Selasa, 02 November 2010

MADARIJUS SOLIHIN ( PENDAKIAN MENUJU ALLAH 3 )

TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN

IYYAKA NA’BUDU WA IYYAKA NASTA’IN

Ikhbat

Ikhbat menurut pengertian bahasa artinya permukaan tanah yang rendah. Atas dasar pengertian bahasa ini pula Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu dan Qatadah mengartikan lafazh mukhbitin di dalam ayat Al-Qur'an sebagai orang-orang yang merendahkan diri. Sedangkan menurut Mujahid, mukhbit artinya orang yang hatinya merasa tenang bersama Allah, karena menurut pendapatnya, khabtu artinya tanah yang stabil. Menurut Al-Akhfasy, mukhbitin artinya orang-orang yang khusyu'. Menurut Ibrahim An-Nakha'y, artinya orang-orang yang shalat dan ikhlas. Menurut Al-Kalby, artinya orang-orang yang hatinya lembut. Menurut Amr bin Aus, artinya orang-orang yang tidak berbuat zhalim, dan jika dizhalimi tidak membalas. Allah befirman : "Dan, berilah kabar gembira kepada orang-orang yang merendahkan diri (kepada Allah)." (Al-Hajj: 34).

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih dan merendahkan diri kepada Rabb mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya." (Hud: 23).

Pendapat-pendapat tentang lafazh mukhbitin ini berkisar pada dua makna: Merendahkan diri, dan merasa tenang terhadap Allah. Karena itu lafazh ini disertai dengan kata ila (kepada), sebagai jaminan terhadap pengertian ketenangan dan ketundukan kepada Allah.

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Ikhbat ini merupakan permulaan dari ketentraman", seperti ketenangan, keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, atau juga merupakan rasa percaya diri bagi musafir untuk tidak surut ke belakang atau ragu-ragu. Karena ikhbat merupakan permulaan posisi bagi orang yang sedang mengadakan perjalanan kepada Allah, yang tidak akan menghentikan perjalanannya selagi dia masih benapas, maka ikhbat ini bisa diumpamakan air segar yang dilihat musafir saat kehausan di awal tahapan perjalanannya, sehingga air yang diharapkannya menghilangkan keragu-raguannya untuk membatalkan perjalanan, meskipun perjalanannya sulit dan berat. Apabila ia mendapatkan air, maka keragu-raguan atau lintasan pikiran untuk membatalkan perjalanan menjadi sirna. Begitu pula seorang perantau apabila dia sampai ke tempat persinggahan yang pertama, yaitu thuma'ninah maka hilanglah keraguraguan

darinya.

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, ikhbat ini didasarkan kepada tiga derajat:

1. Memperkuat penjagaan dalam menghadapi syahwat, menjaga hasrat agar tidak lalai dan kecintaan yang dapat mengalahkan kesenangan. Alhasil, perlindungan dan

penjagaannya dapat mengalahkan syahwat, hasratnya dapat mengalahkan kelalaian, dan kecintaannya dapat mengalahkan kesenangan.

2. Hasratnya tidak digugurkan satu sebab pun, hatinya tidak diusik satu penghambat pun, dan jalannya tidak dipotong satu rintangan pun. Ini tiga masalah lain yang dihadapi orang yang sedang berjalan kepada Allah dan yang berada di tempat persinggahan ikhbat. Tapi selagi hasratnya sudah bulat dan perjalanannya dilakukan secara sungguhsungguh, tentu tidak ada satu sebab pun yang bisa menghambat perjalanannya. Penghambat yang paling berat ialah kesepian saat berjalan sendirian. Maka hal ini janganlah dianggap sebagai penghambat, sebagaimana yang dikatakan seseorang yang lurus, "Kesendirian-mu dalam mencari sesuatu merupakan bukti benarnya apa yang kamu cari." Yang lain berkata, "Janganlah engkau merasa kesepian karena sedikitnya orang yang berjalan bersamamu dan janganlah terkecoh karena banyaknya orang yang binasa." Sedangkan rintangan yang bisa memotong perjalanan ialah hal-hal yang masuk kedalam hati seseorang sehingga dapat menghambatnya untuk mencari dan mengikuti kebenaran. Bila seorang hamba sudah mantap berada di tempat persinggahan ikhbat, hasrat dan pencarian-nya sudah kuat, maka tidak ada rintangan yang bisa menghambatnya.

3. Sama bagi dia saat mendapatpujianataupuncelaan, senantiasa mencela diri sendiri, dan tidak melihat kekurangan orang lain yang di bawah dia derajatnya. Hamba yang sudah mantap berada di tempat persinggahan ikhbat, tidak lagi terpengaruh oleh pujian dan celaan. Dia tidak menjadi gem- bira karena pujian manusia dan juga tidak sedih karena celaan mere-ka. Inilah sifat orang yang bisa melepaskan diri dari bagian yang seharusnya diterimanya. Jika seseorang terpedaya oleh pujian dan celaan manusia, maka itu merupakan pertanda bagi hatinya yang terputus, tidak memiliki ruh cinta kepada Allah dan belum merasakan manisnya kebergantungan kepada-Nya. Senantiasa mencela nafsu diri sendiri, entah yang berkaitan dengan sifat, akhlak atau perbuatannya yang tercela. Nafsu adalah gunung yang sulit dilewati dalam perjalanan kepada Allah. Ini merupakan satusatunya jalan kepada Allah bagi setiap orang, dan setiap orang juga harus sampai kepada-Nya. Di antara mereka ada yang kesulitan melewatinya dan sebagian yang lain ada yang mudah melewatinya berkat pertolongan Allah. Di atas gunung ini ada lembah, perkampungan, jurang, duri, tebing yang terjal, ada perampok yang akan menghambat siapa pun yang lewat di sana, terlebih lagi orang yang mengadakan perjalanan pada malam yang gelap gulita. Jika dia tidak mempunyai persiapan iman, pelita keyakinan yang dinyalakan dengan mi-nyak ikhbat, maka ia akan menyerah kepada penghalang dan perintang yang ada, dan perjalanannya akan terhenti. Sementara syetan juga ada di puncak gunung itu, menakut-nakuti manusia yang ingin mendaki dan mencapai puncaknya. Di samping perjalanan melewati gunung itu sendiri sudan sulit, ditambah lagi dengan ketakutan

yang dihembuskan syetan, dan lemahnya hasrat dan niat orangyang hendak melewatinya, ini semua membuat orang memutuskan perjalanan dan kembali pulang. Sesungguhnya orang yang terjaga dari godaan ini hanyalah orang yang dijaga Allah. Setiap kali perjalanan mendaki gunung ini bertambah ke depan, semakin jelas terdengar teriakan syetan yang menakut-nakuti dan meraperingatkannya. Jika sudah sampai ke puncaknya, maka semua ketakutan itu berubah menjadi rasa aman. Pada saat itu perjalanan lebih ringan, rambu-rambu jalan sudah ada, jalannya lapang dan aman, ting-gal turun ke lerengnya. "Tidak melihat kekurangan orang lain karena derajat yang didapatkannya", artinya tidak memperhatikan keadaan orang lain, karena dia disibukkan oleh urusannya sendiri dengan Allah, dan hatinya yang dipenuhi kecintaan kepada-Nya, sekalipun derajatnya lebih tinggi dari orang-orang lain. Andaikan dia sibuk memperhatikan keadaan orang lain, maka hal ini justru akan menurunkan derajatnya dan membuatnya mundur ke belakang.

Zuhud

Zuhud merupakan salah satu tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Di dalam Al-Qur'an banyak disebutkan tentang zuhud di dunia, pengabaran tentang kehinaan dunia, kefanaan dan kemusnahannya yang begitu cepat, perintah memperhatikan kepentingan akhirat, pengabaran tentang kemuliaan dan keabadiannya. Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri seorang hamba, maka Dia menghadirkan di dalam hatinya bukti penguat yang membuatnya bisa membedakan hakikat dunia dan akhirat, lalu dia memprioritaskan mana yang lebih penting.

Sudah banyak orang yang membahas masalah zuhud dan masingmasing mengungkap menurut perasaannya, berbicara menurut keadaannya. Padahal pembicaraan berdasarkan bahasa ilmu, jauh lebih luas daripada

berbicara berdasarkan bahasa perasaan, yang sekaligus lebih dekat kepada hujjah dan bukti keterangan. Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata : "Zuhud artinya meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat. Sedangkan wara' ialah meninggalkan apa-apa yang mendatangkan mudharat untuk kepentingan akhirat." Ini merupakan pengertian yang paling tepat dan menyeluruh untuk

istilah zuhud dan wara'.

Sedangkan menurut Sufyan Ats-Tsaury, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan, bukannya makan sesuatu yang kering dan mengenakan pakaian yang tidak bagus. Al-Junaid berkata, "Aku pernah mendengar Sary mengatakan, bahwa Allah merampas keduniaan dari para wali-Nya, menjaganya agar tidak melalaikan hamba-hamba-Nya yang suci dan mengeluarkannya dari hati orang-orang layak bersanding dengan-Nya. Sebab Allah tidak meridhainya itu bagi mereka."

Dia juga berkata, "Orang yang zuhud tidak gembira karena mendapatkan dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia."

Menurut Yahya bin Mu'adz, zuhud itu menimbulkan kedermawanan dalam masalah hak milik, sedangkan cinta menimbulkan kedermawanan dalam masalah ruh. Menurut Ibnul-Jala', zuhud itu memandang dunia dengan pandangan yang meremehkan, sehingga mudah bagimu untuk berpaling darinya. Menurut Ibnu Khafif, zuhud artinya merasa senang jika dapat keluar dari kepemilikan dunia. Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud di dunia artinya tidak mengumbar harapan di dunia. Ada pula satu riwayat darinya, bahwa zuhud itu tidak gembira jika mendapatkan keduniaan dan tidak sedih jika kehilangan keduniaan. Dia pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki seribu dinar, apakah orang ini juga bisa disebut orang zuhud? Jawabnya, "Bisa, selagi dia tidak merasa senang jika jumlah ini bertambah dan tidak bersedih jika jumlah ini berkurang."

Menurut Abdullah bin Al-Mubarak, zuhud artinya percaya kepada Allah dengan disertai kecintaan kepada kemiskinan. Pendapat yang sama juga dinyatakan Syaqiq dan Yusuf bin Asbath.

Menurut Al-Imam Ahmad, zuhud didasarkan kepada tiga perkara: Meninggalkan yang haram, dan ini merupakan zuhudnya orang-orang awam, meninggalkan berlebih-lebihan dalam hal yang halal, dan ini merupakan zuhudnya orang-orang yang khusus, dan meninggalkan kesibukan selain dari Allah, dan ini zuhudnya orang-orang yang memiliki

ma'rifat. Yang pasti, para ulama sudah sepakat bahwa zuhud itu merupakan perjalanan hati dari kampung dunia dan menempatkannya di akhirat. Atas dasar pengertian inilah orang-orang terdahulu menyusun kitab-kitab zuhud, seperti Ibnul-Mubarak, Al-Imam Ahmad, Waki', Hanad bin As-Siry dan lain-lainnya.

Kaitan zuhud ini ada enam macam. Seseorang tidak layak menda-pat sebuah zuhud kecuali menghindari enam macam ini: Harta, rupa, kekuasaan, manusia, nafsu dan hal-hal selain Allah. Bukan maksudnya menolak hak milik. Sulaiman dan Daud Alaihimas-Salam adalah orang yang paling zuhud pada zamannya, tapi dua nabi Allah ini memiliki harta, kekuasaan dan istri yang tidak dimiliki orang selain mereka. Sudah barang tentu Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah orang yang paling zuhud, tapi beliau mempunyai sembilan istri. Ali bin Abu Thalib, Abdurrahman bin Auf, Az-Zubair dan Utsman termasuk orang-orang yang zuhud, tapi mereka mempunyai harta yang melimpah. Begi-tu pula Al-Hasan bin Ali, Abdullah bin Al-Mubarak, Al-Laits bin Sa'd, yang semuanya merupakan imam orang-orang zuhud, namun mereka juga kaya raya.

Yang paling baik dari pengertian zuhud dan yang paling menyeluruh adalah seperti yang dikatakan Al-Hasan atau selainnya, "Zuhud di dunia bukan berarti mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta, tetapi jika engkau lebih meyakini apa yang ada di Tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika ada musibah

yang menimpamu, maka pahala atas musibah itu lebih engkau sukai daripada engkau tidak ditim-pa musibah sama sekali."

Orang-orang saling berbeda pendapat, apakah zuhud ini masih memungkinkan pada zaman sekarang ini ataukah tidak?

Menurut Abu Hafsh, zuhud tidak berlaku kecuali dalam hal-hal yang halal. Sementara di dunia saat ini sudah tidak ada yang halal, yang berarti tidak ada lagi zuhud.

Tapi pendapatnya ini disanggah banyak orang, karena di dunia ini masih ada yang halal, meskipun yang haram memang banyak. Taruklah bahwa di dunia tidak ada yang halal, maka justru keadaan ini lebih mendorong kepada zuhud, yang harus diterima layaknya orang yang terpak-sa menerimanya, seperti keterpaksaan memakan bangkai.

Pengarang Manazilus-Sa'irin menjelaskan bahwa zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu (selain Allah) secara total (dari hati), tanpa menoleh ke arahnya dan tidak mengharapkannya. Ada tiga derajat zuhud:

1. Zuhud dalam syubhat, setelah meninggalkan yang haram, karena tidak menyukai celaan di mata Allah, tidak menyukai kekurangan dan tidak suka bergabung dengan orang-orang fasik. Zuhud dalam syubhat artinya meninggalkan hal-hal yang meragukan, apakah sesuatu halal ataukah haram dalam pandangan seorang ham-ba, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits An-Nu'man bin Basyir Radhiyallahu Anhutna, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "halal itu nyata dan yang haram itu juga nyata, dan di antara ke-duanya ada perkara-perkara syubhat, yang tidak diketahui kebanyak-an manusia. Siapa yang menjauhi syubhat, maka dia telah menjauhi yang haram, dan siapa yang berada dalam syubhat, maka dia berada dalam hal yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar tanaman yang dilindungi, begitu cepat dia merumput di dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tempat yang dilindungi. Ketahuilah bahwa tempat yang dilindungi Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal darah, yang sekiranya segumpal darah ini baik, maka baik pula seluruh jasad, dan jika segumpal darah ini rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati." Syubhat merupakan sekat antara yang halal dan yang haram. Allah telah menjadikan sekat antara dua hal yang saling berbeda, seperti kematian dan sesudahnya yang menjadi sekat antara dunia dan akhirat, seperti kedurhakaan yang menjadi sekat antara iman dan kufur, seperti Al-A'raf yang menjadi sekat antara surga dan neraka, seperti terbit dan tenggelamnya matahari yang menjadi sekat antara malam dan siang dan masih banyak sekat-sekat lain yang telah diciptakan Allah sebagai pembatas antara dua hal, termasuk pula dalam manasik haji, seperti Muhassir yang menjadi sekat antara Mina dan Muzdalifah, Uranah yang menjadi sekat antara Arafah dan tanah suci, sehingga Uranah tidak termasuk tanah suci dan juga tidak termasuk Arafah. Tidak menyukai

celaan dan kekurangan hanya berlaku di mata Allah dan bukan di mata manusia, sekalipun sebenarnya tidak suka celaan dan kekurangan di mata manusia ini bukan termasuk sikap yang ter-cela. Yang tercela dalam hal ini ialah jika sikapnya itu semata di mata manusia dan tidak merasa malu di mata Allah.

2. Zuhud dalam perkara-perkara yang berlebih, yaitu sesuatu yang lebih dari kebutuhan pokok, dengan memanfaatkan waktu semaksimal mungkin, dengan melepaskan kegoncangan hati, dan dengan mencontoh para nabi dan shiddiqin. Kebutuhan-kebutuhan pokok ini meliputi makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk pernikahan. Zuhud dalam derajat ini lebih tinggi daripada derajat yang pertama. Karena di sini seorang hamba mengisi waktunya hanya bersama Allah. Sebab jika dia menyibukkan diri dalam perkara-perkara keduniaan yang melebih kebutuhannya, maka dia akan merasa kehilangan waktu. Sementara waktu itu seperti pedang. Jika engkau tidak memotong-nya, maka waktu itulah yang akan memotongmu. Dia mengisi setiap waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau berbuat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang bisa menolongnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti kebutuhan makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya. Jika dia memenuhi kebutuhan ini dengan niat untuk menambah kekuatan untuk melakukan apa-apa yang dicintai Allah dan menjauhi apa-apa yang dimurkai-Nya, maka itu namanya mengisi waktu, sekalipun dia mendapatkan kenik-matan dalam hal-hal ini. Karena tidak diragukan bahwa jiwa akan merasa senang dan bertambah kuat jika mendapatkan bagian yang ber-manfaat baginya di dunia, sehingga kekuatannya menjadi bertambah. Melepaskan kegoncangan hati artinya dalam hal-hal yang berkaitan dengan sebabsebab keduniaan. Zuhud tidak dianggap benar kecuali dengan memotong kegundahan hati ini, dengan tidak bergantung kepada keduniaan, entah saat mendapatkannya atau saat meninggalkan-nya. Zuhud adalah zuhud hati.

3. Zuhud dalam zuhud, yang dapat dilakukan dengan tiga cara: menghinakan perbuatan zuhudnya, menyeimbangkan keadaan saat menda patkan dan meninggalkan sesuatu, tidak berpikir untuk mendapatkan balasan. Orang yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada Allah dan pengagungan-Nya, tidak melihat keduniaan yang ditinggalkannya layak disebut pengorbanan. Sebab dunia dengan segala gemerlapnya tak lebih seperti sayap seekor lalat di sisi Allah. Maka orang yang memiliki ma'rifat tidak melihat bahwa perbuatan zuhudnya merupakan sesuatu yang besar. Dia merasa malu jika hatinya mempersaksikan zuhudnya ini. Menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu artinya melihat apa yang ditinggalkan atau yang dilakukannya dalam kedudukan yang sama. Ini merupakan pemahaman zuhud yang amat detail. Dia tetap zuhud saat mengambil keduniaan dan tetap zuhud saat

meninggalkannya, sebab hasratnya lebih tinggi dari seke-dar mengambil dan meninggalkannya. Apa yang dia ambil atau ditinggalkannya terlalu remeh di matanya. Jika seorang hamba bisa menghinakan perkara yang dihindarinya dan menyeimbangkan keadaan saat mendapatkan dan meninggalkan sesuatu, maka dia tidak berpikir untuk mendapatkan derajat di sisi Allah dari perbuatannya ini. Sebab dia merasa terlalu hina untuk menuntutnya.

Wara'

Dalam kaitannya dengan tempat persinggahan wara' ini Allah te-lah befirman : "Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan."(Al-Mukminun: 51)."Dan pakaianmu, bersihkanlah." (Al-Muddatstsir: 4).

Menurut Qatadah dan Mujahid, artinya bersihkan dirimu dari dosa. Diri ini dikiaskan dengan pakaian. Ini merupakan pendapat Ibrahim, An- Nakhah'y, Adh-Dhahhak, Asy-Sya'by, Az-Zuhry dan para mufassir. Menu-rut Ibnu Abbas, artinya janganlah engkau mengenakan pada dirimu kedurhakaan dan pengkhianatan. Orang-orang Arab biasa mensifati orang yang jujur dan selalu menepati janji dengan sebutan tahiruts-tsiyab (ber-sih pakaiannya), sedangkan orang yang jahat dan suka berkhianat dise-but danisuts-tsiyab (kotor pakaiannya). Menurut Adh-Dhahhak, artinya benahilah amalmu. Menurut As- Suddy, biasa dikatakan kepada orang yang dikenal shalih, "Bersih pakaiannya". Sedangkan kepada orang yang jahat akan dikatakan, "Kotor pakaiannya". Menurut Sa'id bin Jubair, yang dibersihkan adalah hatinya. Menurut Al-Hasan dan Al-Qurazhy, yang dibersihkan adalah akhlaknya.

Ibnu Sirin dan Ibnu Zaid berkata, "Ini merupakan perintah untuk membersihkan pakaian dari hal-hal najis, yang tidak bisa dipergunakan untuk shalat, sebab orang-orang musyrik tidak biasa membersihkan diri dan juga tidak biasa membersihkan pakaian."

Menurut Thawus, artinya pendekkanlah pakaianmu, karena dengan memendekkan pakaian bisa menjaga kebersihannya. Tapi yang be-nar adalah pendapat yang pertama, seperti yang tertera dalam ayat. Tidak dapat diragukan bahwa membersihkan pakaian dan memendekkannya termasuk cara membersihkan yang diperintahkan, karena dengan cara ini bisa menunjang pembenahan amal dan akhlak. Kotoran zhahir bisa mengimbas ke kotoran batin. Karena itu orang yang berdiri di hadapan Allah diperintahkan untuk menghilangkan dan menjauhi kotoran itu.

Maksudnya, wara' dapat membersihkan kotoran hati dan najisnya, sebagaimana air yang dapat membersihkan kotoran pakaian dan najisnya. Antara pakaian dan hati ada kesesuaian zhahir dan batinnya. Karena itu pakaian seseorang saat tidur menunjukkan keadaan dirinya dan hatinya, yang satu berpengaruh terhadap yang lain. Maka ada

larangan bagi kaum laki-laki mengenakan pakaian sutera, emas dan mengenakan kulit-kulit dari binatang buas, karena yang demikian itu berpengaruh terhadap hati, yang tidak menggambarkan ubudiyah dan ketundukan. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menghimpun keseluruhan wara' dalam satu kalimat : "Di antara tanda kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya."

Meninggalkan apa yang tidak bermanfaat ini mencakup perkataan, pandangan, pendengaran, berjalan, berpikir, memegang dan semua gerakan zhahir dan batin. Pernyataan beliau ini sudah mencakup semua yang ada dalam wara'. Ibrahim bin Adham berkata, "Wara' artinya meninggalkan setiap syubhat, sedangkan meninggalkan apa yang tidak bermanfaat bagimu artinya meninggalkan hal-hal yang berlebih."

Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan secara marfu' kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam : " Wahai Abu Hurairah, jadilah engkau orang yang wara', niscaya engkau akan menjadi orang yang paling banyak melakukan ibadah."

Menurut Asy-Syibly, wara' artinya menjauhi segala sesuatu selain Allah. Menurut Abu Sulaiman Ad-Darany, wara' merupakan permulaan zuhud, seperti halnya rasa berkecukupan merupakan permulaan ridha.

Menurut Yahya bin Mu'adz, wara' artinya berada pada batasan ilmu tan-pa melakukan ta'wil. Wara' itu ada dua sisi: Wara'zhahir dan wara' batin. Wara' zhahir artinya tidak bertindak kecuali karena Allah semata, sedangkan wara' batin ialah tidak memasukkan hal-hal selain ke dalam hati. Siapa yang tidak melihat detail wara' tidak akan bisa melihat besarnya anugerah."

Sufyan Ats-Tsaury berkata, "Aku tidak melihat sesuatu yang lebih mudah daripada wara', yaitu jika ada sesuatu yang meragukan di dalam jiwamu, maka tinggalkanlah."

Menurut Yunus bin Ubaid, wara' artinya keluar dari setiap syubhat dan menghisab diri sendiri setiap saat. Menurut Al-Hasan, wara' seberat dzarrah lebih baik daripada shalat dan puasa seribu kali. Menurut sebagi-an salaf, seorang hamba tidak mencapai hakikat takwa hingga dia meninggalkan apa yang diperbolehkan baginya, sebagai kehati-hatian dari apa yang tidak diperbolehkan baginya.

Pengarang Manazilus-Sa'irin mengatakan, "Wara' adalah menjaga diri semaksimal mungkin secara waspada, dan menjauhi dosa karena pengagungan." Dengan kata lain, menjaga diri dari hal-hal yang haram dan syubhat serta hal-hal yang bisa membahayakan semaksimal mungkin untuk dijaga. Menjaga diri dan waspada merupakan dua makna yang hampir serupa. Hanya saja menjaga diri merupakan perbuatan anggota tubuh, sedangkan waspada merupakan amalan hati. Adakalanya seseorang menjaga diri dari sesuatu bukan karena takut atau kewaspadaan, tapi karena hendak menunjukkan kebersihan diri, kemuliaan dan kehor-matan, seperti orang yang menjaga diri dari hal-hal

yang hina dan kebu-rukan, sekalipun dia tidak percaya kepada surga dan neraka. Sedangkan menjauhi dosa karena pengagungan, artinya dorongan terhadap orang yang menjauhi hal-hal yang haram dan syubhat, bias karena menghin-dari ancaman atau karena pengagungan terhadap Allah. Sedangkan menjauhi kedurhakaan, bisa karena dorongan takut atau pun pengagungan. Pengagungan ini cukup disamakan dengan cinta. Artinya, orang yang mencintai tentu tidak mau mendurhakai kekasihnya.

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, "Warn' merupakan kesudah-an zuhud orang-orang awam, dan merupakan permulaan zuhud orang khusus yang berjalan kepada Allah." Wara' ini ada tiga derajat:

  1. Menjauhi keburukan karena hendak menjaga diri, memperbanyak kebaikan dan menjaga iman. Menjaga diri artinya memelihara dan melindunginya dari hal-hal yang bisa mengotori dan menodainya di sisi Allah, para malaikat, hambahamba- Nya yang beriman dan semua makhluk. Karena siapa yang dirinya mulia di sisi Allah, maka Dia akan menjaga, melindungi, mensucikan, meniggikan dan meletakkannya di tempat yang paling ting-gi, berkumpul bersama orang-orang yang memiliki kesempurnaan. Sedangkan siapa yang dirinya hina di sisi Allah, maka Dia melemparkannya ke dalam kehinaan, tidak menjaganya dari keburukan dan melepaskan dirinya. Batasan minimal menjauhi keburukan adalah menjaga diri. Memperbanyak kebaikan dapat dilakukan dengan dua cara: Pertama, memperbanyak kesempatan dalam melaksanakan kebaikan. Jika seorang hamba melakukan keburukan, berarti kesempatan yang telah dipersiapkan untuk kebaikan menjadi berkurang. Kedua, memperbanyak kebaikan yang dilakukan agar tidak berkurang, sebagaimana telah dikupas dalam masalah taubat, bahwa keburukan bisa menggu-gurkan kebaikan, entah secara keseluruhan ataukah sekedar terku-rangi. Minimal akan melemahkan posisi kebaikan itu. Kaitannya dengan menjaga iman, karena menurut seluruh ulama Ahlus-Sunnah, iman itu bisa bertambah karena ketaatan dan bisa berkurang karena kedurhakaan. Pendapat ini juga dikisahkan dari Asy-Syafi'y dan lain-lainnya dari kalangan shahabat dan tabi'in. Peranan kedurhakaan yang melemahkan iman ini merupakan perkara yang sudah dimaklumi rasa dan dibuktikan kenyataan. Sebab sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadits, bahwa jika hamba melakukan dosa, maka di dalam hatinya ditorehkan satu titik hitam. Jika dia memohon ampunan, maka hatinya menjadi mengkilap kembali. Jika dia kembali melakukan dosa, maka di dalam hatinya ditorehkan titik hitam lainnya. Keburukan membuat hati menjadi hitam dan mema-damkan cahayanya. Iman adalah cahaya di dalam hati, sedangkan keburukan bisa melenyapkan cahaya itu atau minimal menguranginya. Kebaikan menambah cahaya hati dan keburukan memadamkan cahaya hati. Allah mengabarkan bahwa melanggar perjanjian yang te-lah diteguhkan Allah terhadap hamba-hamba-Nya merupakan sebab kerasnya hati. Firman-Nya :

"Karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya." (Al- Maidah: 13).

Dosa melanggar perjanjian menimbulkan beberapa dampak, berupa kekerasan hati, datangnya kutukan, kebiasaan merubah kalam Allah dan melupakan ilmu. Kedurhakaan bagi iman seperti penyakit bagi kekuatan. Keduanya hampir serupa. Karena itu orang-orang salaf berkata, "Kedurhakaan merupakan kurirkekufuran, seperti penyakit yang menjadi kurir kematian." Iman orang yang melakukan keburukan seperti kekuatan orang yang sakit, tergantung dari parah tidaknya penyakit yang diderita. Tiga sifat yang ada dalam derajat pertama ini juga merupakan wara'-nya orang-orang yang berjalan kepada Allah. Dengan kata lain, mereka masih mempunyai jenis wara' lain yang disebutkan dalam dua derajat berikut.

2. Menjaga hukum dalam perkara-perkara yang mubah, mengekalkan, melepaskan diri dari kehinaan, dan menjaga diri agar tidak melam-paui batasan hukum. Orang yang naik dari derajat pertama dari wara' lalu beralih ke derajat kedua ini, meninggalkan sekian banyak hal-hal yang mubah, karena takut hatinya akan terkotori dan cahayanya padam. Sebab memang banyak hal-hal yang mubah dapat mengotori kebersihan hati, mengurangi gemerlapnya dan memadamkan cahayanya. Suatu kali Syaikhul-Islam berkata kepadaku sehubungan dengan hal yang mubah, "Ini dapat menghilangkan derajat yang tinggi, sekalipun meninggalkannya bukan merupakan syarat untuk mendapatkan keselamatan." Orang yang memiliki ma'rifat lebih banyak meninggalkan hal-hal yang mubah, karena untuk mengekalkan penjagaan hati, apalagi jika yang mubah itu merupakan sekat antara yang halal dan yang haram. Jika orang yang ada pada derajat pertama berusaha untuk mendapatkan penjagaan, maka orang pada derajat yang kedua ini berusaha untuk menjaga kebersihan hati agar tidak terkotori dan agar cahayanya tidak padam. Inilah makna mengekalkan penjagaan. Melepaskan diri dari kehinaan artinya menjauhi jalan-jalan kehinaan dan perbuatannya. Sedangkan menjaga diri agar tidak melampaui batasan hukum, maka batasan hukum di sini artinya kesudahan dan pemutusan yang halal dan yang haram. Selagi suatu hukum disudahi dan diputuskan, maka itulah batasannya. Siapa yang melanggarnya, berarti dia berada dalam kedurhakaan.

3. Menjauhi segala sesuatu yang mengajak kepada perceraian, bergan-tung kepada perpisahan dan yang menghalangi kebersamaan secara total. Perbedaan antara perceraian dan bergantung kepada perpisahan seperti perbedaan antara sebab dan akibat, penafian dan penetap-an. Siapa yang bercerai, maka tidak ada kesempatan baginya untuk bergantung kepada selain tuntutannya. Siapa yang tidak menjadikan Allah sebagai kehendaknya, berarti dia menghendaki selain-Nya. Siapa yang tidak

menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan, maka dia akan menyembah selain-Nya. Siapa yang amalnya bukan karena Allah, berarti amalnya karena selain Allah. Perasaan takut membuahkan wara', permohonan pertolongan dan harapan yang tidak muluk-muluk. Kekuatan iman kepada perjumpa-an dengan Allah membuahkan zuhud. Ma'rifat membuahkan cinta, takut dan harapan. Rasa cukup membuahkan keridhaan. Dzikir membuahkan kehidupan hati. Iman kepada takdir membuahkan tawakal. Terus-menerus memperhatikan asma' dan sifat Allah membuahkan ma'rifat. Wara' membuahkan zuhud. Taubat dan terus-menerus me-ngingat Allah membuahkan cinta kepada-Nya. Ridha membuahkan syukur. Tekad yang kuat dan sabar membuahkan semua keadaan dan kedudukan yang tinggi. Ikhlas dan kejujuran saling membuahkan. Ma'rifat membuahkan akhlak. Pikiran membuahkan tekad. Menge-tahui nafsu dan membencinya membuahkan rasa malu kepada Allah, menganggap banyak karunia- Nya dan menganggap sedikit ketaatan kepada-Nya. Memperhatikan secara benar ayat-ayat yang didengar dan disaksikan membuahkan pengetahuan yang benar. Penopang semua ini ada dua macam: Pertama, memindahkan hati dari kampung dunia ke kampung akhirat. Kedua, mendalami, menyimak dan memahami makna-makna Al-Qur'an serta sebab-sebab diturun-kannya, lalu engkau mengambil dari ayat-ayatnya untuk mengobati penyakit di dalam hati.

Tabattul

Kaitannya dengan tempat persinggahan tabattul ini Allah telah befirman : "Dan sebutlah nama Rabbmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan." (Al-Muzzammil: 8).

Tabattul artinya pemutusan atau pemisahan, merupakan kata akti-va dari bail yang artinya putus atau pisah. Maryam disebut al-batul karena dia terpisah dari hubungan dengan suami mana pun, yang artinya perawan atau bujang, dan tidak ada seorang pun wanita yang dapat menandinginya, sehingga dia lebih unggul dan lebih dari semua wanita

yang ada pada zamannya.

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Tabattul artinya memisah-kan diri dari segala sesuatu agar bisa beribadah kepada Allah secara total. Firman Allah, "Hanya bagi Allahlah (hak mengabulkan) doa yang benar", artinya perlucutan secara total. Perlucutan ini artinya tidak memperhati-kan imbalan. Orang yang tabattul tidak bisa seperti buruh yang tidak mau bekerja kecuali untuk mendapatkan upah. Jika dia sudah mendapat upah itu, maka dia akan meninggalkan pintu orang yang mengupahnya. Ber-beda dengan hamba yang berbakti karena penghambaannya, bukan kare-na untuk mencari upah. Dia tidak meninggalkan pintu tuannya kecuali karena memang dia bermaksud untuk melarikan diri darinya. Sementara hamba pelarian tidak memiliki kehormatan sama sekali

sebagai hamba dan juga tidak mempunyai kemerdekaan.

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, ada tiga derajat tabattul:

1. Memurnikan pemutusan hubungan dengan keinginan-keinginan terhadap dunia, karena takut, mengharap atau pun karena selalu memikirkan- Nya. Menurut hemat saya, tabattul memadukan dua perkara, menyambung dan memisahkan. Tabattul tidak dianggap sah kecuali dengan dua perkara ini. Memisahkan artinya memutuskan hati dari segala sesuatu yang mencampuri kehendak Allah dan dari apa-apa yang mengarah-kan hati kepada selain Allah, entah karena takut kepada-Nya, mengharapkan- Nya, atau karena selalu memikirkan-Nya. Sedangkan menyambung tidak akan terjadi kecuali setelah memutuskan. Maksud-nya adalah menyambung hati dengan Allah, menghadap kepada-Nya dan menghadapkan wajah kepada-Nya, karena mencintai, takut, ber-harap dan tawakal kepada-Nya.

2. Memurnikan pemutusan hubungan dari mengikuti nafsu, dengan menjauhi hawa nafsu, menghembuskan rahmat Allah dan memasukkan kilat cahaya ilmu. Perbedaannya dengan derajat pertama, bahwa derajat pertama pemutusan hubungan dengan makhluk, sedangkan derajat ini merupakan pemutusan hubungan dengan nafsu. Caranya ada tiga macam:

- Menjauhi nafsu dan melarang dirinya mengikuti nafsu. Sebab para pengikut nafsu menghalangi tabattul.

- Menghembuskan rahmat Allah dan kasih sayang-Nya. Kedudukan rahmat bagi ruh seperti kedudukan ruh bagi badan. Jadi rahmat merupakan sesuatu yang disenangi ruh. Rahmat ini bisa diperoleh dengan menjauhi nafsu. Pada saat irulah bisa dirasakan hembusan rahmat Allah. Sebab jiwa itu membutuhkan gantungan. Ketika terputus ketergantungan jiwa dengan hawa nafsu, maka jiwa tersebut akan mendapatkan ketentraman dengan bergantung kepada Allah.

- Memasukkan kilat cahaya ilmu. Ilmu di sini bukan upaya mengungkap apa-apa yang di dalam batin manusia, tapi ini adalah ilmu mengungkap tempat-tempatpersinggahan, mengungkap aib diri dan amal serta mengungkap makna-makna sifat, asma' Allah dan tau-hid.

3. Memurnikan hubungan agar dapat terus maju ke depan, dengan cara membenahi istiqamah, tekun untuk mencapai tujuan dan melihat apa yang terjadi saat berdiri di hadapan Allah.

Raja'

Kaitannya dengan tempat persinggahan raja' (mengharap) ini, Allah telah befirman : "Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut adzab-Nya."(Al-Isra': 57).

Mencari jalan dalam ayat ini artinya mencari cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ubudiyah dan juga mencintai-Nya. Ada tiga sendi iman: Cinta, rasa takut dan berharap. Tentang harapan ini Allah telah menjelaskan,

"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendak-lah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia memperseku-tukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya." (Al-Kahfi: 110)

"Mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah maha Pengam-pun lagi Maha Penyayang." (Al-Baqarah: 218).

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Jabir Radhiyallahu Anhu,dia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, tiga hari sebelum wafat : "Janganlah salah seorang di antara kalian meninggal melainkan dia berbaik sangka terhadap Rabbnya."

Juga dari Jabir disebutkan di dalam Ash-Shahih, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda : "Allah Azza wa Jalla befirman, 'Aku berada pada persangkaan hambaKu kepada-Ku. Maka hendaklah dia membuat persangkaan kepada-Ku menurut kehendaknya."

Raja' merupakan ayunan langkah yang membawa hati ke tempat Sang Kekasih, yaitu Allah dan kampung akhirat. Ada yang berpendapat, artinya kepercayaan tentang kemurahan Allah.

Perbedaan raja' (mengharap) dengan tamanny (berangan-angan), bahwa berangan-angan disertai kemalasan, pelakunya tidak pernah bersungguh- sungguh dan berusaha. Sedangkan mengharap itu disertai dengan usaha dan tawakal. Yang pertama seperti keadaan orang yang berangan- angan andaikan dia mempunyai sepetak tanah yang dapat dia tanami dan hasilnya pun dipetik. Yang kedua seperti keadaan orang yang mempunyai sepetak tanah dan dia olah dan tanami, lalu dia berharap tanamannya tumbuh. Karena itu para ulama telah sepakat bahwa raja' tidak dianggap sah kecuali disertai usaha. Raja' itu ada tiga macam; Dua macam terpuji dan satu macam tercela, yaitu:

1. Harapan seseorang agar dapat taat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah, lalu dia mengharap pahala-Nya.

2. Seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat dan mengharap ampunan Allah, kemurahan dan kasih sayang-Nya.

3. Orang yang melakukan kesalahan dan mengharap rahmat Allah tan-pa disertai usaha. Ini sesuatu yang menipu dan harapan yang dusta.

Orang yang berjalan kepada Allah mempunyai dua pandangan: Pandangan kepada diri sendiri, aib dan kekurangan amalnya, sehingga membukakan pintu ketakutan, agar dia melihat kelapangan karunia Allah, dan pandangan yang membukakan pintu harapan baginya. Karena itu ada yang mengatakan bahwa batasan raja' adalah keluasan rahmat Allah.

Ahmad bin As him pernah ditanya, "Apakah tanda raja' pada diri hamba?" Dia menjawab, "Jika dia dikelilingi kebaikan, maka dia menda-pat ilham untuk bersyukur, sambil mengharap kesempurnaan nikmat dari Allah di dunia dan di akhirat, serta mengharap kesempurnaan ampunan-Nya di akhirat."

Maka ada perbedaan pendapat, mana di antara dua macam raja' yang paling sempurna, ra/'a'-nya orang yang berbuat baik untuk mendapatkan pahala kebaikannya, ataukah ra/'a'-nya orang yang berbuat keburukan lalu bertaubat dan mengharapkan ampunan-Nya?

Pengarang Manazilus-Sa'irin mengatakan, bahwa raja' merupakan tempat persinggahan dan kedudukan yang paling lemah bagi orang yang berjalan kepada Allah, karena di satu sisi raja' menggambarkan perlawanan, dan di sisi lain menggambarkan protes. Memang kami mencintai Abu Isma'il yang mengarang Manazilus- Sa'irin. Tapi kebenaran jauh lebih kami cintai daripada cinta kami kepadanya. Siapa pun orangnya selain Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang ma'shum—, perkataannya boleh diambil dan boleh ditinggalkan. Kami berprasangka baik terhadap perkataan Abu Isma'il ini, tetapi kami akan menjabarkannya agar menjadi lebih jelas.

Perkataannya, "Raja' merupakan tempat persinggahan dan kedudukan yang paling lemah bagi orang yang berjalan kepada Allah", hal itu jika dibandingkan dengan tempat persinggahan lain seperti ma'rifat, cinta, ikhlas, jujur, tawakal dan lain-lainnya, bukan berarti keadaannya yang lemah dan kurang. Sedangkan perkataannya, "Karena di satu sisi raja' menggambar-kan perlawanan, dan di sisi lain menggambarkan protes", karena raja'

merupakan kebergantungan kepada kehendak hamba agar mendapatkan pahala dan karunia dari Allah. Padahal yang dikehendaki Allah dari hamba ialah agar hamba itu memenuhi hak Allah dan bermu'amalah dengan-Nya dengan hukum keadilan-Nya. Jika dalam mu'amalahnya dengan Allah, hamba mendasarkan kepada hukum karunia, maka hal ini terma-suk bentuk perlawanan. Seakan-akan orang yang berharap menggantung hatinya kepada sesuatu yang berlawanan dengan kehendak Penguasa. Berarti hal ini menajikan hukum kepasrahan dan ketundukan kepada-Nya. Berarti raja' hamba itu berlawanan dengan hukum dan kehendak-Nya.

Orang yang mencintai ialah yang mengabaikan kehendak dirinya sendiri karena mementingkan kehendak kekasihnya. Sedangkan dari sisi yang menggambarkan protes, karena jika hati bergantung kepada raja', lalu tidak mendapatkan apa yang diharapkan, maka ia akan protes. Kalau pun hati mendapatkan apa yang diharapkan, ia tetap protes, karena apa yangdidapatkan tidak tepat dengan apa yang diharapkan. Toh setiap orang tentu mengharap karunia Allah dan di dalam hatinya pasti melintas harap-an ini.

Ada sisi lain dari protes ini, yaitu dia protes kepada Allah karena apa yang diharapkannya itu. Sebab orang yang berharap tentu meng-anganangankan apa yang diharapkannya dan dia terpengaruh olehnya. Yang demikian ini berarti merupakan protes terhadap takdir dan menajikan kesempurnaan kepasrahan dan ridha kepada takdir.

Inilah yang dikatakan Abu Isma'il di dalam Manazilus-Sa'irin beser-ta interpretasinya yang paling baik. Hal ini dapat ditanggapi sebagai beri-kut, bahwa apa yang dikatakan itu dan sejenisnya merupakan ketergelin-cuau yang diharapkan diampuni karena kebaikan beliau yang banyak, ia memiliki kejujuran yang sempurna, mu'amalahnya dengan Allah benar, keikhlasannya kuat, tauhidnya murni tetapi tidak ada orang selain Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang terjaga dari kesalahan dan kekurangan.

Ketergelinciran ini mendatangkan fitnah terhadap golongan orangorang yang kebaikan, kehalusan jiwa dan mu'amalahnya tidak seperti mereka. Lalu mereka pun mengingkari dan berburuk sangka terhadap golongan ini. Bualan ini juga mendatangkan cobaan terhadap orangorang yang adil dan obyektif, yang memberikan hak kepada orang yang memang berhak dan menempatkan segala sesuatu pada proporsinya, yang tidak menghukumi sesuatu yang benar dengan yang cacat atau kebalikannya.

Mereka menerima apa yang memang diterima dan menolak apa yang memang harus ditolak. Bualan-bualan inilah yang ditolak dan diingkari para pemuka ulama dan mereka membebaskan diri dari hal-hal seperti ini serta akibat-akibat yang ditimbulkannya, seperti yang diceritakan Abul-Qasim Al-Qusyairy, "Aku mendengar Abu Sa'id Asy- Syahham berkata, "Aku pernah bermimpi bertemu Abu Sahl Ash-Sha'luky yang sudah meninggal dunia. Aku bertanya kepadanya (dalam mimpi), "Apa yang dilakukan Allah terhadap dirimu?" Abu Sahl menjawab, "Allah telah mengampuni dosaku karena masalah-masalah yang ditanyakan orangorang yang lemah."Tentang perkataan Abu Isma'il, "Raja' merupakan tempat persinggahan dan kedudukan yang paling rendah", maka ini tidak benar, bah-kan ini merupakan tempat persinggahan yang agung, tinggi dan mulia.

Harapan, cinta dan rasa takut merupakan inti perjalanan kepada Allah. Allah telah memuji orang-orang yang berharap dalam firman-Nya : "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Al-Ahzab: 21).

Disebutkan di dalam hadits shahih, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Allah befirman : 'Wahai anak Adam, sesungguhnya selagi kamu ber-doa dan berharap kepada-Ku, maka Aku mengampuni dosamu, apa pun yang kamu lakukan dan Aku tidak peduli."

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Allah befirman, Aku berada pada persangkaan hamba-Ku kepada-Ku dan Aku besertanya. Jika dia mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku mengingatnya di dalam Diri-Ku. Jika dia mengingat-Ku di dalam keramaian orang, maka Aku

mengingatnya di dalam keramaian orang yang lebih baik dari mereka. jika dia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta. jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa. jika dia mendatangi- Ku dengan berjalan kaki, maka Aku mendatanginya dengan berlarilari kecil." (Muttafaq Alaihi).

Allah telah mengabarkan orang-orang khusus dari hamba-hamba- Nya, yang kemudian orang-orang musyrik beranggapan bahwa hambahamba yang khusus ini bisa mendekatkan mereka kepada Allah. Padahal hamba-hamba yang khusus itu pun masih berharap kepada Allah dan takut kepada-Nya : "Katakanlah, 'Panggillah mereka yang kalian anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari kalian dan tidak pula memindahkannya'. Orangorang yang mereka sent itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharap rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya. Sesungguhnya adzab Rabbmu adalah suatu yang (harus) ditakuti." (Al-Isra': 56-57). Allah befirman, "Orang-orang yang kalian sembah selain-Ku adalah hamba-hamba-Ku, yang mendekatkan diri kepada-Ku dengan taat kepada-Ku, mengharap rahmat-Ku dan takut adzab-Ku. Lalu mengapa kalian menyembah mereka?" Di sini Allah memuji keadaan hamba-hamba- Nya itu, yang memiliki cinta, rasa takut dan harapan.

Tentang perkataan Abu Isma'il, "Di satu sisi raja' menggambarkan perlawanan, dan di sisi lain menggambarkan protes", juga tidak bisa dianggap benar. Sebab raja' merupakan ubudiyah dan bergantung kepada Allah, karena di antara asma'-Nya adalah Al-Muhsin Al-Barr (Yang berbuat kebaikan dan kebajikan). Beribadah dengan asma' ini dan mengetahui Allah merupakan pendorong bagi hamba untuk mengharap, entah dia menyadari atau tidak menyadarinya. Kekuatan harapan tergantung dari kekuatan ma'rifat tentang Allah, sifat dan asma'-Nya, rahmat dan murka- Nya. Andaikata tidak ada ruh harapan, tentu banyak ubudiyah hati dan anggota tubuh yang ditelantarkan, biara dan masjid dirobohkan, yang di dalamnya nama Allah banyak disebut. Bahkan andaikata tidak ada ruh harapan, tentu anggota tubuh tidak mau bergerak untuk melakukan ketaatan. Andaikata tidak ada angin harapan yang berhembus, tentu perahu amal tidak akan melaju di lautan kehendak. Kekuatan cinta menjadi gantungan kekuatan harapan. Setiap orang yang mencintai tentu berharap dan takut. Dialah orang yang paling mengharapkan apa yang ada pada diri kekasihnya. Begitu pula rasa takutnya, dia adalah orang yang paling merasa takut andaikan dirinya dipandang sebelah mata oleh kekasihnya, andaikan dia jauh darinya. Ketakutannya merupakan ketakutan yang teramat sangat dan harapannya merupakan cermin cintanya. Tidak ada kehidupan bagi orang yang jatuh cinta, tidak ada kenikmatan dan keberuntungan kecuali berhubungan dengan kekasihnya. Setiap cinta tentu disertai rasa takut dan harapan. Seberapa jauh cinta ini bersemayam di dalam hati orang yang mencintai, maka sejauh itu pula rasa takut dan harapannya. Tapi ketakutan orang yang mencintai tidak disertai kekhawatiran seperti

halnya orang yang berbuat keburukan. Harapan orang yang mencintai tidak disertai alasan, berbeda dengan harapan buruh atau upahan. Bagaimana mungkin harapan orang yang mencintai disamakan dengan harapan buruh, sementara perbedaan keadaan di antara keduanya amat jauh berbeda?

Secara umum, harapan merupakan sesuatu yang amat penting bagi orang yang ber jalan kepada Allah dan orang yang memiliki ma'rifat. Sebab tentunya dia tidak lepas dari dosa yang dia harapkan pengampunannya, tak lepas dari aib yang dia harapkan pembenahannya, tidak lepas dari amal shalih yang dia harapkan penerimaannya, tidak lepas dari istiqamah yang dia harapkan kekekalannya, tidak lepas dari kedekatan dengan Allah yang dia harapkan pencapaiannya. Maka bagaimana mungkin harapan dikatakan sebagai tempat persinggahan dan kedudukan yang palin lemah?

Harapan merupakan sebab yang dengannya hamba bisa memperoleh apa yang diharapkan dari Rabb-nya, bahkan ini merupakan sebab yang paling kuat. Sekiranya harapan itu mengandung perlawanan dan protes, tentunya doa dan permohonan lebih layak dikatakan sebagai bentuk perlawanan dan protes. Doa dan permohonan hamba kepada Rabbnya agar Dia memberikan petunjuk, taufik, jalan lurus, menolongnya agar tetap taat, menjauhkannya dari kedurhakaan, mengampuni dosadosanya, memasukkannya ke surga, menjauhkannya dari neraka, berarti merupakan bentuk perlawanan dan protes. Sebab hamba yang berdoa ini mengharap dan menuntut apa yang diharapkannya, berarti dia lebih layak dikatakan melawan dan memprotes.

Harapan dan doa tidak mengandung perlawanan terhadap tindak-an Penguasa di dalam kekuasaan-Nya. Hamba hanya mengharap tindak-an- Nya, sesuai dengan sesuatu yang paling disukainya dari dua hal, kare-na sesungguhnya Allah lebih menyukai karunia daripada keadilan, Allah lebih menyukai ampunan daripada dendam, Allah lebih menyukai teng-gang rasa daripada penelitian secara detail, dan yang rahmat-Nya mengalahkan murka-Nya. Orang yang berharap mengaitkan harapannya dengan tindakan yang paling disukai dan diridhai-Nya.

Tentang protes hamba jika tidak mendapatkan apa yang diharapkannya, maka ini merupakan kekurangan dalam ubudiyah dan kebodohan terhadap Rububiyah. Hamba yang berharap dan berdoa mengharap suatu lebihan yang sebenarnya bukan merupakan haknya dan tidak seharus-nya dia meminta imbalan. Kalau memang dia diberi, maka itu semata karena karunia Allah. Jika dia tidak diberi, bukan berarti haknya tidak akan diberikan kepadanya. Maka protesnya ini merupakan cermin kebodohan. Jadi memang tidak mendapatkan apa yang diharapkan dalam hak hamba yang lurus tidak semestinya menimbulkan perlawanan dan protes. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menyampaikan tiga permintaan bagi umatnya kepada Allah. Dua dipenuhi dan satu ditolak. Beliau ridha terhadap apa yang diberikan Allah ini dan tidak mem-protes

apa yang tidak diberikan.

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, harapan itu ada tiga derajat:

1. Harapan yang bisa membangkitkan hamba yang beramal untuk berusaha, yang melahirkan kenikmatan dalam pengabdian, dan yang membangunkan tabiat untuk meninggalkan larangan. Dengan kata lain, harapan ini membuatnya semakin bersemangat untuk berusaha dan mengharapkan pahala dari Rabb-nya. Siapa yang mengetahui kadar tuntutannya, maka dia akan menganggap remeh usaha yang telah dilakukannya. Melahirkan kenikmatan dalam pengabdian artinya setiap kali hatinya merasakan buah pengabdian itu dan hasilnya yang baik, maka dia menikmatinya. Yang demikian ini seperti keadaan orang yang mengharapkan keuntungan yang me-limpah dalam perjalanannya, dengan membandingkan beratnya per-jalanan yang harus dilaluinya. Setiap kali hatinya menggambarkan hal ini, maka segala kesulitan dianggap enteng dan bahkan dia menik-mati kesulitan itu. Begitu pula keadaan orang yang mencintai secara tulus, yang berusaha mendapatkan keridhaan dan cinta kekasihnya, yang menikmati segala usaha yang dilakukannya karena menggambarkan hasil keridhaannya. Sedangkan tentang membangunkan tabiat untuk meninggalkan larangan, karena tabiat itu mempunyai gambar-angambaran yang menguasai hamba, yang tidak berkenan meninggalkan gambaran-gambaran itu kecuali jika dia mendapatkan imbalan yang lebih disukainya. Jika ketergantungan hamba kepada imbalan yang lebih baik ini, maka tabiatnya menjadi lega. Jiwa tidak mau meninggalkan sesuatu yang dicintainya kecuali dia berikan kepada kekasih yang lebih dicintainya, atau jiwa itu akan mewaspadai sesuatu yang paling banyak mendatangkan kerusakan.

2. Harapan orang-orang yang biasa melatih jiwa, agar mereka mencapai suatu kondisi yang dapat membersihkan hasrat, dengan menolak berbagai macam kesenangan, memperhatikan syarat-syarat ilmu dan berusaha agar terlindung dari hal-hal yang dikhawatirkan akan mendatangkan mudharat di dunia dan di akhirat.

3. Harapan orang-orang yang dapat menguasai hati, yaitu harapan untuk bersua Khaliq yang membangkitkan kerinduannya, yang tidak menyukai kehidupan lebih lama dan yang zuhud di tengah makhluk. Ini merupakan jenis-jenis harapan yang paling baik dan paling tinggi. Ini merupakan harapan yang menjadi inti iman.

Ri'ayah

Di antara tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in adalah ri'ayah, yang artinya memperhatikan ilmu dan menjaganya dengan amal, memperhatikan amal dengan kebaikan dan ikhlas serta menjaganya dari hal-hal yang merusak, memperhatikan keadaan dengan penyesuaian dan menjaganya dari pemutusan. Jadi ri'ayah adalah penja-gaan dan pemeliharaan.

Tingkatan-tingkatan ilmu dan amal itu ada tiga macam:

- Riwayah, yaitu hanya sekedar penukilan dan membawa apa yang diriwayatkan.

- Dirayah, yaitu memahami, mendalami dan menelaah maknanya.

- Ri'ayah, yaitu beramal berdasarkan ilmu yang dimiliki dan keadaannya.

Hasrat para penukil tertuju ke riwayah, hasrat orang-orang yang berilmu tertuju ke dirayah, dan hasrat orang-orang yang memiliki ma'rifat ke ri'ayah. Allah telah mencela orang-orang yang tidak memelihara gaya hidup ala kerahiban yang diciptakannya dan yang telah dipilihnya : "Dan, Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Isa) rasa santun dan kasih sayang. Dan, mercka mengada-adakan rahbaniyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mercka sendiri yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya."(Al-Hadid: 27).

Dengan kata lain, Allah mencela orang yang tidak memelihara taqarrub yang diciptakan Allah dengan pemeliharaan yang semestinya. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak memelihara taqarrub yang tidak disyariatkan Allah, tidak diperkenankan dan tidak dianjurkan-Nya, seperti orang-orang Nasrani yang menciptakan model kehidupan kerahiban? ''Orang-orang Nasrani menciptakan kerahiban, dengan anggapan bahwa itu merupakan sunnah Isa bin Maryam dan petunjuknya. Namun Allah mendustakan mereka dan menjelaskan bahwa merekalah yang

Pengarang Manazzilus-Sa’irin berkata, "Ri'ayah artinya menjagayang disertai perhatian. Ada tiga derajat ri'ayah:

1. Memelihara amal. Artinya, memperbanyak amal itu dengan menghinakannya, melaksanakan amal itu tanpa melihat kepadanya dan menjalankan amal itu berdasarkan saluran ilmu. Ada yang berpendapat, tanda keridhaan Allah kepadamu ialah jika eng-kau mengabaikan keadaan dirimu, dan tanda diterimanya amalmu ialah jika engkau menghinakan dan menganggap amalmu sedikit ser-ta kecil. Sehingga orang yang memiliki ma'rifat memohon ampun kepada Allah dengan sebenar-benarnya setelah melakukan ketaatan. Setiap kali Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam usai mengucapkan salam dalam shalatnya, maka beliau memohon ampun kepada Allah sebanyak tiga kali. Allah juga memerintahkan hamb-hamba-Nya memohon ampun setelah menunaikan haji.

2. Memelihara keadaan. Artinya, mencurigai usahanya sebagai riya', mencurigai keyakinannya sebagai kepura-puraan, dan mencurigai keadaan sebagai bualan. Dengan kata lain, dia harus mencurigai usahanya, bahwa usaha itu dimaksudkan untuk riya' di hadapan manusia. Sedangkan mencurigai keyakinan sebagai kepura-puraan, maka maksud kepura-puraan di sini ialah membanggakan sesuatu yang tidak dimilikinya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Orang yang membanggakan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya seperti orang yang mengenakan dua lembar

pakaian yang palsu." Sedangkan mencurigai keadaan sebagai bualan artinya bualan yang dusta. Hal ini harus dilakukan untuk membersihkan hati dari kebodohan bualan itu, membersihkan hati dari syetan. Hati yang senang kepada bualan adalah hati yang menjadi tempat bersemayamnya syetan. menciptakan model kehidupan itu, sementara Isa terbebas dari hal itu, karena yang demikian itu bertentangan dengan fitrah yang diberikan Allah kepada manusia, di samping Allah tidak mensyariatkan sesuatu yang bertentangan dengan fitrah. Karena itu mereka tidak akan bisa dan sekali-kali tidak bisa memelihara kehidupan kerahiban itu secara semestinya. Sebab tak seorang pun yang bisa merubah sunnatullah. Begitu pula orang-orang sufi yang juga meniru model kehidupan mereka.

3. Memelihara waktu. Artinya, berhenti pada setiap langkah, melepas-kan diri dari kesaksian kebersihan jiwanya, kemudian pergi tanpa membawa kotoran jiwanya.

Muraqabah

Kaitannya dengan tempat persinggahan muraqabah ini, Allah telah befirman : "Dan, Allah Maha Mengawasi segala sesuatu." (Al-Ahzab: 52).

"Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati." (Al-Mukmin: 19).

Masih banyak ayat-ayat lainnya yang menjelaskan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, melihat, mendengar, mengawasi yang lahir maupun yang batin dan bahwa Allah senantiasa beserta manusia, di mana pun mereka berada. Di dalam hadits Jibril disebutkan bahwa dia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang ihsan. Maka beliau menjawab, "Jika engkau menyembah Allah seakan-akan melihat- Nya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu."

Muraqabah artinya pengetahuan hamba secara terus-menerus dan keyakinannya bahwa Allah mengetahui zhahir dan batinnya. Muraqabah ini merupakan hasil pengetahuannya bahwa Allah mengawasinya, melihatnya, mendengar perkataannya, mengetahui amalnya di setiap waktu dan di mana pun, mengetahui setiap hembusan napas dan tak sedetik pun lolos dari perhatian-Nya.

Muraqabah merupakan ubudiyah dengan asma'-Nya Ar-Raqib, Al- Hafizh, Al-Alim, As-Sami' dan Al-Bashir (Maha Mengawasi, Menjaga, Mengetahui, Mendengar dan Melihat). Siapa yang memahami asma' ini dan beribadah menurut ketentuannya, berarti dia telah sampai ke tingkat muraqabah.

Pengarang Manazilus-Sa'irin, mengatakan, "Muraqabah artinya terus- menerus menghadirkan hati bersama Allah. Ada tiga derajat muraqabah:

  1. Muraqabah Allah terhadap perjalanan kepada-Nya secara terus-menerus, memenuhi hati dengan keagungan Allah, mendekat kepada Allah sambil membawa beban dan pembangkit kesenangan. Jika hati sudah diisi keagungan Allah, maka ia akan

mengesampingkan pengagungan terhadap selain-Nya dan tidak mau berpaling kepada-nya. Pengagungan ini tidak akan terlupakan jika hati bersama Allah, di samping juga mendatangkan cinta. Setiap cinta yang tidak disertai pengagungan terhadap kekasih, menjadi sebab yang menjauhkannya dari kekasih. Dalam derajat ini mengandung lima perkara: Perjalanan kepada Allah, kelanjutan perjalanan ini, hati yang bersama Allah, pengagungan- Nya dan berpaling dari selain-Nya. Jika sudah ada kedekatan hati dengan Allah, maka akan menghasilkan kesenangan dan kenikmatan, yang tidak bisa diserupakan dengan kesenangan di dunia dan tidak dapat dibandingkan, karena ini merupakan salah satu keadaan dari para penghuni surga. Di antara orang yang memiliki ma'rifat berkata, "Pada saat tertentu dapat kukatakan, 'Sekiranya para penghuni surga seperti keadaan saat ini, tentu mereka dalam kehidupan yang sangat menyenangkan." Tidak dapat diragukan bahwa kesenangan dan kenikmatan inilah yang membangkitkannya untuk terus mengadakan perjalan kepada Allah, berusaha dan mencari keridhaan-Nya. Siapa yang tidak merasakan kesenangan dan kenikmatan ini, atau sebagian di antaranya, maka hendaklah dia mencurigai iman dan amalnya. Karena iman itu mempunyai kemanisan. Siapa yang tidak dapat merasakan manisnya manis, hendaklah kembali untuk mencarinya, dengan mencari cahaya yang bisa mendatangkan manisnya iman. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menyebutkan rasa iman dan cara mendapatkan manisnya iman. Rasa ini dikaitkan dengan iman. Sabda beliau : "Yang dapat menikmati rasa iman adalah yang ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sebagai rasul." Beliau juga bersabda : "Tiga perkara, siapa yang tiga perkara ini ada pada dirinya, maka dia akan merasakan manisnya iman, yaitu: Siapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya, siapa yang mencintai seseorang, yangdia mencintainya hanya karena Allah, dan siapa yang tidak suka kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu, sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke neraka."

Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Jika engkau tidak mendapatkan kemanisan dan kesenangan dari suatu amal dalam hatimu, maka curigailah ia. Karena Allah adalah Maha Penerima syukur. Artinya, Allah pasti akan memberi pahala kepada seseorang di dunia karena amalnya, berupa kemanisan yang dirasakan di dalam hati, kesenangan dan kegembiraan. Jika dia tidak merasakannya, berarti amal itu disusupi syetan."

2. Muraqabah Allah terhadap penolakan penentangan, yaitu dengan berpaling dari bantahan. Ini merupakan muraqabah Allah terhadap dirimu untuk sifat yang khusus, yaitu yang mengharuskan adanya pemeliharaan zhahir dan batin. Memelihara zhahir ialah menjaga semua gerakan zhahir, dan memelihara batin artinya menjaga lintasan

sanubari, kehendak dan gerakan-gerakan batin, yang dari gerakan batin inilah muncul penentangan terhadap perintah Allah. Batin harus dibersihkan dari segala syahwat dan kehendak yang bertentangan dengan perintah-Nya, dibersihkan dari segala kehendak yang bertentangan dengan kehendak-Nya, dibersihkan dari segala syahwat yang bertentangan dengan pengabaran- Nya, dibersihkan dari segala cinta yang mencampuri cinta kepada- Nya. Inilah hakikat hati yang sehat dan inilah hakikat pembebasan diri orang-orang yang memiliki ma'rifat dan orang-orang yang taqar-rub kepada Allah.

Adapun sebab penentangan yang harus dihindari hamba adalah bantahan atau sanggahan. Sebagaimana yang banyak terjadi di kalangan manusia, bantahan ini ada tiga macam:

- Membantah asma' dan sifat-sifat Allah dengan berbagai dalih yang disebut ketetapan akal oleh para pelakunya, yang pada hakikatnya adalah hayalan-hayalan batil. Mereka membantah sifat-sifat Allah yang ditetapkan terhadap Diri-Nya dan juga merubah kalimat Allah dari tempatnya.

- Membantah syariat dan perintah-Nya dengan mengandalkan pikiran dan analogi-analogi yang mereka buat, sehingga mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Mereka juga membantah hakikat-hakikat iman dengan perasaan dan hayalanhayalan mereka. Mereka juga membantah syariat Allah dengan menerapkan hukum-hukum ciptaan manusia sebagai ganti hokum Allah dan Rasul-Nya. Mereka juga membantah perbuatan, qadha' dan qadar Allah. Tentu saja semua ini merupakan bantahan orangorang yang bodoh.

3. Muraqabah azal untuk menerima panji tauhid dan muraqabbah isya-rat azal yang muncul di setiap saat dan berlaku untuk selama-lama-nya. Artinya, mempersaksikan makna azal, yaitu sifat terdahulu yang menjadi sifat Allah dan yang tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya atau yang mendahului-Nya. Jika seorang hamba memahami makna azal dan mengetahui hakikatnya, maka pada saat itu tampak panji tauhid, lalu dia siap menerimanya, sebagaimana prajurit yang siap menerima panji pasukan perang. Sedangkan makna muraqabah isyarat azal yang muncul di setiap saat dan berlaku untuk selama-lamanya, bahwa Allah yang azali juga memiliki sifat yang abadi, mempunyai bentangan hidup antara keduanya.

Mengagungkan Apa-apa Yang Dihormati di Sisi Allah

Allah befirman tentang tempat persinggahan ini : " Dan, barangsiapa mengagungkan apa-apa yang dihormati di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabbnya." (Al-Hajj: 30).

Di antara para mufassir ada yang mengatakan bahwa hurumatullah di sini adalah hal-hal yang dimurkai dan dilarang Allah. Sedangkan pengagungannya ialah dengan

meninggalkannya. Menurut Al-Laits, hurumatullah adalah apa yang tidak boleh dilanggar. Ada pula yang berpendapat, artinya perintah dan larangan. Menurut Az-Zajjaj, hurumat artinya apa yang harus dilaksanakan dan tidak boleh diabaikan. Ada pula sego-longan ulama yang berpendapat, hurumat artinya manasik dan tempat-tempat syi'ar haji, baik waktu maupun tempat. Pengagungannya ialah dengan memenuhi haknya dan menjaga kelestariannya.

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, mengagungkan hurumatullah ini ada tiga derajat:

  1. Mengagungkan perintah dan larangan, bukan karena takut kepada siksaan sehingga menjadi perlawanan bagi nafsu, bukan karena untuk mencari pahala sehingga pandangan hanya tertuju kepada imbalan, dan bukan karena menampakkan amal untuk riya', karena semua ini merupakan sifat penyembahan nafsu. Masalah ini merupakan topik yang paling banyak dibicarakan manusia. Mereka mengagungkannya dan juga para pelakunya, dengan disertai keyakinan bahwa ini merupakan derajat ubudiyah yang paling tinggi, yaitu tidak menyembah Allah, melaksanakan perintah dan larangan- Nya karena takut siksaan-Nya dan mengharapkan pahala-Nya. Cinta yang sejati tidak menghendaki yang demikian ini, karena orang yang mencintai tidak menginginkan bagian dari orang yang dicintainya. Jika perhatiannya hanya tertuju kepada bagian yang diterimanya, maka itu merupakan cacat dalam cintanya. Jika dia hanya ingin merasakan nikmatnya pahala, berarti dia merasa berhak mendapat-kan pahala dari Allah atas amal yang dikerjakannya. Dalam hal ini akan mendatangkan dua ujian: Perhatiannya hanya tertuju kepada pahala, dan muncul persangkaan yang baik terhadap amalnya sendiri. Tidak ada yang bisa melepaskan diri dari perhatian semacam ini kecuali memurnikan pelaksanaan perintah dan larangan dan segala aib. Bahkan pelaksanaannya harus dilandasi pengagungan terhadap yang memerintah dan yang melarang, bahwa Dia memang layak untuk disembah dan apa-apa yang dihormati di sisi-Nya harus diagungkan, sebagaimana yang disebutkan di dalam pepatah Isra'iliyat, "Sekira-nya Aku tidak menciptakan surga dan neraka, apakah Aku tidak layak disembah?" Jiwa yang tinggi dan suci ialah yang menyembah Allah, karena memang Dia layak untuk disembah, dimuliakan, dicintai dan diagungkan. Seorang hamba tidak boleh seperti buruh yang jahat, jika upah sudah diberikan dia baru mau bekerja, dan jika tidak diberikan, maka dia tidak mau bekerja. Amal orang yang memiliki ma'rifat dimaksudkan untuk mendapatkan kedudukan dan derajat, sedangkan amal para buruh ialah untuk mendapatkan upah dan bayaran. Tentu saja perbedaan di antara keduanya sangat jauh. Tapi ada golongan lain yang menganggap perkataan ini hanya sekedar bualan dan isapan jempol semata. Mereka berhujjah dengan keadaan para nabi, rasul dan shiddiqin. Mereka berdoa dan juga memohon. Mereka dipuji karena takut kepada neraka dan mengharapkan surga, sebagaimana firman Allah tentang hamba-hamba-Nya

yang khusus : "Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas, dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami." (Al-Anbiya': 90). Artinya, mereka mengharap apa yang ada di sisi Kami, dan mereka juga cemas karena adzab Kami. Orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini adalah para nabi yang disebutkan dalam surat Al-Anbiya' ini. Allah telah menyebutkan hamba-hamba-Nya yang khusus, orangorang yang memiliki ma'rifat dan orang-orang yang berpikir, bahwa mereka semua memohon surga dan berlindung dari neraka. Begitu pula Ibrahim Al-Khalil. Firman Allah tentang sabda beliau : "Dan, yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat. Ya Rabbi, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalarn golongan orang-orang yang shalih, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan, dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (Asy-Syu'ara': 82-89).

Ibrahim memohon surga dan berlindung dari neraka atau penghinaan pada hari berbangkit. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga memerintahkan umatnya agar memohon kedudukan yang tinggi di surga kepada Allah pada waktu yang tepat untuk pengabulan doa, yaitu setelah adzan, dan mengabarkan bahwa siapa yang meminta hal itu, maka dia akan mendapatkan syafaat beliau.

Di dalam Ash-Shahih disebutkan hadits para malaikat yang mencatat amal manusia, bahwa Allah bertanya kepada para malaikat itu ten-tang hamba-hamba-Nya, dan Dia lebih tahu tentang keadaan mereka. Para malaikat menjawab, "Kami datang kepada-Mu dari sisi hamba-hamba- Mu yang bertahlil, bertakbir, bertahmid dan memuliakan-Mu. Allah bertanya, "Apakah mereka melihat-Ku?" Malaikat menjawab, "Tidak wahai Rabbi. Mereka tidak melihat-Mu." Allah bertanya, "Bagaimana jika mereka melihat-Ku?" Malaikat menjawab, "Jika mereka melihat- Mu, nicaya mereka lebih memuliakan-Mu." Para malaikat berkata lagi, "Wahai Rabbi, mereka memohon surga-Mu." Allah bertanya, "Apakah mereka melihat surga itu?" Malaikat menjawab, "Tidak. Demi kemuliaan-Mu, mereka tidak melihatnya." Allah bertanya, "Bagaimana jika mereka melihatnya?' Malaikat menjawab, "Jika mereka melihatnya, niscaya mereka lebih mengharapkannya." Para malaikat berkata, "Mereka berlindung kepada- Mu dari neraka." Allah bertanya, "Apakah mereka melihatnya?" "Tidak. Demi kemuliaan-Mu, mereka tidak melihatnya." Allah bertanya, "Bagaimana jika mereka melihatnya?" Malaikat menjawab, "Jika mereka melihatnya, niscaya mereka lebih keras melarikan diri darinya."

Allah befirman, "Aku bersaksi kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosa mereka, Kuberikan kepada mereka apa yang mereka minta dan Kulindungi mereka dari apa yang mereka mintakan perlindungannya."

Al-Qur'an dan As-Sunnah dipenuhi pujian terhadap hamba-hamba dan wali-wali-Nya yang memohon dan mengharap surga, berlindung dan takut dari neraka. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada para shahabat : "Berlindunglah kepada Allah dari neraka." Beliau bersabda kepada seseorang yang memohon agar dapat menyertai beliau di surga,"Bantulah aku untuk kepentingan dirimu dengan memperbanyak sujud."

Jika kita meneliti apa yang disebutkan dalam As-Sunnah, tentu kita banyak mendapatkan sabda beliau, "Siapa yang mengerjakan begini dan begitu, maka Allah akan memasukkannya ke surga." Hal ini dimaksudkan sebagai sugesti agar mengamalkannya. Maka bagaimana mungkin amal untuk mendapatkan pahala dan takut dari siksa dikatakan cela dan kurang? Padahal Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menjamin surga bagi orang yang melakukan ini dan itu dari berbagai amal shalih. Di samping itu, Allah juga mencintai hamba-hamba-Nya yang memohon surga dan berlindung dari neraka kepa-da-Nya. Allah suka untuk dimintai dan murka kepada orang yang tidak mau memohon kepada-Nya. Permohonan yang paling agung adalah surga dan perlindungan yang besar adalah neraka. Para nabi, rasul, shiddiqin, syuhada' dan shalihin juga memohon surga dan lari dari neraka. Yang mereka maksudkan, bahwa hamba beribadah kepada Rabb-nya sesuai dengan hak ubudiyah. Tak berbeda dengan hamba (budak). Jika seorang hamba meminta imbalan dari tuannya atas pengabdiannya, maka dia adalah hamba yang paling bodoh dan tidak beharga di mata tuannya, sekiranya dia tidak mendapat hukumannya. Penghambaannya itu mengharuskannya untuk mengabdi. Jika pengabdiannya kepada seseorang untuk mendapatkan imbalan, maka itu bukan pengabdian kepada orang yang tidak tepat. Boleh jadi karena dia bukan hamba atau karena dia menjadi hamba bagi orang lain. Kalau memang dia benar-benar sebagai hamba bagi tuannya, berarti dia tidak mempunyai kemerdekaan dan tidak bisa menjadi hamba bagi selainnya, sehingga jika dia menuntut imbalan, berarti dia keluar dari kemur-nian penghambaan. Manusia dalam hal ini ada empat macam:

- Orang-orang yang tidak menghendaki Allah dan tidak menghendaki pahala-Nya. Mereka adalah musuh-musuh yang sebenarnyadan yang mendapatkan adzab yang kekal. Mereka tidak menghendaki pahala- Nya, boleh jadi karena memang mereka tidak mempercayai Allah, atau karena mementingkan kemaslahatan dunia.

- Orang-orang yang menghendaki Allah dan menghendaki pahala-Nya. Mereka adalah orang-orang yang khusus di antara makhluk-Nya.

- Allah berfirman :"Dan, jika kamu sekalian menghendaki Allah dan Rasul-Nya serta

(kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar." (Al-Ahzab: 29). Ini merupakan firman Allah yang ditujukan kepada para wanita pilihan di antara wanita-wanita di dunia, yaitu para istri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

- Orang-orang yang menghendaki pahala dari Allah dan tidak menghendaki Allah. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui Allah, yang hanya mendengar bahwa di sana ada surga dan neraka. Sementara di dalam hatinya hanya ada kehendak mendapatkan kenikmatan surga. Ini juga merupakan keadaan mayoritas teolog yang tidak mempercayai kenikmatan memandang Allah di surga. Di antara mereka juga ada yang berpendapat bahwa menghendaki Allah adalah sesuatu yang mustahil.

- Orang-orang yang menghendaki Allah dan tidak menghendaki pahala dari-Nya. Tentu saja ini sesuatu yang mustahil. Ini merupakan anggapan orang-orang yang disebutkan di atas dari kalangan orang-orang sufi, bahwa Allah-lah yang menjadi kehendak mereka dan tidak menghendaki sedikit pun pahala dari-Nya, seperti yang dikisahkan dari Abu Yazid, dia berkata, "Aku pernah ditanya seseorang, "Apa yang engkau kehendaki?" Maka aku menjawab, "Aku menghendaki untuk tidak menghendaki." Tentu saja ini sesuatu yang mustahil dari pertimbangan rasa dan rasio, fitrah dan syariah. Sebab kehendak merupakan keharusan makhluk hidup. Kehendak ini tidak ada selagi seseorang mabuk, pingsan atau tidur. Memang kami tidak mengingkari pembebasan diri dari kehendak terhadap selain Allah yang dicampur dengan kehendak terhadap Allah. Tapi bukankah seseorang juga menghendaki kedekatan dengan Allah dan ridha-Nya? Lalu adakah kehendak yang lebih tinggi dari kehendak ini?

Perkataan pengarang Manazilus-Sa'irin, "Bukan karena menampakkan amal untuk riya'", ini merupakan rincian tersendiri. Menampakkan amal ini ada dua macam: Menampakkan amal untuk membangkitkan amal itu dan menguatkan pendorongnya, dan menampakkan amal yang tidak membangkitkan amal dan tidak pula menguatkan pendorongnya, sehingga tidak ada bedanya antara adanya amal itu atau tidak adanya. Boleh jadi engkau menampakkan amal di hadapan orang yang hendak belajar darimu. Engkau melakukannya secara ikhlas dan dia dapat belajar darimu. Atau engkau menampakkan suatu amal agar ditiru orang lain atau diketahui orang yang belum mengetahui amal itu. Ini termasuk riya' yang terpuji. Bahkan menampakkan amal itu tidak bisa disebut riya'. Sebab Allah ada di dalam niat hati dan tujuannya. Sedangkan riya' yang tercela ialah yang dimaksudkan untuk mendapatkan sanjungan dan pengagungan di hadapan orang lain, sehingga orang lain itu memujinya dan enggan kepadanya. Contoh lain dari riya' yang terpuji, ada orang buta yang meminta keperluan hidupnya kepada segolongan orang. Salah seorang di antara mereka menyadari, bahwa jika dia memberi peminta-minta itu secara sembunyi- sembunyi tanpa dilihat seorang pun, maka mereka tidak akan menirunya dan tidak akan memberikan apa-apa kepada

peminta-minta itu. Tapi jika dia memberinya secara terang-terangan, maka mereka akan meniru tindakannya. Karena itu dia putuskan untuk memberinya secara terang-terangan. Pendorong baginya untuk memberi secara terang-terangan ialah kehendak agar peminta-minta itu untuk mendapatkan yang lebih banyak lagi dari orang-orang yang ada di tempat itu. Ini termasuk penampakan amal yang terpuji. Tapi pendorongnya tidak boleh karena ingin mendapat pujian dan sanjungan.

2. Menyampaikan pengabaran menurut zhahirnya, tidak membuat ka-jian yang menyimpang dari zhahirnya, tidak memaksakan ta'wil, tidak membuat perumpamaan dan perkiraan.

Pengarang Manazilus-Sa'irin mengisyaratkan hal ini kepada pemeliharaan kehormatan nash asma' dan sifat-sifat Allah, dengan menyampaikan pengabaran ini menurut zhahirnya dan menciptakan persepsi pemahaman yang sama di tengah umat.

Malik pernah ditanya tentang firman Allah, "Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy". (Thaha: 5), "Bagaimana Dia bersemayam di sana?" Cukup lama Malik hanya menundukkan kepala. Keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. Akhirnya dia menjawab, "Bersemayamnya Allah sudah jelas. Tentang bagaimana semayam-Nya, maka tidak bias dicapai akal manusia. Iman kepada semayamnya Allah ini wajib, dan menanyakan bagaimana semayamnya adalah bid'ah." Siapa yang menanyakan firman Allah (kepada Musa dan Harun), "Sesungguhnya Aku berserta kamu berdua, aku mendengar dan melihat", (Thaha: 46),

"Bagaimana cara Allah mendengar dan melihat?" Maka dapat dijawab seperti jawaban Malik di atas. Begitu pula siapa yang menanyakan sifatsifat Allah yang lain. Makna-maknanya sudah bisa dipahami. Tentang bagaimananya, maka tidak bisa dicapai akal manusia. Yang paling baik dalam masalah ini ialah mensifati Allah dengan sifat yang disifati Allah kepada Diri-Nya dan seperti yang disifati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, tanpa merubah dan menyim-pangkannya, tanpa menggambarkan caranya dan tidak pula membuat perumpamaan. Sedangkan ta'wil yang dimaksudkan di sini adalah ta'wil terminologis, yaitu mengalihkan lafazh dari zhahirnya, mengalihkan dari makna yang lazim ke makna yang tidak lazim. Para ulama sudah menyepakati hal ini. Tidak membuat perumpamaan artinya menyerupakan dengan sifatsifat makhluk.

  1. Menjaga semangat agar tidak dikotori kelancangan, menjaga kegembiraan agar tidak dimasuki rasa aman, dan menjaga kesaksian agar tidak ditentang sebab. Derajat ini dikhususkan bagi orang-orang yang memiliki kesaksian, yang biasanya mereka itu penuh semangat dan merasakan kegembiraan. Semangat yang dikotori kelancangan ini bisa mengeluarkan seorang hamba dari adab ubudiyah dan membawanya kepada bualan, seperti orang yang berkata, "Subhani" Menjaga kegembiraan agar tidak dimasuki rasa aman, artinya orang yang bersemangat dan memiliki kesaksian biasanya merasakan kegembiraan yang tidak terkira. Namun keadaannya ini tidak boleh

membuatnya merasa aman dari tipu daya. Kegembiraan dan kesenangannya harus tetap dijaga dan dipelihara. Menjaga kesaksian agar tidak ditentang sebab artinya, boleh jadi orang yang memiliki kesaksian merasa lemah dalam mempersaksikan hakikat tauhid, lalu dia menduga telah mendapatkan apa yang diinginkannya karena suatu ijtihad dan ibadah yang mukhlis. Ini menunjukkan adanya kekurangan dalam tauhid dan ma'rifatnya. Sebab kesaksian ini merupakan anugerah dan tidak muncul karena suatu usaha.

Ikhlas

Sehubungan dengan tempat persinggahan ikhlas ini Allah telah befirman di dalam Al-Qur'an : "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) aga-ma dengan lurus." (Al-Bayyinah: 5).

"Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kcpunyaan Allahlah aga-ma yang bersih (dari syirik)." (Az-Zumar: 2-3).

"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya." (Al-Mulk: 2).

Al-Fudhail berkata, "Maksud yang lebih baik amalnya di dalam ayat ini adalah yang paling ikhlas dan paling benar."

Orang-orang bertanya, "Wahai Abu Ali, apakah amal yang paling ikhlas dan paling benar itu?" Dia menjawab, "Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak akan diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas, maka ia tidak akan diterima, hingga amal itu ikhlas dan benar. Yang ikhlas ialah yang dikerjakan karena Allah, dan yang benar ialah yang dikerjakan menurut As-Sunnah." Kemudian dia membaca ayat : "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yangshalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya." (Al-Kahfi:110). Allah juga telah befirman : "Dan, siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?" (An-Nisa': 125).

Menyerahkan diri kepada Allah artinya memurnikan tujuan dan amal karena Allah. Sedangkan mengerjakan kebaikan ialah mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Sunnah beliau. Allah juga befirman : "Dan, Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan." (Al-Furqan: 23).

Amal yang seperti debu itu adalah amal-amal yang dilandaskan bukan kepada As-Sunnah atau dimaksudkan bukan karena Allah. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah

bersabda kepada Sa'd bin Abi Waqqash :

"Sesungguhnya sekali-kali engkau tidak akan dibiarkan, hingga engkau mengerjakan suatu amal untuk mencari Wajah Allah, melainkan engkau telah menambah kebaikan, derajat dan ketinggian karenanya."

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda : "Tiga perkara, yang hati orang Mukmin tidak akan berkhianat jika ada padanya: Amal yang ikhlas karena Allah, menyampaikan nasihat kepada para waliyul-amri dan mengikuti jama'ah orang-orang Muslim, karena doa mereka meliputi dari arah belakang mereka."

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang berperang karena riya', berperang karena keberanian dan berperang karena kesatriaan, manakah di antaranya yang ada di jalan Allah? Maka beliau menjawab, "Orang yang berperang agar kalimat Allahlah yang paling tinggi, maka dia berada di jalan Allah." Beliau juga mengabarkan tiga golongan orang yang pertama-tama diperintahkan untuk merasakan api neraka, yaitu qari' Al-Qur'an, muja-hid dan orang yang menshadaqahkan hartanya; mereka melakukannya agar dikatakan, "Fulan adalah qari', Fulan adalah pemberani, Fulan ada-lah orang yang bershadaqah", yang amal-amal mereka tidak ikhlas kare-na Allah. Di dalam hadits qudsy yang shahih disebutkan : "Allah befirman, 'Aku adalah yang paling tidak membutuhkan persekutuan dari sekutu-sekutu yang ada. Barangsiapa mengerjakan suatu amal, yang di dalamnya ia menyekutukan selain-Ku, maka dia menja-di milik yang dia sekutukannya dan Aku terbebas darinya'." Di dalam hadits lain disebutkan : "'Allah befirman pada hari kiamat, Pergilah lalu ambillah pahalamu dari orang yang amalmu kamu tujukan. Kamu tidak mempunyai pahala di sisi Kami'."

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh kalian dan tidak pula rupa kalian, tetapi Dia melihat hati kalian."

Banyak definisi yang diberikan kepada kata ikhlas dan shidq, namun tujuannya sama. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya menyendi-rikan Allah sebagai tujuan dalam ketaatan. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk. Ada yang berpendapat, ikhlas artinya menjaga amal dari perhatian manusia, termasuk pula diri sendiri. Sedangkan shidq artinya menjaga amal dari perhatian diri sendiri saja. Orang yang ikhlas tidak riya' dan orang yang shadiq tidak ujub. Ikhlas tidak

bisa sempurna kecuali dengan shidq, dan shidq tidak bisa sempurna kecuali dengan ikhlas, dan keduanya tidak sempurna kecuali dengan sabar. Ada pula yang berpendapat, siapa yang mempersaksikan adanya ikhlas dalam ikhlas, berarti ikhlasnya membutuhkan ikhlas lagi. Kekurangan orang yang mukhlis dalam ikhlasnya, tergantung dari pandang-an terhadap ikhlasnya. Jika dia tidak lagi melihat ikhlasnya, maka dialah orang yang benar-benar mukhlis. Ada pula yang berpendapat, ikhlas arti-nya menyelaraskan amal-amal

hamba secara zhahir dan batin. Riya' ialah jika zhahirnya lebih baik daripada batinnya. Shidq dalam ikhlas ialah jika batinnya lebih semarak daripada zhahirnya.

Al-Fudhail berkata, "Meninggalkan amal karena menusia adalah riya'. Mengerjakan amal karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas ialah jika Allah memberikan anugerah kepadamu untuk meninggalkan keduanya."

Al-Junaid berkata, "Ikhlas merupakan rahasia antara Allah dan hamba, yang tidak diketahui kecuali oleh malaikat, sehingga dia menulisnya, tidak diketahui syetan sehingga dia merusaknya dan tidak pula diketahui hawa nafsu sehingga dia mencondongkannya."

Yusuf bin Al-Husain berkata, "Sesuatu yang paling mulia di dunia adalah ikhlas. Berapa banyak aku mengenyahkan riya' dari hatiku, tapi seakan-akan ia tumbuh dalam rupa yang lain."

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Ikhlas artinya membersihkan amal dari segala campuran." Dengan kata lain, amal itu tidak dicampuri sesuatu yang mengotorinya karena kehendak-kehendak nafsu, entah karena ingin memperlihatkan amal itu tampak indah di mata orang-orang, mencari pujian, tidak ingin dicela, mencari pengagungan dan san-jungan, karena ingin mendapatkan harta dari mereka atau pun alasan-alasan lain yang berupa cela dan cacat, yang secara keseluruhan dapat disatukan sebagai kehendak untuk selain Allah, apa pun dan siapa pun.

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, ikhlas ini ada tiga derajat:

1. Tidak melihat amal sebagai amal, tidak mencari imbalan dari amal dan tidak puas terhadap amal. Ada tiga macam penghalang dan perintang bagi orang yang beramal dalam amalnya: Pertama, pandangan dan perhatiannya. Kedua, keinginan akan imbalan dari amal itu. Ketiga, puas dan senang kepadan-ya. Yang bisa membersihkan hamba dari pandangan terhadap amalnya ialah mempersaksikan karunia dan taufik Allah kepadanya, bahwa amal itu datang dari Allah dan bukan dari dirinya, kehendak Allahlah yang membuat amalnya ada dan bukan kehendak dirinya, sebagai-mana firman-nya : "Dan, kamu sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam." (At-Takkwir: 29).

Di sini ada yang sangat bermanfaat baginya, yaitu kekuasaan Allah, bahwa dirinya hanyalah alat semata, perbuatannya hanyalah seperti gerakan pohon yang terkena hembusan angin, yang menggerakkannya selain dirinya, dia ibarat mayat yang tidak bisa berbuat apa-apa, yang andaikan segala sesuatu diserahkan kepadanya, maka tidak ada perbuatannya yang bermaslahat sama sekali, karena jiwanya bodoh dan zhalim, tabiatnya malas, yang dipentingkannya adalah syahwat. Kebaikan yang keluar dari jiwa itu hanya berasal dari Allah dan bukan yang berasal dari hamba, sebagaimana firman-Nya,Sekiranya tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kalian bersih(dari perbuatanperbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya.(An-Nur:21).

Semua kebaikan yang ada pada diri hamba semata karena karunia Allah, pemberian, kebaikan dan nikmat-Nya. Pandangan hamba terhadap amainya yang hakiki ialah pandangannya terhadap sifat-sifat Allah yang berkaitan dengan penciptaan, yang semua semata karena pemberian Allah, karunia dan rahmat-Nya. Jadi, yang bisa membersihkan hamba dari perintang ini adalah mengetahui Rabb-nya dan juga mengetahui dirinya sendiri. Sedangkan yang bisa membersihkan hamba dari tujuan mencari imbalan atas amainya ialah menyadari bahwa dia hanyalah hamba semata. Seorang hamba (budak) tidak layak menuntut imbalan dan upah dari pengabdiannya terhadap tuannya. Sebab imbalan hanya layak diminta orang yang merdeka atau budak orang lain. Sedangkan yang membersihkan hamba dari kepuasan terhadap amainya ada dua macam:

- Memperhatikan aib, cela dan kekurangannya dalam amal, yang di dalamnya banyak terdapat bagian-bagian syetan dan nafsu. Jarang sekali ada amal melainkan syetan mempunyai bagian dalam amal itu. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang seseorang yang menengok saat mendirikan shalat. Maka beliau menjawab, "Itu adalah rampasan yang diambil syetan dari shalat hamba." Jika ini berlaku untuk sekali tengokan yang hanya sesaat saja, lalu bagaimana dengan hati yang menengok kepada selain Allah? Tentu saja bagian syetan lebih banyak lagi.

Ibnu Mas'ud berkata, "Seseorang di antara kalian tidak memberikan bagian kepada syetan dari shalatnya, sehingga syetan itu melihat ada hak atas shalat tersebut, melainkan karena dia menengok ke arah kanannya."

- Mengetahui hak Allah atas dirinya, yaitu hak ubudiyah beserta adabadab zhahir dan batin serta memenuhi syarat-syaratnya, menyadari bahwa hamba itu terlalu lemah untuk dapat memenuhi hak-hak itu. Orang yang memiliki ma'rifat ialah yang tidak ridha sedikit pun terhadap amainya dan merasa malu jika Allah menerima amainya.

2. Malu terhadap amal sambil tetap berusaha, berusaha sekuat tenaga membenahi amal dengan tetap menjaga kesaksian, memelihara caha-ya taufik yang dipancarkan Allah. Hamba yang merasa malu kepada Allah karena amainya, karena dia merasa amal itu belum layak dilakukan karena Allah, tapi amal itu tetap diupayakan. Allah befirman,

"Dan, orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka." (Al-Mukminin: 60).

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda menjelaskan maksud ayat ini,

"Dia adalah orang yang berpuasa, mendirikan shalat, mengeluarkan shadaqah, dan dia takut amal-amalnya ini tidak diterima."

Sebagian ulama berkata, "Aku benar-benar mendirikan shalat dua rakaat, namun ketika mendirikannya aku tak ubahnya seorang pencuri atau pezina yang tidak dilihat orang, karena merasa malu kepada Allah."

Orang Mukmin adalah orang yang memadukan kebajikan disertai ketakutan dan buruk sangka terhadap dirinya, sedangkan orang yang tertipu dan munafik adalah orang yang berbaik sangka terhadap dirinya dan juga berbuat jahat. Maksud memelihara cahaya taufik yang dipancarkan Allah, bahwa dengan cahaya itu engkau bisa tahu bahwa amalmu semata karena karu-nia Allah dan bukan karena dirimu sendiri. Derajat ini mencakup lima perkara: Amal, berusaha dalam amal, rasa malu kepada Allah, memelihara kesaksian, melihat amal sebagai pemberian dan karunia Allah.

3. Memurnikan amal dengan memurnikannya dari amal, membiarkan amal berlalu berdasarkan ilmu, tunduk kepada hukum kehendak Allah dan membebaskannya dari sentuhan rupa. Perkataan, "Memurnikan amal dengan memurnikannya dari amal", ditafsiri dengan lanjutannya, yaitu membiarkan amal itu berlalu berdasarkan ilmu dan engkau tunduk kepada hukum kehendak Allah. Artinya, engkau menjadikan amalmu mengikuti ilmu, menyesuaikan diri dengannya, berhenti menurut pemberhentiannya, bergerak menu-rut gerakannya, melihat hukum agama dan membatasi dengan batasanbatasannya, memperhatikan pahala dan siksa di kemudian hari. Meskipun begitu engkau juga harus berlalu dengan memperhatikan hatimu, mempersaksikan hukum alam, yang di dalamnya terkandung hukum sebab akibat, yang tak sedikit pun lepas dari kehendak Allah. Sehingga seorang hamba bertindak berdasarkan dua perkara: Perta-ma, perintah dan larangan, yang berkaitan dengan apa yang harus diker jakannya dan apa yang harus ditinggalkannya. Kedua, qadha' dan qadar, yang berkaitan dengan iman, kesaksian dan hakikat. Dengan begitu dia bisa melihat hakikat dan bertindak berdasarkan syariat. Dua perkara inilah ubudiyah seperti yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya :" (yaitu) bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan, kamu sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam." (At-Takkwir: 28-29).

Membiarkan amal berlalu berdasarkan ilmu merupakan kesaksian dari firman Allah, "Bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus", sedangkan pelakunya yang tunduk kepada hukum kehendak Allah merupakan kesaksian terhadap firman-Nya, "Kamu sekalian tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah". Tentang perkataan, "Membebaskan amal dari sentuhan rupa", artinya membebaskan amal dan ubudiyah dari selain Allah. Karena apa pun selain Allah hanyalah rupa yang hanya tampak di luarnya saja.

Tahdzib dan Tashfiyah

Tahdzib dan tashfiyah ini artinya melebur ubudiyah dalam tungku ujian, untuk menghilangkan segala kotoran dan kerak yang ada di dalamnya.

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Tahdzib merupakan ujian bagi para pemula, yang merupakan salah satu aturan dalam riyadhah." Artinya, tahdzib ini cukup sulit bagi pemula, yang bisa diibaratkan ujian bagi-nya. Tapi tahdzib ini merupakan jalan bagi orang-orangyang sudah melatih dirinya, sehingga mereka sudah terbiasa dengannya.

Menurutnya, tahdzib ini ada tiga derajat:

1. Mendidik pengabdian, tidak memenuhinya dengan kebodohan, tidak mencampurinya dengan kebiasaan dan tidak menghentikan hasrat. Artinya, pengabdian harus dibersihkan dan dibebaskan dari tiga perkara ini: Memenuhinya dengan kebodohan, mencampurinya dengan ke biasaan dan menghentikan hasrat. Selagi kebodohan memenuhi ubudiyah, maka seorang hamba akan mendatangkan sesuatu yang tidak layak untuk didatangkan kepada ubudiyah, meletakkannya tidak pada tempatnya, mengerjakannya tidak seperti lazimnya, melakukan perbuatan-perbuatan yang diyakininya baik, padahal itu justru merusak pengadian dan ubudiyahnya. Jika pengabdian tidak disertai ilmu, maka ia akan menyimpang dari adab dan hak-haknya, yang justru bias menjauhkan pelakunya, sekalipun sebenarnya dia bermaksud mendekatkan dirinya. Kalaupun dia tetap mendapatkan pahala dan balasannya, tapi minimal akan menjauhkan dirinya dari kedudukan taqarrub. Ubudiyah juga bisa dicampuri kebiasaan yang senantiasa dilakukan,

yang kemudian kebiasaan ini dianggap sebagai taqarrub atau ketaat-an, seperti seseorang yang terbiasa berpuasa dan dia terus-menerus berpuasa. Kemudian dia mengira bahwa kebiasaannya ini dianggap sebagai ubudiyah. Tandanya yang paling nyata, jika dia ditawari untuk melakukan ketaatan yang lebih ringan dan lebih mudah serta le-bih nyata kemaslahatannya, maka dia menolaknya dan meremehkan-nya, karena dia sudah terbiasa berpuasa terus-menerus. Padahal ini hanya sekedar kebiasaan semata. Tanda menghentikan hasrat dalam pengabdian ialah melemahnya hasrat itu. Seorang hamba yang murni dan tulus tidak akan berhenti mengabdi. Bahkan hasratnya lebih tinggi dari sekedar pengabdian, yaitu mendapatkan keridhaan tuannya. Jika hasrat hamba berhenti, maka akan merendahkan kedudukannya.

2. Mendidik keadaan, yaitu tidak mencondongkan keadaan kepada ilmu, tidak tunduk kepada rupa dan tidak menengok ke bagian. Mencondongkan keadaan kepada ilmu ada dua macam: Terpuji dan tercela. Yang terpuji ialah memperhatikan apa yang diperintahkan ilmu dan mengangkat ilmu sebagai hakim atas keadaan. Jika tidak ada kecenderungan seperti ini, maka itu merupakan kecondongan yang tercela dan menjauhkan pelakunya dari Allah. Setiap keadaan yang tidak disertai ilmu, bisa dikhawatirkan merupakan tipuan syetan dan justru menjauhkannya dari Allah, karena dia tidak menghakimi keadaan dengan ilmu, hingga akhirnya dia menyimpang dari hakikat iman dan syariat Islam. Mereka inilah seperti yang dikatakan Al-Junaid bin Muhammad, yaitu ketika ada seseorang yang mengatakan kepadanya, bahwa di antara ahli ma'rifat ada yang tidak mau beramal karena menganggapnya sebagai pengabdian dan taqarrub kepada

Allah. Maka Al-Junaid berkata, "Ini adalah anggapan orang-orang yang membebaskan amal anggota tubuh. Bagi saya ini merupakan masalah yang sangat besar. Orang yang mencuri dan berzina, jauh lebih baik keadaannya daripada orang-orang ini. Sebab orang yang memiliki ma'rifat tentang Allah seharusnya mengambil amalan dari Allah dan mengembalikan amal kepada-Nya. Andaikan saya hidup seribu tahun, maka saya tidak akan mengurangi pengabdian sedikit pun, kecuali jika memang saya tidak sanggup lagi mengerjakannya." Dia juga pernah berkata, "Semua jalan terhalang dari manusia, kecuali orang yang mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam." Adapun kekeliruan yang mereka lakukan, karena hukum-hukum ilmu dikaitkan dengan ilmu, dan hukum-hukum keadaan dikaitkan dengan pengungkapan batin. Orang yang mengandalkan keadaan tidak bera-da dalam lingkup ilmu dalam menghadapi berbagai hal. Jika digunakan timbangan ilmu, muncul pertentangan antara ilmu dan keadaan. Se- mentara tidak ada hukum untuk menggugurkan salah satu di antara keduanya. Maka barangsiapa telah mencapai tingkatan pengungkapan batin, namun kemudian dia cenderung kepada hukum-hukum ilmu, berarti dia dipaksa untuk mundur ke belakang. Perhatikanlah ungkapan dan syubhat yang mengandung racun yang ganas ini, yang dapat mengeluarkan pelakunya dari ma'rifat dan aga-ma tanpa terasa, seperti sehelai rambut yang ditarik dari tepung. Ketahuilah bahwa ma'rifat yang benar adalah ruh ilmu, dan keadaan yang benar merupakan ruh amal yang lurus. Setiap keadaan yang bukan merupakan hasil amal yang lurus, sesuai dengan ilmu, maka keduduk-annya seperti ruh yang jahat. Memang tidak dipungkiri bahwa keadaan ruh ini bias bermacam-macam. Tapi yang harus dipertimbangkan adalah derajat dari keadaan itu. Selagi suatu keadaan bertentangan dengan salah satu hukum ilmu, maka keadaan itu rusak atau kurang dan sama sekali tidak lurus. Ilmu yang benar dan amal yang lurus merupakan timbangan ma'rifat yang benar dan keadaan yang benar. Keduanya seperti dua badan yang menjadi tempat ruh masing-masing. Tidak tunduk kepada rupa artinya tidak ada sedikit pun keduniaan yang menguasai hati dan hati itu tidak tunduk kepadanya. Orang yang mempunyai suatu keadaan hanya memohon kepada Dzat Yang Maha-hidup dan tidak selayaknya mengandalkan rupa-rupa yang gemerlap dari keduniaan. Tidak menengok ke bagian artinya jika keadaan sudah menjadi sempurna, maka pelakunya tidak boleh larut dalam kegembiraan karena keadaannya itu dan kenikmatannya, karena yang demikian ini merupakan bagian nafsu.

  1. Mendidik tujuan, yaitu dengan membersihkannya dari kehinaan keterpaksaan, menjaganya dari penyakit loyo dan membantunya agar tidak terjebak dalam kontradiksi ilmu. Membersihkan tujuan dari kehinaan keterpaksaan artinya janganlah dirinya digiring kepada Allah secara paksa, tak ubahnya buruh yang harus tunduk kepada juragan. Tapi seluruh relung hatinya dibawa kepada Allah dengan patuh, cinta dan suka, layaknya aliran air ke permukaan yang rendah. Inilah keadaan orang-orang yang mencinta secara

tulus, bahwa ubudiyah mereka itu dilandasi cinta, ketaatan dan keridhaan, yang sekaligus merupakan kegembiraan, kesenangan hati dan kedamaian jiwa, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Dan, kegembiraanku dijadikan dalam shalat." Begitu pula sabda beliau kepada Bilal, "Hai Bilal, buatlah kami beristirahat dengan shalat." Tentang kehinaan paksaan di sini terkandung sentuhan makna yang amat lembut, bahwa orang yang taat karena terpaksa, melihat bahwa kalau tidak karena kehinaan paksaan dan hukuman tuannya, tentu dia tidak mau taat kepadanya. Dia membawa ketaatannya seperti orang yang hina di hadapan orang yang memaksanya. Berbeda dengan orang yang mencintai, yang menganggap ketaatan kepada kekasihnya se-bagai kekuatan dan kenikmatan serta tidak merasa hina sama sekali. Menjaga tujuan dari penyakit loyo artinya menjaga agar tujuan itu tidak melemah dan api pencariannya tidak padam. Hasrat merupakan ruh tujuan dan semangatnya seperti kesehatan. Sementara keloyoan-nya merupakan penyakit. Maka mendidik tujuan ialah menjaganya dari sebab-sebab penyakit.

Sedangkan membantu tujuan agar tidak terjebak dalam kontradiksi ilmu artinya membantu tujuan itu dengan penguasaan ilmu secara mendetail dan menghadapkan seluruh hati kepada Allah. Dengan kata lain, ilmu ini menuntut hamba untuk beramal, yang dilandasi ketaatan, suka rela, mengharapkan pahala dan takut akan siksa.

Istiqamah

Allah befirman : "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Rabb kami adalah Allah', kemudian mereka istiqamah (meneguhkan pendirian mereka), maka malaikatakan turun kepada mereka (dengan mengatakan), Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian merasa sedih, dan bergembiralah kalian dengan (memperoleh) surga yang telah dijanji-kan Allah kepada kalian'." (Fushshilat: 30).

"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Rabb kami ialah Allah', kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan." (Al-Ahqaf: 13-14).

"Maka tetaplah istiqamah kamu sebagaimana yang diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kalian kerjakan." (Hud: 112).

Allah telah menjelaskan bahwa istiqamah merupakan kebalikan dari sikap yang melampaui batas. Abu Bakar Ash-Shiddiq, orang yang paling lurus dan jujur serta yang paling istiqamah dalam umat ini pernah dita-nya tentang makna istiqamah. Maka dia menjawab, "Artinya, janganlah engkau menyekutukan sesuatu pun dengan Allah." Maksudnya, istiqamah adalah berada dalam tauhid yang murni.

Umar bin Al-Khaththab juga berkata, "Istiqamah artinya engkau teguh hati pada perintah dan larangan dan tidak menyimpang seperti jalannya rubah."

Utsman bin Affan berkata, "Istiqamah artinya amal yang ikhlas karena Allah."

Ali bin Abu Thalib dan Ibnu Abbas berkata, "Istiqamah artinya melaksanakan kewajiban-kewajiban."

Al-Hasan berkata, "Istiqamah pada perintah Allah artinya taat kepada Allah dan menjauhi kedurhakaan kepada-Nya."

Mujahid berkata, "Istiqamah artinya teguh hati pada syahadat bahwa tiada Ilah selain Allah hingga bersua Allah."

Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Istiqamah artinya teguh hati untuk mencintai dan beribadah kepada-Nya, tidak menoleh dari-Nya ke kiri atau ke kanan."

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Sufyan bin Abdullah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam, sehingga aku tidak lagi bertanya lagi kepada seseorang selain engkau." Beliau menjawab, "Katakanlah, 'Aku beriman kepada Allah', kemudian istiqamahlah."

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Tsauban Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, : "Istiqamahlah kalian dan sekali-kali kalian tidak bisa membilangnya. Ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat, dan tidak ada yang memelihara wudhu' kecuali orang Mukmin."

Di dalam Shahih Muslim juga disebutkan dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Ikutilah jalan lurus dan berbuatlah apa yang mendekatinya. Ketahuilah bahwa sekali-kali salah seorang di antara kalian tidak akan selamat karena amalnya". Mereka bertanya, "Tidak pula engkau wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Tidak pula aku, kecuali jika Allah melimpahiku dengan rahmat dan karunia-Nya."

Di dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menghimpun semua sendi agama. Beliau memerintahkan istiqamah, jalan lurus dan niat yang benar dalam perkataan dan perbuatan. Sedangkan di dalam hadits Tsauban beliau mengabarkan bahwa mereka tidak mampu melaku-kannya. Maka beliau mengalihkannya kepada muqarabah, atau mendekati istiqamah menurut kesanggupan mereka, seperti orang yang ingin mencapai suatu tujuan. Kalau pun dia tidak mampu mencapainya, maka minimal dia mendekatinya. Sekalipun begitu beliau mengabarkan bahwa istiqamah dan apa yang mendekati istiqamah ini tidak menjamin keselamatan pada hari kiamat. Maka seseorang tidak boleh mengandal-kan amalnya, tidak membanggakannya dan tidak melihat bahwa keselamatannya tergantung pada amalnya, tapi keselamatannya tergantung dari rahmat dan karunia Allah.

Istiqamah merupakan kalimat yang mengandung banyak makna, meliputi berbagai sisi agama, yaitu berdiri di hadapan Allah secara hakiki dan memenuhi janji. Istiqamah berkaitan dengan perkataan, perbuatan, keadaan dan niat. Istiqamah dalam perkara-perkara ini berarti pelaksanaannya karena Allah, beserta Allah dan berdasarkan perintah Allah.

Sebagian orang arif berkata, "Jadilah orang yang memiliki istiqamah dan

janganlah menjadi orang yang mencari kemuliaan, karena jiwamu berge-rak untuk mencari kemuliaan, sementara Rabb-mu memintamu untuk istiqamah."

Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Kemuliaan yang paling besar adalah mengikuti istiqamah."

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, istiqamah merupakan ruh, yang karenanya keadaan menjadi hidup dan juga menyuburkan amal manusia secara umum. Istiqamah merupakan penyekat antara dua hal yang ada di bawah dan yang di atas.

Dia menyerupakan istiqamah dari suatu keadaan seperti ruh bagi badan. Sebagaimana badan yang tidak memiliki ruh sama dengan ma-yat, maka keadaan yang tidak memiliki istiqamah tentu akan rusak. Kare-na kehidupan keadaan hanya dengan istiqamah, maka tambahan dan pertumbuhan amal orang-orang yang zuhud hanya dengan istiqamah. Istiqamah diserupakan dengan penyekat antara dua hal yang berbeda, antara yang di atas dan yang di bawah. Orang yang berada di permukaan yang tinggi tentu bisa melihat yang dekat maupun yang jauh, berbeda dengan orang yang berada di tempat yang permukaannya lebih rendah. Dengan kata lain, bahwa orang yang berjalan kepada Allah, pada mulanya dia berada di permukaan yang lebih rendah, lalu dia berjalan menuju tempat yang lebih tinggi, istiqamah dalam perjalanannya, agar dia benar-benar sampai ke puncaknya. Istiqamahnya merupakan penyekat dan batas antara tempat permulaan perjalanannya dan tempat tujuan-nya.

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, ada tiga derajat istiqamah, yaitu:

1. Istiqamah dalam usaha untuk melalui jalan tengah, tidak melampaui rancangan ilmu, tidak melanggar batasan ikhlas dan tidak menyalahi manhaj As-Sunnah. Derajat ini meliputi lima perkara:

- Amal dan usaha yang dimungkinkan.

- Jalan tengah, yaitu perilaku antara sisi berlebih-lebihan atau kesewenang- wenangan dan pengabaian atau penyia-nyiaan.

- Berada pada rancangan dan gambaran ilmu, tidak berada pada tuntutan keadaan.

- Kehendak untuk mengesakan sesembahan, yaitu ikhlas.

- Menempatkan amal pada perintah, atau mengikuti As-Sunnah.

Lima perkara inilah yang menyempurnakan istiqamahnya orang-orang yang berada pada derajat ini. Selagi keluar dari salah satu di antaranya, berarti mereka keluar dari istiqamah, entah keluar secara keseluruhan ataukah sebagiannya saja. Biasanya

orang-orang salaf menyebutkan dua sendi ini, yaitu jalan tengah dalam amal dan berpegang kepada As-Sunnah. Sesungguhnya syetan itu bisa mencium hati hamba dan juga mengintainya. Jika dia melihat suatu indikasi ke bid'ah di dalamnya dan berpaling dari kesempurnaan ketundukan kepada As- Sunnah, maka ia akan mengeluarkannya agar tidak berpegang kepada As-Sunnah. Jika syetan melihat hasrat yang kuat terhadap As-Sunnah, maka ia tidak akan mampu mempengaruhinya untuk mengeluarkan nya dari As-Sunnah. Maka ia memerintahkannya untuk terus berusaha, lalu bersikap sewenang-wenang terhadap diri sendiri dan keluar dari jalan tengah, seraya berkata kepadanya, "Ini merupakan kebaik-an dan ketaatan. Semakin semangat dalam berusaha, semakin menyem-purnakan ketaatan itu." Begitulah yang terus dibisikkan syetan hing-ga dia keluar dari jalan tengah dan batasannya. Inilah keadaan golong-an Khawarij yang melecehkan orang-orang yang istiqamah, dengan membandingkan shalat, puasa dan bacaan Al-Qur'an di antara mere-ka. Kedua golongan ini sama-sama keluar dari As-Sunnah ke bid'ah. Yang pertama keluar ke bid'ah pengabaian dan yang kedua keluar ke bid'ah kelewat batas.

2. Istiqamah keadaan, yaitu mempersaksikan hakikat dan bukan keberuntungan, menolak bualan dan bukan ilmu, berada pada cahaya kesadaran dan bukan mewaspadainya. Dengan kata lain, istiqamah keadaan dilakukan dengan tiga cara ini. Kaitannya dengan kesaksian hakikat, maka hakikat itu ada dua macam: Hakikat alam dan hakikat agama, yang dipadukan hakikat ketiga, yaitu sumber, pembentuk dan sekaligus tujuan keduanya. Mayoritas pemer-hati masalah perilaku dari muta'akhirin mengartikan hakikat ini ada-lah

hakikat alam. Kesaksiannya merupakan kesaksian kesendirian Allah dalam perbuatan. Sedangkan selain Allah merupakan tempat obyek hokum dan perbuatan-Nya, seperti halnya tempat landai yang menja-di sasaran aliran air. Menurut mereka, kesaksian hakikat ini merupakan tujuan orang-orang yang berjalan kepada Allah. Kesaksian hakikat ini tidak bias dilakukan dengan keberuntungan, kare-na keberuntungan merupakan kehendak nafsu. Sementara hakikat tidak akan muncul selagi ada nafsu. Perkataan, "Menolak bualan dan bukan ilmu", bualan ini berarti mengaitkan keadaan kepada dirimu dan egoismemu. Istiqamah tidak akan menjadi benar kecuali dengan meninggalkan bualan ini, entah benar entah salah. Sebab bualan yang benar bisa memadamkan cahaya ma'rifat. Lalu bagaimana jika bualan itu jelas dusta? Lalu pendorong untuk meninggalkan bualan ini bukan sekedar pengetahuan tentang keburukan bualan dan dampaknya yang bisa menghilangkan istiqamah, sehingga seseorang meninggalkannya hanya sekedar di luarnya saja dan bukan secara hakiki. Dia harus meninggalkannya secara lahir dan hakiki, sebagaimana seseorang yang meninggalkan sesuatu yang berbahaya bagi dirinya secara lahir dan hakiki. Perkataan, "Berada pada cahaya kesadaran dan bukan mewaspadainya", artinya terus-menerus sadar dan cahayanya tidak boleh padam karena kegelapan kelalaian, dan melihat bahwa dirinya seperti orang yang hendak dirampas, namun

mendapat penjagaan dari Allah, dan tidak melihat bahwa hal itu merupakan kewaspadaannya sendiri.

3. Istiqamah dengan tidak melihat istiqamah, tidak lengah untuk mencari istiqamah dan keberadaannya pada kebenaran. Melihat istiqamah diri sendiri bisa menutupi hakikat kesaksian dan melalaikan apa yang dipersaksikannya. Sedangkan tidak lengah mencari istiqamah artinya tidak lengah mencari kesaksian penegakan kebenaran. Jika seorang hamba mempersaksikan bahwa Allahlah yang menegakkan segala urusan dan istiqamahnya berasal dari Allah, bu-kan berasal dari dirinya dan juga bukan karena pencariannya, maka dia akan merasa bahwa bukan dirinyalah yang mendatangkan istiqamah itu. Ini merupakan konsekuensi dari kesaksian terhadap asma AllahAl- Qayyum. Artinya keyakinan bahwa hanya Allah sendirilah yang menangani segala urusan dan Dia tidak membutuhkan selain-Nya, tapi semua selain-Nya tentu membutuhkan-Nya.

Tawakkal

Allah befirman berkaitan dengan tempat persinggahan tawakkal ini : "Dan, hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian benar-benar orang yang beriman." (Al-Maidah: 23).

Allah befirman kepada Rasul-Nya : "Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (Ali Imran: 159). Masih banyak firman Allah yang menjelaskan tawakkalnya para nabi, rasul dan orang-orang yang beriman.

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan hadits tentang tu juh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak mempercayai mantra, tidak meramal yang buruk-buruk, tidak mengobati dengan sundutan api, dan hanya bertawakal kepada Allah.

Di dalam Shahih Al-Bukhary disebutkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, dia berkata, "Hasbunallah wa ni'mal-wakil", diucapkan Ibrahim Alaihis-Salam, ketika beliau dilemparkan ke kobaran api, dan juga dikatakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, saat orang-orang berkata kepada beliau, "Sesungguhnya manusia (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka".

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam biasa berdoa : "Ya Allah, kepada-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku beriman, kepa-da- Mu aku bertawakkal, kepada-Mu aku kembali dan karena-Mu aku bermusuhan. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada kemuliaan- Mu, yang tiada llah selain Engkau, agar Engkau (tidak) menyesatkanaku. Engkau Yang Mahahidup yangtiada mati, sedangkan jin dan manusia mati."

Di dalam riwayat At-Tirmidzy disebutkan dari Umar bin Al-Khaththab secara marfu', "Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Dia akan melimpahkan rezki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezki kepada burung, yang pergi pada pagi hari dalam keadaan perut kosong dan kembali pada sore hari dalam keadaan kenyang."

Di dalam As-Sunan disebutkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda : "Barangsiapa mengucapkan (saat keluar dari rumalinya), 'Dengan asma Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah', maka dikatakan kepadanya, 'Kamu mendapat petunjuk, dilindungi dan dicukupkan. Lalu syetan berkata kepada syetan lainnya, 'Bagaimana mungkin kamu bisa memperdayai orang yang telah mendapat petunjuk, dilindungi dan dicukupi?'"

Tawakkal merupakan separoh agama dan separohnya lagi adalah inabah. Agama itu terdiri dari permohonan pertolongan dan ibadah. Tawakkal merupakan permohonan pertolongan sedangkan inabah adalah ibadah.

Tawakkal merupakan tempat persinggahan yang paling luas dan menyeluruh, yang senantiasa ramai ditempati orang-orang yang singgah di sana, karena luasnya kaitan tawakkal, banyaknya kebutuhan penghu-ni alam, keumuman tawakkal, yang bisa disinggahi orang-orang Muk-min dan juga orang-orang kafir, orang baik dan orang jahat, termasuk pula burung, hewan liar dan binatang buas. Semua penduduk bumi dan langit berada dalam tawakkal, sekalipun kaitan tawakkal mereka berbeda-beda.

Para wali Allah dan hamba-hamba-Nya yang khusus bertawakkal kepada Allah karena iman, menolong agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, berjihad memerangi musuh-musuh-Nya, karena mencintai-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Sedangkan selain mereka bertawakkal kepada Allah karena kepentingan dirinya dan menjaga keadaannya dengan memohon kepada Allah. Ada pula di antara mereka yang bertawakkal kepada Allah karena sesuatu yang hendak didapatkannya, entah rezki, kesehatan, pertolongan saat melawan musuh, mendapatkan istri, anak dan lain sebagainya. Ada pula yang bertawakkal kepada Allah justru untuk melakukan kekejian dan berbuat dosa. Apa pun yang mereka inginkan atau yang mereka dapatkan, biasanya tidak lepas dari tawakkal kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya. Bahkan boleh jadi tawakkal mereka ini lebih kuat daripada tawakkalnya orang-orang yang taat. Mereka menjerumuskan diri dalam kebinasaan dan kerusakan sambil memohon kepada Allah agar menyelamatkan mereka dan mengabulkan keinginan mereka.

Tawakkal yang paling baik ialah tawakkal dalam kewajiban memenuhi hak kebenaran, hak makhluk dan hak diri sendiri. Yang paling luas dan yang paling bermanfaat ialah tawakkal dalam mementingkan faktor eksternal dalam kemaslahatan agama, atau menyingkirkan kerusakan aga-ma. Jni merupakan tawakkalnya para nabi

dalam menegakkan agama Allah dan menghentikan kerusakan orang-orang yang rusak di dunia. Ini juga tawakkalnya para pewaris nabi. Kemudian tawakkal manusia setelah itu tergantung dari hasrat dan tujuannya. Di antara mereka ada yang bertawakkal kepada Allah untuk mendapatkan kekuasaan dan ada yang bertawakkal kepada Allah untuk mendapatkan serpihan roti.Siapa yang benar dalam tawakkalnya kepada Allah untuk mendapatkan sesuatu, tentu dia akan mendapatkannya. Jika sesuatu yang diinginkannya dicintai dan diridhai Allah, maka dia akan mendapatkan kesudahan yang terpuji. Jika sesuatu yang diinginkannya itu dibenci Allah, maka apa yang diperoleh-nya itu justru akan membahayakan dirinya. Jika sesuatu yang diinginkannya itu sesuatu yang mubah, maka dia mendapatkan kemaslahatan dirinya dan bukan kemaslahatan tawakkalnya, selagi hal itu tidak dimak-sudkan untuk ketaatan kepada- Nya.

Berikut ini akan kami jelaskan makna tawakkal dan derajat-derajatnya serta berbagai pendapat tentang tawakkal ini.

Al-Imam Ahmad berkata, "Tawakkal adalah amal hati. Karena ia merupakan amal hati, maka ia bukan dinyatakan dengan perkataan lisan dan amal anggota tubuh. Ilmu juga bukan termasuk masalah ilmu atau pun teori."

Namun di antara manusia ada pula yang menganggapnya masalah ilmu dan ma'rifat, dengan mengatakan, "Tawakkal merupakan ilmu hati atas jaminan Allah yang diberikan kepada hamba."

Sahl berkata, "Tawakkal merupakan kepasrahan kepada Allah menurut apa pun yang dikehendaki-Nya."

Bisyr Al-Hafy berkata, "Adakalanya seseorang yang berkata, 'Aku tawakkal kepada Allah', tetapi dia berdusta kepada Allah. Kalau memang dia benar-benar tawakkal kepada Allah, tentu dia meridhai apa pun yang dilakukan Allah terhadap dirinya."

Yahya bin Mu'adz pernah ditanya, "Kapankah seseorang bisa disebut orang yang tawakkal?" Maka dia menjawab, "Jika dia ridha kepada Allah sebagai wakilnya."

Di antara mereka ada yang menafsiri tawakkal dengan keyakinan terhadap Allah, tenang dan damai terhadap-Nya.

Ibnu Atha' berkata, "Tawakkal ialah jika engkau tidak mempunyai kecenderungan kepada sebab-sebab tertentu, sekalipun engkau sangat membutuhkannya. Hakikat kedamaian tidak akan beralih ke kebenaran selagi engkau mengandalkan sebab-sebab itu."

Dzun-Nun berkata, "Tawakkal artinya tidak bersandar kepada pengaturan diri sendiri, berlepas dari daya dan kekuatan diri sendiri. Tawakkal seorang hamba semakin kuat jika dia mengetahui bahwa Allah mengawasi dan melihat dirinya."

Ada yang berkata, "Tawakkal ialah bergantung kepada Allah di se-tiap keadaan."

Ada pula yang berpendapat, "Tawakkal ialah jika engkau menolak sumber-sumber

kebutuhan dan engkau tidak kembali kecuali kepada Dzat yang benar-benar memberi kecukupan."

Ada pula yang berkata, "Tawakkal ialah menghilangkan segala keragu- raguan dan berserah diri kepada Raja Segala Raja."

Abu Sa'id Al-Kharraz berkata, "Tawakkal ialah kegelisahan tanpa ketenangan dan ketenangan tanpa kegelisahan."

Abu Turab An-Nakhsyaby berkata, "Tawakkal ialah menghempas-kan badan untuk beribadah, menggantungkan hati dalam Rububiyah, merasa tenang karena ada kecukupan, jika diberi bersyukur dan jika di-tolak sabar."

Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, "Tawakkal itu ada tiga derajat: Tawakkal itu sendiri, berserah diri, lalu pasrah. Orang yang tawakkal merasa tenang karena janji Allah, orang yang berserah diri cukup dengan pengetahuannya tentang Allah dan pasrah adalah ridha terhadap hukum-Nya.

Tawakkal merupakan permulaan, berserah diri merupakan pertengahan dan pasrah merupakan penghabisan. Tawakkal merupakan sifat orangorang Mukmin, berserah diri merupakan sifat para wali dan pasrah merupakan sifat muwahhidin. Tawakal merupakan sifat orang-orang awam, berserah diri merupakan sifat orang-orang khusus, dan pasrah merupakan sifat orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus. Tawakkal adalah sifat para nabi, berserah diri adalah sifat Ibrahim, sedangkan pasrah merupakan sifat Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam." Masih banyak pendapat-pendapat lain tentang makna tawakkal ini, yang semuanya merupakan rincian dari makna tawakkal.

Pada hakikatnya tawakkal ini merupakan keadaan yang terangkai dari berbagai perkara, yang hakikatnya tidak bisa sempurna kecuali dengan seluruh rangkaiannya. Masing-masing mengisyaratkan kepada salah satu dari perkara-perkara ini, dua atau lebih. Perkara-perkara ini adalah:

1. Mengetahui Allah, sifat, kekuasaan, kecukupan, kesendirian dan kembalinya segala urusan kepada ilmu-Nya dan yang terjadi berkat kehendak dan kekuasaan-Nya. Ini merupakan derajat pertama yang menjadi pijakan kaki hamba saat berada di tempat persinggahan tawakkal.

Syaikh kami (Ibnu Taimiyah) berkata, "Karena itu tawakkal tidak akan menjadi benar dan sulit dibayangkan bisa dilakukan seorang filosof atau pun golongan Qadariyah, yang mengatakan bahwa di dalam kekuasaan Allah ada sesuatu yang tidak bisa dikehendak-Nya, atau dari golongan Jahmiyah yang meniadakan sifat Allah. Tawakkal macam apakah yang keluar dari orang yang meyakini bahwa Allah tidak mengetahui bagian-bagian alam atas dan alam bawah, tidak bisa berbuat menurut kehendak-Nya dan tidak didukung satu sifat pun? Siapa yang lebih mengetahui tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, maka tawakkal-nya lebih benar dan lebih kuat. Allahlah yang lebih mengetahui hal ini."

2. Menetapkan sebab dan akibat. Siapa yang meniadakan hal ini, berarti tawakkalnya ada yang tidak beres. Ini kebalikan dari pendapat yang mengatakan, bahwa menetapkan sebab bisa menodai tawakkal dan meniadakan sebab ini merupakan kesempumaan tawakkal. Ketahuilah bahwa tawakkalnya mereka yang meniadakan sebab tidak akan benar sama sekali. Sebab tawakkal termasuk sebab yang paling kuat untuk mendapatkan apa yang ditawakkali. Tawakkal ini seperti doa yang dijadikan Allah sebagai sebab untuk mendapatkan apa yang diminta dalam doa itu. Jika hamba percaya bahwa tawakkalnya tidak ditetapkan Allah sebagai sebab dalam memperoleh sesuatu, begitu pula doanya, maka sesuatu itu tetap diperolehnya, baik dia tawakkal atau tidak tawakkal, berdoa atau tidak berdoa, kalau memang hal itu sudah ditakdirkan baginya. Jika tidak ditakdirkan, maka sesuatu itu tidak akan diperolehnya, tawakkal atau tidak tawakkal. Orang-orang yang meniadakan sebab ini beralasan bahwa tawakkal dan doa adalah ubudiyah yang bersifat murni, yang manfaatnya ha-nya ubudiyah itu semata. Di antara mereka ada yang bersikap kelewat batas, dengan mengatakan bahwa doa agar tidak dihukum atas keliru dan lalai tidak memberi manfaat apa-apa. Karena sudah ada jaminan pengabulannya. Menurut sebagian di antara mereka, yang kami baca dalam buku karangannya, bahwa doa itu mengandung kesangsian terhadap pengabulannya. Sebab orang yang berdoa berada di antara ketakutan dan harapan. Kesangsian terhadap pengabulannya berarti kesangsian terhadap pengabaran Allah. Perhatikanlah bagaimana pengingkaran terhadap sebab telah menye-ret mereka ke dalam dosa yang besar, karena mereka mengharamkan doa. Padahal Allah memuji para wali dan hamba-hamba-Nya, karena mereka berdoa dan memohon kepada-Nya. Untuk menyanggah duga-an mereka yang batil, dapat dikatakan sebagai berikut: Ada bagian ketiga yang tidak kalian sebutkan dari dua bagian di atas, yaitu kenya-taan. Dengan kata lain, bahwa Allah menetapkan tawakkal dan doa sebagai dua sebab untuk mendapatkan apa yang diminta, dan Allah menakdirkan perolehan sesuatu jika hamba mengerjakan sebabnya. Jika dia tidak mengerjakan sebab, maka dia juga tidak memperoleh akibatnya. Hal ini seperti ketetapan Allah untuk mendapatkan anak, jika seorang laki-laki berjima' dengan wanita yang akan mengandung anaknya. Jika dia tidak berjima' dengannya, tentu Allah tidak akan menciptakan anak baginya. Allah menetapkan kenyang jika hamba makan. Jika dia tidak makan, tentu dia tidak akan kenyang. Allah menetapkan hamba masuk surga jika dia masuk Islam dan mengerja-kan amal-amal shalih. Jika tidak melakukannya, maka selamanya dia tidak akan masuk surga. Sekarang bandingkan dengan apa yang dikatakan orang-orang yang mengingkari sebab, yang setiap orang di antara mereka berkata, "Kalau memang sudahditakdirkan bagiku dan sudah ditetapkan sejak awal untuk mendapatkan anak, kenyang, menunaikan haji dan lain sebagainya, tentu semua akan terjadi pada diriku, entah aku bergerak atau diam, menikah atau membujang, bepergian atau duduk-duduk saja. Tapi jika tidak ditakdirkan bagiku, maka semua itu

juga tidak akan terjadi pada diriku, aku berbuat atau tidak berbuat." Apakah orang yang berkata seperti ini dianggap sebagai orang yang waras? Bukankah binatang lebih pandai daripada dia? Sebab binatang pun masih berusaha melakukan sebab sesuai berdasarkan petunjuk secara umum. Tawakkal merupakan sebab yang paling besar untuk mendapatkan apa yang diharapkan dan menyingkirkan apa yang tidak diinginkan. Sia-pa yang mengingkari sebab, berarti tawakkalnya tidak benar. Tapi tawakkal yang sempurna juga tidak mengandalkan sebab semata dan memutuskan hubungan hati dengannya.

3. Memantapkan hati pada pijakantauhid. Tawakkal seorang hamba tidak dianggap benar jika tauhidnya tidak benar. Bahkan hakikat tawakkal adalah tauhidnya hati. Selagi di dalam hati masih ada kaitan-kaitan syirik, maka tawakkalnya cacat. Seberapa jauh kemurnian tauhid, maka sejauh itu pula kebenaran tawakkal. Jika seorang hamba berpaling kepada selain Allah, maka hal ini akan membentuk cabang di dalam hatinya, sehingga mengurangi tawakkalnya kepada Allah karena ada-nya cabang itu. Berangkat dari sinilah muncul anggapan sebagian orang bahwa tawakkal tidak benar kecuali dengan menolak sebab secara total. Memang ini bisa dibenarkan. Tapi penolakan ini harus dari hati dan bukan dari anggota tubuh. Tawakkal tidak benar kecuali dengan menyingkirkan sebab dari hati dan kebergantungan anggota tubuh kepadanya. Jadi harus ada pemutusan dengan sebab dan juga harus ada hubungan dengan sebab.

4. Menyandarkan hati kepada Allah dan merasa tenang karena bergantung kepada-Nya, sehingga di dalam hati itu tidak ada kegelisahan karena godaan sebab dan tidak merasa tenang karena bergantung kepadanya. Tandanya, ia tidak peduli saat menghadapi sebab itu atau saat melepaskannya, hati tidak gelisah saat melepaskan apa yang disukai dan saat menghadapi apa yang dibenci, karena penyandarannya kepada Allah dan ketenangannya bergantung kepada- Nya, telah melindungi dirinya dari ketakutan. Keadaannya seperti orang yang berhadap-an dengan musuh yang tangguh dan tak mungkin dikalahkannya, lalu tiba-tiba dia melihat benteng kokoh yang terbuka pintunya, lalu Allah memasukkannya ke dalam benteng itu dan menutup pintunya. Dia melihat musuh ada di luar benteng, sehingga hatinya tidak lagi risau karena keadaannya ini. Atau seperti orang yang diberi uang oleh raja. Tapi kemudian uang pemberian itu dicuri orang lain. Lalu raja berkata kepadanya, "Tidak perlu takut, karena aku mempunyai uang yang melimpah. Jika engkau mau datang ketempatku, akan kuberikan se-berapa pun yang engkau minta." Jika dia percaya kepada raja, yakin terhadap perkataannya dan tahu gudangnya penuh uang, tentu dia tidak akan gelisah dan takut.

5. Berbaik sangka terhadap Allah. Seberapa jauh baik sangkamu terhadap Allah, maka sejauh itu pula tawakkalmu kepada-Nya. Maka sebagian ulama menafsiri tawakkal dengan baik sangka terhadap Allah. Yang benar, baik.sangka ini mengajak kepada tawakkal. Sebab tawakkal tidak bisa digambarkan datang dari orang yang berburuk sangka kepada Allah atau dari orang yang tidak mengharapkan-Nya.

6. Ketundukan dan kepasrahan hati kepada Allah serta memotong seluruh perintangnya. Karena itu ada yang menafsiri tawakkal ini dengan berkata, "Hendaknya seorang hamba di hadapan Allah seperti mayat di tangan orang yang memandikannya, yang membolak-balikkan jasadnya menurut kehendaknya, dan dia tidak mempunyai hak untuk bergerak atau mengatur. Inilah makna perkataan sebagian orang, bahwa tawakkal adalah membebaskan diri dari pengaturan, atau menyerahkan pengaturan kepada Allah. Tapi ini tidak berlaku untuk perintah dan larangan, tapi untuk hal-hal yang diperbuat Allah terhadap dirimu danbukan dalam perkaraperkara yang diperintahkan-Nya agar kamu mengerjakannya.

7. Pasrah. Ini merupakan ruh tawakkal, inti dan hakikatnya, yaitu menye rahkan semua urusannya kepada Allah, tanpa menuntut dan menentukan pilihan, bukan merasa dipaksa dan terpaksa. Kepasrahannya kepada Allah seperti kepasrahan seorang anak yang lemah tak berdaya kepada ayah dan ibunya, yang menyayangi, mencintai, menangani segala keperluannya dan melindunginya. Dia melihat penanganan orang tuanya adalah penanganan yang paling baik bagi dirinya. Maka dia tidak melihat kebaikan bagi dirinya selain dari menyerahkan semua urusannya kepada orang tuanya. Jika seorang hamba sudah sampai ke derajat ini, maka dia akan beralih ke derajat lain, yaitu ridha, yang merupakan buah tawakkal, sehingga ada yang menafsiri tawakkal dengan ridha. Berarti penafsiran ini hanya melihat sisi buah tawakkal dan manfaatnya yang paling besar. Sebab siapa yang tawakkal dengan sebenar-benarnya tawakkal, tentu dia ridha terhadap apa pun yang dilakukan wakilnya.

Syaikh kami, Ibnu Taimiyah berkata, "Yang menjadi ukuran adalah dua perkara: Tawakkal sebelumnya dan ridha sesudahnya. Siapa yang tawakkal kepada Allah sebelum berbuat dan ridha kepada-Nya setelah berbuat, berarti dia telah menegakkan ubudiyah." Inilah makna yang terkandung dalam sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sehubungan dengan doa istikharah, "Ya Allah, aku memohon pilihan yang terbaik kepada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kekuasaan kepada-Mu dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon kepada- Mu dari karunia-Mu yang agung." Ucapan ini mencerminkan tawakkal dan kepasrahan. Kelanjutan doa ini, "Sesungguhnya Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui, Engkau berkuasa dan aku tidak berkuasa, Engkau Maha Mengetahui yang gaib". Ini mencerminkan kepasrahan kepada Allah dalam masalah ilmu, daya dan kekuatan serta tawassul kepada-Nya dengan sifat-sifat-Nya, yang merupakan tawassul paling disukai orang-orang yang tawassul kepada-Nya. Kelanjutan doa istikharah ini adalah permohonan agar Allah memenuhinya jika di dalamnya ada kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Maka yang menyisa baginya hanya ridha terhadap ketetapan Allah, dengan berkata, "Tetapkanlah kebaikan bagiku apa pun bentuknya, kemudian buatlah aku ridha kepadanya." Doa istikharah ini mencakup ma'rifat tentang Allah, hakikat-hakikat iman, seperti tawakkal, kepasrahan sebelum ada

ketetapan dan ridha setelah ada ketetapan, yang merupakan buah tawakkal, sedangkan kepasrahan merupakan tanda kebenaran tawakkal. Jika dia tidak ridha, maka kepasrahannya tidak murni. Dengan menyempurnakan delapan derajat ini, berarti seorang hamba telah menyempurnakan tawakkal dan pijakan kakinya sudah mantap di tempat persinggahan ini. Namun banyak terjadi kerancuan dalam masalah yang terpuji dan sempurna ini dengan hal-hal yang tercela dan kurang. Ada kerancuan dalam masalah kepasrahan dengan penyia-nyiaan. Seorang hamba menyia- nyiakan bagiannya dengan anggapan bahwa itu merupakan kepasrahan dan tawakkal, padahal itu merupakan penyia-nyiaan dan penelantaran, bukan kepasrahan. Ada pula kerancuan tawakkal dengan kesantaian dan tidak mau memikul beban, lalu pelakunya mengira bahwa dia adalah orang yang tawakkal. Ada pula kerancuan melepaskan sebab dan meniadakannya. Melepaskan sebab merupakan gambaran tauhid sedangkan meniadakan sebab merupakan zindiq dan ateis. Melepaskan sebab artinya tidak me- nyandarkan hati kepada sebab, sedangkan meniadakan sebab berarti menyingkiri sebab itu secara total. Dan masih banyak contoh lain tentang kerancuan-kerancuan ini. Tawakkal merupakan tempat persinggahan yang paling luas dan umum kebergantungannya kepada Asma'ul-Husna. Tawakkal mempunyai kebergantungan secara khusus dengan keumuman perbuatan dan sifat-sifat Allah. Semua sifat Allah bisa dijadikan gantungan tawakkal. Maka siapa yang lebih banyak ma'rifatnya tentang Allah, maka tawakkalnya juga lebih kuat.

Banyak orang yang tawakkal justru tertipu oleh tawakkalnya. Boleh jadi seseorang bertawakkal dengan sebenar-benarnya tawakkal, namun dia tertipu. Seperti orang yang mengalihkan tawakkalnya kepada kebutuhan parsial dengan mencurahkan seluruh kekuatan tawakkalnya. Padahal dia bisa mendapatkan kebutuhan itu dengan cara yang paling sederhana. Padahal seandainya dia mencurahkan hatinya untuk tawakkal dengan menambah iman dan ilmu serta menolong agama, maka ini jauh lebih baik baginya.

Pengarang Manazilis-Sa'irin berkata, "Tawakkal adalah penyerahan urusan kepada yang berkuasa menanganinya dan menyerahkan kepercayaan kepada wakilnya. Ini merupakan tempat persinggahan orang awam yang paling sulit dan jalan yang paling lemah bagi orang-orang yang khusus. Sebab Allah telah menyerahkan semua urusan kepada Diri-Nya dan alam tidak berkuasa terhadapnya sedikit pun."

Menyerahkan kepercayaan kepada wakilnya, artinya lebih mementingkan tindakannya daripada tindakanmu dan kehendaknya daripada kehendakmu. Menyerahkan kepercayaan ini ada dua macam: Pertama, mengangkat wakil atau kepasrahan kepadanya. Kedua, menyerahkan urusan kepada orang yang ditunjuk sebagai wakil. Hal ini bisa dilihat dari dua sisi. Allah mewakilkan kepada hamba dan menunjuknya untuk menjaga apa yang diserahkan kepadanya. Sedangkan hamba menyerahkan kepercayaan kepada

Allah dan bersandar kepada-Nya. Tentang penyerahan kepercayaan Allah kepada hamba-Nya, maka Dia befirman : "Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya." (Al-An'am: 89).

Maksudnya, siapa yang melaksanakan apa yang diwahyukan Allah karena iman, mau melaksanakan dakwah, jihad dan memberikan perto- longan, maka mereka itulah yang akan diserahi Allah untuk mengemban kepercayaan ini.

Jika engkau bertanya, "Lalu bolehkah jika dikatakan, 'Seseorang menjadi wakil Allah?'" Dapat dijawab, "Tidak. Sebab yang disebut wakil adalah orang yang bertindak atas nama yang menunjuknya sebagai wakil lewat cara perwakilan. Padahal Allah tidak mempunyai wakil dan tak ada seorang pun yang menggantikan kedudukan-Nya, tapi justru Allahlah yang menjadi pengganti hamba, sebagaimana yang disebutkan dalam doa ketika hendak mengadakan perjalanan, "Ya Allah, Engkau teman dalam perjalanan dan pengganti di tengah keluarga."

Sedangkan penyerahan kepercayaan hamba kepada Allah artinya kepasrahan hamba kepada-Nya dan membebaskan dirinya dari sikap tertentu dan menegakkan Rububiyah dengan ubudiyah. Inilah makna Allah sebagai wakil hamba. Artinya, Allahlah yang mencukupinya, menangani segala urusan dan kemaslahatannya. Sedangkan perwakilan yang diserahkan Allah kepada hamba merupakan perintah dan ubudiyah.

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, ada tiga derajat tawakkal, yang masing-masing berjalan menurut perjalanan manusia secara umum, yaitu:

1. Tawakkal yang disertai permintaan dan memperhatikan sebab, menyibukkan hati dengan sebab, disertai rasa takut. Orang yang memiliki derajat ini bertawakkal kepada Allah dan tidak meninggalkan sebab. Bahkan dia mencari sebab itu dengan niat un-tuk menyibukkan hati dengan sebab, disertai rasa takut andaikan hati disibukkan oleh nafsu. Sebab jika hati tidak sibuk dengan sesuatu yang bermanfaat, maka ia sibuk dengan sesuatu yang berbahaya. Apalagi jika ada waktu senggang dan disertai semangat keremajaan clan kecenderungan jiwa kepada nafsu serta lalai. Mengerjakan sebab yang diperintahkan merupakan cermin ubudiyah dan merupakan hak Allah atas hamba-Nya, yang karenanya ada pahala dan siksa.

2. Tawakkal dengan meniadakan permintaan, menutup mata dari sebab, berusaha membenahi tawakkal, menundukkan nafsu dan menjaga halhal yang wajib. Meniadakan permintaan artinya permintaan kepada hamba dan bu-kan permintaan menurut hak. Dia tidak meminta sesuatu pun dari se- seorang. Pada dasarnya permintaan kepada hamba itu dimakruhkan, tapi bisa mubah jika sangat diperlukan, seperti diperbolehkannya makan bangkai bagi orang yang terpaksa. Ahmad menetapkan bahwa permintaan kepada hamba ini tidak wajib. Syaikh kami memberi isyarat, bahwa permintaan itu tidak layak. Saya mendengarnya pernah berka-ta tentang permintaan ini, "Itu

merupakan kezhaliman dalam hak Rububiyah dan kezhaliman terhadap hak hamba serta kezhaliman terhadap hak diri sendiri." Disebut kezhaliman dalam hak Rububiyah, karena permintaan itu mengandung ketundukan kepada selain Allah dan mengalirkan air muka kepada selain penciptanya. Mengalihkan permintaan terhadap Allah kepada permintaan terhadap hamba, bias mendatangkan murka Allah, jika kebutuhan hidupnya masih tercu-kupi pada hari itu. Disebut kezhaliman terhadap hak hamba, karena permintaan itu merupakan tuntutan agar dia mengeluarkan apa yang diminta. Padahal apa yang diminta itu merupakan sesuatu yang disukai pemiliknya. Disebut kezhaliman terhadap hak diri sendiri, karena permintaan itu sama dengan melecehkan harga dirinya. Permintaan makhluk kepada makhluk merupakan permintaan orang fakir kepada orang fakir lainnya. Tapi jika engkau meminta kepada Allah, maka engkau justru menjadi mulia di hadapan-Nya, Dia ridha kepadamu dan mencintaimu. Tapi jika engkau meminta kepada makhluk, maka engkau menjadi kerdil di hadapannya dan dia kurang suka kepadamu, sebagaimana yang dikatakan dalam syair, "Allah murka jika engkau tak meminta kepada-Nya, anak Adam justru murka jika engkau meminta kepadanya." Hamba yang buruk ialah yang biasa meminta kepada hamba yang Iain, padahal dia tahu Tuannya mempunyai apa pun yang dikehendakinya.

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Auf bin Malik Al-Asyja'y Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Kami sedang berada di sisi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersama sembilan, delapan atau tujuh orang. Beliau bertanya, "Mengapa kalian tidak berbaiat kepada Rasul Allah?" Memang pada masa pelaksanaan baiat, kami masih terlalu kecil. Kami berkata, "Kami sudah berbaiat kepadamu wahai Rasulullah." Beliau bertanya lagi, "Mengapa kalian tidak berbaiat kepada Rasul Allah?" Kami membentangkan tangan seraya berkata, "Kami telah berbaiat kepadamu wahai Rasulullah. Lalu untuk apa kami berbaiat kepada engkau?" Beliau bersabda, "Agar kalian menyembah Allah, tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, menjaga shalat lima waktu dan janganlah kalian meminta sesuatu pun kepada manusia." Auf bin Malik berkata, "Aku pernah melihat sebagian di antara mereka, ketika cambuknya jatuh, maka dia tidak meminta orang lain untuk mengambilkannya." dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Meminta-minta senantiasa dilakukan salah seorang di antara kalian hingga dia bersua Allah, sementara di mukanya tidak ada sekerat daging pun."

Di dalam Ash-Shahihain juga disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari atas mimbar tatkala menyebutkan masalah shadaqah dan menjaga diri untuk tidak meminta-minta,"Tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah."

Di dalam Shahih Muslim disebutkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Barangsiapa meminta-minta kepada manusia karena menginginkan harta yang banyak, maka dia hanyalah meminta bara api.

Maka hendaklah dia menganggapnya sedikit atau menganggapnya banyak."

Dan masih banyak hadits-hadits lain yang senada, yang menjelaskan kehinaan meminta-minta kepada manusia. Tawakkal dengan meninggalkan permintaan ini merupakan ubudiyah yang murni.

Perkataannya, "Menutup mata dari sebab, berusaha membenahi tawakkal", artinya tidak menyibukkan diri dengan seluruh sebab, kare-na hendak membenahi tawakkal dan menguji jiwa. Sebab ada orang yang memperhatikan sebab, dan dia mengira telah tawakkal, padahal dia belum tawakkal karena keyakinannya terhadap apa yang diketahuinya. Jika dia berpaling dari sebab, maka tawakkalnya dianggap benar. Inilah yang diisyaratkan sebagian ahli ibadah, yang mengarungi gu-run tanpa membawa bekal apa pun, karena mereka menganggap bekal itu bisa menodai tawakkal. Kisah tentang hal ini banyak dinukil dari mereka. Inilah Ibrahim Al-Khawwash, orang yang sangat detail dalam tawakkalnya. Memang dia mengarungi gurun tanpa membawa bekal. Tapi dia tidak pernah ketinggalan membawa benang, jarum, kantong kulit dan gunting. Ada seseorang yang bertanya kepadanya, "Mengapa engkau membawa barang-barang itu, sementara engkau tidak membawa bekal yang lain?" Dia menjawab, "Yang seperti ini tidak mengurangi tawakkal. Sebab Allah telah menetapkan beberapa kewajiban kepada

kita. Orang fakir hanya mempunyai satu lembar pakaian. Boleh jadi pakaiannya itu robek. Jika dia tidak mempunyai jarum dan benang, maka auratnya akan kelihatan sehingga shalatnya tidak sah. Jika dia tidak membawa kantong kulit, maka dia tidak bisa bersuci. Jika engkau melihat orang fakir yang tidak mempunyai jarum, benang dan kantong kulit, maka curigailah shalatnya."

Perhatikanlah bagaimana dia merasa bahwa agamanya belum benar kecuali dengan sebab? Membebaskan diri dari sebab secara total merupakan tindakan yang ditentang akal, syariat dan indera. Memang adakalanya seseorang memiliki keyakinan yang amat kuat terhadap Allah, yang mendorongnya untuk meninggalkan sebab yang selayaknya seperti orang yang menantang bahaya. Saat itu dia memasrahkan diri kepada Allah dan tidak mengandalkan dirinya sama sekali. Lalu datang pertolongan dari Allah. Tapi keadaan ini tidak terjadi secara terus-menerus. Kisah-kisah yang biasanya dinukil orang-orang sufi berkaitan dengan masalah ini, bersifat parsial dan insidental, bukan merupakan jalan yang diperintahkan untuk diikuti dan tidak bisa ditetapkan. Sehingga hal ini menimbulkan cobaan bagi dua golongan manusia: Pertama, golongan yang menganggap kisah-kisah itu merupakan jalan kehidupanyangpasti, sehingga mereka berbuat hal yang sama. Kedua, golongan yang menyalahi syariat dan akal, yang menganggap keadaannya lebih sempurna daripada keadaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat.

  1. Tawakkal dengan mengetahui tawakkal, membebaskan diri dari noda tawakkal, menyadari bahwa kekuasaan Allah terhadap segala sesuatu merupakan kekuasaan yang

agung, tidak ada sekutu yang menyertai- Nya, bahkan sekutu-Nya bersandar kepada-Nya. Urgensi ubudiyah ialah jika hamba mengetahui bahwa Allah adalah satu-satunya yang merajai segala sesuatu. Artinya, selagi orang yang berada pada derajat ini memutuskan sebab dan permintaan dan sudah melewati dua derajat sebelumnya, maka tawakkalnya lebih baik daripada tawakkal dua derajat sebelumnya. Setelah dia mengetahui hakikat tawakkal dan mengetahui pendorong untuk membebaskan diri dari noda tawakkal, atau yang tadinya tidak mengetahui noda tawakkal lalu mengetahui hakikatnya, berarti padasaat itu tawakkalnya sudah memiliki ma'rifat yang menyerunya untuk membebaskan diri dari noda tawakkal. Kemudian ma'rifat untuk mengetahui noda tawakkal ialah menyadari bahwa kekuasaan Allah terhadap segala sesuatu merupakan kekuasaan yang agung. Kekuasaan yang memiliki kekuatan, pencegahan dan penundukan, yang menolak disertai sekutu selain-Nya, dan Dia Mahaagung dalam kekuasaan-Nya.

Tafwidh

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Tafwidh ini mengandungkan isyarat yang amat lembut dan maknanya lebih luas dari tawakkal. Sebab tawakkal setelah ada sebab, sedangkan tafwidh se-belum ada sebab dan sesudahnya, yang juga disebut istislam (kepasrahan diri atau tunduk).

Tawakkal merupakan eabang dari kepasrahan diri ini." Artinya, orang yang pasrah membebaskan diri dari daya dan kekuatan, menyerahkan urusan kepada yang dipasrahi, tidak menempatkan dirinya pada posisi wakil yang menangani kemaslahatannya. Hal ini ber-beda dengan tawakkal, karena orang yang mewakili menggantikan posisi orang yang diwakili.

Tafwidh artinya keluar dari daya dan kekuatan, menyerahkan semuaurusan kepada yang berkuasa atas urusan itu. Maka bisa dikatakan, "Begitu pula tawakkal. Kesan negatif yang diberikan kepada tawakkal juga berlaku untuk pemasrahan. Bagaimana mungkin engkau memasrahkan sesuatu yang sebenarnya engkau tidak memilikinya sama sekali kepada orang yang berhak memilikinya? Bisakah seorang rakyat biasa memasrahkan kekuasaan kepada raja atau penguasa pada masanya?

Jadi kekurangan dalam tafwidh justru lebih besardaripada kekurang-an dalam tawakkal. Bahkan sekiranya ada yang berkata, "Tawakkal lebih tinggi kedudukannya daripada tafwidh dan lebih agung", justru perkataan yang tepat. Karena itu Al-Qur'an banyak berisi perintah untuk tawakkal dan pengabaran tentang para wali Allah yang keadaannya selalu tawakkal.

Sementara tafwidh ini hanya disebutkan sekali di dalam Al-Qur'an, yaitu kisah orang Mukmin dari pengikut Fir'aun. Maka kami menyimpulkan bahwa tawakkal lebih tinggi dan lebih luas maknanya daripada tafwidh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar