Selasa, 02 November 2010

MADARIJUS SOLIHIN ( PENDAKIAN MENUJU ALLAH 8 )

Hayat

Pengarang Manazilus-Sa'irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah al-hayat (kehidupan) ini : "Dan, apakah orang yang sudah mati lalu dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya?" (Al-An'am: 122).

Sisi pelandasannya kepada ayat ini sangat jelas. Maksudnya siapa yang hatinya mati, tidak memiliki ruh ilmu, petunjuk dan iman, maka kemudian Allah menghidupkannya dengan ruh lain, tidak seperti ruh yang diberikan Allah untuk menghidupkan jasadnya, yaitu ruh ma'rifat dan tauhid, cinta dan beribadah kepada-Nya semata tanpa menyekutukan-Nya. Sebab tidak ada kehidupan bagi ruh kecuali yang seperti demikian itu. Jika tidak, maka ia termasuk orang-orang yang mati.

Karena itu Allah mensifati orang yang tidak memiliki kehidupan ini sama dengan orang yang sudah mati : "Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang sudah mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan." (An-Naml: 80).

Allah menyebut wahyu-Nya sebagai ruh, karena dengan wahyu ini dapat diperoleh kehidupan hati dan jiwa. Firman-Nya : "Dan, demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al- Kitab (Al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami." (Asy-Syura: 52).

Allah memberitahukan bahwa wahyu adalah ruh yang menimbulkan kehidupan, bahwa wahyu adalah cahaya yang menghasilkan terang.

Wahyu adalah kehidupan ruh sebagai ruh merupakan kehidupan bagi badan. Karena itu siapa yang kehilangan ruh ini, maka dia kehilangan kehidupan yang bermanfaat di dunia dan di akhirat. Hidupnya di dunia seperti kehidupan binatang dan merupakan kehidupan yang sempit, sedangkan di akhirat dia akan mendapatkan neraka Jahannam, tidak mati dan tidak pula hidup.

Allah menjadikan kehidupan yang baik hanya bagi orang-orang yang mengetahui-Nya, mencintai dan beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya : "Barangsiapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (An-Nahl: 97).

Kehidupan yang baik ada yang menafsiri dengan kepuasan dan ridha, rezki yang baik dan lain sebagainya. Yang benar adalah kehidupan hati dan kenikmatannya serta

kegembiraannya karena iman kepada Allah, mengetahui-Nya, mencintai-Nya, bersandar, pasrah dan tawakal kepada- Nya. Tidak ada kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan seperti ini, tidak ada kenikmatan yang lebih tinggi dari kenikmatan hidup seperti ini selain dari kenikmatan surga. Jika kehidupan hati merupakan kehidupan yang baik dan diikuti dengan kehidupan anggota tubuh, maka itulah hak miliknya yang paling beharga. Karena itu Allah menjadikan kehidupan yang sempit bagi orang yang berpaling dari mengingat-Nya, yaitu kebalikan dari kehidupan yang baik.

Kehidupan yang baik ini berlaku di tiga alam: Di dunia, di alam Barzakh dan di akhirat. Begitu pula kehidupan yang sempit, yang juga berlaku di tiga alam tersebut. Orangorang berbuat kebaikan berada dalam kenikmatan di sini dan di sana, dan orang-orang yang berbuat keburukan menderita di sini dan di sana.

Mengingat Allah, mencintai dan menaatinya merupakan jaminan bagi kehidupan yang lebih baik di dunia dan di akhirat. Sedangkan berpaling dari-Nya, melalaikan dan mendurhakai-Nya sudah cukup untuk mendatangkan kehidupan yang sempit di dunia dan di akhirat.

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Kehidupan dalam masalah ini diisyaratkan kepada tiga perkara:

Kehidupan yang pertama, yaitu kehidupan ilmu dari kematian kebodohan, yang memiliki tiga napas: Napas ketakutan, napas harapan dan napas cinta."

Yang dimaksudkan kehidupan dalam masalah ini adalah kehidupan khusus yang dibicarakan golongan ini, bukan kehidupan secara umum yang menjadi milik semua jenis hewan dan tumbuh-tumbuhan. Kehidupan ini mempunyai beberapa tingkatan, yaitu:

1. Kehidupan bumi dengan tetumbuhan. Firman-Nya : "Dan, Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu di-hidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran)." (An-Nahl: 65).

Allah menjadi kehidupan ini sebagai bukti tentang kehidupan pada hari berbangkit. Ini merupakan kehidupan yang hakiki dan biasa diungkapkan dalam berbagai bahasa manusia.

2. Kehidupan pertumbuhan dan pencarian makanan. Ini merupakan kehidupan persekutuan antara tetumbuhan dan hewan yang hidup dengan makanan. Firman Allah : "Dan, dari air Kami jadikan segala sesuatu bisa hidup." (Al-Anbiya': 30).

3. Kehidupan hewan yang menyantap makanan dengan takaran yang mencukupinya untuk menunjang pertumbuhan dan kebutuhannya terhadap makanan. Karena itu dia akan menderita jika melakukan halhal yang memang membuatnya menderita, atau tidak mendapatkan apa yang diinginkan dan lain sebagainya. Kehidupan ini di atas kehidupan tetumbuhan. Kehidupan ini bisa menguat dan melemah pada diri satu hewan,

tergantung dari keadaannya. Kehidupannya setelah lahir lebih sempurna daripada kehidupannya selagi berada di dalam rahim ibu. Kehidupannya dalam keadaan sehat, lebih sempurna daripada kehidupannya saat sakit. Kehidupan pada tingkatan ini sangat berbedabeda dengan perbedaan yang amat jauh. Kehidupan ular masih lebih baik daripada kehidupan nyamuk. Siapa yang tidak sependapat dengan hal ini, berarti dia menentang perasaan dan akalnya.

4. Kehidupan hewan yang tidak membutuhkan makanan dan mi-numan, seperti kehidupan para malaikat dan kehidupan ruh setelah berpisah dari badannya. Kehidupan ini lebih baik daripada kehidupan hewan yang membutuhkan makanan. Karena itu yang memiliki kehidupan ini tidak pernah mengenal lelah dan mengantuk serta sela waktu. Fir-man- Nya tentang para malaikat : "Mereka selalu bertasbih malam dan siang tak ada henti-hentinya." (Al-Anbiya': 29).

Begitu pula ruh yang sudah lepas dari badan, maka ia akan menjalani kehidupan lain yang lebih sempurna, jika memang ia mendapat kebahagiaan. jika termasuk ruh yang menderita, maka ia akan mendapatkan siksa.

5. Kehidupan seperti yang diisyaratkan pengarang Manazilus Sa’irin, yaitu kehidupan ilmu dari kematian kebodohan, karena kebodohan merupakan kematian bagi orangnya. Orang yang bodoh, mati hati dan ruhnya, sekalipun badannya hidup. Badannya merupakan kuburan yang berjalan bersamanya di muka bumi. Allah menyerupakan orang yang hatinya mati seperti jasad yang terbujur di dalam kubur. Ruhnya telah mati dan badan nya menjadi kuburan bagi hati itu. Sebagaimana jasad di dalam kubur yang tidak bisa mendengar, maka orang yang hatinya sudah mati juga tidak bisa mendengar. Jika kehidupan ini merupakan kehidupan rasa dan gerakan serta segala kelazimannya, maka hati ini tidak bisa merasakan ilmu dan iman serta tidak dapat bergerak untuk itu.

Al-Imam Ahmad menyebutkan di dalam Kitab Zuhud, dari perka-taan Luqman, bahwa dia berkata kepada anaknya, "Wahai anakku, bergaullah dengan orang-orang yang berilmu dan berkumpullah bersama mereka, karena Allah menghidupkan hati dengan cahaya hikmah, sebagaimana Dia menghidupkan bumi dengan air hujan."

Mu'adz bin Jabal berkata, "Pelajarilah ilmu, karena mempelajarinya karena Allah merupakan wujud ketakutan kepada-Nya, mencarinya adalah ibadah, mengingatnya adalah tasbih, mengkajinya adalah jihad, mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahui adalah shadaqah dan membiayai orang yang berilmu adalah taqarrub. Ilmu merupakan petunjuk yang halal dan yang haram, menara jalan para penghuni surga, teman pada saat takut, rekan saat sendirian, bukti pada saat lapang dan sempit, senjata saat menghadapi musuh dan hiasan di samping teman-teman. Dengan ilmu Allah meninggikan beberapa kaum dan menjadikan mereka pelopor dalam kebaikan dan pemimpin yang jejaknya diikuti. Perbuatan mereka ditiru dan pendapat mereka diandalkan. Para malaikat menyukai perkumpulan mereka dan mengusap dengan

sayap-sayapnya. Siapa pun memintakan ampunan bagi mereka, termasuk pula ikan paus di lautan dan binatang buas di daratan. Sebab ilmu merupakan kehidupan hati dari kebodohan dan pelita bagi penglihatan dari kegelapan. Dengan ilmu seorang hamba bisa mencapai kedudukan yang paling baik dan dera-jat yang tinggi di dunia serta di akhirat. Memikirkan ilmu menyerupai puasa dan mengkajinya menyerupai shalat malam. Dengan ilmu, tali per-saudaraan dapat dijalin, dengan ilmu dapat diketahui mana yang halal dan mana yang haram. Ilmu adalah imam amal dan amal mengikutinya. Orang-orang yang berbahagia diberi ilham ilmu dan orang-orang yang menderita tidak mendapatkannya." (Diriwayatkan Ath-Thabrany dan Ibnu Abdil- Barr serta lain-lainnya serta dimarfu'kan kepada Nabi Shal-lallahu Alaihi wa Sallam).

6. Kehidupan kehendak dan hasrat. Kelemahan kehendak termasuk kelemahan kehidupan hati. Selagi hati memiliki kehidupan yang lebih sempurna, maka hasratnya juga lebih tinggi, kehendak dan cintanya lebih kuat. Kehendak dan cinta mengikuti perasaan terhadap apa yang dikehen-daki dan yang dicintai. Kekuatan kehendak dan perasaan merupakan bukti kekuatan kehidupan dan lemahnya kehendak dan perasaan merupakan bukti lemahnya kehidupan. Kehidupan yang baik hanya bisa diperoleh dengan hasrat yang tinggi, cinta yang murni dan kehendak yang tulus. Orang yang paling hina kehidupannya adalah yang paling hina hasratnya, sehingga kehidupan binatang justru lebih baik daripada hidupnya.

Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Siapa yang senantiasa mengucapkan, 'Ya hayyu ya qayyum, la ilaha illa anta', setiap hari sebanyak empat puluh kali setelah shalat sunat fajar hingga waktu shalat subuh, maka Allah akan menghidupkan hatinya." Sebagaimana Allah menjadikan kehidupan badan dengan makanan dan minuman, maka kehidupan hati ialah dengan terus-menerus berdzikir, pasrah kepada Allah dan meninggalkan dosa. Bergantung kepada kehinaan dan syahwat akan melemahkan kehidupan ini. Kelemahan senantiasa menyertainya hingga dia mati. Di antara tanda kematiannya, dia tidak menunjukkan yang ma'ruf dan tidak mengingkari yang mungkar, sebagaimana yang dikatakan Abdullah bin Mas'ud, "Tahukah kalian siapakah orang yang hatinya mati?" Orang-orang bertanya, "Siapakah dia?" Dia menjawab, "Orang yang tidak menunjukkan yang ma'ruf dan yang tidak mengingkari kemungkaran."

Yang disebut orang jantan ialah yang takut kematian hatinya, bukan kematian badannya. Sebab mayoritas manusia takut kematian badan dan tidak peduli terhadap kematian hati, tidak mengenal kehidupan selain dari kehidupan yang sejalan dengan tabiatnya. Ini termasuk sebagian kematian hati dan ruh. Kehidupan yang sejalan dengan tabiat ini diibaratkan bayangan teduh yang terlalu cepat berlalu dan sepertitumbuhan perdu yang mudah kering atau seperti mimpi dalam tidur yang sepertinya benar-benar sebuah kenyataan. Jika sudah bangun, maka dia baru sadar bahwa ternyata itu hanya

sebuah mimpi. Umar bin Al-Khaththab berkata, "Sekira-nya kehidupan dunia ini, sejak pertama kali hingga akhirnya, diberikan kepada satu orang saja, kemudian tiba-tiba kematian menghampirinya, maka hal itu serupa dengan orangyang melihat sesuatu yang menyenang-kannya dalam mimpi, kemudian dia pun terbangun, dan ternyata di tangannya tidak ada sesuatu pun."

7. Kehidupan akhlak dan sifat-sifat yang terpuji, yang merupakan kehidupan yang mantap bagi orang yang memilikinya. Dia tidak perlu dipaksa dan tidak kesulitan untuk naik ke derajat kesempurnaan, karena dia sudah memenuhi akhlak dan sifat-sifat kesempurnaan itu. Kehidupan orang yang telah membentuk dirinya untuk malu, menjaga kehormatan, murah hati, dermawan, jujur dan memenuhi janji, lebih sempurna dari-pada kehidupan orang yang memaksa dirinya dan harus menundukkan tabiatnya, agar bisa seperti itu. Hal ini seperti orang yang terserang suatu penyakit lalu dia menyembuhkan dengan kebalikannya. Selagi akhlak-akhlak ini lebih sempurna pada diri seseorang, maka kehidupannya lebih kuat dan lebih sempurna.

8. Kehidupan kegembiraan dan kesenangan karena Allah, yang ter-jadi setelah beruntung mendapatkan apa yang dicari, sehingga yang mencarinya menjadi gembira dan senang. Tidak ada kehidupan yang ber-manfaat pada selain hal ini. Semua manusia berputar-putar di sekeliling kehidupan ini, dan mereka semua telah salah jalan, tidak sampai ke tempat tujuan, kecuali sebagian kecil saja di antara mereka. Pencarian mereka berkisar di sekitar kehidupan ini, padahal banyak di antara mereka yang juga tidak mendapatkannya. Tingkatan ini merupakan tingkatan kehidupan yang paling tinggi. Tetapi orang yang berpikir bagaimana cara untuk menggapainya tertawan di negeri syahwat dan angan-angannya terhenti karena tenggelam dalam kelezatan, agamanya tergadaikan dengan kedurhakaan.

Jika engkau katakan, "Saya merasa respek kepada kehidupan yang tidak terbelenggu di antara mayat-mayat yang hidup. Apakah engkau sudi menjelaskan jalannya, agar saya bisa mencicipi sebagian rasanya? Karena apa yang saya rasakan dalam kehidupan ini tak lebih dari kehidupan binatang, dan bahkan kami lebih binatang daripada binatang." Dapat saya jawab, bahwa kerinduanmu terhadap kehidupan seper-ti yang engkau inginkan itu dan upaya mencari ilmu dan ma'rifatnya merupakan bukti kehidupanmu, dan engkau tidak termasuk mayatmayat yang hidup. Jalan yang pertama kali harus dilalui hamba adalah mengenal Allah, mengikuti jalan yang bisa menghantarkannya ke sana, membakar kegelapan tabiat dengan sinar bashirah dan dengan hatinya dia bisa menyaksikan kehidupan akhirat, tidak bergantung kepada hal-hal yang fana, senantiasa meluruskan taubat, melaksanakan perintah yang zhahir maupun yang batin, meninggalkan larangan yang zhahir dan yang batin, senantiasa menjaga hati, tidak menenggang rasa terhadap lintasan hati yang dibenci Allah dan hal-hal yang berlebih yang tidak bermanfaat. Dalam keadaan seperti itu hatinya menjadi bebas untuk

mengingat Allah, mencintai dan bersandar kepada-Nya, keluar dari bilik tabiat dan nafsu-nya, berpindah ke angkasa kebersamaan dengan Allah dan mengingat-Nya. Setelah itu Allah menganugerahinya kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, menjadikan beliau sebagai imam, pemimpin, pengajardanpanutannya, menyimakperikehidupan beliau, memperhati-kan bagaimana turunnya wahyu, mendalami sifat, akhlak dan adab beliau di setiap waktu, ibadah dan pergaulan beliau di tengah keluarga dan para shahabat, sehingga seakan-akan dia merasa berada di tengah para shaha-bat yang bersama beliau.

Setelah itu Allah akan membukakan pemahaman terhadap wahyu yang diturunkan. Jika dia membaca satu surat Al-Qur'an, maka hatinya ikut menyaksikan apa yang diturunkan dan apa yang dikehendaki di dalamnya. Kemudian di dalam hatinya terbuka mata lain yang bias menyaksikan sifat-sifat Allah dan keagungan-Nya, sehingga seakanakan hatinya dapat melihat seperti melihat dengan mata kepala.

9. Kehidupan ruh setelah meninggalkan badan dan terbebas dari penjara (dunia) yang sempit ini. Di balik penjara ini ada alam yang amat luas, ruh, rezki dan ketenangan. Perbandingan dunia ini dengan alam sesudahnya seperti rahim ibu dan dunia ini atau bahkan lebih sempit lagi. Sebagian orang arif berkata, "Kesegeraanmu keluar dari dunia ini seperti kesegeraanmu keluar dari penjara yang sempit untuk bertemu dengan orang-orangyang engkau cintai, lalu berkumpul bersama merekadi taman yang asri." Allah befirman tentang kehidupan ini : "Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketentraman danrezki serta surga kenikmatan." (Al-Waqi'ah: 88-89).

Puncak dari kebaikan kehidupan ini adalah kebersamaan dengan Ar- Rafiqul-A'la (Pendamping Yang Mahatinggi) dan meninggalkan pendamping yang hina.

Berusaha dalam umur yang relatif pendek, masa yang singkat, dengan mengemban beban kesulitan dan kesukaran, semata dimaksudkan untuk mendapatkan kehidupan ini. Ilmu dan amal sekedar sebagai sarana untuk menuju ke sana.

Pengetahuan tentang kehidupan ini sampai kepada kita lewat pengabaran Ilahy, yang dibawa makhluk yang paling sempurna dan paling mengetahui. Kejadian-kejadiannya merasuk ke dalam hati orang-orang yang beriman, hingga seakan-akan mereka dapat melihatnya dengan mata kepala. Maka jiwa mereka lari dari lindungan yang cepat berakhir dan angan-angan yang cepat berlalu ini, karena menghendaki kehidupan ini dan mendapatkan kesenangannya.

Demi Allah, orang yang pergi menuju negeri yang dikenal adil dan subur serta menjanjikan kesenangan, tentu akan sabar dalam menghadapi segala kesulitan dan pesona di tengah perjalanannya. Dia meninggalkan apa yang sedang dibutuhkan orang-orang yang hanya duduk di tempatnya dan memenuhi seruan orang yang memanggilnya, "Hayya alash-shalah". Dia tinggalkan apa pun yang disenanginya agar

segera sampai ke tujuan. Demi Allah, tidak ada yang sulit dan berat dalam umur yang amat singkat ini, yang bisa diibaratkan sesaat dari waktu siang. Firman Allah : "Pada hari mereka melihat adzab yang diancamkan kepada mereka, seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari." (Al-Ahqaf: 35).

Di antara kebaikan kehidupan ini dan kenikmatannya seperti yang disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam : "Tidaklah ada jiwa yang meninggal (yang mendapat kebaikan di sisi Allah) senang untuk kembali ke dunia dan walaupun ia mendapatkan dunia serta seisinya, selain dari orang yang mati syahid. Dia berangan-angan dapat kembali lagi ke dunia, karena dia melihat kemuliaan Allah yang diberikan kepadanya."

Dia ingin kembali ke dunia agar dapat berjihad sekali lagi lalu mati syahid. Dalam tingkatan ini dapat diketahui kehidupan orang-orang yang mati syahid. Mereka mendapat rezki di sisi Allah dan itumerupakan kehidupan yang lebih sempurna serta lebih baik daripada kehidupan mereka di dunia. Sekalipun jasad mereka berceceran, daging tercabik-cabik, sendi-sendi patah dan tulang mereka berserakan, tapi amal mereka tidak sia-sia. Allah befirman : "Dan, janganlah kalian mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kalian tidak menyadarinya." (Al-Baqarah: 154).

Jika seperti ini kehidupan orang-orang yang mati syahid dan yang mengikuti para rasul, lalu apa perkiraanmu tentang kehidupan para rasul sendiri di alam Barzakh? Yang pasti, para rasul, syuhada' dan shiddiqin memiliki kehidupan yang lebih sempuma setelah mereka terbangun dari tidur yang hanya sebentar di dunia.

10. Kehidupan yang abadi dan kekal setelah melewati alam ini dan setelah dunia serta segenap penghuninya berpindah ke tempat tinggal yang kekal. Ini merupakan kehidupan yang telah dilewati orang-orang yang lebih dahulu dan menjadi ajang perlombaan orang-orang yang suka berlomba. Inilah kehidupan yang hendak kami bahas dan yang diserukan kitab-kitab samawi serta para rasul. Inilah kehidupan yang dikatakan orang-orang yang tidak sempat bersiap-siap untuk menghadapinya : "Apabila bumi diguncangkan berturut-turut, dan datanglah Rabbmu, sedang malaikat berbaris-baris, danpada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam, dan pada hari itu ingatlah manusia, tetapi tidak berguna lagi mengingatitu baginya. Dia mengatakan, 'Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku ini'. Makapadahari itu tidak seorangpun yang menyiksa seperti siksa-Nya, dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya." (Al-Fajr: 21-24).

Kehidupan dunia dibandingkan dengan kehidupan yang kekal ini seperti yang disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam : "Tidaklah dunia di akhirat melainkan seperti salah seorang di antarakalian yang mencelupkan jari telunjuknya di air, lalu perhatikanlah apa yang menyisa saat dia menarik jarinya?"

Jika akhirat bisa bernapas, maka dunia ini merupakan salah satu dari hembusan napasnya. Orang yang berbahagia menghembuskan napas kenikmatannya, dan dalam napas inilah mereka beramal. Orang-orang yang menderita menghembuskan napas siksanya, dan dalam napas inilah mereka berbuat.

Jika ada yang bertanya, apa sebabnya jiwa manusia tertinggal untuk mencari kehidupan ini dan sama sekali tidak terbetik di dalamnya? Mengapa ia justru menghindarinya? Apa sebab kesenangannya kepada kehidupan yang fana dan yang pasti berakhir, yang diibaratkan hayalan atau mimpi yang berlalu? Apakah karena ada yang tidak beres dalam menggambarkan dan merasakannya? Atau karena ada pendustaan terhadap kehidupan itu? Ataukah karena ada yang mengganjal di dalam akal atau ada kebutaan? Ataukah karena lebih mementingkan kehidupan yang ada dan tampak mata serta mengabaikan yang belum nyata dan yang hanya bisa diketahui dengan iman?

Ada yang menjawab, semua itu bisa menjadi sebab yang tersusun menjadi satu bagian. Secara umum sebabnya ada dua macam:

- Sebab yang paling kuat adalah iman yang lemah. Karena iman merupakan ruh amal, pembangkit amal, yang memerintahkan kepada amal yang paling baik dan yang mencegah dari amal yang paling buruk, maka sejauh mana kekuatan iman, sejauh itu pula ada perintah dan larangan terhadap orangnya. Jika iman kuat, maka kerinduan terhadap kehidupan ini juga semakin kuat.

- Adanya kelalaian di dalam hati, karena kelalaian merupakan tidurnya hati. Karena itu engkau melihat orang yang bangun dalam perasaannya, yang tidur dalam kenyataannya, lalu engkau mengiranya terbangun padahal dia tidur. Jika di dalam hati ada kekuatan kehidupan, maka ia tidak tidur sekalipun badannya tidur. Kesempumaan hidup seperti ini adalah hidupnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, begitu pula orang yang hatinya dihidupkan Allah dengan cara mencintai-Nya dan mengikuti risalah-Nya.

Kelalaian merupakan tidurnya hati untuk mencari kehidupan ini dan sekaligus merupakan hijab baginya. Hijab ini bisa disingkap dengan dzikir.

Jika dzikir, maka hijabnya semakin tebal, hingga hijab itu menjadi kesibukan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Hijab ini harus segera disingkirkan. Jika tidak segera disingkirkan dan berubah menjadi dosa besar, maka akan mendatangkan kemurkaan Allah.

Kembali ke pembahasan semula, bahwa kehidupan macam pertama mempunyai tiga jenis napas: Napas ketakutan, napas harapan dan napas cinta. Karena setiap hewan harus bernapas, dan napas ini merupakan keharusan hidup, maka napas-napas kehidupan ini diisyaratkan kepada tiga macam napas : Pertama: Napas ketakutan. Sumbernya adalah menge-tahui ancaman dan apa yang dijanjikan Allah kepada orang yang lebih mementingkan dunia daripada akhirat, yang lebih mementingkan makh-luk daripada

Khaliq, yang lebih mementingkan nafsu daripada petunjuk. Kedua: Napas harapan, yang sumbernya adalah melihat janji,berbaik sangka kepada Allah, memperhatikan apa yang dijanjikan Allah kepada orang yang lebih mementingkan Allah, Rasul-Nya dan hari akhirat, menjadikan petunjuk sebagai hakim bagi hawa nafsu, menjadikan wahyu sebagai hakim bagi pendapat, menjadikan As-Sunnah sebagai hakim bagi bid'ah. Ketiga: Napas cinta, yang sumbernya adalah melihat asma' dan sifat, menyaksikan nikmat dan karunia.

Jika seorang hamba mengingat dosanya, maka dia menghembuskan napas ketakutan. Jika mengingat rahmat Allah dan keluasan ampunan-Nya, maka dia menghembuskan napas harapan. Jika mengingat keindah-an, keagungan dan kesempurnaan-Nya, maka dia menghembuskan napas cinta.

Maka hendaklah setiap hamba menimbang imannya dengan tiga macam napas ini, agar dia mengetahui kadar imannya. Sesungguhnya jiwa itu diciptakan untuk mencintai keindahan dan berhias. Allah adalah indah, bahkan Dia memiliki keindahan yang sempurna, keindahan dzat, sifat, perbuatan dan asma'. Jika keindahan seluruh makhluk terhimpun pada diri seseorang, lalu keindahan ini dibandingkan dengan keindahan Allah, maka perbandingannya seperti pelita yang kecil dibandingkan matahari yang terang benderang.

Kehidupan yang kedua ialah kehidupan penyatuan dari kematian penghindaran, yang memiliki tiga napas: Napas pemaksaan, napas kebutuhan dan napas kebanggaan.

Yang dimaksudkan penyatuan di sini adalah penyatuan hati denganAllah, penyatuan rasa dan kehendak untuk menghadap kepada-Nya, bukan penyatuan kebersamaan wujud. Sebab kehidupan penyatuan ini akan disebutkan dalam jenis kehidupan yang ketiga dengan sebutan "Kehidupan wujud".

Penyatuan hati dengan Allah dan menghadapkan rasa kepada-Nya merupakan kehidupan yang hakiki. Sebab hati tidak memiliki kebahagiaan, kesenangan, keberuntungan dan kenikmatan kecuali dengan menjadikan Allah sebagai tujuan pencariannya. Penghindaran yang disusul dengan penolakan untuk menghadap kepada-Nya merupakan penyakit hati, sekalipun tidak membuatnya mati.

Kehidupan ini mempunyai tiga napas. Yang pertama adalah napas pemaksaan. Hal ini terjadi karena hamba tidak bisa berharap kepada selain Allah, sehingga dengan hati, ruh, jiwa dan badannya dia terpaksa berharap kepada Allah. Apa pun yang ada pada dirinya, termasuk pula sehelai rambut yang tumbuh memburuhkan Allah yang menjadi sesembahannya. Napas ini mau tidak mau memburuhkan Allah sebagai pencipta, penolong, pelindung, pemberi petunjuk, pemberi rezki dan yang mengatur segala kemaslahatannya, di sampingmenjadikan-Nya sebagai sesembahan, yang hidupnya tidak akan bermanf aat kecuali dengan menjadikan Allah sebagai kekasih dan yang dirindukannya. Pemaksaan ini merupakan pemaksaan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Sebenarnya napas memburuhkan juga termasuk napas pemaksaan ini.

Tapi Syaikh memisahkan di antara keduanya, karena Syaikh ingin menjadikan napas pemaksaan sebagai permulaan, napas membutuhkan sebagai pertengahan dan napas kebanggaan sebagai kesudahan. Seakan akan napas pemaksaan merupakan pengenyahan makhluk dari hati, dan napas kebutuhan merupakan penggantungan hati kepada Allah. Pada hakikatnya ini merupakan satu kesatuan, yang pada permulaannya merupakan pemutusan dan akhirnya merupakan penyambungan. Sedangkan napas kebanggaan merupakan hasil dari dua napas di atas. Jika dua napas sudah benar pada diri hamba, maka akan tercipta taqarrub, penyatuan dan kebersamaan dengan Allah, dan Allah pun melepas dari hatinya segala kesenangan dunia dan perhiasannya. Pada saat itu dia akan menghembuskan napas lain, yang dengannya dia akan mendapatkan ketenangan dan kelapangan dada. Jika ada yang bertanya, "Mengapa hamba harus berbangga diri? Apa kaitan ubudiyah dengan kebanggaan ini?" Dapat kami jawab, bahwa bukan maksudnya hamba membangga-kan

diri di hadapan orang lain. Tapi ini merupakan kebanggaan yang berarti kesenangan dan kegembiraan, karena dia tidak kuasa menolak apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Bukanlah sudah sela-yaknya hamba merasa senang karena menerima karunia Allah? Apalagi Allah suka melihatpengaruh nikmat-Nya pada diri hamba dan Dia senang akan hal ini, karena yang demikian itu merupakan gambaran rasa syukur. Kehidupan yang ketiga adalah kehidupan wujud, yaitu kehidupan dengan Allah.

Kehidupan ini mempunyai tiga napas: Napas kehormatan yang mematikan alasan, napas wujud yang mencegah pemisahan dan napas kesendirian yang menghasilkan hubungan.

Tingkat kehidupan ini merupakan kehidupan orang yang sudah mendapatkannya. Ini lebih sempurna daripada dua jenis kehidupan yang sebelumnya. Hamba yang sudah mendapatkan Rabb-nya, seperti yang diisyaratkan dalam hadits Ilahy, "Jika Aku mencintainya, maka Aku men-jadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang, Aku menjadi kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Dengan-Ku dia mendengar, dengan-Ku dia melihat, dengan-Ku dia memegang dan dengan-Ku dia berjalan." Begitu pula yang diisyaratkan dalam firman-Nya, "Wahai anak Adam, carilah Aku, niscaya kamu akan mendapatkan Aku. Jika kamu mendapatkan Aku, maka kamu akan mendapatkan segala sesuatu. Jika Aku tidak kamu dapatkan, maka kamu tidak akan mendapatkan segala sesuatu."

Kehidupan wujud merupakan kehidupan yang paling sempurna. Artinya kehidupan karena mendapatkan Allah. Jika engkau katakan, "Saya kesulitan memahami makna kehidupan karena mendapatkan Allah ini." Dapat kami jawab, bahwa itu terjadi karena ada hijab antara dirimu dan kehidupan ini. Pahamilah kehidupan ini dengan adanya kefanaan, adanya pemilik, penguasa dan penolongmu. Hakikat hidup ini adalah

kehidupan dengan Allah, bukan kehidupan dengan napas, kefanaan dan sebab-sebab kehidupan. Kehidupan wujud ini ada yang menafsirinya berdasarkan sifat Allah yang berdiri sendiri, agar hati tidak berpaling kepada selain Allah, tidak takut dan tidak berharap kepadanya. Ketakutan dan harapannya, tawakal dan penyandarannya hanya tertuju kepada Allah Yang Mahahidup dan Berdiri sendiri. Selagi keadaan ini sudah tercapai, maka tercapai pula kehidupan wujud. Terkadang bernapas dengan napas kehormatan yang meniadakan pencarian alasan, terkadang bernapas dengan napas wujud itu sendiri dan terkadang bernapas dengan napas kesendirian. Kesendirian di sini artinya kesendirian dan keesaan Allah dalam Uluhiyah dan Ubu-diyah, tidak memberi tempat bagi selain-Nya dalam Rububiyah dan tidak memberi bagian bagi selain-Nya dalam Uluhiyah.

Al-Basthu

Pengarang Manazilus-Sa'irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah al-basthu (pembentangan) ini : "Dan Dia menjadikan kalian berkembang biak dengan jalan itu." (Asy- Syura: 11).

Sisi pelandasannya kepada ayat ini, bahwa Allah memberikan kehidupan kepada kalian dengan apa-apa yang diciptakan-Nya bagi kalian, berupa binatang ternak seperti yang telah disebutkan-Nya. Menurut Al- Kalby, Allah memperbanyak jumlah kalian karena saling berpasangpasangan.

Andaikan tidak ada pasang-pasangan ini, tentu tidak akan ada keturunan yang bersinambungan. Maknanya yang lebih pas, bahwa Allah menjadikan pasangan bagi kalian, karena yang menjadi sebab penciptaan bagi makhluk adalah pasangan. Kata ganti dalam fihi kembali kepada penciptaan. Sedangkan makna yadzra'u adalah menciptakan dan mengembangbiakkan.

Kehidupan ini ada dua macam kehidupan, yaitu kehidupan badan dan kehidupan run. Karena Allahlah yang menghidupkan hati dan ruh para wali-Nya dengan kemuliaan, kasih sayang dan pembentangan-Nya, berarti Dia pula yang mengembangbiakkan yang demikian itu bagi mere-ka.

Pengarang Manazilus-Sa'irin mengatakan, "Al-Basthu artinya membentangkan amal dan zhahir hamba di atas keharusan ilmu dan me- nyelimuti batinnya dengan kain cinta. Mereka adalah orang-orang yang mengenakan kain penutup. Mereka membentangkan diri di medan pembentangan."

Maksudnya, karena amal dan zhahirnya terbentang berdasarkan ilmu, dan batinnya dipenuhi cinta kepada Allah, maka dia memiliki keindahan zhahir dan batin. Tentang dua macam keindahan ini telah disebutkan Allah di beberapa tempat dalam

Al-Qur'an, seperti firman-Nya : "Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan, pakaian takwa itulah yang paling baik." (Al-A'raf: 26).

As-Sukru

Pengarang Manazilus-Sa'irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah as-sukru (mabuk) ini, yang mengisahkan tentang Musa Alaihis Salam : "Musa berkata, 'Ya Rabbi, tampakkanlah (Diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu'." (Al-A'raf: 143).

Sisi pelandasannya kepada ayat ini, bahwa tatkala Musa sudah ada kemantapan dalam hati dan ruhnya, pendengaran dan penglihatannya, karena beliau merasakan kenikmatan mendengar kalam Allah dan keiezatan perbincangan itu, kemudian hal ini semakin menjadi-jadi hingga disebut mabuk atau mendekati mabuk, maka terlontar dari lidahbeliau untuk dapat melihat Allah dalam keadaan tersebut.

Syaikh berkata, "Mabuk dalam kajian ini merupakan istilah yang diisyaratkan kepada keadaan tidak sabar karena kegembiraan dankeriangan. Ini merupakan keadaan orang-orang yang jatuh cinta secara khusus."

Pengertian mabuk semacam ini tidak pernah diungkap dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah serta orang-orang salaf yang arif. Ini merupakan istilah yang dimunculkan orang-orang muta'akhirin, dan merupakan istilah yang amat buruk. Sebab lafazh mabuk dan sesuatu yang memabukkan termasuk lafazh yang dicela syariat dan akal. Gambaran secara umum tentang penggunaan istilah mabuk adalah sesuatu yang dibenci Allah dan Rasul-Nya. Allah befirman : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk." (An-Nisa': 43).

Allah menggambarkan guncangan yang sangat hebat, yang dirasakan manusia saat datangnya hari kiamat : "Dan, kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, tetapi adzab Allah itu sangat kerasnya." (Al-Hajj: 2)

Allah mensifati keadaan mabuk bagi orang-orang yang berbuat keji dan yang biasa mengkonsumsi minuman yang memabukkan, sehingga istilah ini tidak layak digunakan dalam keadaan dan kedudukan yang mulia, apalagi dalam masalah-masalah hakikat, tidak layak ditujukan kepada hamba yang menjadi lawan bicara Allah. Boleh jadi keadaan ini dirasakan di surga saat memandang Allah dan mendengar kalam-Nya.

Namun keadaan ini tidak bisa disebut mabuk. Kami tidak mengingkari makna yang diisyaratkan dengan menggunakan sebutan ini. Yang kami ingkari adalah penamaannya dengan sebutan mabuk ini, apalagi jika dikaitkan dengan sebutan minuman, atau yang dikenal dengan istilah khamr dan gelas-gelas yang dituangi. Penyamaran dan penyebutan inilah yang akan diungkap di sini.

Sebelum membicarakan lebih lanjut seperti apa yang dikatakan Syaikh, "Ini merupakan keadaan orang-orang yang jatuh cinta secara khusus", maka perlu ada kejelasan tentang hakikat mabuk dan sebabnya, pembagiannya menurut dzat, sebab-sebab dan tempat-tempatnya, agar dapat diperoleh faidah yang lebih nyata.

Keadaan mabuk merupakan kenikmatan dan ketidaksadaran yang menghilangkan peran akal. Padahal akal inilah yang bisa membedakan segala sesuatu, sehingga pelakunya tidak menyadari apa yang diucapkannya.

Maka Allah befirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk." Allah menjadikan tujuan dari hilangnya hukum mabuk, agar pelakunya menyadari apa yang diucapkannya. Jika dia sudah menyadarinya, berarti dia sudah keluar dari batasan mabuk. Al-Imam Ahmad berkata, "Orang yang mabuk tidak bias membedakan mana pakaiannya dan mana pakaian orang lain, mana sandalnya dan mana sandal orang lain."

Keadaan mabuk menghimpun dua makna: Adanya kenikmatan dan tidak bisa berpikir. Orang yang mabuk bertujuan untuk mendapatkan dua keadaan ini atau salah satu di antaranya. Jiwa memiliki nafsu dan syahwat yansg menginginkan kenikmatan. Sementara pengetahuan tentang adanya kerusakan dalam kenikmatan itu, mencegahnya untuk mereguk kenikmatan itu. Lalu akal menyuruh untuk tidak melakukannya.

Jika tidak ada pengetahuan yang mengungkap dan akal yang memerintah dan melarang, maka jiwa akan menghampiri apa yang diinginkannya. Allah mengharamkan mabuk karena dua perkara seperti yang disebutkan di dalam Kitab-Nya, yaitu karena menimbulkan permusuhan dan perselisihan di antara sesama orang Muslim serta menghalangi dzikir kepada Allah dan shalat. Di samping itu, mabuk juga merusak jiwa karena hilangnya fungsi akal dan kemaslahatan, yang hanya bisa diperoleh dengan akal.

Sebab mabuk bisa karena sesuatu yang sebenarnya tidak memabukkan, seperti karena sakit yang teramat sangat, hingga menghilangkan fungsi akal dan menjadi seperti orang yang mabuk. Bisa juga karena sesuatu yang sangat menakutkan dan guncangan yang menghilangkan fungsi akal, seperti keadaan manusia saat hari kiamat tiba yang seperti mabuk, padahal mereka tidak mabuk. Mereka mabuk karena kaget dan takut, bukan karena mengkonsumsi sesuatu yang memabukkan. Pikiran merekalah yang mabuk karena takut dan kaget. Sebab mabuk juga bisa karena rasa senang yang memuncak karena melihat kekasih, sehingga orangnya menjadi salah tingkah dan ucapannya tidak teratur. Akalnya seperti hilang dan lebih linglung daripada orang yang minum khamr.

Bahkan mabuk karena perasaan gembira ini bisa membunuhnya, karena sebab yang alami, yaitu terjadinya pemuaian darah dalam hati secara serentak, di luar kebiasaannya. Sementara darah itu membawa panas. Sehingga karena pemuaian itu, hati menjadi dingin, lalu mengakibatkan kematian.

Di antara sebab mabuk adalah kecintaan kepada rupa dan lainlainnya, baik yang mubah maupun yang haram. Jika cinta sudah menguat dan menjadi jadi, maka ia membuat orangnya mabuk. Jika mabuk cinta disusul dengan kesenangan hubungan, maka mabuk itu semakin kuat dan berlipat ganda, sehingga orangnya keluar dari hukum akal dan dia tidak menyadarinya.

Sebab mabuk yang paling kuat dan yang pasti mengakibatkan mabuk adalah mendengarkan suara tabuhan yang merdu, apalagi jika berasal dari orang yang cantik menawan di tempat yang cocok, tentu akan membuat pendengarnya mabuk kepayang. Mabuk ini menimbulkan dua faktor:

- Menimbulkan kenikmatan yang kuat dan menyatu dengan akal.

- Menggerakkan jiwa kepada kekasih. Gerakan dan kerinduan yang disertai hayalan untuk menghadirkan kekasih di dalam jiwa ini menimbulkan kenikmatan yang dapat menundukkan akal, sehingga ruh men-jadi mabuk kepayang, lebih mabuk dari orang yang mabuk karena menenggak minuman yang memabukkan.

Berangkat dari sinilah Syaikh melandaskan masalah mabuk ini kepada perkataan Musa Alaihis-Salam, setelah beliau mendengar kalam Allah Yang Mahaagung, "Ya Rabbi, tampakkanlah (Diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu".

Al-Imam Ahmad dan lainnya menyebutkan, bahwa Allah befirman kepada Daud pada hari kiamat, "Agungkanlah Aku dengan perkataan yang kamu ucapkan di dunia untuk mengagungkan Aku". Daud bertanya, "Ya Rabbi, bagaimana caranya? Karena perkataan itu sudah hilang karena kedurhakaan." Allah befirman, "Aku akan mengembalikan lagi kepadamu." Maka Daud berdiri di pinggir 'Arsy dan mengagungkan Allah. Para penghuni surga mendengar suaranya hingga menimbulkan kenikmatan bagi mereka.

Yang lebih nikmat dari hal itu adalah tatkala para penghuni surga itu mendengar kalam Allah dan seruan-Nya kepada mereka tanpa menggunakan perantara atau secara langsung. Abdullah bin Ahmad menyebutkan di dalam Kitabus-Sunnah sebuah atsar tentang hal ini, bahwa seakan-akan manusia pada hari kiamat belum pernah mendengar Al-Qur'an, ketika mereka mendengarnya dari Allah Yang Maha Pengasih lagi Mahaagung.

Jika kenikmatan ini ditambah lagi dengan kenikmatan memandang Wajah-Nya Yangmulia, yang membuat mereka seakan tidak lagi membutuhkan segala kenikmatan surga, maka tentunya ini merupakan perkara yang sulit digambarkan. Di sana ada suara yang tidak pernah didengar telinga, ada rintik-rintik air yang tidak pernah menghidupi bumi, ada mata air yang tidak pernah diminum, ada perjamuan yang tidak pernah

dikerumuni anak-anak kecil.

Sebab mabuk adalah kenikmatan yang menundukkan akal, dan se-bab kenikmatan itu adalah mengetahui kekasih. Jika cinta semakin kuat dan keinginan melihat kekasih juga semakin kuat, maka kenikmatan melihat kekasih ini mengikuti kekuatan tersebut. Jika akal kuat, maka tidak akan ada perubahan. Tapi jika akal lemah, maka menimbulkan mabuk yang mengeluarkannya dari hukumnya.

Menurut Syaikh, ada tiga tanda mabuk: Tidak sempat mencari kabar, namun pengagungan tetap ada; mengarungi bahtera kerinduan, namun keseimbangan terus berlanjut; tenggelam dalam lautan kegembiraan, dan kesabaran seakan hilang.

Maksudnya, karena keinginan yang besar untuk bertemu kekasih dan menghadirkan hati bersamanya, maka orangnya tidak sempat mendengar kabar tentang kekasihnya. Pendapat ini tidak benar secara mutlak. Sebab orang yang benar-benar mencintai justru akan mencari kabar tentang kekasihnya dan mengingat-ingatnya, sebagaimana yang dikatakan Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu, "Andaikan hati kita bersih, tentu kita tidak akan merasa kenyang mendengar kalam Allah." Yang dimaksudkan Syaikh, bahwa orang yang mencintai secara benar, hatinya akan dipenuhi dengan cinta, sehingga hal inilah yang menguasainya. Tentu saja dia tidak akan melupakan kekasihnya dan tidak menyibukkan hati dengan hal-hal selainnya, tetap mencari tahu tentang kekasihnya, sehingga hampir-hampir dia tidak sabar karena mendengarnya. Tanda mabuk yang kedua ialah mengarungi bahtera kerinduan, dan tidak sekedar berada di tepiannya semata. Sedangkan tanda mabuk yang ketiga ialah tenggelam dalam lautan kegembiraan, tidak pernah lepas dari kegembiraan, sehingga seakan-akan kegembiraan itu merupakan lautan dan dia tenggelam di dalamnya. Sebagaimana orang tenggelam yang tidak lepas dari air, maka orang yang mencintai juga tidak lepas dari kegembiraan. Karena dia tenggelam dalam lautan kegembiraan ini, seakan akan dia tidak lagi mampu menguasai kesabaran.

Ittishal

Pengarang Manazilus-Sa 'irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah ittishal (bersambung) ini : "Kemudian dia mendekatdan bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)-" (An-Najm: 8-9).

Seakan-akan Syaikh memahami ayat ini, bahwa seakan-akan yang mendekat dan bertambah dekat lagi sehingga jaraknya seperti dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi adalah Allah Azza wa Jalla. Sekalipun memang ada segolongan mufassir yang berpendapat seperti ini, tapi pendapat yang benar, bahwa yang mendekat itu adalah Jibril. Karena Jibrillah yang disifati sejak awal surat An-Najm ini hingga ayat 13-14, "Dan, sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil-Muntaha."

Begitulah yang ditafsiri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam hadits shahih. Aisyah berkata, "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang ayat ini. Maka beliau menjawab : "Dialah Jibril, yang tidak pernah kulihat rupa aslinya selain dari dua kali." Memang lafazh Al-Qur'an sendiri tidak menunjukkan yang demikian itu.

Tapi hal ini bisa dilihat dari beberapa sisi yang menguatkan pendapat di atas:

1. Allah menjelaskan, "Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat". (An-Najm: 5). Inilah yang Jibril yang disifati Allah dengan kekuatan, seperti firman-Nya yang lain, "Sesungguhnya Al-Qur'an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan yang tinggi disisi Allah yang mempunyai 'Arsy." (At-Takwir: 19-20).

2. Allah menggambarkannya memiliki akal yang cerdas dan mulia seperti yang disebutkan dalam ayat di atas.

3. Allah menjelaskan keadaannya, "Sedang dia berada di ufuk yang ting-gi." (An-Najm: 7). Keberadaan Jibril di ufuk yang tinggi, sedangkan keberadaan Allah di 'Arsy.

4. Allah befirman, "Kemudian dia mendekat dan bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)." (An-Najm: 8-9). Yang mendekat ini adalah Jibril dan turun ke bumi, ke tempat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Sedangkan mendekat yang disebutkan di dalam hadits Mi'raj, ketika beliau berada di atas langit adalah mendekatnya Allah. Mendekat yang disebutkan di dalam ayat berbeda dengan mendekat di dalam hadits, sekalipun kata-kata yang digunakan sama.

5. Allah befirman, "Dan, sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil-Muntaha." Yang dilihat beliau di Sidratil-Muntaha adalah Jibril, seperti penjelasan beliau kepada Aisyah.

6. Semua kata ganti yang disebutkan di dalam ayat-ayat di atas adalah satu. Maka antara yang menafsiri dan yang ditafsiri tanpa disertai dalil tidak boleh berbeda.

7. Di dalam surat An-Najm ini Allah menyebutkan dua utusan yang mulia: Jenis malaikat dan jenis manusia. Utusan jenis manusia dijauhkan dari kesesatan dan tidak keliru. Sedangkan utusan jenis malaikat dijauhkan dari sifat syetan yang buruk dan lemah, tapi dia kuat, mulia dan baik akhlaknya. Hal ini serupa dengan sifat yang disebutkan di dalam surat At-Takwir.

8. Allah mengabarkan di dalam surat At-Takwir, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melihat Jibril di ufuk yang terang, dan di dalam surat An-Najm disebutkan, beliau melihatnya di ufuk yang tinggi. Hal ini menunjukkan hal yang sama dan disifati dengan dua sifat, terang dan tinggi.

9. Allah menjelaskan bahwa Jibril adalah Dzu mirrah, artinya akhlak yang baik.

10. Kalaupun pengabaran ini tentang Allah, tentunya Al-Qur'an me nunjukkan bahwa

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melihat Allah dua kali. Sekali di ufuk dan sekali di Sidratul-Muntaha. Sekira-nya yang benar seperti ini, berarti ada perbedaan dengan apa yang dikabarkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Abu Dzarr, saat dia bertanya kepada beliau, "Apakah engkau pernah melihat Rabb engkau?" Maka beliau menjawab, "Yang kulihat cahaya. Mana mungkin aku bisa melihat-Nya?" Taruklah bahwa Al-Qur'an mengabarkan bahwa beliau pernah melihat-Nya dua kali Lalu bagaimana dengan sabda beliau, "Mana mungkin aku bisa melihat-Nya?" Perkataan seperti ini lebih tegas daripada, "Aku belum pernah melihatnya."

ll. Tidak pernah disebutkan kata ganti yang kembalinya kepada Allah dalam firman-Nya, "Kemudian mendekat dan bertambah dekat lagi". Kata ganti ini kembali kepada hamba-Nya dan tidak layak dikembalikan kepada-Nya.

12. Bagaimana mungkin kata ganti dikembalikan kepada sesuatu yang tidak pernah disebutkan sebelumnya, sementara yang disebutkan jus-tru diabaikan, padahal dialah yang lebih layak?

13. Di dalam At-Takwir disebutkan kata Shahibakum (temanmu), yang kata gantinya kembali kepada yang sesuai, kemudian disebutkan pula syadidul-qawiyyu, yang kata gantinya kembali kepada yang sesuai dengannya. Semua pengabaran yang menunjukkan dua penafsiran ini adalah utusan dari jenis malaikat dan utusan dari jenis manusia.

14. Yang mendekat dan bertambah dekat lagi ini berada di ufuk yang tinggi, yaitu ufuk langit. Sementara mendekatnya Allah dari atas 'Arsy, bukan ke bumi.

Ma'rifat

Pengarang Manazilus Sa’irin mensitir firman Allah berkaitan dengan ma'rifat ini : "Dan, apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur'an) yang telah mereka ketahui."(Al-Maidah: 83).

Ma'rifat artinya meliputi sesuatu seperti apa adanya. Saya katakan, bahwa di dalam Al-Qur' an terkadang disebutkan laf azh ma' rifat dan adakalanya disebutkan lafazh ilmu. Lafazh ilmu yang banyak disebutkan di dalam Al-Qur'an memiliki batasan yang relatif lebih luas. Allah memilih bagi Diri-Nya asma Al-Ilmu dan segala kaitannya. Allah mensifati Diri- Nya dengan Al-Alim, Al-Allam, alima, ya'lamu, dan mengabarkan bahwa Dia memiliki ilmu, tanpa menggunakan lafazh ma'rifat. Sebagaimana yang sudah diketahui bersama, apa yang dipilih Allah untuk Diri-Nya adalah yang paling sempurna jenis dan maknanya. Lafazh ma'rifat disebutkan di dalam Al-Qur'an berkaitan dengan

orang-orang Mukmin dari Ahli Kitab secara khusus, seperti firman-Nya yang disebutkan di atas, yaitu orang-orang yang mendengarkan wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Begitu pula firman-Nya yang lain : "Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri." (Al-An'arn: 20).

Golongan ini lebih menandaskan ma'rifat daripada ilmu. Bahkan banyak di antara mereka yang sama sekali tidak peduli terhadap ilmu, yang menganggapnya sebagai pemotong dan hijab, tidak seperti ma'rifat.

Sementara orang-orang yang istiqamah di antara mereka menegaskan nasihat kepada manusia agar mencari dan memperhatikan ilmu. Menurut mereka, wali Allah tidak akan sempurna perwaliannya jika tidak memiliki ilmu. Sebab Allah tidak akan mengambil wali yang bodoh. Sebab kebodoh-an merupakan pangkal segala bid'ah, kesesatan dan kekurangan. Sementara ilmu merupakan dasar segala kebaikan, petunjuk dan kesempurnaan.

Ada perbedaan antara ilmu dan ma'rifat dari segi lafazh dan maknanya. Dari segi lafazh, kata kerja ma'rifat hanya membutuhkan satu obyek saja, seperti perkataan seseorang, "Araftu zaidan" artinya aku kenal Zaid. Sedangkan kata kerja ilmu membutuhkan dua obyek.

Sedangkan perbedaan maknanya dapat dilihat dari beberapa sisi:

1. Ma'rifat berkaitan dengan dzat sesuatu. Sedangkan ilmu berkaitan dengan keadaannya. Dapat engkau katakan, "Aku memiliki ma'rifat tentang ayahmu, dan aku mengetahuinya sebagai orang yang shalih dan berilmu." Yang pertama ma'rifat (a'rifu) dan yang kedua ilmu (a'lamu). Karena itu disebutkan perintah di dalam Al-Qur'an agar mengetahui (ilmu) dan bukan mengenal (ma'rifat), seperti firman-Nya, "Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada llah selain Allah." (Muhammad: 19). Ma'rifat merupakan kehadiran sesuatu dan penyerupaan ilmiahnya di dalam jiwa. Sedangkan ilmu merupakan kehadiran keadaan, sifat dan kaitannya di dalam jiwa. Ma'rifat menyerupai gambaran dan ilmu menyerupai pembenaran.

2. Biasanya ma'rifat diperunrukkan bagi sesuatu yang hilang dari hati, yang sebelumnya telah diketahui. Jika kemudian sesuatu itu diingatkan kembali, maka dikatakan, "Dia memiliki ma'rifat tentangnya." Atau bisa juga bagi sesuatu yang disifati dengan sifat-sifat yang bias ditangkap jiwa. Jika kemudian sesuatu itu disebutkan sifat-sifatnya, maka dikatakan, "Dia memiliki ma'rifat tentangnya." Ma'rifat menyerupai ingatan tentang sesuatu, yaitu menghadirkan apa yang tidak ada dalam ingatan. Maka kebalikan dari ma'rifat adalah pengingkaran atau tidak mengenal, sedangkan kebalikan ilmu adalah kebodohan. Firman Allah : "Mereka mengetahui nikmat Allah kemudian mereka mengingkarinya." (An-Nahl: 83)

.

3. Ma'rifat mengharuskan pembedaan antara yang dikenal atau yang diketahui dengan yang lainnya, sedangkan ilmu mengharuskan pem bedaan antara apa yang disifati dengan yang lainnya. Perbedaan ini berbeda dengan yang pertama, yang kembali kepada pengenalan dzat dan sifat, sedangkan perbedaan ini pada pembebasan dzat dan sifat dari yang lainnya.

4. Jika engkau katakan, "Aku memiliki ma'rifat tentang Zaid", maka tidak memberikan manfaat apa pun kepada lawan bicara, karena dia masih menunggu kelanjutannya, yaitu keadaan macam apa yang akan engkau kabarkan kepadanya? Jika kemudian engkau katakan, "Seorang yang mulia dan pemberani", maka engkau memberikan manfaat kepadanya. Jika engkau katakan, "Aku memiliki ma'rifat tentang Zaid", berarti engkau menegaskan kepada lawan bicara bahwa engkau membedakannya dari yang lain.

5. Ma'rifat merupakan ilmu tentang jenis sesuatu secara terperinci, yang bisa dibedakan dari selainnya. Berbeda dengan ilmu yang berkaitan dengan sesuatu dan bersifat global. Perbedaan ini seperti yang dikata-kan

Syaikh, "Meliputi sesuatu seperti apa adanya." Berdasarkan batasan ini, maka tidak bisa digambarkan sama sekali bahwa Allah bisa dike-nal, dan hal ini termasuk sesuatu yang mustahil. Sebab Allah tidak bisa diliputi dengan ilmu, ma'rifat dan penglihatan. Allah lebih agung dari hal-hal yang bisa dilihat dan dikenal. Firman-Nya : "Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya." (Thaha: 110).

Bahkan hakikat batasan ini, tidak ada kaitan ma'rifat dengan makhluk yang paling besar hingga sedetail-detailnya, yaitu matahari.

Perbedaan antara ilmu dan ma'rifat menurut golongan ini, bahwa ma'rifat adalah ilmu yang diterapkan orang yang berilmu dengan segala konsekuensinya. Mereka tidak mendefinisikan ma'rifat berdasarkan mak-na ilmu semata, bahkan mereka tidak mensifati ma'rifat kecuali terhadap orang yang mengetahui Allah dan mengetahui jalan yang menghantarkan kepada Allah, bencana dan perintangnya. Orang ini mempunyai suatu keadaan bersama Allah yang secara bersama-sama bisa mempersaksikan ma'rifat. Orang arif (yang memiliki ma'rifat) menurut mereka adalah orang yang memiliki ma'rifat tentang Allah dengan segala sifat, asma' dan perbuatan-Nya, kemudian Allah membenarkan mu'amalahnya, memurnikan tujuan dan niatnya, melepas akhlak-akhlaknya yang buruk, kemudian sabar menerima ketetapan hukum Allah, baik yang berupa nikmat atau cobaan, kemudian berdoa kepada-Nya berdasarkan bashirah terhadap agama dan ayat-ayat-Nya, kemudian memurnikan seruan kepada Allah semata seperti

yang dibawa Rasul-Nya, tidak dicampuri dengan pendapat manusia, qiyas dan pemikiran mereka, tidak menimbangkan dengan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Inilah sebutan untuk orang arif yang hakiki. Mereka telah mendefinisikan ma'rifat dengan segala pengaruh dan kesaksian-kesaksiannya.

Di antara mereka ada yang berkata, "Di antara tanda ma'rifat tentang Allah ialah munculnya rasa takut kepada-Nya. Siapa yang ma'rifatnya tentang Allah semakin bertambah, maka bertambah pula ketakutan kepada-Nya."

Ada pula yang berkata, "Ma'rifat mengharuskan adanya ketenangan. Siapa yang ma'rifatnya tentang Allah semakin bertambah, maka bertambah pula ketenangannya."

Ada seorang teman yang bertanya kepada saya, "Apa tanda ma'rifat seperti yang mereka isyaratkan itu?" Saya jawab, "Kebersamaan hati dengan Allah." Dia menambahi, "Tandanya yang lain ialah merasakan kedekatan hati dengan Allah, sehingga dia mendapatkannya amat dekat dengan Allah."

Asy-Syibly berkata, "Orang arif tidak mempunyai kaitan, orang yang mencintai tidak mengeluh, hamba tidak boleh mengadu, orang yang takut tidak tetap dan tak seorang pun bisa lari dari Allah."

Ini merupakan definisi yang amat bagus, karena ma'rifat yang benar harus mampu memotong segala kaitan dari hati. Keterkaitannya hanya dengan ma'rifat tentang Allah, sehingga tidak ada kaitan selainnya.

Ahmad bin Ashim berkata, "Siapa yang paling memiliki ma'rifat tentang Allah, maka dia paling takut kepada-Nya. Hal ini ditunjukkan firman-Nya : "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang yang memiliki ilmu." (Fathir: 28).

Begitu pula sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam : "Aku adalah orangyang paling memiliki ma'rifat tentang Allah di antara kalian dan akulah yang paling takut kepada-Nya."

Ada pula yang berkata, "Siapa yang memiliki ma'rifat tentang Allah, maka hidupnya menjadi jernih dan tenang, segala sesuatu takut kepadanya, tidak takut kepada semua makhluk dan merasakan kejinakan di sisi Allah."

Yang lain lagi berkata, "Siapa yang memiliki ma'rifat tentang Allah, maka dia merasa senang kepada Allah, senang kepada kematian dan semuanya senang kepadanya. Sementara siapa yang tidak memiliki ma'rifat tentang Allah merasa rugi karena tidak mendapatkan dunia. Siapa yang memiliki ma'rifat tentang Allah tidak menyisakan kesenangan kepada selain-Nya. Siapa yang membual memiliki ma'rifat tentang Allah, padahal dia menghendaki selain-Nya, maka kesenangannya itu mendusta-kan ma'rifatnya. Siapa yang memiliki ma'rifat tentang Allah, maka Allah mencintainya, tergantung dari kadar ma'rifatnya, lalu dia takut, berharap dan tawakal kepada-Nya, merindukan perjumpaan dengan-Nya, malu kepada-Nya, mengagungkan dan memuliakan-Nya. Di antara tanda orang arif ialah hatinya bisa menjadi cermin saat melihat hal gaib yang mengajak kepada iman. Seberapa jauh kejernihan cermin itu, maka sejauh itu pula dia bisa melihat Allah, hari akhirat, surga dan neraka, para malaikat dan rasul."

Ada seseorang yang bertanya kepada Al-Junaid, "Ada segolongan orang yang mengaku memiliki ma'rifat. Mereka shalat tanpa melakukan gerakan, dan ini dianggap masalah kebajikan dan takwa." Maka Al-Junaid berkata, "Mereka adalah orang-orang yang memang sengaja menggugurkan amal. Ini bukan masalah yang ringan dalam pandangan saya. Orang yang mencuri dan berzina, jauh lebih baik keadaannya daripada mereka yang berpendapat seperti itu. Orang-orang yang memiliki ma'rifat tentang Allah justru mengambil amal dari Allah dan kepada Allah mereka kembali. Andaikan aku berumur seribu tahun lagi, maka aku tidak akan mengurangi amal kebajikan walau sebiji atom pun, kecuali jika umurku sudah dihentikan."

Di antara tanda yang dimiliki orang arif ialah tidak menyesali apa yang lepas dari tangannya dan tidak gembira karena sesuatu yang diterimanya. Sebab dia melihat segala sesuatu dengan mata kefana'an dankemusnahan, yang pada hakikatnya seperti bayangan atau hayalan. Al-Junaid berkata, "Orang arif tidak disebut arif kecuali dia menjadi seperti tanah yang siap dipijak orang baik dan buruk, atau seperti awan yang memayungi segala sesuatu, atau seperti hujan yang mengairi orang yang disukai dan yang tidak disukai."

Yang lain berkata, "Orang arif tidak disebut arif kecuali jika dia memberikan harta miliknya sebanyak yang dimiliki Nabi Sulaiman, agar tidak membuatnya berpaling dari Allah sekejap mata pun."

Di antara tanda orang arif ialah menghindari makhluk yang ada di antara dirinya dan Allah, sehingga mereka tak ubahnya mayat yang tidak bisa mendatangkan manfaat dan mudharat kepadanya, tidak bisa mendatangkanmati dan hidup. Dia juga menghindari kaitan antara dirinya dan makhluk, sehingga dia berada di tengah mereka seperti orang yang tidak memiliki jiwa.

Dzun-Nun berkata, "Tanda orang arif ada tigamacam: Cahaya ma'rifatnya tidak memadamkan cahaya wara'nya, tidak mempercayai batin dari ilmu yang dapat mengalahkan zhahir hukum, dan limpahan nikmat Allah tidak merusak tabir hal-hal yang diharamkan Allah."

Masih banyak pengertian-pengertian lain yang diberikan orang tentang ma'rifat. Namun yang terakhir inilah yang paling baik, sekalipun masih membutuhkan penjabaran. Sebab banyak orang yang melihat wara' sebagai akibat dari minimnya ma'rifat. Padahal ma'rifat ini amat luas jangkauannya. Orang yang arif adalah orang yang lapang dan dilapangkan. Sementara kelapangan bisa memadamkan cahaya wara'. Ma'rifat orang arif tidak akan memadamkan wara'nya, dan wara'nya tidak bertentangan dengan ma'rifatnya, seperti anggapan sebagian orang, bahwa orang arif ialah yang tidak mengingkari kemungkaran. Maksud perkataan-nya, "Batin dari ilmu yang dapat mengalahkan zhahir hukum", diisyarat-kan kepada orang-orang yang menyimpang, yang menisbatkan kepada

perilaku, yang lebih mementingkan olah rasa dan wirid-wirid yang bertentangan dengan

hukum syariat, yang berlaku di kalangan mereka dan tidak bisa lagi dihindari. Mereka meyakininya dan meninggalkan zhahir hukum.

Maksud perkataannya, "Limpahan nikmat Allah tidak merusak tabir hal-hal yang diharamkan Allah", bahwa nikmat yang banyak bisa membuat hamba melampaui batas dan mendorongnya untuk menggunakan nikmat itu untuk hal-hal yang baik dan tidak baik, untuk yang halal dan tidak halal.

Sementara kebanyakan nikmat yang diberikan kepada mereka tidak terbatas untuk hal-hal yang halal, tapi juga untuk hal-hal yang tidak halal, lalu dia membisiki dirinya bahwa ma'rifatnya tentang Allah mampu membentengi dirinya dari hal-hal yang dilarang. Maka dia berkata, "Orang arif tidak akan terpengaruh oleh dosa seperti yang terjadi pada diri orang yang bodoh." Atau bahkan dia beranggapan bahwa dosanya lebih baikdaripada ketaatan orang-orang yang bodoh. Tentu saja ini merupakan tipu daya yang paling besar, dan yang sebenarnya adalah kebalikannya, sebab apa yang ditanggung orang bodoh tidak seperti yang ditanggung orang arif. Jika orang bodoh dihukum satu kali, maka orang arif dihukum dua kali lipat. Karena itu hukuman yang dijatuhkan kepada orang merdeka dua kali lipat dari hukuman yang dijatuhkan kepada budak. Maka Allahmenjelaskan bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada para istri Nabi dua kali lipat.

Di antara orang salaf berkata, "Tidurnya orang arif sama dengan berjaga dan napasnya merupakan tasbih. Tidurnya orang arif lebih baik daripada shalatnya orang yang lalai." Dikatakan begitu karena hatinya tetap hidup meskipun keduanya matanya terpejam. Ruhnya sujud di bawah 'Arsy, ada di hadapan Rabb dan Penciptanya, meskipun jasadnya telentang di atas tempat tidur. Tidurnya lebih baik daripada shalatnya orang yang lalai. Sebab badan orang yang lalai ini berdiri di dalam shalat, tapi hatinya berenang di genangan dunia dan angan-angan. Karena itu keadaannya saat berjaga sama dengan tidur, sebab hatinya mati.

Ada yang berkata, "Bergaul dengan orang arif dapat mengajakmu dari enam perkara ke enam perkara: Dari keraguan ke keyakinan, dari riya' ke ikhlas, dari lalai ke dzikir, dari keinginan terhadap dunia ke keinginan terhadap akhirat, dari takabur ke tawadhu' dan dari buruk sangka ke nasihat."

Menurut Syaikh, ada tiga derajat ma'rifat, dan manusia dalam ma'rifat ini bisa dibedakan menjadi tiga golongan.

1. Ma'rifat sifat dan ciri. Yang paling tinggi ialah yang disebutkan berdasarkan risalah, yang kesaksian-kesaksiannya muncul dalam ciptaan, karena melihat cahaya dalam kesendirian dan kebaikan kehidupan akal untuk menanamkan pikiran. Kesaksian-kesaksian ini juga muncul dalam kehidupan hati, dengan pandangan yang baik antara peng-agungan dan i'tibar. Ini merupakan ma'rifatnya orang awam, yang syarat-syarat keyakinan tidak bisa terhimpun kecuali dengan halhal ini. Ada tiga sendi yang melandasinya: Penetapan sifat dengan nama tanpa ada penyerupaan, penafian

penyerupaan, putus asa dalam mengetahui detailnya dan mencari ta'wilnya.

Ada tiga perbedaan antara ciri dan sifat:

- Ciri disertai dengan perbuatan yang baru, sedangkan sifat merupakan perkara yang tetap bagi dzat.

- Sifat-sifat yang berhubungan dengan dzat tidak bisa dijelaskan dengan istilahciri, seperti wajah, tangan, kaki dan jari. Sifat merupakan makna yang meliputi apa yang disifati, sehingga wajah tidak bias disebut sifat.

- Ciri adalah apa yang muncul dari sifat dan yang memang menonjol, yang diketahui orang khusus dan umum.

Namun ada yang berpendapat, ini hanya sekedar dua bahasa yang tidak ada perbedaan di antara keduanya, yang maksudnya satu dan permasalahannya pun juga dekat. Kita tidak akan mempermasalah-kan hal ini, tapi kita melihat pada maksudnya, bahwa tidak ada yang ditetapkan terhadap hamba dalam ma'rifat dan juga dalam iman, sehingga dia beriman kepada sifat Allah Azza wa falla, mengenalinya dengan ma'rifat yang dapat mengeluarkannya dari wilayah kebodohan terhadap Rabb. Iman kepada sifat merupakan asas Islam, kaidah iman dan buah pohon ihsan. Siapa yang mengingkari sifat, berarti telah merusak asas Islam, iman dan ihsan. Allah menganggap orang yang mengingkari sifat-sifat-Nya merupakan orang yang berburuk sangka kepada-Nya. Allah memberi ancaman kepadanya yang tidak pernah diberikan kepada orang-orang musyrik, kafir dan pelaku dosa besar. Firman-Nya : "Kalian sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengar-an, penglihatan dan kulit kalian terhadap kalian, kalian mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian kerjakan. Dan, yang demikian itu adalah prasangka kalian yang telah kalian sangka terhadap Rabb kalian, prasangka itu telah membinasakan kalian, makajadilah kalian termasuk orang-orang yang merugi. "(Fush-shilat: 22-23).

Allah mengabarkan bahwa pengingkaran mereka terhadap salah satu dari sifat-sifat-Nya ini, karena mereka berburuk sangka terhadap Allah.

Inilah yang kemudian membuat mereka binasa. Allah juga be-firman tentang orang-orang yang berburuk sangka kepada-Nya : "Mereka akan mendapatkan giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan

Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam, dan (neraka jahannam) itulah sejahat-jahat tempat kembali." (Al-Fath: 6).

Tidak pernah disebutkan ancaman yang lebih keras daripada yang diberikan kepada orang-orang yang berburuk sangka kepada Allah ini. Mengingkari sifat-sifat dan hakikat asma'-Nya merupakan buruk sangka yang paling buruk terhadap Allah. Karena yang paling disukai Allah adalah pujian kepada-Nya dengan menggunakan asma', sifat dan perbuatan-Nya, maka mengingkari asma', sifat dan perbuatan-Nya merupakan kufur yang paling besar, yang berarti lebih buruk daripada syirik. Semua rasul,

semenjak yang pertama hingga penutup, diutus untuk menyeru kepada Allah dan menjelaskan jalan yang bisa menghantar-kan kepada-Nya serta menjelaskan keadaan orang-orang yang diseru setelah mereka sampai kepada-Nya. Tiga kaidah ini merupakan ur-gensi dalam setiap agama yang disampaikan para rasul. Mereka mem perkenalkan Rabb yang diserukan kepada-Nya dengan asma', sifat dan perbuatan-Nya dengan cara yang rinci, sehingga seakan-akan hamba bias mempersaksikan-Nya dan memandang kepada-Nya yang berada di atas 'Arsy-Nya, yang mengatur segala-galanya. Kaidah kedua adalah memperkenalkan jalan yang menghantarkan kepada Allah, yaitu ashshirathul-mustaqim yang dipancangkan bagi para rasul dan pengikutpengikutnya, yaitu mereka yang mengikuti perin-tah Allah, menjauhi larangan-Nya, mengimani janji dan ancaman-Nya. Kaidah ketiga adalah memperkenalkan keadaan setelah sampai ke hadapan Allah, yang meliputi kehidupan hari akhirat, berupa surga dan neraka, yang diawali dengan hisab, menyeberangi ash-shirat dan timbangan. Perkataan, "Yang paling tinggi ialah yang disebutkan berdasarkan risalah", dan seterusnya, bahwa Syaikh menyebutkan penetapan sifat yang menunjukkan wahyu yang datang dari sisi Allah dan disampaikan Rasul-Nya, indera yang menangkap pengaruh ciptaan, yang berarti menjadi bukti sifat-sifat ciptaannya, kehidupan akal yang menjadi baik karena tanaman pikiran, dan hati yang hidup karena pandangannya, antara pengagungan dan i'tibar.

2. Ma'rifat dzat dengan menggugurkan perbedaan antara sifat dan dzat, yang bisa menguat dengan ilmu keterpaduan, menjadi jernih di me-dan kefana'an, menjadi sempurna dengan ilmu keabadian dan mende-kati keterpaduan. Derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama, karena derajat pertama merupakan pandangan terhadap sifat, sementara derajat ini berkaitan dengan dzat yang meliputi sifat, meskipun dzat itu sendiri tidak lepas dari sifat.

Perkataan Syaikh, "Dengan menggugurkan perbedaan antara sifat dan dzat", bahwa memisahkan antara sifat dan dzat dalam wujud merupakan hal yang mustahil. Ma'rifat dalam derajat ini berkaitan dengan dzat dan sifat secara keseluruhan, tidak bisa dibedakan antara ilmu dan kesaksian. Hal ini lebih sempurna daripada kesaksian terhadap sifat semata atau terhadap dzat semata. Sifat Allah termasuk dalam sebutan asma'-Nya. Asma' "Allah, Rabb, Ilah" bukan sekedar asma' dzat semata dan bukan merupakan sifat semata. Asma' Allah, Rabb, Ilah merupakan asma' dzat yang memiliki seluruh sifat kesempumaan dan keagungan, seperti ilmu, qudrah, iradah, sama', kalam bashar, hayat, baqa' dan lain sebagainya dari sifatsifat kesempumaan yang dimiliki dzat Allah. Sifat-sifat-Nya ada dalam sebutan asma'-Nya. Pemisahan sifat dari dzat dan pemisahan dzat dari sifat merupakan hayalan yang tidak ada hakikatnya. Sementara golongan Jahmiyah mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, dengan berdalil kepada firman Allah, "Allahlah Pencipta segala sesuatu". Menurut mereka, Al-Qur'an adalah sesuatu. Orang-orang salaf menyanggah pendapat mereka, bahwa Al-Qur'an

adalah kalam Allah, dan kalam-Nya merupakan bagian dari sifat-Nya. Sementara sifat-Nya masuk dalam sebutan asma'-Nya. Allah bukan sekedar asma' bagi dzat yang tidak memiliki ciri, sifat, perbuatan, wajah dan tangan. Itu adalah sesembahan yang tidak tampak namun bisa dihadirkan dalam pikiran, seperti sesembahannya golongan Jahmiyah, yang mereka anggap tidak keluar dari alam dan tidak pula masuk di dalamnya, tidak berhubungan dengan alam namun juga tidak terpisah dengannya.

3. Ma'rifat yang tenggelam di dalam kemurnian pengenalan, yang tidak bisa dicapai dengan pembuktian, kesaksian dan wasilah. Ma'rifat ini memiliki tiga sendi: Mempersaksikan yang dekat, naik untuk meninggalkan ilmu dan memperhatikan kebersamaan. Ini ma'rifatnya orang yang lebih khusus.

Menurut Syaikh, derajat ini lebih tinggi dari dua derajat sebelumnya, yang berkaitan dengan sarana dan kesaksian serta berhubungan dengan tuntutan, sedangkan derajat ini berkaitan dengan tujuan sema-ta, terlepas dari sarana dan kesaksian.

Ma'rifat merupakan sifat hamba, sedangkan pengenalan merupakan perbuatan Allah dan taufik-Nya. Sifat hamba tenggelam dalam perbuatan Allah dan pengenalan-Nya kepada hamba. Ma'rifat pada derajat ketiga ini tidak bisa dicapai dengan sebab apa pun, karena me-mangsebab menyingkir darinya dan sarana sudah terputus darinya.

Al-Fana'

Pengarang Manazilus-Sa'irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah al-fana' (kefana'an) ini : "Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan, tetap kekal Wajah

Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (Ar-Rahman: 26-27).

Kefana'an yang disebutkan di dalam ayat ini tidak seperti maksud yang disebutkan golongan ini. Sebab kefana'an di dalam ayat ini adalah kebinasaan dan ketiadaan. Allah mengabarkan bahwa segala sesuatu di muka bumi ini akan tiada dan mati, sementara Wajah Allah tetap. Hal ini seperti firman-Nya : "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati." (Al-Anbiya': 35).

Menurut Al-Kalby dan Muqatil, ketika ayat ini turun, maka para malaikat berkata, "Semua penghuni bumi akan binasa". Ketika Allah menurunkan ayat, "Dan tetap kekal Wajah Rabbmu", mereka bertambah yakin tentang adanya kebinasaan itu. Asy-Sya'by berkata, "Jika engkau membaca ayat, 'Semua yang ada di bumi itu akan binasa', janganlah engkau berhenti hingga engkau melanjutkan, 'Dan, tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan'."

Ini menunjukkan kedalaman ilmu dan pemahamannya tentang Al- Qur'an. Sebab yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah pengabaran tentang kebinasaan apa pun yang ada di muka bumi dan ketetapan WajahAllah. Redaksi ayat ini dimaksudkan hanya untuk memuji-Nya sebagai satu-satunya yang baqa' (tetap). Sementara tidak ada pujian yang layak diberikan jika hanya disebutkan kefana'an makhluk. Pujian diberikan kepada

ketetapan-Nya setelah kefana'an makhluk-Nya. Hal ini seperti firman-Nya : "Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Wajah Allah." (Al-Qashash: 88).

Sedangkan kefana'an yang diterjemahkan golongan ini berbeda dengan makna di atas. Kefana'an yang mereka isyaratkan lewat ayat ini adalah kepergian hati, pengasingannya dari alam ini dan kebergantungannyakepada Dzat Yang Mahatinggi dan yang memiliki baqa' serta yang tidak dijamah kefana'an. Siapa yang membuat dirinya fana' dalam kecintaan dan ketaatan kepada-Nya serta menghendaki Wajah-Nya, maka kefana'an ini akan menghantarkannya kepada kedudukan baqa'. Ayat ini memberi isyarat bahwa hamba sangat perlu untuk tidak bergantung kepada siapa pun yang fana' dan meninggalkan yang baqa', yaitu Dzat Yang memiliki kebesaran dan kemuliaan. Seakan-akan ayat ini mengatakan, "Jika engkau bergantung kepada yang fana', maka kebergantungan ini akan berakhir saat ia fana'. Namun jika engkau bergantung kepada yang baqa' dan tidak fana', maka kebergantunganmu kepadanya tidak akan

terputus dan akan terus berlanjut." Kefana'an yang bisa diterjemahkan di sini adalah puncak dan akhir kebergantungan, yang berarti merupakan pemutusan dari selain Allah dari segala sisi. Karena itu Syaikh berkata, "Kefana'an dalam masalah ini adalah pelenyapan selain Allah secara ilmu, lalu pengingkaran, lalu kebenaran."

Fana' kebalikan dari baqa'. Yang baqa' bisa baqa' dengan sendirinya tanpa membutuhkan orang lain yang membuatnya baqa', tapi baqa'nya merupakan keharusannya. Yang seperti ini adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, sedangkan selain-Nya menjadi baqa' karena baqa'nya Allah, yang dirinya tidak memiliki baqa' yang hakiki.

Ada tiga derajat kefana'an, yaitu:

1. Kefana'an ma'rifat dalam Dzat yang dikenali. Ini merupakan kefana'an ilmu, kefana'an pandangan dalam apa yang dipandang, kefana'an pengingkaran, kefana'an pencarian dalam apa yang didapatkan dan kefana'an sebagai kebenaran. Kefana'an ma'rifat dalam Dzat yang dikenali artinya orang yang memiliki ma'rifat tidak mengenali tentang perasaannya terhadap apa yang dikenali, sehingga dia tidak mengenali apa yang diperbuat Allah. Karena ma'rifat merupakan perbuatan dan sifat orang yang mengenali itu. Jika dia tenggelam dalam kesaksian terhadap (Dzat) yang dikenali, maka ini merupakan kefana'an tentang sifat dan perbuatannya. Kare-na ma'rifat lebih tinggi derajatnya daripada ilmu dan juga lebih khusus, maka kefana'an ma'rifat tentang (Dzat) yang dikenali, merupakan keharusan bagi kefana'an ilmu dalam ma'rifat. Tentang kefana'an pandangan dalam apa yang dipandang, maka pandangan di atas ma'rifat. Jika ada peralihan dari ma'rifat ke pandangan, maka pandangannya akan menjadi fana' dalam apa yang dipandang, sebagaimana ma'rifat-nya yang menjadi fana' dalam apa yang dikenali.

2. Kefana'an kesaksian pencarian untuk menggugurkan kesaksian itu, kefana'an kesaksian ilmu untuk menggugurkan kesaksian, dan kefana'an kesaksian pandangan untuk menggugurkan kesaksiannya. Derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama, karena lebih jauh dalam kefana'annya, sehingga di dalam hati mereka tidak ada kesibukan untuk mengingat keadaan dan kedudukan diri sendiri, karenasibuk dengan Rabb-nya.

3. Kefana'an dalam kesaksian. Ini adalah kefana'an yang sebenarnya, yang melihat cahaya hakikat dari kejauhan, yang mengarungi lautan kebersamaan dan meniti jalan baqa'. Menurut Syaikh, ini merupakan kefana'an yang sebenarnya, karena segala apa selain Allah menjadi fana' di dalamnya, dan orangnya mempersaksikan kefana'an yang menjadi fana', sehingga yang menyisa hanya Allah Yang Maha Penguasa dan Menundukkan. Namun di dalam Al-Qur'an, As-Sunnah maupun dalam perkataan para shahabat serta tabi'in tidak pernah disebutkan sanjungan atau pun celaan terhadap lafazh fana'. Mereka juga tidak menggunakan lafazh ini dengan makna yang diisyaratkan Syaikh tersebut. Para ahli thariqah yang terdahulu jugatidak menggunakannya atau menganggapnya sebagai suatu kedudukan dan tujuan. Jadi kami tidak mengingkari dan juga tidak menerima lafazh ini secara mutlak. Maka dari itu harus ada rincian dan penjelasan tentang masalah ini.

Hakikat fana' seperti yang diisyaratkan Syaikh adalah ketiadaan sesuatu dalam wujud ilmiah dan rasa. Dalam hal ini harus dibedakan antara makna yang diberikan orang-orang yang istiqamah, yang menyimpang dan para ateis. Para ateis yang mengatakan tentang adanya wahdatul-wujud menganggap bahwa kefana'an merupakan tujuan kefana'an tentang wujud yang sama. Sesuatu yang sama tidak bisa ditetap-kan wujudnya sama sekali, tidak pula dalam kesaksian dan pandangan, semua ada dalam kesaksian wahdatul-wujud, sehingga saat itu bias diketahui wujud kebersamaan semua wujud yang ada, yaitu dalam wujud Allah. Jadi di sana tidak ada dua wujud, tapi semua yang ada adalah satu. Kefana'an menurut mereka adalah kefana'an dari sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Tentu saja ini adalah persangkaan semata. Orang-orang yang istiqamah dan ahli tauhid mengisyaratkan kefana'an kepada dua perkara, yang satu lebih tinggi daripada yang lainnya, yaitu: Kefana'an dalam kesaksian Rububiyah dan Qayumiyah. Di sini ada kesaksian terhadap kesendirian Allah dalam berdiri sendiri, menga-tur, mencipta, memberi rezki, memberi, mencegah, memberi manfa-at dan mudharat, dan semua wu jud diperlakukan dan bukannya yang melakukan. Dalam semua perbuatan hamba berlaku hukum-hukum Rububiyah, dan dia tidak berkuasa sedikit pun atas dirinya dan juga

orang lain.

- Kefana'an dalam kesaksian Ilahiyah. Hakikatnya adalah kefana'an dari kehendak kepada selain Allah, cinta, tawakal, takut dan penyan-daran kepada-Nya. Dengan cinta kepada Allah, maka ada kefana'an dari cinta kepada selain-Nya. Hakikat kefana'an ini merupakan pengesaan Allah dalam cinta, harapan, takut, pengagungan dan pemuliaan.

Al-Baqa'

Pengarang Manazilus-Sa 'irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah al-baqa' (kekekalan) ini : "Dan, Allah lebih baik dan lebih kekal." (Thaha: 73).

Baqa' yang diisyaratkan golongan ini adalah sifat hamba dan kedudukannya. Sementara yang diisyaratkan dalam ayat ini adalah kekekalan Allah dan keabadian wu jud-Nya. Ini merupakan perkataan tukang-tukang sihir yang kemudian beriman. Sebab musuh Allah, Fir'aun mengancam hendak menghabisi hidup mereka jika mereka beriman. Maka mereka berkata kepada Fir'aun, "Allah yang kami imani, yang kepada-Nya kami berpindah menyembah setelah menyembahmu, yang ridha-Nya kami cari setelah kami mencari ridhamu, lebih baik daripadamu dan lebih kekal. Siksamu dan kenikmatanmu akan terputus, sedangkan siksa dan nikmat- Nya tidak akan terputus. Maka bagaimana mungkin kami lebih mementingkan yang terputus dan fana daripada yang kekal dan abadi?" Letak sisi isyarat pada ayat ini, bahwa segala sarana, kaitan, cinta dan kehendak mengikuti tujuannya. Siapa yang tujuan cinta dan kehendaknya terputus, maka terputus pula kebergantungannya jika ada keterputusan, sehingga perbuatannya menjadi sia-sia semata. Sedangkan siapa yang tujuan dan pencariannya adalah sesuatu yang kekal dan abadi, maka kebergantungan dan kenikmatannya juga akan kekal. Jadi sarana mengikuti tujuan.

Syaikh berkata, "Baqa' adalah sebutan untuk sesuatu yang kekal dalam keadaan tegak setelah ada kefanaan dan keguguran kesaksian."

Dalam ungkapan ini ada keluwesan dan kerancuan makna, dan memang begitulah kebiasaan golongan ini. Baqa' adalah kekekalan dan keberlangsungan wujud. Ada dua macam baqa': Terikat dan tidak terikat. Yang terikat adalah baqa' hingga waktu tertentu, sedangkan yang tidak terikat ialah yang abadi secara terus-menerus tanpa ada batas akhirnya. Dalam batasan ini, maka baqa' memiliki makna yang lebih jelas. Tetapi ketika baqa' ini dimaksudkan sebagai sifat dan kedudukan hamba, maka artinya menjadi umum untuk segala jenis yang membuat hamba menjadi kekal karena sifat-sifatnya, setelah ada kefana'an dalil yang menunjukkan kepada hakikat. Kesaksian menurut Syaikh adalah semua rupa. Tapi boleh jadi yang dimaksudkan adalah tanda-tanda kesaksian, sehingga bias diartikan bahwa tanda-tanda bisa menghantarkan kepada kesaksian. Maka kesaksian itu tetap tegak setelah ada kefana'an tanda-tandanya. Yang pasti dalam hal ini, bahwa Allah membuat apa-apa selain-Nya menjadi fana' dan baqa'. Sedangkan selain Allah adalah tanda dan rupa semata.

Ada tiga derajat baqa', yaitu:

1. Baqa'nya sesuatu yang diketahui setelah gugurnya ilmu secara pandangan mata dan bukan secara ilmu.

Sepintas lalu perkataan Syaikh, "Baqa'nya sesuatu yang diketahui setelah gugurnya

ilmu", adalah saling bertentangan, sehingga sesuatu itu seakan diketahui dan tidak diketahui. Sesuatu yang diketahui menjadi tidak diketahui kecuali jika ada ilmu. Lalu bagaimana mungkin ia dianggap diketahui jika disertai gugurnya ilmu? Jawabannya ada dua macam: Pertama, ada gambaran sesuatu yang diketahui di dalam hati orang yang mengetahui. Kedua, pengetahuan orang yang mengetahui tentang pengetahuan sesuatu yang diketahui. Jadi ini merupakan urus-an di balik rupa. Adakalanya seseorang melihat sesuatu dan dapat mendengarkannya, padahal sesuatu itu tidak diketahuinya. Di sini ada kekuatan yang membuatnya tahu, yang apabila hamba bergantung kepadanya, maka sesuatu itu menjadi hal yang diketahuinya. Di sini ada keadaan ketiga yang muncul, yaitu perasaan, ilmu dan pengetahuan.

2. Baqa'nya kesaksian setelah gugurnya kesaksian, secara wujud dan bukan secara sifat.

Posisi kesaksian di atas ilmu, karena kesaksian merupakan ilmu dengan pandangan, sehingga beralih dari sekedar kesaksian ke wujud. Maka apa yang disaksikan tetap ada setelah ia hanya sekedar disaksikan. Martabat wujud di atas kesaksian, karena wujud merupakan perolehan secara langsung, sedangkan kesaksian merupakan perolehan menurut ilmu.

3. Baqa'nya yang senantiasa benar (Allah) dan fana'nya makhluk yang dihapuskan. Di dalam hati hamba ada kekuasaan hakikat dan cahaya kebersamaan, sehingga di dalam hati itu tidak ada pengaruh makhluk, sebagaimana cahaya bintang yang hilang karena terbitnya sinar matahari. Derajat pertama merupakan baqa' dalam martabat ilmu, yang kedua merupakan baqa' dalam martabat kesaksian dan yang ketiga merupakan baqa' dalam martabat wujud. Dengan kata lain, apa yang diketahui menggugurkan kesaksian ilmu. Ilmu menggugurkan dan apa yang diketahui menetapkan.

Wujud

Syaikh berkata, "Allah menyebutkan istilah wujud (mendapati) di beberapa tempat dalam Al-Qur'an secara jelas, yang diarahkan kepada Diri-Nya. Firman-Nya : "... tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (An-Nisa': 64). "Dan, didapatinya Allah di sisi-Nya." (An-Nur: 39).

Syaikh berkata, "Wujud ialah keberuntungan mendapati hakikat sesuatu. Wujud merupakan istilah untuk tiga makna: Pertama, mendapati ilmu ladunny, yang memotong ilmu-ilmu kesaksian dalam kebenaran pengungkapan Allah terhadap dirimu. Kedua, mendapati Allah secara langsung, terlepas dari isyarat. Ketiga, mendapati kedudukan ketiadaan rupa karena tenggelam dalam hal yang diutamakan."

Masalah ini merupakan ilmu yang menjadi pusat perhatian dan tujuan golongan ini. Tidak dapat diragukan bahwa mereka juga mengartikannya dengan makna yang benar, lalu mengungkapkannya dengan istilah wujud (mendapati). Mereka mengacu kepada ayat-ayat ini dan juga lainlainnya yang serupa. Tetapi maksud yang mereka

kehendaki dari mendapati tidak seperti yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut, karena ini berarti mendapati yang bergantung kepada nama atau sifat atau sesuatu. Tapi yang mereka maksudkan adalah seperti yang disebutkan di dalam atsarllahyyang terkenal, "Wahai anak Adam, carilah Aku niscaya engkau akan mendapati Aku. Jika kamu mendapati Aku, maka kamu akan mendapati segala sesuatu, dan jika kamu tidak mendapati, maka kamu tidak akan mendapati segala sesuatu. Aku lebih mencintaimu daripada kepada segala sesuatu." Atau seperti yang disebutkan dalam hadits shahih, bahwa Allah befirman pada hari kiamat, "Wahai hamba-Ku, Aku memberimu makan namun kamu tidak memberi-Ku makan...."

Perhatikan firman Allah dalam masalah memberi makan dan minum : "Niscaya kamu mendapati yang demikian itu di sisi-Ku." Sementara Allah befirman dalam hal mengunjungi orang sakit, "Niscaya kamu mendapati Aku ada di sisinya", dan tidak befirman seperti yang pertama.

Hal ini mengisyaratkan bahwa Allah lebih dekat dengan orang yang sakit dan bahwa Allah benar-benar ada di sisinya. Padahal Allah ada di atas langit-Nya dan beristiwa' di atas 'Arsy.

Manusia bisa dibedakan menjadi tiga golongan: Orang yang sedang berjalan, orang yang sampai dan orang yang mendapati. Jika engkau katakan, "Berikan contoh kepadaku, agar saya dapat memahami makna sampai dalam masalah ini dan mendapati."

Dapat saya jawab sebagai berikut: Jika didengar informasi bahwa di tempat tertentu ada harta karun yang melimpah, lalu ada yang mendapatkannya, tentu dia menjadi kaya raya tujuh keturunan, maka dia akan tergerak untuk menuju tempat tersebut. Jika dia mengadakan segala persiapan dan melakukan perjalanan hingga benar-benar tiba di tempat harta karun tersebut, berarti dia sampai ke sana. Tetapi belum tentu dia bias membawa harta karun itu ke rumahnya. Dia sampai tapi tidak mendapatkan.

Sedangkan orang yang masih dalam perjalanan adalah orang yang sedang berjalan. Orang yang hanya duduk dan tidak mencari adalah orang yang terputus. Orangyangbisa membawa harta karunke rumahnya adalah orang yang mendapati. Makna seperti inilah yang dikehendaki golongan ini. Pada permulaannya mereka berusaha untuk mendapati, lalu mendapati pada pertengahannya dan didapati pada akhirnya.

Perkataan Syaikh, "Wujud ialah keberuntungan mendapati haki-kat sesuatu", bahwa wujud di sini adalah kata benda dari wajada yajidu. Sedangkan al-wajidu yang termasuk dalam Asma'ul-Husna bagi Allah, artinya adalah memiliki kecukupan dan kekayaan, kebalikan dari orang yang kehilangan.

Keberuntungan mendapati sesuatu, jika termasuk dalam masalah ilmu dan ma'rifat, maka artinya adalah ma'rifat yang berjalan di atas batasan ilmu. Jika tertuju kepada hal-hal yang dipandang, maka itu termasuk pandangan, yang berarti di atas ma'rifat.

Yang dimaksud ilmu ladunny seperti yang dikatakan Syaikh di atas adalah ma'rifat. Disebut ladunny karena hal ini merupakan salah satu cara pengenalan Allah yang disusupkan ke dalam hati hamba, yang dapat memotong segala macam bisikan dan menghilangkan keraguan serta menggantikan peranan pandangan mata. Karena itu dikatakan, "Memotong ilmu kesaksian." Ilmu kesaksian menurut Syaikh adalah ilmu penuntutan bukti, yang terputus karena mendapati ilmu ini. Orangnya naik ke tingkat yang lebih sempurna lagi. Orangnya naik dari ilmu yang diperoleh dari kesaksian ke ilmu yang didapati dengan rasa dan batin.

Perkataan Syaikh, "Mendapati Allah secara langsung", artinya mendapati dengan pandangan dan bukan sekedar mendapati menurut pengabaran. Maksudnya, hati yang melihat Allah dengan hakikat keyakinan.

Perkataan Syaikh, "Mendapati kedudukan ketiadaan rupa karena tenggelam dalam hal yang diutamakan", terkandung kerancuan. Hakikatnya, orang yang ada dalam derajat ini sibuk dengan apa yang didapatinya daripada kesibukannya untuk menempatkan diri sebagai orang yang mendapati.

Derajat pertama adalah mendapati ilmu. Derajat kedua adalahmendapati pandangan. Derajat ketiga adalah mendapati kedudukan yang meniadakan selain apa yang didapati.

Al-Jam'u

Pengaran Manazilus-Sa'irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah al-jam'u (penyatuan) ini : "Dan, bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi

Allahlah yang melempar." (Al-Anfal: 17).

Saya katakan, bahwa ada segolongan orang yang meyakini bahwa maksud ayat ini adalah perampasan terhadap tindakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan mengaitkannya kepada Allah. Mereka menganggap hal ini merupakan murni kekuasaan Allah dan pengguguran penisbatan perbuatan kepada hamba, yang berarti hanya dinisbatkan kepada Allah semata. Tentu saja ini merupakan pendapat yang salah dalam memahami Al-Qur'an. Kalaupun pendapat ini dianggap betul, tentu akan ada penolakan terhadap semua tindakan, sehingga bisa dikatakan, "Bukanlah aku yang shalat ketika aku shalat. Bukanlah aku yang puasa ketika aku puasa. Bukanlah aku yang bekorban ketika aku bekorban, tetapi Allahlah yang melakukan semua itu." Jika mereka menolak yang demikian itu, berarti semua perbuatan juga akan ditolak, yang berupa ketaatan mau-pun kedurhakaan, tanpa ada bedanya. Jika mereka mengkhususkannya bagi beliau semata, berarti mereka telah melakukan hal yang kontradiktif. Yang pasti mereka tidak baik dalam memahami maksud ayat ini.

Ayat ini turun berkaitan dengan lemparan Rasulullah Shallallahu Alaihi -wa Sallam terhadap orang-orang musyrik sewaktu perang Badr, yaitu berupa kerikil. Setiap

kali kerikil itu mengenai wajah seseorang di antara mereka, maka orang itu pun mati. Sebagaimana yang diketahui, lemparan manusia tidak akan sehebat itu. Sumber lemparan dari beliau atau beliau-lah yang melempar, namun kesudahan lemparan itu berasal dari Allah, yang disebut ishal (penyampaian). Lemparan dinisbatkan kepada beliau yang menjadi sumber, namun kesudahannya dinajikan dari beliau. Yang serupa dengan kalimat adalah potongan ayat sebelumnya : "Bukan kamu yang membunuh mereka, tetapi Allahlah yang membunuh mereka." (Al-Anfal: 17).

Allah mengabarkan bahwa hanya Dialah yang membunuh mereka, dan itu bukan karena kalian, sebagaimana Allah yang menyampaikan kerikil ke mata mereka, yang kesudahannya bukan berasal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Tetapi sisi pengisyaratan dengan ayat ini, bahwa Allah menegakkan sebab yang zhahir, seperti menghadapi orangorang musyrik dan penghancuran mereka dengan sebab-sebab batin dan bukan sebab-sebab yang dapat dilihat manusia. Kemenangan yang diperoleh, jatuhnya korban yang banyak di pihak orang-orang musyrik dan kemenangan di pihak orang-orang Muslim dikaitkan kepada Allah, dan Dia adalah sebaik-baik penolong.

Syaikh berkata, "Al-Jam'u ialah yang menggugurkan pemisahan, memotong isyarat, menutup mata dari air dan tanah, setelah ada kebenaran ketetapan, keanekaragaman dan kesaksian yang mendua. Penyatuan ada tiga derajat: Penyatuan ilmu, penyatuan wujud dan penyatuan diri." Perkataannya, "Al-Jam'u ialah yang menggugurkan pemisahan", merupakan batasan yang tidak mampu memilah antara yang terpuji dan yang tercela. Al-Jam'u dapat dibagi antara yang benar dan batil. Sedangkan pemisahan dibagi antara yang terpuji dan dan tercela. Keduanya tidak dipuji secara mutlak dan tidak pula dicela secara mutlak. Yang dimaksud aljam'u adalah jam'ul-wujud, yaitu al-jam'u menurut versi orang-orang ateis yang menganggap adanya wahdatul-wujud. Sedangkan maksud pemisahan adalah pemisahan antara yang dahulu dan yang baru, antara Khaliq dan makhluk. Mereka berkata seperti yang dikatakan Syaikh ini.

Al-Jam'u juga bisa diartikan penyatuan antara kehendak dan pencarian untuk mendapatkan apa yang dicari. Sedangkan pemisahan ialah pemisahan hasrat dan kehendak. Ini merupakan penyatuan yang terpuji dan pemisahan yang tercela. Batasan penyatuan yang benar ialah yang meniadakan pemisahan ini. Sedangkan penyatuan yang meniadakan pemisahan antara Rabb dan hamba, Khaliq dan makhluk, maka ini membatilkan yang batil. Pemisahan inilah yang benar. Orang yang berpegang kepada pemisahan inilah orang-orang yang berpegang kepada Islam, iman dan ihsan, sebagaimana orang yang berpegang kepada penyatuan itu adalah orang-orang ateis, kafir dan musyrik.

Al-Jam'u juga bisa diartikan penyatuan kesaksian, dan pemisahan adalah yang menajikan hal itu. Jika tidak ada perbedaan di mata orang yang mempersaksikan, berarti dia menetapkan perbedaan. Yang berarti itu merupakan penyatuan dalam kesaksiannya secara khusus.

Jika engkau sudah tahu semua ini, berarti al-jam'u yang benar ialah yang menggugurkan pemisahan tabiat jiwa, yaitu jenis pemisahan yang tercela. Sedangkan pemisahan yang bersifat perintah syariat, yaitu antara yang diperintahkan dan yang dilarang, antara yang dicintai dan yang dibenci, maka tidak ada pujian yang diberikan kepada penyatuan yang digugurkannya, tetapi dicela.

Perkataannya, "Memotong isyarat", tidak jauh berbeda dengan menggugurkan pemisahan. Menurut orang-orang ateis, karena isyarat itu terkait antara dua hal, antara yang memberi isyarat dan yang diberi isyarat, maka akan ada penduaan. Jika ada kesatuan, maka muncul pula penyatuan. Jika tidak ada penduaan, maka tidak ada isyarat. Sedangkan menurut ahli tauhid, isyarat terpotong jika ada kesempurnaan penyatuan hati dengan Allah, sehingga tidak ada lagi tempat untuk isyarat. Sebab penyatuannya dengan hal yang dicari dan dikehendaki, tidak memerlukan lagi isyarat.

Perkataannya, "Menutup mata dari air dan tanah", bisa jadi yang dimaksudkan dengan air dan tanah di sini adalah Bani Adam serta jiwanya. Artinya menutup mata dan berpaling dari manusia serta menggantungkan hati kepada mereka. Hal ini disebutkan secara khusus, karena memang inilah yang paling banyak menjadi gantungan dan yang paling sulit dipisahkan. Jika hati hamba dipalingkan dari manusia secara total dan dijauh-kan dari mereka, maka itulah yang lebih baik baginya. Tapi menutup mata dari air dan tanah ini juga bisa diartikan berpaling dari hukum-hukum tabiat yang rendah, yang muncul dari air dan tanah, lalu beralih ke hukum-hukum ruh yang tinggi. Dengan hikmah dan keagungan ciptaan-Nya, Allah telah menjadikan manusia memiliki dua substansi, yaitu substansi tabiat yang kasat atau jasad, dan substansi spiritual yang lembut atau ruh. Keadaan setiap bentuk akan cenderung kepada bentuknya. Ada manusia yang tertarik kepada alam tabiat dengan segala kekasatannya, dan ada pula manusia yang tertarik kepada alam rohani dengan segala kelem-butannya. Sementara di dalam diri manusia ada dua kekuatan yang saling menolak. Yang satu menariknya ke bawah dan yang satu menariknya ke atas. Siapa yang meninggalkan tabiat air dan tanah lalu beralih ke tempat ruh yang tinggi, yang sama sekali tidak memiliki unsur alam bawah ini, maka dia termasuk orang yang ada dalam penyatuan yang terpuji.

Perkataannya, "Penyatuan ada tiga derajat: Penyatuan ilmu, penyatuan wujud dan penyatuan diri", maksud penyatuan ilmu ialah peleburan ilmu kesaksian dalam ilmu ladunny. Maksud penyatuan wujud ialah peleburan kesudahan pengaitan dalam apa yang didapati. Maksud penyatuan diri adalah peleburan segala apa yang dibawa isyarat ke dalam Dzat Allah secara sebenarnya.

Ilmu kesaksian ialah yang diperoleh dari pencarian dalil dengan menggunakan atsar atas pemberi atsar, dengan menggunakan ciptaan atas pencipta. Semua ciptaan merupakan kesaksian, dalil dan atsar. Jadi ilmu kesaksian ialah yang dilandaskan kepada kesaksian yang diperolehnya.

Sedangkan ilmu ladunny ialah ilmu yang disusupkan Allah ke dalam hati sebagai ilham, tanpa ada sebab yang datang dari hamba dan juga tanpa penuntutan dalil.

Dapat saya katakan, bahwa ilmu yang diperoleh dengan kesaksian dan dalil adalah ilmu yang hakiki. Sedangkan ilmu yang katanya diperoleh tanpa kesaksian dan dalil, maka sama sekali tidak bisa dipercaya dan tidak bisa disebut ilmu. Ilmu yang diperoleh dengan kesaksian dan dalil bias menguat dan bertambah, sehingga ilmu yang dikuasai bisa seperti sesuatu yang disaksikan, yang gaib seperti nyata, ilmul-yaqin seperti ainul-yaqin.

Pada awal mulanya berupa rasa, kemudian pelaksanaan, dugaan, ilmu, ma'rifat, ilmul-yaqin, ainul-yaqin, lalu haqqul-yaqin, kemudian setiap martabat melebur ke martabat di atasnya. Rentetan inilah yang dikatakan benar.

Jika ada yang mengaku mendapatkan ilmu tanpa sebab dari pencarian dalil, maka sama sekali tidak benar. Sebab Allah mengaitkan pemberian ma'rifat dengan sebab-sebabnya, sebagaimana Dia mengaitkan semua unsur alam dengan sebab-sebabnya. Seorang hamba tidak bias mendapatkan ilmu kecuali dengan dalil yang menunjukkannya. Allah telah mendukung para rasul-Nya dengan berbagai macam dalil dan bukti keterangan yang menunjukkan kepada mereka bahwa apa yang mereka bawa berasal dari sisi Allah. Bukti keterangan ini merupakan dalil dan kesaksian bagi para rasul itu serta umatnya. Dalil dan kesaksian yang mereka miliki merupakan dalil dan kesaksian yang paling agung. Allah mempersaksikan kebenaran mereka dengan menegakkan kesaksian. Semua ilmu yang tidak dilandaskan kepada dalil hanya sekedar bualan yang tidak memiliki bukti pendukung dan merupakan hukum yang tidak memiliki bukti keterangan. Jika begitu keadaannya, berarti itu bukan merupakan ilmu, apalagi ilmu ladunny yang berasal dari samping Allah.

Ilmu ladunny adalah yang didukung dalil yang benar, yang dating dari sisi Allah lewat lisan para rasul-Nya. Selain itu, maka berasal dari diri manusia, yang darinya berasal dan kepadanya kembali. Bendungan ilmu ladunny bisa saja meluber dan nilainya menjadi sangat murah, sehingga setiap golongan bisa membuat pengakuan bahwa ilmunya adalah ilmu ladunny. Sehingga siapa pun yang bicara tentang hakikat iman, perjalanan, masalah asma' dan sifat seperti yang dikehendaki dan menurut bisikan syetan di dalam hatinya, mengatakan bahwa apa yang dimilikinya adalah ilmu ladunny. Orang-orang ateis dan zindiq juga menyatakan bahwa ilmu yang dimilikinya adalah ilmu ladunny. Begitu pula para teolog, sufi dan para filosof. Masing-masing membuat pernyataan yang sama. Di antara mereka ada yang benar dan ada pula yang dusta. Kata ladunny berasal dari ladun, yang berarti inda. Seakan-akan mereka juga bisa menyebutnya ilmu indy. Dengan mengabaikan makna yang lebih detail dari inda atau ladun, yang penting adalah keadaan orangnya. Sementara Allah menyam-paikan celaan

yang tegas terhadap orang yang menisbatkan kepada-Nya sesuatu yang sama sekali bukan berasal dari sisi-Nya, seperti firman-Nya : "Mereka mengatakan, 'ia dari sisi Allah', padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui." (Ali-Imran: 78).

Siapa pun yang mengatakan," Ilmu ini datang dari sisi Allah", maka dia adalah seorang pendusta, dan dia layak mendapat celaan yang banyak. Yang seperti ini banyak disebutkan di dalam Al-Qur'an. Orang yang mengatakan, "Ini ilmu ladunny", padahal dia tidak tahu betul bahwa ilmunya benar-benar berasal dari sisi Allah dan tanpa didukung bukti keterangan dari Allah bahwa ia berasal dari sisi-Nya, maka dia adalah seorang pendusta, lancang terhadap Allah dan orang yang paling zhalim di antara orang-orang yang zhalim.

Syaikh juga berkata, "Al-Jam'u adalah tujuan kedudukan orangorang yang melakukan perjalanan dan merupakan satu tepian dari lautan tauhid." Dengan kata lain, selagi seseorang masih berada di dalam perjalanannya, berarti dia harus memisahkan diri dengan penuntutan dalil dan pencarian kesaksian. Jika sudah tiba di kedudukan ma'rifat, dan hasratnya hanya berupa satu hasrat, yaitu Allah, maka dia akan singgah di persinggahan al-jam'u dan siap mengarungi lautan tauhid, yang di dalamnya segala sesuatu selain Allah melebur. Jadi al-jam'u menurut Syaikh merupakan kesudahan atau akhir perjalanan orang-orang yang berjalan kepada Allah.

Anggapan seperti ini tidak bisa diterima secara mutlak. Sebab tujuan kedudukan orang-orang yang mengadakan perjalan kepada Allah adalah taubat, yang sekaligus merupakan permulaan persinggahan mereka. Boleh jadi engkau akan menolak pendapat saya ini, sambil engkau katakan, "Ini adalah ucapan orang yang tidak mengenal sedikit pun jalan golongan ini." Demi Allah, bahkan banyak orang yang sependapat denganmu dalam hal ini, sambil berkata, "Lalu di mana kami? Di mana kami berjalan? Sementara kami sudah melewati persinggahan taubat dan antara kami dan taubat itu sudah terlewatkan seratus persinggahan. Lalu apakah kami kembali lagi ke seratus persinggahan dan menjadikan taubat itu sebagai tujuan kedudukan orang-orang yang berjalan kepada Allah?"

Sekarang mohon dengarkan dan simak baik-baik. Jangan terburu apriori dan tergesa-gesa menyanggah. Bukanlah pikiranmu untuk mengenal siapa dirimu, hak-hak Rabb-mu, apa yang harus engkau penuhi dari hak-hak- Nya, kemudian kaitkanlah amal-amal dan keadaanmu serta per-singgahanpersinggahan yang telah engkau singgahi dan kedudukanyang telah engkau tempati, yang semuanya dilakukan karena Allah dan bersama Allah. Jika engkau melihat hak-hak Allah itu sudah engkau penuhi semua, begitu pula hak setiap orang yang mempunyai hak, berarti engkau tidak memerlukan taubat. Kembali kepada taubat ini merupakan perjalanan dari kedudukan yang tinggi ke bawah, kembali dari tujuan ke permulaan. Tentu saja hal ini jauh dari gambaran orang-orang yang menisbatkan diri dengan masalah ini.

Namun jika engkau melihat semua amalmu, keikh-lasan, tawakal, kebergantungan, zuhud, ibadah, sama sekali tidak mampu memenuhi hak sedikit pun yang semestinya engkau penuhi, padahal hak Allah jauh lebih besar lagi, maka ketahuilah bahwa taubat merupakan kesudahan setiap orang yang arif dan tujuan setiap orang yang mengada-kan perjalanan.

Kedudukannya sebagai permulaan sama dengan kedudukannya sebagai kesudahan. Kebutuhan kepada taubat ini pada kesudahannya jauh lebih besar daripada kebutuhan kepadanya pada permulaannya, bahkan merupakan sesuatu yang sangat urgen.

Sekarang simak apa yang difirmankan Allah kepada Rasul-Nya pada kesudahan urusan Islam dan bagaimana akhir hayat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang justru lebih banyak memohon ampunan. Allah berfirman : "Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka." (At-Taubah: 117).

Ayat ini diturunkan seusai perang Tabuk, dan merupakan peperangan terakhir yang diikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Allah memberikan ampunan kepada mereka semua, seakan-akan sebagai ungkapan terima kasih atas apa yang mereka perbuat, yaitu jihad. Allah juga befirman pada akhir wahyu yang diturunkan kepada beliau, yaitu surat An-Nashr : "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat."

Di dalam Ash-Shahih disebutkan, bahwa setelah turun surat ini, maka beliau tidak pernah ketinggalan mengucapkan seusai shalat, "Mahasuci Engkau ya Allah, Rabb kami dan segala puji-Mu, ya Allah, ampunilah aku."

Itulah yang terjadi pada kesudahan urusan beliau dan pada masamasa akhir hayat beliau. Maka para ulama dari kalangan shahabat, seperti Umar bin Al-Khaththab, Abdullah bin Abbas dan lain-lainnya memahami bahwa ini merupakan pertanda kedekatan ajal yang diberitahukan kepada beliau. Allah memerintahkan agar beliau memohon ampunan pada saatsaat itu, apa pun keadaan dan kedudukan beliau. Di samping itu, ucapan terakhir yang sempat didengar saat beliau menghadap Rabb adalah, "Ya Allah, ampunilah aku, pertemukanlah aku dengan Penyerta Yang Mahatinggi." Beliau juga mengakhiri setiap amal dengan istighfar, seperti puasa, shalat, haji dan jihad. Beliau juga mensyariatkan penutup majlis dengan istighfar, sekalipun itu majlis untuk kebaikan dan ketaatan. Begitu pula yang harus dilakukan hamba ketika mengakhiri

amal kesehariannya. Saat hendak tidur, sebaiknya dia mengucapkan, "Aku memohon ampunan kepada Allah, yang tidak ilah selain Dia, Yang Maha hidup lagi Maha Berdiri sendiri. Aku bertaubat kepada-Nya."

Tauhid

Pengarang Manazilus sa’irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah tauhid ini : "Allah menyatakan bahwa tidak ada Ilah selain Dia, para malaikat dan

orang-orang yang berilmu...." (Ali Imran: 18).

Syaikh berkata, "Tauhid adalah membebaskan Allah Azza wa Jalla dari sifat yang baru. Para ulama dan juga para peneliti juga telah membe-rikan isyarat tentang masalah ini, dengan tujuan untuk meluruskan tauhid. Sedangkan selainnya yang berupa keadaan atau kedudukan, tentu disertai dengan alasan."

Dapat saya katakan, bahwa tauhid adalah dakwah yang pertama kali diserukan para rasul dan awal persinggahan dalam perjalanan serta kedudukan pertama bagi orang yang sedang berjalan kepada Allah. Firman-Nya : "Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh lalu dia berkata, 'Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagi kalian selain- Nya."(Al-A'raf: 59).

Begitu pula yang diserukan Hud, Shalih, Syu'aib dan rasul-rasul lainnya, sebagaimana firman-Nya : "Dan, sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), 'Sembahlah Allah dan jauhilah Thaghut'." (An- Nahl: 36).

Tauhid merupakan kunci dakwah para rasul. Karena itu RasulullaShallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Mu'adz bin Jabal saat mengutusnya ke Yaman, "Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab. Maka hendaklah seruanmu yang pertama kepada mereka adalah menyembah Allah semata. Jika mereka mau bersak-si bahwa tiada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, maka

sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam." Begitu selanjutnya.

Beliau juga pernah bersabda, "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah." Karena itu yang benar, kewajiban pertama kali yang harus dibebankan kepada orang mukallaf adalah kalimat syahadat ini, bukan memandang Allah dan tujuan untuk memandang seperti yang dikatakan golongan- golongan tertentu yang tercela. Tauhid adalah pintu pertama untuk masuk Islam dan pintu terakhir untuk keluar dari dunia, sebagaimana yang disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam : "Barangsiapa yang perkataannya yang terakhir la ilaha illallah, niscaya dia masuk surga." Tauhid merupakan kewajiban pertama dan juga yang terakhir. Tauhid adalah urusan pertama dan juga terakhir.

Perkataannya, "Tauhid adalah membebaskan Allah Azza wa Jalla dari sifat yang baru", batasan seperti ini tidak menunjukkan kepada tauhid yang disampaikan Allah kepada para rasul-Nya, atau seperti yang diturunkan di dalam Kitab-Nya dan tidak pula menyelamatkan hamba dari api neraka, memasukkan ke surga dan mengeluarkan dari syirik. Pengertian ini bisa dinyatakan setiap golongan. Siapa pun yang menetapkan adanya Khaliq, bisa menetapkan seperti itu. Para penyembah berhala, orang-orang Majusi, Nasrani, Yahudi dan juga orang-orang musyrik membebaskan Allah dari sifat yang baru dan menetapkan sifat qidam-Nya. Bahkan golongan yang paling kafir pun juga menetapkan seperti itu.

Para filosof yang paling jauh dari syariat dan apa yang dibawa para nabi, menetapkan keharusan wujud yang qadim dan yang terbebas dari sifat yang baru. Orang-orang musyrik yang menyembah sesembahan lain dengan Allah, juga menetapkan hal yang sama. Pembebasan dari sifat yang baru adalah suatu kebenaran, tetapi tidak memberikan pengertian Islam dan iman, tidak memasukkan ke dalam syariat dan tidak mengeluarkan dari golongan orang-orang kufur. Mestinya pengertian ini tidak mungkin terabaikan oleh Syaikh.

Namun begitu pemuka golongan ini, yaitu Al-Junaid pernah ditanya tentang tauhid. Maka dia menjawab, "Tauhid adalah menyendirikanyang qadim dari hal-hal yang baru." Dia mengisyaratkan bahwa penetapan tauhid tidak dianggap benar, begitu pula keadaan dan kedudukannya serta seorang hamba tidak dianggap ahli tauhid, kecuali jika dia menyen-dirikan yang qadim dari hal-hal yang baru. Sebab banyak orang yang menetapkan tauhid, tapi tidak menyendirikan Allah dari hal-hal yang baru. Siapa yang meniadakan perbedaan-Nya dengan makhluk-Nya, yang berada di atas 'Arsy, dan menjadikan-Nya ada di setiap tempat dengan Dzat-Nya, berarti dia tidak menyendirikan-Nya dari hal-hal yang baru, tetapi menjadikan-Nya sebagai suatu keadaan dalam hal-hal yang baru, ada di sana dengan Dzat-Nya. Orang-orang sufi dan para ahli ibadah di antara mereka adalah golongan Hululiyah, yang berkata, "Dengan Dzat-Nya Allah berada pada

makhluk-makhluk." Mereka ini ada dua golongan: Pertama, mengatakan bahwa Allah menitis dalam segala yang ada. Kedua, mengatakan bahwa Allah menitis pada hal-hal tertentu tanpa yang lain."

Tapi menurut hemat saya, mereka ini ada dua golongan. Yang pertama menganggap bahwa Allah menetap di benda-benda yang indah dan bagus. Yang kedua menganggap bahwa Allah berada di dalam diri orang-orang

yang sempurna, yaitu mereka yang bisa melepaskan diri dari nafsu, memiliki sifat-sifat keutamaan dan menjauhi hal-hal yang hina. Sementara orang-orang Nasrani menganggap Allah berada di badan Isa Al-Masih. Sedangkan Ittihadiyah menganggap Allah sebagai wujud yang tidak bias dibatasi, yang bisa didapatkan dengan cara-cara tertentu, dan itu merupakan wujud-Nya. Mereka semua tidak menyendirikan yang qadim dari hal hal yang baru.

Penyendirian seperti yang telah diisyaratkan Al-Junaid ini ada dua macam:

- Penyendirian dalam keyakinan dan pengabaran. Yang ini pun ada dua macam: Pertama, menetapkan perbedaan Allah dengan makhluk, keberadaan-Nya di atas 'Arsy dan di atas langit seperti yang ditegaskan dalam kitab-kitab yang mengupas tentang Ilahiyah dan seperti yang dikabarkan para rasul. Kedua, penyendirian Allah dengan sifatsifat kesempurnaan-Nya dan penetapan sifat-sifat secara terinci seperti yang telah ditetapkan Allah bagi Diri-Nya serta yang ditetapkan para rasul, terhindari dari penyimpangan, penyerupaan dan pemutarbalikan.

- Penyendirian yang qadim dari hal-hal yang baru, yang berupa ibadah, seperti penyembahan, cinta, takut, harapan, pengagungan, tawakal, memohon pertolongan dan lain-lainnya. Dengan dua macam penyendirian inilah para rasul diutus, kitab-kitab diturunkan dan syariat-syariat ditetapkan. Karenanya langit dan bumi ditegakkan, surga dan neraka diciptakan, pahala dan siksa diadakan. Penyendirian Allah yang qadim dari hal-hal yang baru, berlaku untuk Dzat, sifat, perbuatan, cinta, tawakal, permohonan pertolongan, takut, harapan, peng-agungan dan taubat kepada-Nya. Karena itu pernyataan Al-Junaid tentang tauhid ini sudah betul.

Sementara jika yang dimaksudkan pengarang Manazilus-Sa'irin seperti itu, maka tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan. Tapi yang dimaksudkan adalah membebaskan Allah dari perbuatan yang dipilih Nya, yang ditegaskan orang-orang yang menajikan perbuatan Allah sebagai penitisan hal-hal yang baru, atau menjadikannya sebagai pembebasan Allah dari kesempurnaan tauhid, sehingga seakan-akan dia berkata, "Tauhid adalah pembebasan Allah dari penitisan hal-hal yang baru", sementara hakikat yang mereka kehendaki adalah meniadakan perbuatan Allah secara keseluruhan, maka ini adalah sesuatu yang musta-hil. Sama dengan mengakui adanya pelaku namun meniadakan perbuat-annya sama sekali. Jika yang dimaksudkannya adalah membebaskan Allah dari ciriciri hal yang baru dan kekhususan makhluk, maka itu benar. Tapi di sini

ada kekurangan dalam mengartikan tauhid. Sebab penetapan sifat kesempurnaan merupakan dasar tauhid. Jadi kesempurnaan penetapan itu ialah membebaskan Allah dari ciri-ciri hal yang baru dan kekhususan makhluk.

Berbagai golongan telah membagi-bagi tauhid dan setiap golong-an menyebut kebatilannya sebagai tauhid. Para pengikut Aristoteles, Ibnu Sina dan Ath-Thusy juga memiliki pengertian tersendiri tentang tauhid, yaitu penetapan wujud yang terlepas dari hakikat dan sifat. Bahkan itu merupakan wujud yang tak mengenal batas, tidak bisa dihadapkan kepada hakikat sesuatu, tidak bisa disifati dan tidak memiliki ciri khusus. Semua sifatnya merupakan tambahan. Tauhid mereka adalah tujuan ateisme, pengingkaran dan kufur. Cabang dari tauhid ini adalah pengingkaran Dzat Allah dan anggapan tentang adanya angkasa terlebih dahulu, bahwa Allah tidak bisa membangkitkan manusia dari kubur, status nubuwah adalah sesuatu yang bisa dicari,

nubuwah adalah suatu profesi seperti halnya kekuasaan atau kepemimpinan, bahwa Allah tidak mengetahui jumlah planet dan tatasurya, tidak mengetahui sedikit pun dari hal-hal tertentu, bahwa di sana tidak ada halal dan haram, tidak ada perintah dan larangan, tidak ada surga dan neraka. Inilah tauhid mereka.

Sedangkan tauhid menurut golongan ittihadiyah, bahwa kebenar-an yang suci ialah jenis makhluk yang diserupai. Sementara Allah adalah inti wujud dari segala wujud, hakikatnya, tanda dari segala sesuatu, dan di dalam sesuatu ada tanda bahwa itu adalah diri Allah. Menurut mereka, sama saja orang yang menikah dan yang dinikahi, yang makan dan yang diberi makan, yang menyembelih dan yang disembelih. Cabang dari tauhid ini, bahwa Fir'aun dan kaumnya benar-benar beriman dengan keimanan yang sempurna, mereka juga mengenal Allah secara hakiki.

Cabangnya lagi, para penyembah berhala juga benar dalam hal ini, bahwa mereka menyembah Allah. Cabangnya lagi, bahwa kebenaran itu tidak membedakan antara yang dihalalkan dan yang diharamkan antara ibu, saudara perempuan dan wanita lain kerabat, tidak ada bedanya antara air dan khamr, tidak ada bedanya antara nikah dan zina. Semua berasal dari satu jenis, bahkan itulah jenisnya. Jika dikatakan kepada mereka, "Ini haram dan ini halal." Maka mereka menjawab, "Memang itu haram bagi kalian, karena kalian tidak mengetahui hakikat tauhid."

Tauhid menurut golongan Jahmiyah ialah mengingkari ketinggian Dzat Allah daripada makhluk-Nya, mengingkari keberadaan-Nya di atas 'Arsy, pendengaran, penglihatan, kekuatan, hidup, kalam, sifat-sifat, perbuatan, cinta-Nya dan cinta hamba kepada-Nya. Tauhid menurut mereka adalah mengingkari secara sungguh-sungguh apa yang disampaikan Allah kepada para rasul-Nya dan apa yang diturunkan di dalam kitab kitab Nya.

Tauhid menurut Qadariyah ialah mengingkari qadar Allah dan keumuman kehendak-Nya bagi semua alam dan kekuasaan-Nya terhadap alam. Generasi penerus mereka yang datang belakangan menggabungkannya dengan tauhid golongan Jahmiyah. Sehingga hakikat tauhid menurut mereka adalah pengingkaran qadar, hakikat asma'ul-husna dan sifat-sifat yang tinggi. Boleh jadi pengingkaran mereka terhadap qadar dan kufur terhadap qadha' Allah ini merupakan keadilan. Karena itu mereka berkata, "Kamilah orang-orang yang membawa bendera keadilan dan tauhid."

Tauhid menurut golongan Jabariyah ialah menyendirikan Allah dengan penciptaan dan perbuatan, bahwa hamba sama sekali tidak bias berbuat apa-apa, tidak bisa menciptakan perbuatan baru dan tidak kuasa untuk itu, bahwa Allah tidak berbuat untuk suatu hikmah dan tujuan yang perlu dituntut dengan perbuatan, bahwa makhluk tidak mempunyai kekuatan, tabiat, instink dan sebab.

Sedangkan menurut Syaikh dan para pengikutnya, tauhid ada dua macam: Pertama, tidak ada wujudnya dan tidak mungkin, yaitu tauhid hamba dengan Rubb-nya

Kedua, tauhid yang benar, yaitu tauhid Rabb dengan Diri-Nya. Siapa yang menyertakan dengan selain-Nya, maka dia adalah orang ateis.

Tauhid seperti yang diserukan para rasul Allah dan seperti yang diturunkan di dalam kitab-kitab-Nya ada di belakang semua itu. Hal ini ada dua macam:

- Tauhid dalam ma'rifat dan penetapan. Ini merupakan hakikat Dzat Allah, Asma', sifat, perbuatan, ketinggian-Nya di atas 'Arsy dan langit, kalam-Nya di dalam kitab, kalam-Nya kepada hamba yang dikehenda-ki- Nya, penetapkan keumuman qadha' dan qadar-Nya. Al-Qur'an te-lah menjelaskan masalah-masalah ini secara jelas, seperti yang ada dalam awal surat Al-Hadid, Thaha, akhir surat Al-Hasyr, awal surat As-Sajdah, awal surat Ali Imran, surat Al-Ikhlas dan lain-lainnya.

- Tauhid pencarian dan tujuan, seperti yang terkandung dalam surat Al- Kafirun, awal surat Yunus, pertengahan dan akhirnya, awal surat Al- A'raf dan akhirnya, di beberapa tempat dalam surat Al-An'am dan tempat- tempat lainnya.

Bahkan bisa dikatakan, setiap ayat dalam Al-Qur'an mengandung tauhid, mempersaksikannya dan menyeru kepadanya. Sebab Al-Qur'an itu, entah berupa pengabaran tentang Allah, asma', sifat dan perbuatan- Nya, yang merupakan tauhid ilmiah dan pengabaran, atau entah berupa seruan untuk menyembah-Nya semata tanpa menyekutukan-Nya dan melepaskan apa pun yang disembah selain-Nya, yang berarti merupakan tauhid kehendak dan pencarian, atau entah berupa perintah dan larangan, keharusan taat kepada-Nya dalam perintah dan larangan-Nya, yang berarti ini merupakan hak-hak tauhid dan penyempurnanya, atau entah berupa pengabaran tentang kemurahan Allah terhadap ahli tauhid dan yang taat kepada-Nya serta apa yang dilakukan Allah terhadap mereka di dunia dan di akhirat, yang berarti itu merupakan pahala bagi mereka, atau entah berupa pengabaran tentang apa yang dilakukan Allah terhadap orangorang musyrik, kehinaan yang ditimpakan kepada mereka di dunia dan adzab di akhirat, yang berarti ini merupakan pengabaran tentang orang yang keluar dari hukum tauhid.

Semua Al-Qur'an berkaitan dengan tauhid, hak-hak dan pahalanya, berkaitan dengan syirik, para pelakunya dan balasannya. Alhatndulillah adalah tauhid. Rabbil-'alamin adalah tauhid. Ar-Rahmanir-Rahim adalah tauhid, sampai ihdinash-shirathal-mustaqim adalah tauhid yang mengadung permohonan hidayah ke jalan ahli tauhid, yang mereka itu mendapat nikmat Allah. Ghairil-maghdhubi 'alaihim adalah orang-orang yang meninggalkan tauhid. Karena itu Allah mempersaksikan Diri-Nya dengan tauhid semacam ini, begitu pula para malaikat, nabi dan rasul-Nya : "Allah menyatakan bahwa tidak ada Ilah melainkan Dia, Yang tnenegakkan keadilan, (begitu pula) para malaikat dan orang-orang yang berilmu. Tidak ada Ilah melainkan Dia, Yang Maha perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam." (Ali Imran: 18-19).

Ayat yang mulia ini mengandung penetapan hakikat tauhid dan sanggahan terhadap semua golongan dan sekaligus merupakan kesaksi-an tentang kebatilan perkataan dan pendapat mereka. Hal ini akan terlihat nyata setelah memahami ayat ini, dengan menjelaskan kandungannya, berupa ma'rifat tentang Ilahiyah dan hakikat-hakikat iman. Ayat ini mengandung kesaksian yang paling agung, paling adil dan paling benar tentang keagungan yang dipersaksikan. Beberapa ungkapan yang disampaikan orang-orang salaf tentang kata syahida (menyatakan kesaksian), berkisar pada masalah hukum, peradilan, pemberitahuan, keterangan dan sekaligus pengabaran. Syahadah (kesaksian) mencakup perkataan orang yang memberi kesaksian, pengabaran, keterangan dan pemberitahuannya. Kesaksian mempunyai empat tingkatan:

- Ilmu, ma'rifat, keyakinan terhadap kebenaran yang diberi kesaksian dan penetapannya.

- Pembicaraan dan penyampaiannya tentang siapa yang diberi kesak- sian. Kalaupun dia tidak memberitahukannya kepada orang lain, tapi setidak-tidaknya dia membisiki dirinya sendiri. Dia bisa menyampaikannya atau menulisnya.

- Memberitahukan orang lain tentang apa yang dipersaksikan, diberitahukan dan dijelaskannya.

- Memerintahkan sesuai dengan kandungannya.

Kesaksian Allah terhadap Diri-Nya dengan wahdaniyah dan menegakkan keadilan, mengandung empat tingkatan ini: Ilmu Allah tentang hal itu, pembicaraan, pemberitahuan dan pengabaran-Nya kepada makhluk tentang hal itu dan perintah-Nya untuk melaksanakannya.

Tentang tingkatan ilmu, maka kesaksian tentang yang haq amat urgen. Jika tidak, maka orang yang memberi kesaksian bisa memberi kesaksian tentang apa yang tidak diketahuinya. Rasulullah Shallallahu Alaihiwa Sallam memerintahkan untuk memberi kesaksian seperti saat mempersaksikan matahari yang tampak jelas.

Tentang tingkatan penyampaian, maka siapa yang membicarakan sesuatu dan mengabarkannya, berarti dia mempersaksikannya, sekalipun mungkin dia tidak mengucapkan lafazh kesaksian. Firman Allah : "Dan, mereka menjadikan malaikat-malaikat, yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah YangMaha Pemurah, sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-malaikat itu? Kelak akan ditulis persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung jawaban." (Az-Zukhruf: 19).

Perkataan mereka yang demikian dijadikan Allah sebagai kesaksian, meskipun mereka tidak mengucapkan lafazh kesaksian dan tidak memberikan kesaksian di hadapan orang lain. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Kesaksian palsu sama dengan syirik kepada Allah."

Kesaksian palsu artinya perkataan palsu dan dusta. Kaum Muslimin sudah sepakat bahwa jika orang kafir mengucapkan la ilaha illallah Muhammad rasulullah, maka dia

sudah masuk Islam dan telah memberikan kesaksian secara benar. Islamnya tidak tergantung kepada lafazh syahadah.

Tentang tingkatan pemberitahuan dan pengabaran, maka dua macam: Pemberitahuan dengan menggunakan perkataan, dan pemberitahuan dengan menggunakan perbuatan. Begitulah yang dilakukan setiap orang yang ingin memberitahukan kepada orang lain tentang sesuatu, terkadang memberitahukannya dengan perkataan dan terkadang dengan perbuatannya. Maka siapa yang menjadikan tempat tinggal sebagai masjid, membuka pintunya bagi siapa pun yang masuk ke dalamnya, mengumandangkan adzan untuk shalat, berarti dia memberitahukan bahwa tempat tinggal itu menjadi wakaf, sekalipun dia tidak melafazhkannya. Tentang tingkatan perintah sesuai dengan kandungan kesaksian dan mengikutinya, maka jika hanya sekedar kesaksian memang tidak mengharuskan seperti itu. Tapi kesaksian dalam masalah ini menunjukkan keharusan itu, bahwa Allah mempersaksikan dengan Diri-Nya sebagai kesaksian pihak yang menetapkan hukum, yang memerintah dan yang mengharuskannya kepada hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya : "Dan, Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia." (Al-Isra': 23).

Implikasi kesaksian Allah ialah jika Allah bersaksi bahwa tiada llah selain Dia, berarti Allah mengabarkan, menjelaskan, memberitahukan dan menetapkan bahwa selain-Nya bukanlah llah, bahwa ketuhanan selain- Nya adalah batil dan siapa yang menetapkan seperti itu adalah orang zhalim yang paling zhalim. Selain-Nya tidak layak diibadahi dan dijadikan sesembahan. Dengan begitu ada keharusan menjadikan Allah sebagai satu satunya sesembahan dan larangan menjadikan selain-Nya sebagai

sesembahan. Hal ini tentu bisa dipahami lawan bicara dari pena-fian dan penetapan di atas, seperti jika engkau melihat seseorang yang hendak meminta fatwa atau meminta kesaksian atau meminta resep kedokteran dari orang yang bukan ahlinya dan dia meninggalkan orang yang ahlinya, lalu engkau berkata kepada orang itu, "Dia itu bukan mufti, bukan saksi dan bukan dokter. Mufti, saksi atau dokter yang engkau kehendaki adalah Fulan." Ini namanya perintah dan larangan yang datang dari dirimu. Firman Allah, "Menegakkan keadilan", merupakan kesaksian-Nya bahwa Dia menegakkan keadilan dalam tauhid-Nya dan menegakkan wahdaniyah dalam keadilan-Nya. Tauhid dan adil merupakan himpunan sifat-sifat kesempurnaan. Tauhid mengandung kesendirian Allah yang memiliki kesempurnaan, keagungan dan kebesaran, yang selain-Nya tidak layak memilikinya. Sedangkan keadilan mengandung kelurusan, kebenaran dan hikmah dalam perbuatan-Nya.

Sedangkan tauhid dan keadilan para rasul ialah penetapan sifat dan perintah untuk menyembah Allah semata tanpa menyekutukan-Nya, penetapan qadar dan hikmah, tujuan yang dicari dan yang terpuji dalam perbuatan dan perintah Allah, bukan seperti tauhidnya golongan Jahmiyah, Mu'tazilah dan Qadariyah, yang mengingkari sifat dan hakikat

asma'ul- husna. Keadilan menurut versi mereka adalah pendustaan terhadap qadar atau penafian hikmah dan tujuan serta akibat yang terpuji dari apa yang diperbuat dan diperintahkan Allah. Penegakan keadilan dalam kesaksian Allah ini mencakup beberapa pengertian, di antaranya: - Allah menegakkan keadilan dalam kesaksian ini, yang tentu saja ini merupakan kesaksian yang paling adil. Maka pengingkarannya merupakan tindakan yang paling zhalim. Tidak ada yang lebih adil daripa-da tauhid dan tidak ada yang lebih zhalim daripada syirik. Allah menegakkan keadilan dalam kesaksian ini secara perkataan dan perbuatan, dengan cara menyampaikan kesaksian itu dan mengabarkannya kepada hamba, menjelaskan hakikat dan kebenarannya, memerintahkan sesuai dengan keharusannya, menetapkan pahala dan siksa dengannya, memerintah dan melarang sesuai dengan hak dan kewajiban-nya. - Firman Allah, "Menegakkan", bias berarti sifat keadaan dari firman sebelumnya, "Melainkan". Artinya, bahwa tiada Ilah melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Hanya Allahlah yang memiliki Ilahiyah, disertai keadaan-Nya yang menegakkan keadilan. Pengertian ini bisa diterima dan lebih kuat, karena para malaikat dan orang-orang yang berilmu pun juga memberikan kesaksian bahwa tiada Ilah melainkan Dia, dan bahwa Dia menegakkan keadilan. Ayat tentang kesaksian Allah ini ditutup dengan sifat-Nya Al-Aziz AI-Hakim (Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana). Jadi ayat ini mengandung tauhid, keadilan, keperkasaan dan hikmah-Nya. Tauhid mengandung penetapkan sifat-sifat dan kesempurnaan-Nya, keagungan, tidak adanya sesuatu yang menyerupai-Nya, penyembahan-Nya semata tanpa sekutu.

Keadilan Allah mengandung peletakan segala sesuatu di tempatnya, penempatannya pada kedudukan masing-masing, tidak mengkhususkan sesuatu kecuali dengan apa yang memang menjadi kekhususan ketetapan-Nya, tidak menyiksa siapa yang tidak layak disiksa, tidak menahan dari orang yang layak diberi. Keperkasaan Allah mengandung kesempurnaan kekuasaan, kekuatan dan pemaksaan-Nya. Hikmah Allah mengandung kesempurnaan ilmu dan pengalaman-Nya, bahwa Dialah yang memerintah

dan melarang, mencipta dan berkuasa, yang semua itu tidak lepas dari hikmah dan tujuan yang terpuji.

Asma' Allah Al-Aziz mengandung kekuasaan dan asma'-Nya AIHakim mengandung pujian. Ayat dan kesaksian ini mengandung bukti tentang wahdaniyah Allah yang menajikan syirik, keadilan-Nya yang menajikan kezhaliman, keperkasaan-Nya yang menajikan kelemahan, dan hikmah-Nya yang menajikan kebodohan dan aib. Di dalamnya ada kesaksiandengan tauhid, keadilan, kekuasaan, ilmu dan hikmah. Karena itu ini merupakan kesaksian yang paling besar. Tidak ada yang menegakkan kesaksian ini dengan segala unsurnya di antara semua golongan kecuali Ahlus-Sunnah, sementara selainnya adalah ahli bid'ah yang tidak akan menegakkannya. Para filosof adalah orang-orang yang paling mengingkari dan menolak kandungan ayat ini, sejak awal hingga akhir. Sedangkan golongan Ittihadiyah paling jauh dari kandungan ayat ini, dan golongan Jahmiyah mengingkari hakikatnya.

Dalam kandungan kesaksian Ilahiyah ini terdapat pujian terhadap orang-orang yang berilmu, yang juga ikut memberikan kesaksian tersebut dan keadilannya. Allah menyertakan kesaksian mereka dengan kesaksian- Nya dan kesaksian para malaikat. Allah meminta kesaksian mereka terhadap Dzat yang paling agung untuk dipersaksikan, dan menjadikan mereka sebagai hujjah atas orang-orang yang mengingkari kesaksian ini, sebagaimana Dia memberikan hujjah dengan bukti keterangan yang nyata terhadap orang yang mengingkari kebenaran. Hujjah ditegakkan dan menyertai para rasul di hadapan makhluk. Orang-orang yang berilmu ini adalah para wakil rasul dan penggantinya dalam menegakkan hujjah Allah di hadapan manusia.

Ada yang menafsiri kesaksian orang-orang yang berilmu ini sebagai pengakuan. Ada pula yang menafsirinya dengan penampakan. Yang benar, kesaksian ini mengandung kesaksian, penampakan dan pemberitahuan. Mereka adalah saksi-saksi Allah atas manusia pada hari kiamat. Firman-Nya : "Dan, demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian." (Al-Baqarah: 143).

"Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur'an) ini, supaya Rasul menjadi saksi atas diri kalian dan supaya kalian semua menjadi saksi atas segenap manusia." (Al-Hajj: 78).

Allah mengabarkan bahwa Dia menjadikan mereka orang-orang yang adil dan pilihan, memuji mereka sebelum menciptakan diri mereka, karena sudah ada dalam ketetapan ilmu-Nya yang terdahulu, bahwa Dia menjadikan mereka sebagai saksi untuk memberikan kesaksian atas semua umat pada hari kiamat. Maka siapa yang tidak melaksanakan kesaksian ini, baik secara ilmu, amal, ma'rifat, penetapan, dakwah dan ajaran, berarti dia tidak termasuk saksi-saksi Allah. Firman Allah, "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam". Para mufasir saling berbeda pendapat apakah ini merupakan perkataan yang diperbandingkan ataukah masuk dalam kesaksian di atas?

Letak perbedaan ini berasal dari bacaan inna atau anna pada permulaan ayat. Yang pasti, firman Allah ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama semua nabi dan rasul serta para pengikut mereka, semenjakyang pertama hingga yang terakhir, bahwa Allah sama sekali tidak mempunyai agama selainnya. Semua nabi menyatakan Islam atau kepasrahan diri kepada Allah. Islam adalah agama penghuni langit, agama ahli tauhid dari penghuni bumi. Allah tidak menerima dari seorang pun agama selain Islam.

Agama penduduk bumi ini ada enam : Satu milik Allah dan lima lainnya milik syetan. Agama Allah adalah Islam, sedangkan agama milik syetan adalah Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabi'ah dan agama orang-orang musyrik dengan berbagai macam jenisnya.

Inilah keterangan yang terkandung di dalam ayat yang mulia ini, yang berisi rahasia-rahasia tauhid dan ma'rifat. Kandungan ini jauh lebih penting daripada apa yang dikatakan pengarang Manazilus-Sa'irin.

Kembali ke perkataannya, "Tauhid adalah membebaskan Allah Azza wa jalla dari sifat yang baru. Para ulama dan juga para peneliti juga telah memberikan isyarat tentang masalah ini, dengan tujuan untuk meluruskan tauhid. Sedangkan selainnya yang berupa keadaan atau kedudukan, tentu disertai dengan alasan." Maksudnya, tauhid adalah tujuan yang dicari semua kedudukan, keadaan dan amal. Semua tujuannya adalah tauhid. Perkataan para ulama dan peneliti dari orang-orang yang mengadakan perjalanan, semua dimaksudkan untuk meluruskan tauhid. Hal ini sudah jelas, yang memang begitulah maksudnya.

Perkataannya, "Sedangkan selainnya yang berupa keadaan atau kedudukan, tentu disertai dengan alasan", pemurnian tauhid tidak boleh ada alasan yang menyertainya. Sebab jika ada alasan, berarti tidak murni.

Pemurniannya ialah dengan menajikan semua alasan darinya. Hal ini berbeda dengan semua keadaan dan kedudukan selainnya, yang disertai dengan alasan. Sebagai contoh, kemurnian tawakal dan hakikatnya menurut mereka adalah membebaskan hati dari alasan tawakal. Orang tawakal yang hakiki menurut mereka adalah orang yang mengosong dirinya dari kesulitan memandang dan melihat sebab serta merasa tenang atas bagian dirinya, dengan disertai penyetaraan di antara dua keadaan ini. Caranya, dia harus mengetahui bahwa pencarian tidak akan bermanfaat dan tawakal tidak akan berhimpun. Selagi melihat tawakalnya ada perintang, berarti ada yang perlu disangsikan dalam tawakalnya itu dan tujuannya cacat. Jika dia terbebas dari bisikan sebab dan perhatian terhadap perintang serta tidak memperhatikan dalam tawakalnya kecualisemata karena Allah, maka Allah mencukupkan baginya segala hal yang dianggap penting, seperti yang diwahyukan Allah kepada Musa, "Jadilah seperti yang Kukehendaki, niscaya Aku akan menjadi seperti yang kamu kehendaki."

Perkataan semacam ini dan juga lainnya yang serupa, sebagian ada yang dianggap benar, sebagian lagi salah dan sebagian lagi harus dijelaskan.

Perkataan Syaikh, "Sesungguhnya tawakal di jalanyang khusus merupakan kebutaan tentang tauhid dan kembali kepada sebab", tidak bias dibenarkan. Tawakal adalah hakikat tauhid. Tauhid tidak dianggap benar kecuali dengan tawakal. Hal ini sudah dijelaskan dalam bab tawakal, yang merupakan kedudukan para rasul, yang mereka inilah orang-orang khusus yang lebih khusus. Sementara tidak ada yang lebih khusus daripada mereka dan tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya daripada mereka.

Syaikh berkata, "Tauhid ini ada tiga macam: Pertama, tauhid orang awam, yang menjadi benar dengan kesaksian. Kedua, tauhid orang khusus, yang ditetapkan dengan hakikat-hakikat. Ketiga, tauhid orang khusus yang paling khusus."

Tidak diragukan bahwa memang ahli tauhid itu berbeda-beda dalam tauhidnya, baik ilmu, ma'rifat maupun keadaannya. Perbedaan ini amat banyak dan hanya Allahlah yang bisa menghirungnya. Orang yang paling sempurna tauhidnya adalah para nabi. Para rasul lebih sempurna lagi.

Ulul-Azmi lebih sempurna lagi. Mereka adalah Nuh, Ibrahim, Musa, Lsa dan Muhammad. Yang lebih sempurna di antara Ulul-Azmi ini adalah Al- Khalilani, Ibrahim dan Muhammad. Beliau berdua menegakkan tauhid, tidak seperti yang ditegakkan selainnya, baik ilmu, ma'rifat, keadaan maupun amal. Tidak ada tauhid yang lebih sempurna daripada yang ditegakkan para rasul, yang diserukan dan yang karenanya mereka berjihad memerangi berbagai umat. Karena itu Allah memerintahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam agar mengikuti mereka dalam hal ini. Setelah mengisahkan Ibrahim dan perdebatannya dengan ayah dan kaumnya tentang kebatilan syirik dan kebenaran tauhid, serta menyebutkan para nabi di tengah kerabatnya, maka Allah befirman “ "Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka kitab, hikmah dan kenabian. jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya (tiga macam ini), maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka." (Al-An'am: 89-90).

Tidak ada tauhid yang lebih sempurna daripada tauhid orang yang diperintahkan Allah untuk mengikutinya. Setelah mereka menegakkan hakikatnya, secara ilmu, amal, dakwah dan jihad, maka Allah menjadikan mereka sebagai pemimpin bagi makhluk. Mereka mengikuti perintah dan menyerukan kepadanya, dan Allah menjadikan semua makhluk sebagai pengikut mereka, mengkhususkan kebahagiaan dan keberuntungan serta petunjuk bagi pengikut mereka, menetapkan penderitaan dan kesesatan bagi orang-orang yang menyalahi mereka. Allah befirman kepada pemimpin mereka, Ibrahim : "Allah befirman, 'Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia'. Ibrahim berkata, '(Dan saya mohon juga) dari keturunanku'. Allah befirman, 'janji-Ku tidak mengenai orang yang zhalim'." (Al-Baqarah: 124).

Artinya, janji-Ku tentang kepemimpinan ini tidak berlaku bagi orang musyrik. Karena itu Allah mewasiati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam agar mengikuti millah Ibrahim. Beliau mengajari para shahabat agar berdoa pada pagi hari, "Kami berada pada fitrah Islam, kalimat ikhlas, agama nabi kami Muhammad dan millah Ibrahim yang lurus dan berserah diri, dan dia bukan termasuk orang-orang yang musyrik." Millah Ibrahim adalah tauhid, dan agama Muhammad adalah apa yang beliau bawa dari sisi Allah, perkataan, perbuatan, maupun keyakinan, Kalimat ikhlas adalah kesaksian tiada Ilah melainkan Allah. Fitrah Islam adalah apa yang difitrahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, berupa cinta dan ibadah kepada-Nya semata, tanpa menyekutukan-Nya, serta berserah diri kepada-Nya.

Inilah tauhidnya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus. Siapa yang tidak senang kepadanya, maka dialah orang yang paling bodoh, sebagaimana firman-Nya : "Dan tidak ada yang benci kepada millah Ibrahim melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orangorang yang shalih. Ketika Rabbnya befirman kepadanya, 'Tunduk patuhlah! 'Ibrahim menjawab, 'Aku tunduk patuh kepada Rabb semesta alam'." (Al-Baqarah: 130-131).

Allah membagi manusia menjadi dua golongan: Orang bodoh yang paling bodoh, dan orang yang mendapat petunjuk. Orang bodoh ialah yang tidak menyukai millah-nya dan berpaling kepada syirik. Orang yang mendapat petunjuk ialah yang terbebas dari syirik, baik perkataan, perbuatan maupun keadaannya. Perkataannya merupakan tauhid, begitu pula amal, keadaan dan seruannya.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah juga telah mengomentari apa yang dikatakan pengarang Manazilus-Sa'irin tentang tauhid ini, setelah dia mengupas seluruhnya, bahwa tauhid yang pertama seperti yang disebutkannya adalah tauhid yang dibawa para rasul, semenjak yang pertama hingga yang terakhir dan seperti yang diturunkan di dalam kitab-kitab-Nya. Dia juga menyebutkan ayat yang disitirnya.

Perkataan Syaikh, "Tauhid ini ada tiga macam: Pertama, tauhid orang awam, yang menjadi benar dengan kesaksian", telah dijelaskan bahwa ini adalah tauhidnya orang-orang yang lebih khusus dari orangorang yang khusus, dan tidak ada yang lebih darinya atau lebih khusus lagi. Al-Khalilani adalah orang yang paling sempurna tauhidnya. Perkataannya, "Menjadibenardengankesaksian", artinya dengan dalil-dalil, ayat dan bukti keterangan. Hal ini menunjukkan kepada kesempurnaan dan kemuliaan tauhid ini, yang didukung dengan dalil dan kesaksian, serta diperjelas dengan ayat dan bukti keterangan. Setiap tauhid yang tidak benar dengan kesaksian, maka bukanlah tauhid.

Syaikh juga berkata, "Ini adalah tauhid yang zhahir dan nyata, yang menajikan syirik yang paling besar." Demi Allah, karena nyata dan ke jelasannya, maka Allah mengutus para rasul, menurunkan kitab-kitab dan memerintahkan segenap manusia untuk berpegang kepadanya. Sedangkan simbol, isyarat dan ungkapan yang tidak bisa dipahami manusia kecuali setelah bersusah payah, maka sama sekali tidak berasal dari para rasul dan tidak diserukannya. Kejelasan tauhid ini, yang disertai kesaksian fitrah dan akal, merupakan bukti paling besar, bahwa ini merupakan tingkatan tauhid yang paling tinggi dan sekaligus merupakan puncaknya.

Karena itu ia mampu menajikan syirik yang paling besar. Sebab segala sesuatu yang besar tidak bisa dienyahkan kecuali oleh sesuatu yang besar pula. Andaikan ada sesuatu yang lebih besar daripada tauhid ini, niscaya Allah pun akan mengenyahkan syirik yang paling besar dengannya pula. Karena kebesaran dan kemuliaan tauhid ini, maka kiblat diadakan, millah ditegakkan, perlindungan terhadap ahli dzimmah

diharuskan, lalu dibedakan antara wilayah kufur dan wilayah Islam. Kemudian manusia dibedakan antara yang bahagia dan menderita, mendapat petunjuk dan menyimpang.

Syaikh berkata, "Tauhid kedua yang ditetapkan dengan hakikathakikat ialah tauhidnya orang khusus, yaitu menggugurkan sebab-sebab yang zhahir, naik meninggalkan pertentangan-pertentangan akal dan tidak bergantung kepada kesaksian. Artinya, tidak memberikan kesaksian dalil dalam tauhid, tidak memberikan kesaksian sebab dalam tawakal, tidak memberikan kesaksian sarana dalam keselamatan. Inilah tauhidnya orang khusus yang menjadi benar dengan ilmu kefana'an, yang menjadi jernih dalam ilmu kebersamaan dan menarik ke tauhid orang-orang yang memiliki kebersamaan."

Perkataannya, "Yang ditetapkan dengan hakikat-hakikat", sama dengan perkataan sebelumnya, "Yang menjadi benar dengan kesaksian". Ketetapan lebih mantap daripada kebenaran. Hakikat lebih mantap daripada kesaksian. Dengan dalil dan kesaksian, maka tauhidnya orang awam menjadi benar. Dengan hakikat, tauhidnya orang khusus menjadi kuat dan tetap.

Perkataannya, "Menggugurkan sebab-sebab yang zhahir", boleh jadi yang dimaksudkan sebab-sebab di sini adalah yang bisa disaksikan dan tampak mata. Menggugurkannya berarti tidak boleh melihatnya sebagai sesuatu yang berpengaruh dan merubah. Kalau pun harus melibatkan diri dengannya dalam pengertian yang sewajarnya, maka hal ini tidak berarti harus menggugurkannya. Tapi boleh jadi yang dimaksudkan sebab-sebab zhahir di sini adalah aktivitas dan amal. Menggugurkannya berarti mengesampingkannya sebagai sesuatu yang memberikan kebahagiaan dan keselamatan, sama sekali tidak menghindari atau mengabaikannya, karena yang demikian ini justru mengeluarkan dari Islam. Sebab-sebab yang zhahir atau amal-amal ini tetap harus ditegakkan, sekalipun tidak diyakini akan menyelamatkan, sebagaimana yang disabdakan Nabi ShallallahuAlaihi waSallam, "Beramallah, beramallah kalian, karena amal salah seorang di antara kalian sama sekali tidak akan menyelamatkannya."

Harus diwaspadai antara sebab-sebab zhahir dan sebab-sebab batin, seperti iman, mencintai Allah dan Rasul-Nya. Karena keselamatan dan kebahagiaan tergantung dari sebab-sebab batin ini. Bahkan tauhid itu sendiri termasuk sebab dan merupakan sebab batin yang paling agung, sehingga tidak boleh digugurkan.

Dua pengertian ini belum bisa diterima secara utuh. Bila yang dimaksudkan menggugurkan di sini adalah meniadakan dan mengabai-kan, lalu siapakah yang akan membatilkan yang batil? Jika yang dimaksudkan menyingkirkannya dari penyandaran hukum kepada kehendak Allah semata, maka tidak ada perbedaan antara sebab-sebab zhahir dan sebabsebab batin. Jika yang dimaksudkan adalah sebab-sebab yang diperintahkan kepada hamba, maka tidak bisa menggugurkannya dari tauhidAllah.

Secara keseluruhan dapat dikatakan, menggugurkan sebab tidak termasuk tauhid.

tapi sebab-sebab itu harus ditegakkan, dipertimbangkan dan ditempatkan di tempatnya yang lazim seperti yang ditetapkan Allah. Inilah yang disebut tauhid dan ubudiyah. Pendapat tentang menggugurkan sebab adalah tauhidnya golongan Qadariyah dan Jabariyah, yang mereka itu adalah para pengikut Jahm bin Shafwan. Menurut mereka, Allah tidak pernah menciptakan sesuatu pun sebagai sebab dan tidak menjadikan dalam sebab-sebab kekuatan dan tabiat yang bisa mempengaruhi.

Di dalam api tidak ada kekuatan untuk membakar. Dalam racun tidak ada kekuatan yang membunuh. Dalam mata tidak ada kekuatan pandangan. Dalam telinga tidak ada kekuatan pendengaran, dan seterusnya. Tetapi Allah menciptakan pengaruh-pengaruh itu ketika bertemu dengan materi-materi tersebut, bukan berarti pengaruh itu berasal dari materi-materi itu. Kenyang bukan karena makan. Ilmu bukan karena men-cari pembuktian. Ketaatan dan tauhid bukan merupakan sebab untuk masuk surga dan menyelamatkan diri dari neraka. Syirik, kufur dan kedur-hakaan bukan merupakan sebab yang menjerumuskan ke neraka. Tapi mereka masuk surga semata karena kehendak Allah, tanpa ada sebab dan hikmah sama sekali. Mereka masuk neraka semata karena kehendak Allah, tanpa sebab dan hikmah.

Syaikh kami, Ibnu Taimiyah berkata, "Dasar yang rusak ini jelas bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, ijma' ulama salaf dan para imam, bahkan juga bertentangan dengan akal dan rasa. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang menggugurkan sebab karena mempertimbangkan qadar. Maka beliau menolak hal itu dan beliau mengharuskan perhatian terhadap sebab, sebagaimana yang disebutkan di dalam Ash-Shahih, beliau bersabda : "Tidaklah ada seorangpun di antara kalian melainkan telah diketahui tempat duduknya dari surga dan tempat duduknya dari neraka". Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya kita meninggalkan amal dan berlandaskan kepada kitab itu?" Beliau menjawab, "Tidak.Tetapi beramallah. Masing-masing telah diberi kemudahan tentang apa yang diciptakan baginya."

Begitu pula yang ditegaskan Umar bin Al-Khaththab kepada Abu Ubaidah, saat Abu Ubaidah bertanya kepadanya, "Apakah engkau akan lari dari qadar Allah?" Maksudnya lari dari wabah yang menjalar pada saat itu. Maka Umar menjawab, "Aku lari dari qadar Allah ke qadar Allah yang lain.

Di dalam Al-Qur'an banyak ditebari penjelasan Allah tentang berbagai macam sebab. Bahkan sejak awal hingga akhir Al-Qur'an menyanggah pendapat mereka itu, sebagaimana yang disanggah oleh akal, fitrah dan rasa. Sebagian ulama ada yang berkata, "Berpaling kepada sebab merupakan syirik dalam tauhid. Menghapuskan sebab merubah sisi akal.

Berpaling dari sebab secara total dapat menodai syariat. Tawakal merupakan makna yang sesuai dengan makna tauhid, akal dan syariat." Perkataan ini perlu dijelaskan dan dibatasi. Berpaling kepada sebab bisa memiliki dua pengertian: Bisa berarti syirik

dan bisa berarti ubudiyah dan tauhid. Berarti syirik jika seseorang bersandar kepadanya dan hatinya merasa tenang karenanya, dengan disertai keyakinan bahwa sebab itu sendiri sudah bisa menghantarkan kepada maksud. Dia berpaling dari pemberi sebab. Tapi jika dia berpaling kepada sebab itu karena untuk memenuhi hak ubudiyah dan meletakkannya pada tempat yang semestinya, maka hal ini merupakan ubudiyah dan tauhid, selagi tidak membuatnya lalai berpaling kepada pembuat sebab. Meniadakannya sama sekali

sebagai sebab menunjukkan ketidakberesan dalam akal. Berpaling secaratotal dari sebab bisa menodai syariat. Hakikat tawakal ialah memperhatikan sebab dan menyandarkan hati kepada pembuat sebab dan merasa yakin bahwa semua ada di Tangan-Nya. Jika menghendaki, maka Dia bias mencegahnya. Jika menghendaki Dia bisa menetapkan yang sebaliknya.

Ahli tauhid yang tawakal adalah yang tidak berpaling kepada sebab, dalam pengertian hatinya tidak merasa tenang karenanya, tidak mengharapkan, tidak takut dan tidak condong kepadanya.

Perkataan Syaikh, "Naik meninggalkan penentangan-penentangan akal", adalah benar. Tauhid dan iman tidak menjadi sempurna kecuali dengan hal ini. Tidak ada yang merusak agama para rasul selain dari orang-orang yang memiliki penentangan akal. Mereka menentang dengan akal mereka, menetapkan apa yang ditetapkan akal dan menajikan apa yang dinajikan akal. Mereka juga menentang apa yang dibawa para rasul, sambil berkata, "Jika akal kami tidak bisa menerima apa yang dibawa para rasul, maka kami lebih suka tunduk kepada hukum akal kami daripada tunduk kepada apa yang mereka bawa." Cukup banyak orang yang menjadi rusak karena mereka, lalu mereka pun bergeser dari agama Allah.

Tauhid yang ketiga menurut penuturan Syaikh ialah tauhid yang dikhususkan Allah bagi Diri-Nya dan yang dimiliki sesuai dengan hakikat Nya, yang sedikit diperlihatkan kepada sebagian kecil di antara hambahamba Nya, yang tidak mampu mensifati-Nya dan yang paling lemah untuk mengabarkan-Nya.

Jika yang dimaksudkan tauhid ini berasal dari hamba kepada Rabbnya, berarti itu merupakan tauhid yang ditegakkan hamba, bukan berarti tauhid Allah terhadap Diri-Nya sendiri, yaitu sifat-sifat dan kesempurnaan yang ditegakkan-Nya. Jika yang dimaksudkan adalah tauhid Allah terhadap Diri-Nya sendiri, maka itu berarti ilmu, kalam dan pengabaran Nya tentang Diri-Nya, seperti firman-Nya : "Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, yang tiada ilah selain Aku, maka sembahlah Aku." (Thaha: 14).

Perkataannya, "Yang sedikit diperlihatkan kepada sebagian kecil di antara hamba-hamba-Nya", mereka adalah orang-orang yang dipilih-Nya. Dapat dikatakan bahwa orang-orang pilihan yang paling mulia adalah para nabi. Yang lebih mulia lagi adalah para rasul. Yang lebih mulia lagi adalah Ulul-Azmi. Yang lebih mulia lagi adalah Al-Khalilani, Ibrahim dan Muhammad. Para nabi dan rasul inilah yang Allah

memperlihatkan rahasia-rahasia, yaitu tauhid yang paling sempurna yang dikenal hamba. Tidak ada yang lebih sempurna dari itu, yang di belakangnya tidak ada bualan dan bisikan. Mereka telah berbicara tentang tauhid, menerangkan dan menjelaskan serta menetapkannya, sehingga semua menjadi jelas dan gamblang. Karenanya hati manusia bisa menangkapnya, sanubari bias menerimanya, lidah bisa mengucapkannya, yang didukung dengan buktibukti keterangan dan penjelasan serta dikuatkan dalil. Tak ada se-orang pun yang bisa menukil dari seorang nabi atau pewaris nabi, dan dia mengetahui tauhid lalu tidak bisa mengucapkannya atau tidak mampu menjelaskannya. Apa pun yang diketahui hati, tentu bisa diungkapkan lisan, sekalipun mungkin ungkapannya berbeda-beda. Maka bagaimana mungkin orang yang paling mengetahui dan yang paling fasih tidak mampu menjelaskan tauhid yang diperkenalkan Allah kepadanya dan dia tidak bisa mengabarkannya? Lalu apakah tauhid yang tidak mampu dijelaskan para nabi dan rasul ini kepada orang lain? Ini semua jika yang dimaksudkan Syaikh adalah tauhid yang ditegakkan Dzat Allah bagi Diri-Nya. Tapi jika yang dimaksudkan tauhid ini adalah sifat hamba dan perbuatannya, maka tidak sesuai dengan penuturannya sendiri, "Yang dikhususkan Allah bagi Diri-Nya."

Bisa jadi yang dimaksudkan, bahwa Allahlah yang mentauhidkan bagi Diri-Nya di dalam hati orang-orang pilihan-Nya, bukan mereka yang mentauhidkan bagi-Nya.

Yang paling tepat untuk menurup buku ini ialah dengan mensitir firman Allah : "Maha suci Rabbmu, Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan, kesejahteraan dilimpahkan ataspara rasul. Dan, sega-la puji bagi Allah Rabb sekalian alam." (Ash-Shaffat: 180-182).

Segala puji bagi Allah dengan pujian yang baik dan penuh barakah di dalamnya, seperti yang disukai dan diridhai Rabb kami, dan selaras dengan kemuliaan Wajah dan keagungan-Nya. Saya memohon agar Allah agar melimpahi kami rasa syukur atas nikmat-Nya, menjadikan apa yang saya tulis dalam buku ini dan juga buku-buku lainnya semata karena mengharap Wajah-Nya dan untuk menyampaikan nasihat kepada hamba hamba Nya.

Wahai Pembaca, semoga Anda mendapat manfaat dan hasil, begitu pula pengarangnya. Jika Anda menemukan kebenaran di dalamnya, maka terimalah ia, tanpa memalingkan muka ke arah siapa yang mengatakannya.

Lihatlah kepada apa yang dikatakan tanpa harus melihat kepada siapa yang mengatakan. Allah telah mencela orang yang menolak kebenaran yang dibawa orang yang dibencinya, namun mau menerimanya jika yang membawanya orang yang disukainya. Ini adalah akhlak orang-orang yang mendapat murka. Di antara shahabat ada yang berkata, "Terimalah kebenaran dari orang yang mengatakannya, sekalipun dia orang yang dibenci, dan tolaklah kebatilan dari orang yang mengatakannya, sekalipun

dari orang yang dicintai."

Jika Anda mendapatkan kesalahan di dalam buku ini, maka yang mengatakannya tidak keberatan untuk diluruskan . Sesungguhnya Allah enggan kecuali Dia sendirilah yang Maha Sempurna.

Dikatakan dalam syair, "Kekurangan dalam dasar tabiat pasti tersetnbunyi kekurangan orang yang memiliki tabiat tak bisa diingkari."

Bagaimana mungkin terlindung dari kesalahan orang yang diciptakan dalam keadaan aniaya dan bodoh? Tetapi apa salahnya jika ada yang menganggap kesalahannya lebih dekat kepada kebenaran, daripada orang yang menganggap kebenarannya serba benar. Siapa yang ingin berbicara dalam masalah ini, maka hendaklah perkataannya dilandaskan kepada ilmu yang benar, tujuannya memberikan nasihat bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan bagi ikhwan Muslimin.

Jika kebenaran mengikuti hawa nafsu, maka rusaklah hati, amal, keadaan dan jalan. Firman Allah : "Andaikan kebenaran mengikuti hawa nafsu mereka, pasti binasalah

langit dan bumi ini dan semua yang ada di dalamnya." (Al-Mukminun: 71).

Ilmu dan keadilan merupakan dasar segala kebaikan, sedangkan kezhaliman dan kebodohan merupakan dasar segala keburukan. Allahmengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, memerintah beliau agar berbuat adil di antara semua lapisan serta tidak mengikuti hawa nafsu seorang pun di antara mereka.

"Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah, 'Aku beriman kepada semua kitabyang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu sekalian. Allahlah Rabb kami dan Rabb kalian. Bagi kami amalamal kami dan bagi kalian amal-amal kalian. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kalian, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada Nyalah kembali (kita)'."

(Asy-Syura: 15).

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar