculnya gangguan manusia dengan jihad fi sabilillah, pelaksanaan amar tna'ruf nahi munkar dan menegakkan kalimat serta agama Allah. Allah telah membeli jiwa dan harta orang semacam ini dengan harga yang ma-hal. Jika dia menyetujui harga ini, maka hendaklah dia menyerah-kan barang dagangan kepada-Nya, agar dia mendapatkan harga tersebut, sehingga dia tidak merasa mempunyai hak terhadap orang yang menyakitinya dan tidak pula berhak menerima sesuatu pun darinya, sekalipun mungkin dia rela terhadap persetujuan dengan-nya, karena dia hanya menginginkan pahala dari Allah. Karena itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mencegah para Muhajirin dari penduduk Makkah untuk menuntut harta mereka yang pernah dirampas orang-orang musyrik dan tidak pula meminta tebusan atas orang-orang yang terbunuh fi sabilillah. Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq hendak meminta tebusan dari orang-orang murtad atas terbunuhnya beberapa orang Muslim, maka Umar bin Al-Khaththab berkata, "Itu adalah nyawa dan harta yang lenyap karena Allah. Padahal semuanya ada di Tangan Allah dan tidak ada tebusan untuk orang yang mati syahid." Para shahabat juga lebih setuju terhadap pendapat Umar ini, dan akhirnya Abu Bakar juga menyetujuinya. Siapa yang berjihad karena Allah hingga dia mendapat gangguan, maka Allah melarang untuk membalasnya, sebagaimana yang dika-takan Luqman kepada anaknya, "Dan, suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yangdemikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (Allah)." (Luqman: 17).

i. Kesaksian nikmat. Yaitu dengan mempersaksikan nikmat Allah yang menjadikan dirinya sebagai orang yang dizhalimi dan akan mendapat pertolongan, tidak menjadikannya sebagai orang zhalim yang kemudian mendapat kemurkaan dan siksa. Andaikan orang yang berakal disuruh untuk memilih di antara dua keadaan ini, tentu dia akan memilih menjadi orang yang dizhalimi yang kemudian mendapat pertolongan, bukan sebagai orang zhalim yang kemudian mendapat murka dan siksa. Dia juga bisa mempersaksikan nikmat Allah yang berupa pengha-pusan kesalahan-kesalahannya. Sebab jika orang Mukmin ditimpa kesulitan, kesusahan atau gangguan, maka Allah menghapus di antara kesalahankesalahannya. Pada hakikatnya itu merupakan obat yang mengusir penyakit dosa dan kesalahannya. Manusia yang menyakitimu sama dengan obat dari dokter yang pahit namun menyembuhkan. Jadi jangan melihat pahitnya obat itu dan keben-cianmu kepadanya, tapi lihatlah kesembuhan yang ditimbulkan-nya. Persaksikan pula bahwa gangguan yang menimpamu itu lebih ri-ngan daripada

gangguan dan cobaan yang dialami orang lain. Ka-lau pun gangguan dan cobaan itu cukup berat, maka lihatlah bahwa cobaan itu hanya menimpa badan dan harta, tidak menimpa agama, Islam dantauhidnya. Sebab setiap cobaan yang tidak menimpa agama, masih dianggap kecil, dan pada hakikatnya itu adalah nikmat.

j. Kesaksian keteladanan. Ini merupakan kesaksian yang lembut sekali. Setiap orang yang berakal tentu ridha untuk meneladani para ra-sul, nabi dan wali-wali Allah. Mereka adalah orang-orang yang paling berat cobaannya, paling sering disakiti dan diganggu manu-sia. Perhatikanlah kisah para nabi, khususnya gangguan yang di-timpakan para musuh kepada nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang tidak pernah dialami orang-orang sebelum-nya. Beliau didustakan, diusir dari kampung halaman, diserang dan dimusuhi. Apakah seorang hamba tidak ridha mempunyai sosok teladan seorang makhluk pilihan Allah yang terbaik ini?

k. Kesaksian tauhid. Ini merupakan kesaksian yang paling tinggi dan mulia. Jika hatinya sudah dipenuhi cinta kepada Allah, ikhlas, taqar-rub, ridha dan kerinduan bersua dengan-Nya, menjadikan-Nya se-bagai pelindung, ridha terhadap qadha' dan qadar-Nya, maka hatinya tidak lagi akan mempersaksikan gangguan manusia terhadap dirinya, apalagi hati dan pikirannya sibuk merancang pembalasan. Pembalasan tidak muncul kecuali dari hati yang sama sekali tidak diisi dengan hal-hal tersebut, atau hati yang senantiasa lapar dan tidak pernah kenyang. Jika hati itu melihat santapan macam apa pun yang ada di hadapannya, maka ia langsung menyambarnya. Tapi jika hati sudah terbiasa disuapi dengan makanan yang ber-kelas tinggi, maka ia tidak akan mau menerima sembarang makanan. Ini merupakan karunia Allah yang diberikan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.

2. Membaguskan akhlakmu terhadap Allah dan membaguskannya pada dirimu, yaitu dengan mengetahui bahwa apa pun yang datang dari dirimu harus dimintakan ampunan dan apa pun yang datang dari Allah harus disyukuri, dan engkau tidak boleh merasa telah memenuhi hak- Nya. Derajat ini didasarkan kepada dua kaidah:

a. Engkau harus mengetahui bahwa dirimu adalah kurang, dan apa yang berasal dari yang kurang tentu juga kurang, maka yang kurang ini harus dimintakan ampunan. Seorang hamba harus meminta maaf dan ampun kepada Allah atas kebaikan dan keburukan yang dilakukannya. Untuk keburukan sudah pasti. Sedangkan untuk kebaikan, dengan meminta maaf atas kekurangannya. Di samping berbuat baik, maka dia harus meminta maaf atas kebaikannya itu atau atas kekurangannya. Karena itu Allah memuji para wali-Nya yang hatinya takut sekalipun mereka telah berbuat kebaikan. Firman- Nya : "Dan, orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut." (Al-Mukminun: 60).

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda sehubungan dengan ayat ini, "Mereka adalah orang yang berpuasa dan mengeluarkan shadaqah, namun mereka takut amalnya

tidak diterima." Ada dua alasan yang membuatnya begitu, yaitu: Karena dia melihat kekurangan dan keterbatasan dirinya, karena cintanya benar dan tulus, karena orang yang benar-benar mencintai tentu akan mendekati kekasihnya dengan cara yang bisa dia lakukan, merasa malu dan minta maaf sekalipun dia telah berbuat baik kepadanya.

b. Mengagungkan apa pun yang datang dari Allah, engkau harus mensyukurinya dan engkau harus merasa kurang dalam mensyukurinya. Yang demikian ini hanya ada dalam cinta yang suci dan tulus. Orang yang mencintai merasa apa yang diterima dari kekasihnya terlalu banyak. Orang yang mencintai akan mengagungkan pemberian kekasihnya. Lalu bagaimana dengan berbagai macam kebaikan yang datang dari Allah?

3. Membersihkan akhlak, kemudian naik lagi ke tingkat penyatuan akhlak dengan Allah, kemudian naik lagi ke kebersamaan akhlak di sisi Allah. Membersihkan akhlak di sini ialah menyempurnakan dua derajat sebelumnya, membersihkannya dari segala noda dan cacat. Jika engkau sudah bisa melakukan hal ini, maka engkau akan naik ke tingkatan kebersamaan dengan Allah. Membentuk akhlak merupakan persiapan untuk kebersamaan dan penyatuan dengan Allah. Jika hal ini sudah tercapai, maka dia bisa melepaskan diri dari hal-hal selain Allah.

Tawadhu'

Allah befirman sehubungan dengan tempat persinggahan tawadhu' (rendah hati) ini, "Dan, hamba-hamba Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati." (Al-Furqan: 63).

Artinya, dengan tenang, berwibawa, rendah hati, tidak jahat, tidak congkak dan sombong. Menurut Al-Hasan, mereka adalah orang-orang yang berilmu dan bersikap lemah lembut. Menurut Muhammad bin Al- Hanafiah, mereka adalah orang-orang yang berwibawa, menjaga kehormatan diri dan tidak berlaku bodoh. Kalaupun mereka dianggap bodoh, maka mereka tetap bersikap lemah lembut.

Jika dikatakan al-haun, maka artinya lemah lembut. Sedangkan jika dikatakan al-hun, maka artinya hina. Yang pertama merupakan sifat orang yang beriman, dan yang kedua merupakan sifat orang kafir. Allah befirman, "Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang Mukmin, yang bersikap keras

terhadap orang-orang kafir." (Al-Maidah: 54).

Firman Allah, ”Adzillah alal mukminin”, merupakankerendahanhati yang menunjukkan sikap lemah lembut terhadap orang-orang Mukmin, dan bukan berarti merendahkan diri yang menjadikan pelakunya menja-di hina. Tapi ini merupakan sifat

lemah lembut yang membuat pelakunya penurut. Sebab orang Mukmin itu penurut seperti yang disebutkan dalam hadits, "Orang Mukmin itu seperti onta yang penurut, sedangkan orang munafik dan fasik itu hina." Empat hal yang menempel pada diri orang yang hina: Pendusta, pengadu domba, bakhil dan semena-mena.

Sifat orang Mukmin terhadap Mukmin lainnya seperti sikap ayah kepada anaknya. Sedangkan dalam menghadapi orang kafir seperti binatang buas yang menghadapi mangsanya.

Dalam Shahih Muslim disebutkan dari hadits Iyadh bin Himar Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda :"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku, agar kalian rendah hati, hingga seseorang tidak membanggakan diri terhadap yang lain dan seseorang tidak berbuat aniaya terhadap yang lain."

Di dalam Shahih Muslim juga disebutkan dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan meskipun seberat dzarrah."

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa menunjukkan sikap tawadhu' kepada siapa pun. Jika beliau melewati sekumpulan anakanak kecil, maka beliau mengucapkan salam kepada mereka. Ada seorang budak wanita yang menggelendeng tangan beliau menuju tempat yang dikehendakinya. Jika beliau makan, maka beliau menjilat jari-jari tangannya tiga kali. Jika berada di rumah, maka beliau mengerjakan tugastugas keluarganya. Beliau biasa menjahit sandalnya, menambal pakaian, memerah susu untuk keluarganya, memberi makan onta, makan bersa-ma para pelayan, duduk bersama orang-orang miskin, berjalan bersama para janda dan anak-anak yatim, memenuhi keperluan mereka, selalu mengucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka, memenuhi undang-an siapa pun yang mengundangnya, sekalipun untuk keperluan yang sangat ringan dan reman. Akhlak beliau lembut, tabiat beliau mulia, pergaulan beliau baik, wajah senantiasa berseri, mudah tersenyum, rendah hati namun tidak menghinakan diri, dermawan tapi tidak boros, hatinya mudah tersentuh dan menyayangi setiap orang Muslim dan siap melin-dungi mereka.

Al-Fudahil bin Iyadh pernah ditanya tentang makna tawadhu'. Maka dia menjawab, "Artinya tunduk kepada kebenaran dan patuh kepadanya serta mau menerima kebenaran itu dari siapa pun yang mengucapkannya."

Ada yang berpendapat, tawadhu' artinya tidak melihat diri sendiri memiliki nilai. Siapa yang melihat dirinya memiliki nilai berarti tidak memiliki tawadhu'.

Menurut Ibnu Atha', tawadhu' artinya mau menerima kebenaran dari siapa pun. Kemuliaan ada dalam tawadhu'. Maka siapa yang mencarinya dalam kesombongan, berarti dia seperti mencari air dari kobaran api.

Urwah bin Az-Zubair Radhiyallahu Anhuma berkata, "Aku pernah melihat Umar bin Al-Khaththab memanggul segeriba air. Maka kukatakan kepadanya, "Wahai Amirul-Mukminin, tidak sepantasnya engkau melaku-kan hal ini." Umar menyahut, "Ketika ada beberapa orang utusan yang dating kepadaku dalam keadaan tunduk dan patuh, maka ada sedikit kesombongan yang merasuk ke dalam diriku. Namun aku dapat mengenyahkannya."

Abu Hurairah pernah diangkat sebagai gubernur. Suatu hari ketika dia sedang memanggul kayu bakar, maka orang-orang berkata, "Beri jalan bagi gubernur kita."

Umar bin Abdul-Aziz mendengar kabar bahwa seorang anaknya membeli sebuah cincin seharga seribu dirham. Maka Umar menulis su-rat kepadanya, yang isinya, "Aku mendengar engkau telah membeli cincin seharga seribu dirham. Jika suratku ini sudah engkau baca, maka jual-lah cincin itu dan belilah makanan dan berikan kepada seribu orang. Lalu belilah cincin lain dari besi seharga dua dirham. Tulislah di dalam cincin itu

kalimat ini: Allah merahmati seseorang yang tahu nilai dirinya."

Dosa pertama yang menjadi kedurhakaan terhadap Allah adalah dua macam: Takabur dan ambisi. Takabur merupakan dosa Iblis yang terlaknat. Sedangkan dosa bapak kita Adam adalah ambisi dan syahwat.

Kesudahannya adalah taubat dan hidayah, sedangkan dosa Iblis mendorongnya untuk mencari alasan dengan takdir. Dosa Adam membuat-nya mengakui dosa tersebut lalu memohon ampunan. Orang yang takabur dan beralasan kepada takdir akan bersama pemimpin mereka masuk ke dalam neraka, yaitu Iblis. Sedangkan yang memiliki syahwat meminta ampun dan bertaubat serta mengakui dosanya, yang tidak akan beralasan dengan takdir. Mereka bersama bapak mereka, Adam di dalam surga.

Saya mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Takabur lebih jahat daripada syirik. Sebab orang yang takabur merasa dirinya hebat untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan orang musyrik masih mau beribadah kepada Allah dan kepada selain-Nya." Saya katakan, "Maka tidak heran jika Allah menjadikan neraka sebagai tempat tinggal orang-orang yang takabur, sebagaimana firman-Nya, "Maka masukilah pintu-pintu neraka jahannam, kalian kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri

itu." (An-Nahl: 29).

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Takabur itu penolakan terhadap kebenaran dan penghinaan terhadap manusia."

Pengarang Manazilus-Sa'irin, mengatakan, "Yang dimaksudkan tawadhu' ialah jika hamba tunduk kepada kekuasaan Allah." Dengan kata lain, menerima kekuasaan Allah dengan penuh ketundukan dan kepatuh-an serta masuk ke dalam penghambaan kepada-Nya, menjadikan Allah sebagai penguasanya, seperti kedudukan raja yang

berkuasa terhadap budak-budaknya. Dengan cara inilah seorang hamba bisa memiliki akhlak tawadhu'. Karena itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menafsiri takabur sebagai kebalikan dari tawadhu', dengan bersabda, "Takabur itu penolakan terhadap kebenaran dan penghinaan terhadap manusia". Menurutnya, tawadhu' ada tiga derajat, yaitu :

1. Tawadhu' kepada agama, yaitu tidak menentangnya dengan pemikir-an dan penukilan, tidak menuduh dalil agama dan tidak berpikir untuk menyangkal. Tawadhu' kepada agama artinya tunduk kepada apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan pasrah kepadanya. Hal ini bisa dilakukan dengan tiga cara :

- Tidak menentang sedikit pun darinya dengan empat macam penentangan yang biasa dilakukan di dunia ini, yaitu dengan akal, qiyas, perasaan dan penyiasatan. Yang pertama milik para teolog yang menentang nash wahyu dengan akal mereka yang rusak. Mereka berkata : "Jika akal dan nash yang saling bertentangan, maka kami mengutamakan akal dan kami abaikan nash." Yang kedua milik orangorang yang menyimpang dari kalangan ahli fiqih. Mereka berkata : "Jika qiyas bertentangan dengan pendapat dan nash, maka kami mengutamakan qiyas daripada nash dan kami tidak akan berpaling kepada nash." Yang ketiga milik orang-orang yang menyimpang dari kalangan sufi dan zuhud. Jika perasaan bertentangan dengan nash, maka mereka mengutamakan perasaan dan tidak peduli terhadap perintah nash. Yang keempat milik para penguasa dan pemimpin yang sombong. Jika syariat dan kepentingan politik saling bertentangan, maka mereka mengutamakan kepentingan politik dan tidak mempedulikan hukum syariat. Empat orang ini adalah orang orang yang takabur. Sedangkan yang tawadhu' ialah yang bias membebas-kan diri dari perkara-perkara ini.

- Tidak menuduh satu dalil pun dari dalil-dalil agama, dengan menganggapnya sebagai dalil yang tidak tepat, tidak relevan, kurang atau terbatas. Jika seseorang berpikir seperti ini, maka hendaklah dia mencurigai pemahamannya sendiri. Dan memang inilah yang seringka-li terjadi, bahwa tidaklah seseorang menuduh suatu dalil melainkan pemahamannyalah yang tidak tepat. Jika engkau melihat suatu dalil yang terasa rumit untuk dipahami, maka itu menunjukkan keagungannya dan di bawahnya tersimpan gudang ilmu, yang kuncinya mungkin tidak ada pada dirimu.

- Tidak berpikir untuk menyangkal nash, entah di dalam batinnya, entah dengan perkataan maupun perbuatannya. Jika dia merasa hendak menyangkal nash, maka dia harus menempatkan dirinya seperti orang yang menyangkal perbuatan zina, mencuri, minum khamr dan lain sebagainya. Penyangkalan ini merupakan masalah yang amat besar di sisi Allah dan dapat menyeret kepada kemunafik-an. Tidak ada yang bisa menyelamatkan dari hal ini kecuali mengetahui bahwa keselamatan hanya ada dalam bashirah dan istiqamah, setelah ada keyakinan, bahwa keterangan tentang kebenaran ada di belakang hujjah.

2. Meridhai orang Muslim sebagai saudara sesama hamba seperti yang diridhai Allah

bagi dirinya, tidak menolak kebenaran sekalipun dating dari musuh dan menerima maaf dari orang yang meminta maaf. Jika Allah sudah meridhai saudaramu sesama Muslim sebagai hamba, maka apakah kamu tidak meridhai dirinya sebagai saudaramu? Jika engkau tidak meridhainya sebagai saudaramu, padahal dia sudah diridhai Tuanmu sebagai hamba seperti dirimu, berarti itu adalah takabur. Lalu takabur macam apakah yang lebih buruk dari takaburnya hamba terhadap hamba seperti dirinya, yang tidak mau bersaudara dengannya, padahal tuannya sudah ridha keberadaannya sebagai hamba? Derajat tawadhu' juga tidak dianggap sah sehingga seorang hamba mau menerima kebenaran dari orang yang disukainya maupun dari orang yang dibencinya. Bahkan dia harus mau menerimanya dari musuh seperti dia menerimanya dari pelindungnya. Lalu jika ada yang berbuat jahat kepadamu, yang datang kepadamu untuk meminta maaf, maka tawadhu' mengharuskanmu menerima maafnya, tak peduli apakah permintaan maafnya itu benar-benar datang dari hatinya atau hanya sekedar pura-pura. Tentang apa yang disimpan di dalam hatinya, maka harus diserahkan kepada Allah, seperti yang dilakukan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap orang-orang munafik yangmelarikan diri dari medan peperangan. Ketika bertemu lagi dengan beliau, mereka meminta maaf. Maka beliau menerima permintaan maaf tersebut, sedangkan apa yang tersimpan di dalam hati mereka diserahkan kepada Allah.

3. Tunduk kepada Allah, melepaskan pendapat dan kebiasaanmu dalam mengabdi, tidak melihat hakmu dalam mu'amalah. Yang disebut tawadhu' ialah pengabdianmu kepada Allah, beribadah kepada-Nya seperti yang diperintahkan-Nya kepadamu dan bukan menurut pendapatmu sendiri. Yang membangkitkanmu untuk beribadah juga bukan kebiasaanmu, seperti kebiasaan yang membang-kitkan orang yang tidak memiliki bashirah. Andaikan yang membiasa-kannya sesuatu kebalikannya, tentu itulah yang akan menjadi kebia-saannya.

Seorang hamba juga tidak boleh beranggapan bahwa dia mempunyai hak atas Allah karena amalnya. Apa yang harus dilakukannya adalah beribadah, memerlukan-Nya dan tunduk kepada-Nya. Selagi dia menganggap mempunyai hak atas Allah, maka mu'amalahnya menjadi ru-sak dan cacat, yang dikhawatirkan bisa mendatangkan murka-Nya. Tapi bukan berarti hal ini menajikan hak Allah untuk memberikan balasan dan

pahala kepada orang yang beribadah kepada-Nya. Itu semata merupakan hak Allah untuk memuliakan dan berbuat baik kepada hamba, bukan merupakan hak hamba yang bisa diminta dari Allah, lalu mereka bisa membuat ketentuan terhadap Allah karena amal mereka.

Jadi engkau harus bisa membedakan masalah ini secara seksama. Dalam hal ini manusia bisa dibedakan menjadi tiga golongan:

- Golongan yang mengatakan bahwa hamba terlalu lemah untuk memiliki hak atas Allah,

sehingga Allah sama sekali tidak mempunyai keharusan untuk memenuhi hak hamba dan berbuat baik kepada-nya.

- Golongan yang melihat bahwa Allah mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya terhadap hamba, sehingga mereka beranggapan bahwa hamba bisa menetapkan keharusan terhadap Allah dengan amalnya. Dua golongan ini sama-sama menyimpang.

- Golongan yang benar, yang mengatakan bahwa dengan amal dan usahanya hamba tidak berhak mendapatkan keselamatan dan keberuntungan dari Allah, amalnya tidak menjamin dirinya bias masuk surga dan menyelamatkannya dari neraka, kecuali jika dia mendapat karunia dan rahmat-Nya. Namun begitu Allah juga menguatkan rahmat dan kemurahan-Nya yang diberikan kepada hamba dengan ikatan janji, dan janji Allah berarti wajib, sekalipun menggunakan kata "Agar, semoga, mudah-mudahan".

Pengertian lebih jauh, hamba yang tidak melihat adanya hak atas Allah bukan berarti dia harus menajikan apa yang diwajibkan Allah kepada dirinya dan menajikan apa yang telah dijadikan-Nya sebagai hak bagi hamba. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada Mu'adz bin Jabal, "Hai Mu'adz, tahukah kamu apa hak Allah atas

hamba?" Mu'adz menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Beliau bersabda, "Hak Allah atas mereka ialah agar mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya. Hai Mu'adz, tahukah kamu apa hak hamba atas Allah jika mereka melakukan hai itu?" "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu," jawab Mu'adz.

Beliau bersabda, "Hak mereka atas Allah, hendaknya Dia tidak mengadzab mereka dengan api neraka." Allah adalah yang seorang pun tidak mempunyai atas Diri-Nya, dan yang ada usaha sedikit pun yang hilang sia-sia di sisi-Nya.

Futuwwah

Futuwwah (kejantanan) termasuk salah satu tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Kedudukan ini pada hakikatnya merupakan kebajikan kepada manusia, tidak menyakiti mereka dan sabar dalam menghadapi gangguan mereka, yang digunakan sebagai penunjang akhlak yang baik dalam bergaul bersama mereka. Perbedaannya dengan muru'ah (keperwiraan), muru'ah lebih umum daripada futuwwah, dan futuwwah merupakan bagian dari muru'ah.

Futuwwah merupakan kedudukan yang mulia, yang tidak disebut syariat dengan kata ini, tapi diungkapkan dengan kata "Akhlak yang mulia", seperti yang disebutkan dalam hadits dari Jabir Radhiallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Sesungguhnya Allah mengutusku untuk menyempumakan akhlak yang

mulia dan perbuatan yang baik."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar