Selasa, 02 November 2010

MADARIJUS SOLIHIN ( PENDAKIAN MENUJU ALLAH 7 )

TEMPAT-TEMPAT PERSINGGAHAN

IYYAKA NABUDU WA IYYAKA NASTAIN

Mahabbah

Mahabbah (cinta) merupakan tempat persinggahan yang menjadi ajang perlombaan di antara orang-orang yang suka berlomba, menjadi sasaran orang-orangyang beramal dan menjadi curahan orang-orang yang mencintai. Dengan sepoi anginnya, orang-orang yang beribadah merasakan ketenangan. Cinta merupakan santapan hati, makanan ruh dan kesenangannya. Cinta merupakan kehidupan, sehingga orang yang tidak memilikinya seperti orang mati. Cinta adalah cahaya, siapa yang tidak memilikinya seperti berada di tengah lautan yang gelap gulita. Cinta adalah obat penyembuh, siapa yang tidak memilikinya maka hatinya diendapi berbagai macam penyakit. Cinta adalah kelezatan, siapa yang tidak memilikinya maka seluruh hidupnya diwarnai kegelisahan dan penderitaan. Cinta adalah ruh iman dan amal, kedudukan dan keadaan, yang jika cinta ini tidak ada di sana, maka tak ubahnya jasad yang tidak memiliki ruh. Cinta membawakan beban orang-orang yang mengadakan perjalanan saat menuju ke suatu negeri, yang tentu saja mereka akan keberatan jika beban itu dibawa sendiri. Cinta menghantarkan mereka ke tempat persinggahan yang selainnya tak bisa menghantarkan mereka ke tujuan. Cinta adalah kendaraan yang membawa mereka kepada sang

kekasih. Cinta adalah jalan mereka yang lurus, yang menghantarkan mereka ke tempat persinggahan pertama yang terdekat. Demi Allah, para pemilik cinta telah pergi membawa kemuliaan dunia dan akhirat, sehingga akhirnya senantiasa bersama sang kekasih. Allah telah menetapkan bahwa seseorang itu bersama orang yang paling dicintainya. Sungguh ini merupakan kenikmatan tiada tara yang diberikan kepada

orang-orang yang memiliki cinta.

Mereka memenuhi panggilan kerinduan, saat ada yang berseru

kepada mereka, "Hayya alal-falah". Mereka rela mengorbankan jiwa agar bisa bersama sang kekasih. Pengorbanan ini dilakukan dengan suka rela dan ridha, rela melakukan perjalanan pada pagi dan petang hari. Pembayaran secara kontan dari harga cinta yang sudah disepakati harganya adalah dengan cara mengorbankan nyawa. Hal ini tidak berlaku bagi orang yang bangkrut, bodoh bakhil dan suka menawar-nawar. Karena banyak orang yang mengaku memiliki cinta, maka mereka dituntut untuk menyodorkan bukti pengakuan itu. Andaikan mereka diberi kesempatan untuk menyampaikan pengakuannya, maka kesaksian mereka akan beragam. Lalu dikatakan, "Pengakuan ini tidak bisa diterima kecuali ada buktinya. "Katakanlah, jika kalian (bcnar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah meugasihi dan mengampuni dosa-dosa

kalian'." (Ali Imran: 31).

Semua manusia tertinggal di belakang, kecuali orang-orang yang mengikuti sang kekasih dalam perbuatan, perkataan dan akhlaknya. Lalu mereka dituntut keadilan bukti itu lewat proses pensucian jihad : "Mereka berjihad di jalan Allah tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela." (Al-Maidah: 54).

Kebanyakan orang-orang yang memiliki cinta tertinggal di belakang, dan yang bangkit adalah orang-orang yang berjihad. Lalu dikatakan kepada mereka, "Sesungguhnya jiwa dan harta orang-orang yang mencintai bukan milik mereka. Maka ke sinilah untuk menyatakan sumpah setia.

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka." (At- Taubah: 111).

Ketika mereka mengetahui keagungan pembeli dan harga yang tinggi serta keagungan yang akan diperolehnya setelah terjadi kontrak jual beli, mereka pun tahu nilai barang. Mereka juga melihat siapa saja orang yang bodoh, karena menjual barang itu dengan harga yang sangat murah. Maka dengan penuh keridhaan mereka ikut dalam perdagangan ini tanpa menawar dan memilih-milih, sambil berkata, "Demi Allah, kami tidak membatalkan dan kami tidak meminta pembatalan perniagaan denganmu."

Setelah kontrak jual beli sudah rampung dan barang sudah diserahkan kepada pembeli, maka dikatakan kepada mereka, "Sejak saat ini jiwamu dan hartamu menjadi milik kami, dan kelak kami akan mengembalikannya lagi kepadamu dalam jumlah yang lebih banyak lagi, jauh lebih banyak. "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Rabbnya dengan mendapat rezki." (Ali Imran: 169-170).

Jika pohon cinta ditanam di dalam hati dan disirami dengan air ikhlas serta mengikuti orang yang dicintai, tentu akan menghasilkan buah yang banyak dan bermacam-macam, yang bisa dipetik setiap saat dengan seizin Rabb-nya, yang akarnya tertancap kuat di dalam hati dan cabangcabangnya menjulang tinggi hingga mencapai Sidratul-Muntaha.

Cinta tidak bisa dibatasi dengan batasan-batasan tertentu. Sebab batasan-batasan itu justru membuat cinta semakin sulit dideteksi dan tersembunyi. Batasannya adalah keberadaannya. Tidak ada sifat yang lebih pas untuk cinta selain dari kata cinta itu sendiri. Manusia hanya sekedar bicara tentang sebab, pendorong, tanda, bukti, buah dan hukumhukumnya.

Batasan diri mereka berkisar pada enam unsur ini, dan pengungkapan mereka berbeda-beda, tergantung dari batas pengetahuan, kedudukan, keadaan dan kemampuan masing-masing dalam mengungkapkan cinta.

Menurut bahasa, kata mahabbah berkisar pada lima perkara:

1. Putih dan cemerlang, seperti kata hababul-asnan yang berarti gigi yang putih cemerlang.

2. Tinggi dan tampak jelas, seperti kata hababul-ma'i wa hubabuhu, yang berarti banjir karena air hujan yang deras.

3. Teguh dan tidak tergoyahkan, seperti kata habbal-ba'ir, yang berarti onta yang sedang menderum dan tidak mau bangkit lagi.

4. Inti dan relung, seperti kata habbatul-qalbi, yang berarti relung hati.

5. Menjaga dan menahan, seperti kata hibbul-ma'i lil-wi'a', yang berarti air yang terjaga di dalam bejana.

Beberapa Ungkapan tentang Seputar Cinta

Ada banyak ungkapan yang dinyatakan tentang jenis dan batasan cinta, tergantung dari pengaruh dan kesaksiannya, serta ungkapanungkapan lain yang diperlukan tentang cinta, di antaranya:

1. Cinta adalah kecenderungan yang terus-menerus di dalam hati yang membara. Pengertian ini tidak membedakan antara cinta yang khusus dan yang umum, antara cinta yang benar dan cinta yang cacat.

2. Mementingkan yang dicintai dari segala yang menyertai. Ini termasuk hukum cinta dan pengaruhnya.

3. Menyesuaikan diri dengan sang kekasih, ketika berada di dekatnya atau saat jauh darinya. Ini merupakan keharusan cinta dan tuntutan cinta yang tulus. Ini lebih sempurna dari dua pengertian di atas, dan bukan sekedar kecenderungan dan mementingkan kehendak. Sebab jika ada penyesuaian diri dengan sang kekasih, maka itu adalah cinta yang cacat.

4. Melebur cinta karena sifatnya dan menegaskan kekasih karena dzatnya. Ini termasuk hukum kefanaan dalam cinta, yaitu menghapus sifatsifat orang yang mencintai lalu melebur ke dalam sifat-sifat kekasih dan dzatnya.

5. Menyelaraskan hati dengan kehendak-kehendak kekasih. Ini juga termasuk keharusan dan hukum-hukum cinta.

6. Takut meninggalkan pengagungan sambil menegakkan pengabdian. Ini termasuk tanda dan pengaruh cinta.

7. Kngkau menganggap sedikit pemberianmu yang banyak terhadap kekasih dan menganggap banyak pemberian kekasih kepada dirimu yang sedikit. Ini termasuk hukum, keharusan dan kesaksian cinta.

8. Engkau menganggap banyak kejahatanmu yang sedikit terhadap kekasih dan menganggap sedikit ketaatanmu yang banyak. Pengertian ini tak jauh berbeda dengan sebelumnya.

9. Selalu memeluk ketaatan dan meninggalkan penentangan. Ini merupakan hukum cinta dan keharusannya, dan merupakan perkataan Sahl bin Abdullah.

10.Masuknya sifat-sifat kekasih ke sifat orang yang mencintai. Maksudnya, nama sang kekasih dan sifat-sifat merasuk ke dalam hati orang yang mencintai, sehingga tidak ada yang menguasainya selain dari itu.

11.Engkau menyerahkan seluruh dirimu kepada siapa yang engkau cintai, sehinga sedikit pun engkau tidak berkuasa terhadap dirimu sendiri. Ini merupakan perkataan Abdullah Al-Qursyi.

12.Engkau harus menghapus selain yang engkau cintai dari hati. Ini merupakan perkataan Asy-Syibly. Kesempurnaan cinta menuntutyang demikian ini.

14. Engkau cemburu terhadap kekasih, jika dia dicintai orang lain sepertimu. Ini merupakan perkataan Asy-Syibly. Artinya, engkau menganggap dirimu hina untuk mencintainya, karena ada juga yang mencintainya seperti cintamu.

15.Cinta adalah kehendak yang dahan-dahannya ditanamkan di dalam hati, lalu membuahkan kesesuaian dan ketaatan.

16. Orang yang mencintai lupa bagiannya karena sang kekasih dan dia lupa kebutuhandirinya. Ini merupakan perkataan Abu Ya'qubAs-Susy.

17. Menghindari kelalaian dalam keadaan bagaimana pun. Ini merupakan perkataan An-Nashr Abady.

18.Menyatukan kekasih dengan ketulusan kehendak dan pencarian.

19. Menggugurkan semua kecintaan dari hati selain kecintaan kepada kekasih, Ini merupakan perkataan Muhammad bin Al-Fadhl.

20. Menundukkan pandangan hati dari selain kekasih karena cemburu dan menundukkan pandangan dari kekurangannya.

21. Kecenderunganmu kepada sesuatu secara total, lalu engkau lebih mementingkannya dibanding terhadap dirimu dan hartamu, lalu engkau menyesuaikan diri dengannya secara lahir dan batin, kemudian engkau mengetahui kekuranganmu dalam mencintainya.

22. Cinta adalah api di dalam hati, yang membakar selain semua kekasih.

23. Cinta adalah mengerahkan usaha dan tidak berpaling dari kekasih. Ini merupakan keharusan cinta, hak dan buahnya.

24. Cinta adalah ketidak sadaran yang tidak bisa sembuh kecuali menyaksikan sang kekasih. Ketika sudah menyaksikannya, maka ketidak sadarannya justru semakin sulit digambarkan.

25. Engkau tidak mementingkan selain kekasih dan tidak menyerahkan urusanmu kepada selainnya.

26.Masuk ke dalam penghambaan kekasih dan membebaskan diri dari perbudakan selainnya.

27. Cinta adalah perjalanan hati menuju sang kekasih dan lisan senantiasa menyebut namanya. Perjalanan ini artinya kerinduan untuk bersua dengannya. Tidak dapat diragukan bahwa siapa yang mencintai sesuatu tentu dia akan banyak menyebutnya.

28. Cinta adalah sesuatu yang tidak berkurang karena pengabaian dan tidak bertambah karena kebaikan. Ini merupakan perkataan Yahya bin Mu'adz.

29. Yang disebut cinta ialah seluruh apa yang ada pada dirimu disibukkan oleh kekasih.

30. Ini merupakan ungkapan cinta yang paling menyeluruh dari ungkapan- ungkapan di atas, sebagaimana yang dituturkan Abu Bakar Al- Kattany, "Di Makkah diadakan dialog tentang masalah cinta, tepatnya pada musim haji. Banyak syaikh yang mengungkapkan pendapatnya tentang cinta ini. Sementara Al-Junaid saat itu merupakan orang yang paling muda di antara mereka. Orang-orang berkata kepadanya, "Sampaikan pendapatmu wahai penduduk dari Irak." Beberapa saat Al- Junaid menundukkan pandangannya dan air matanya pun menetes perlahan-lahan. Dia berkata, "Cinta ialah jika seorang hamba lepas dari dirinya, senantiasa menyebut nama Rabb-nya, memenuhi hak-hak- Nya, memandang kepada-Nya dengan sepenuh hati, seakan hatinya terbakar karena cahaya ketakutan kepada-Nya, yang minumannya berasal dari gelas kasih sayang-Nya, dan Allah Yang Maha Perkasa menampakkan Diri dari balik tabir kegaiban-Nya. Jika berbicara atas pertolongan Allah, jika berucap berasal dari Allah, jika bergerak atas perintah Allah, jika dia beserta Allah, dia dari Allah, bersama Allah dan milik Allah."

Mendengar ungkapannya ini semua syaikh yang hadir di sana menangis, dan mereka berkata, "Ungkapan ini sudah tidak memerlukan tambahan lagi. Semoga Allah melimpahkan pahala kepadamu wahai mahkota orang-orang yang arif."

Sebab-sebab Yang Mendatangkan Cinta kepada Allah

1. Membaca Al-Qur'an dengan mendalami dan memahami maknamaknanya, seperti yang dikehendaki, tak berbeda dengan menelaah buku yang harus dihapalkan seseorang, agar dia dapat memahami maksud pengarangnya.

2. Taqarrub kepada Allah dengan mengerjakan shalat-shalat nafilah sete-lah shalat fardhu, karena yang demikian ini bisa menghantarkan se-orang hamba ke derajat orang yang dicintai setelah dia memiliki cinta.

3. Senantiasa mengingat dan menyebut asma-Nya dalam keadaan bagaimana pun, baik dengan lisan dan hati, saat beramal dan di setiap keadaan. Cinta yang didapatkannya tergantung dari dzikirnya ini.

4. Lebih mementingkan cinta kepada-Nya daripada cintamu pada saat engkau dikalahkan bisikan hawa nafsu.

5. Mengarahkan perhatian hati kepada asma' dan sifat-sifat Allah, mempersaksikan dan mengetahuinya. Siapa yang mengetahui Allah melalui sifat, asma' dan perbuatan-Nya, tentu dia akan mencintai-Nya. Karena itu orang-orang semacam Fir'aun dan golongan Jahmiyah menjadi perintang jalan antara hati dan Allah.

6. Mempersaksikan kebaikan, kemurahan, karunia dan nikmat Allah yang zhahir maupun yang batin, karena yang demikian ini bias memupuk cinta kepada-Nya.

7. Kepasrahan hati secara total di hadapan Allah.

8. Bersama Allah pada saat Dia turun ke langit dunia, bermunajat kepada- Nya, membaca kalam-Nya, menghadap dengan segenap hati, memperhatikan adab-adab ubudiyah di hadapan-Nya, kemudian menutup dengan istighfar dan taubat.

9. Berkumpul bersama orang-orang yang juga mencintai-Nya secara tulus, memetikbuah-buah yang segar dari perkataan mereka, sebagaimana memetik buah yang segar dari pohon, tidak berkata kecuali jika merasa yakin perkataannya mendatangkan maslahat, menambah baik keadaanmu dan memberi manfaat bagi orang lain.

10. Menyingkirkan segala sebab yang dapat membuka jarak antara hati dan Allah.

Dengan sepuluh sebab ini, maka orang yang mencintai tentu akan sampai ke kedudukan cinta dan bergabung bersama kekasih. Ada hal yang tidak kalah pentingnya dari semua itu, yaitu mempersiapkan ruh untuk mencapai keadaan ini dan membuka mata hati.

Cinta Allah dan Cinta Hamba

Pembicaraan tentang cinta ini tergantung dari dua sisi, yaitu sisi cinta hamba kepada Rabb-nya dan cinta Rabb kepada hamba-Nya. Kaitannya dengan penetapan dan penafian cinta ini, ada orang-orang yang Allah mencintai mereka dan mereka pu mencintai-Nya, sehingga cinta hamba ini di atas segala gambaran cinta dan tidak ada kaitannya dengan seluruh cinta selain dari cinta itu. Inilah hakikat la ilaha illallah. Menurut mereka, cinta Allah kepada para wali, nabi dan rasul-Nya merupakan sifat tambahan dari rahmat, kebaikan dan kemurahan-Nya. Siapa yang dicintai Allah, maka

rahmat, kebaikan dan kemurahan yang diterimanya lebih sempurna.

Sementara golongan Jahmiyah yang meniadakan sifat cinta ini, kebalikan dari orang-orang di atas. Menurut mereka (Jahmiyah), Allah tidak mencintai dan tidak perlu dicintai. Padahal tidak memungkinkan bagi mereka untuk mendustakan nash yang ada. Mereka mena'wili beberapa nash tentang cinta hamba kepada Allah sebagai cinta kepada ketaatan dan ibadah kepada-Nya serta cinta kepada tambahan amal agar mendapatkan pahala, sekalipun mereka tetap menggunakan istilah cinta. Mereka mena'wili cinta Allah kepada hamba sebagai kebaikan, kemurahan dan pemberian pahala kepada hamba, dan terkadang mereka mena'wilinya dengan pujian Allah kepada hamba dan pujian hamba kepada Allah, dan terkadang mereka mena'wilinya dengan kehendak. Menurut mereka, jika kehendak Allah berkaitan dengan pengkhususan keadaan dan kedudukan yang tinggi bagi hamba, maka itu disebut cinta. Jika berkaitan dengan siksa, maka itu disebut murka. Jika berkaitan dengan kebaikan dan kenikmatan yang umum maupun khusus, maka itu disebut kemurahan. Jika berkaitan dengan penganugerahan secara tersembunyi, maka itu

disebut kelemahlembutan. Begitu seterusnya. Karena mereka melihat cinta ini sebagai kehendak, sementara kehendak berkaitan dengan sesuatu yang baru dan diciptakan, tidak berkaitan dengan sesuatu yang lama, maka mereka mengingkari cinta hamba, malaikat dan rasul kepada Allah. Menurut mereka, tidak ada makna dalam cinta itu selain dari kehendak untuk mendekatkan diri, beribadah kepada-Nya dan mengagungkan-Nya. Mereka mengingkari kekhususan Ilahiyah dan ubudiyah. Padahal semua dalil, pemikiran, fitrah, qiyas dan rasa menunjukkan adanya cinta hamba kepada Rabb dan cinta Rabb kepada hamba.

Saya telah menyebutkan hampir seratus jalan dalam cinta dalam kitab Raudhatul-Muhibbin. Di sana juga saya sebutkan faidah-faidah cinta, buah kesempurnaan yang bisa dipetik orang yang mencintai, sebab-sebab dan pendorong cinta, bantahan terhadap orang yang mengingkari keberadaan cinta dan penjelasan kerusakan pendapatnya. Orang-orang yang mengingkari yang demikian ini juga mengingkari kekhususan penciptaan dan perintah. Padahal penciptaan, perintah, pahala dan siksa semata lahir karena cinta dan keagungan sifat ini. Allahlah yang menciptakan langit dan bumi, yang mencakup perintah dan larangan. Ini merupakan rahasia keyakinan terhadap Allah sebagai Ilah, dan gambaran tauhidnya adalah kesaksian tiada Ilah selain Allah.

Tidak seperti anggapan orang-orang yang mengingkari bahwa Ilah adalah Rabb dan Pencipta. Orang-orang musyrik pun menetapkan bahwa tidak ada Rabb selain Allah, tidak ada pencipta selain-Nya, bahwa Allahlah satu-satunya Pencipta dan Rabb. Hanya saja mereka tidak menetapkan tauhid Ilahiyah, yaitu gambaran lain dari cinta dan pengagungan, bahkan mereka menjadikan selain Allah sebagai sesembahanbersama Allah. Inilah syirik yang tidak akan diampuni Allah, dan pelakunya termasuk orang

yang mengambil tandingan selain Allah. Firman-Nya : "Dan, di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingantandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah." (Al-Baqarah: 165).

Allah mengabarkan bahwa siapa yang mencintai sesuatu pun selain Allah sebagaimana dia mencintai Allah, maka dia termasuk orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan. Berarti ini merupakan tandingan dalam cinta, bukan dalam penciptaan dan Rububiyah. Sebab siapa pun di antara penghuni dunia ini tidak bisa diangkat sebagai tandingan dalam Rububiyah. Berbeda dengan tandingan dalam cinta.

Mayoritas penghuni bumi ini telah membuat tandingan selain Allah dalam cinta dan pengagungan. Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya : "Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah." (Al- Baqarah: 165).

Ada dua pendapat untuk mengukur bobot makna ayat ini:

- Orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah, daripada cinta orang-orang yang memiliki tandingan terhadap tandingan dan sesembahan yang dicintai dan diagungkan selain Allah.

- Orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah, daripada cinta orang-orang musyrik terhadap tandingan selain Allah. Sebab cinta orang-orang Mukmin adalah cinta yang murni dan tulus, sementara cinta orang-orang musyrik bisa lenyap dengan lenyapnya sesembah-an tandingan.

Dua pendapat ini masih terkait dengan firman Allah sebelumnya, "Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah". Ada dua makna tentang penggalan ayat ini:

- Mereka mencintai tandingan-tandingan itu sebagaimana mereka mencintai Allah. Mereka menetapkan cinta kepada Allah dan juga cinta kepada tandingan.

- Mereka mencintai tandingan-tandingan itu sebagaimana orang-orang Mukmin mencintai Allah. Kemudian dijelaskan, bahwa cinta orangorang Mukmin kepada Allah lebih besar daripada cinta orang-orang yang mempunyai tandingan terhadap sesembahan tandingan itu.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah menguatkan pendapat pertama dan dia berkata, "Mereka dicela karena membuat persekutuan antara Allah dan sesembahan-sesembahan mereka dalam cinta, dan mereka tidak memurnikan cinta itu seperti cinta orang-orang Mukmin."

Persamaan yang disebutkan dalam firman Allah ini merupakan kisah tentang diri mereka. Ketika sudah berada di neraka, mereka berkata kepada sesembahan-sesembahan itu, saat sesembahan itu dihadirkan bersama mereka : "Demi Allah, sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Rabb semesta alam." (Asy-Syu'ara': 97-98).

Seperti yang sudah diketahui bersama, mereka tidak mempersamakan sesembahan-sesembahan itu dengan Allah dalam masalah penciptaan dan Rububiyah, tapi mempersamakan mereka dalam cinta dan pengagungan. Ini pula makna persekutuan yang disebutkan dalam firman Allah : " Tapi orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka." (Al-An'am: 1).

Artinya, mereka mempersekutukan selain Allah dalam ibadah, yang berarti cinta dan pengagungan. Inilah pendapat yang paling benar. Allah juga befirman : "Katakanlah, 'Jika kalian (benar-benar) mencintaiAllah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian." (Ali Imran: 31).

Ini disebutkan ayat cinta. Abu Sulaiman Ad-Darany berkata, "Ketika hati manusia mengaku mencintai Allah, maka Allah menurunkan ayat ini sebagai ujian bagi mereka."

Diantarorangsalaf ada yang berkata, "Firman Allah, 'NiscayaAllah mencintai kalian', mengisyaratan kepada bukti cinta, buah dan manfaatnya.

Buktinya dan tanda cinta adalah mengikuti Rasul. Buah dan manfaatnya adalah balasan cinta. Siapa yang tidak mengikuti Rasul, berarti tidak akan memetik buah cinta."

Allah juga befirman tentang cinta ini, "Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan yang tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela." (Al-Maidah: 54).

Di dalam ayat ini Allah menyebutkan empat tanda:

- Mereka adalah orang-orang bersikap lemah lembut terhadap orangorang Mukmin. Menurut Atha', sikap ini seperti sikap orang tua terhadap anaknya.

- Bersikap keras terhadap orang-orang kafir. Sikap mereka terhadap orang-orang kafir ini seperti singa yang menghadapi mangsanya.

- Berjihad dengan jiwa, tangan, lisan dan harta. Ini merupakan perwujudan pengakuan cinta.

- Tidak peduli terhadap celaan orang yang suka mencela karena urusan Allah. Ini merupakan tanda cinta yang sebenarnya. Sebab setiap orang yang mencintai tentu tidak lepas dari celaan orang lain karena cintanya terhadap sang kekasih.

Allah juga befirman, "Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan

mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya. Sesungguhnya adzab Rabbmu adalah suatu yang (harus) ditakuti." (Al-Isra': 57).

Di dalam ayat ini Allah menyebutkan tiga kedudukan:

- Cinta, yang merupakan cara untuk taqarrub kepada Allah.

- Bertawassul kepada Allah dengan amal-amal shalih.

- Mengharap dan takut. Artinya mengharapkan rahmat dan takut adzab.

Sebagaimana yang sudah diketahui, engkau tidak bisa hidup kecuali berada di dekat kekasih yang engkau cintai. Kesukaan berdekatan dengannya harus mengikuti cinta kepada dzatnya. Bahkan kecintaan kepada dzatnya akan mendatangkan kecintaan untuk selalu dekat dengannya.

Golongan Jahmiyah tidak menerima pendapat ini. Menurut mereka, Dzat Allah tidak bisa didekati sedikit pun dan Dzat-Nya tidak mendekati sesuatu pun. Dzat-Nya tidak bisa dicintai dan tidak mencintai. Mereka mengingkari kehidupan hati, kenikmatan ruh, kesenangan hati dan kenikmatan yang paling tinggi di dunia dan di akhirat. Karena itu hati mereka disifati dengan kekerasan, antara diri mereka dan Allah ada hijab, sehingga mereka tidak bisa mencintai dan mengetahui Allah. Firman- Nya : "Padahal tidak seorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan semata-mata) karena mencari Wajah Allah Yang Maha tinggi." (Al-Lail: 20-21).

Orang-orang yang berbuat kebaikan, mendekatkan diri dan mencintai Allah adalah mereka yang menghendaki Wajah-Nya. Menghendaki wajah Allah ini menimbulkan kenikmatan memandang Wajah- Nya pada hari akhirat, sebagaimana yang disebutkan dalam Mustadrak Al-

Hakim dan dalam Shahih Ibnu Hibban di dalam hadits marfu' dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa beliau biasa membaca doa, "Ya Allah, dengan pengetahuan-Mu tentang yang gaib dan kekuasaan-Mu atas makhluk, hidupkanlah aku selagi hidup ini baik bagiku, dan matikan-lah aku selagi mati baik bagiku. Aku memohon ketakutan kepada-Mu saat sepi dan ramai. Aku memohon kepada-Mu kalimat yang benar saat marah dan ridha. Aku memohon kepada-Mu kesederhanaan saat fakir dan kaya. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan yang tidak habis. Aku memohon kepada- Mu kesenangan hati yang tidak terputus. Aku memohon kepada-Mu ridha setelah qadha' dan hidup yang dingin setelah kema-tian. Aku memo hon kepada-Mu kenikmatan memandang Wajah-Mu. Aku memohon kepada-Mu kerinduan berjumpa dengan-Mu, tanpa ada kesem-pitan dan mudharat, tanpa ada cobaan yang menyesatkan. Ya Allah, hiasi-lah kami dengan hiasan iman dan jadikanlah kami pemberi petunjuk orang-orang yang mengikuti petunjuk."

Di dalam hadits yang mulia ini terkandung penetapan kenikmatan memandang Wajah Allah dan kerinduan berjumpa dengan-Nya. Sementara menurut pendapat golongan Jahmiyah, Allah tidak mempunyai Wajah dan kalaupun punya tidak bisa dipandang, apalagi mendatangkan kenikmatan.

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda : ”Tiga perkara, siapa yang apabila tiga perkara ini ada padanya, maka dia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu: Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada (cintanya kepada) selain keduanya, dia mencintai seseorang dan tidak mencintainya melainkan karena Allah, dan dia benci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu, sebagaimana dia bend dilemparkan keneraka."

Al-Qur'an dan As-Sunnah banyak ditebari pengabaran tentang orang-orang yang dicintai Allah, yaitu kalangan hamba-hamba-Nya yang beriman, yang diikuti dengan pengabaran hal-hal yang dicintai-Nya, berupa amal, perkataan dan akhlak mereka. Di sana juga disebutkan hal-hal kebalikannya yang dibenci Allah.

Andaikata masalah cinta ini gugur, maka gugur pula seluruh kedudukan iman dan kebaikan, karena cinta merupakan ruh semua kedudukan dan amal. Jika kedudukan atau amal tidak ada cinta, maka seperti jasad mati yang tidak memiliki ruh. Penisbatan cinta kepada amal seperti penisbatannya ikhlas dengan amal. Bahkan cinta ini merupakan

hakikat ikhlas. Siapa yang tidak memiliki cinta kepada Allah, maka dia dianggap tidak berserah diri kepada-Nya.

Tingkatan-tingkatan Cinta

1. Alaqah. Disebut alaqah (hubungan atau kaitan), karena adanya hubungan antara hati dengan sang kekasih.

2. Iradah (kehendak), yaitu kecenderungan hati kepada yang dicintai dan dicarinya.

3. Shababah, yaitu tumpahnya hati kepada kekasih yang tidak terbendung, seperti tumpahnya air ke tempat curahan.

4. Gharam (cinta yang menyala), yaitu cinta yang benar-benar merasuk ke dalam hati dan tidak dipisahkan darinya.

5. Widad (kasih), merupakan sifat cinta dan intinya. Al-Wadud merupakan sifat Allah. Ada dua makna tentang sifat ini: Allah yang dicintai, dan Allah yang mencintai hamba, seperti sifat-Nya Al-Ghafur, yang berarti memberi ampun dan yang menerima ampunan serta taubat.

6. Syaghaf (cinta yang mendalam), artinya sampainya cinta ke hati yang paling dalam, seperti cintanya Al-Aziz terhadap Nabi Yusuf Alaihis-Salam.

7. Isyq, yaitu cinta yang memuncak dan berlebih-lebihan, sehingga dikha-watirkan akan menimbulkan dampak terhadap orangnya.

8. Tatayyum, atau penghambaan dan merendahkan diri. Taimullah artinya hamba Allah. Yutmu artinya kesendirian. Mutayyam artinya orangyang menyendiri dengan cintanya, seperti kesendirian anak yatim karena ditinggal mati ayahnya.

9. Ta'abbud. Ini setingkat di atas tatayyum. Yang disebut hamba ialah yang dirinya telah dikuasai sang kekasih dan tak ada sesuatu pun yang menyisa bagi dirinya. Semua yang ada pada dirinya menjadi milik kekasihnya, zhahir maupun batin. Inilah yang disebut hakikat ubudiyah. Siapa yang sempurna ta'abbud-nya, maka sempurna pula tingkatannya. Jika martabat anak Adam sudah mencapai kesempurnaan ini, maka Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia. Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Saya mencapai martabat ini berkat kesempurnaan ubudiyah kepada Allah dan kesempurnaan ampunan Allah." Hakikat ubudiyah ialah cinta yang sempurna, merendahkan diri kepada kekasih dan tunduk kepadanya. Bangsa Arab biasa berkata, "Thariqun ma'bad", artinya jalan yang sudah ditundukkan dan halus karena sering dilewati.

10.Khallah, yaitu cinta yang sudah merasuk ke dalam ruh dan hati orang yang mencintai, sehingga di dalamnya tidak ada tempat bagi selain kekasihnya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda : "Sesungguhnya Allah menjadikan aku sebagai kekasih, sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih."

Inilah rahasia di balik sikap Ibrahim Al-Khalil yang menyembelih putranya dan belahan hatinya. Sebab ketika Kekasih meminta putra beliau, maka beliau langsung menyerahkannya. Kekasih akan cemburu terhadap kekasihnya jika di dalam hatinya ada tempat bagi selain dirinya. Maka Allah memerintahkan Ibrahim untuk membunuh putranya yang tercinta, agar di dalam hati beliau tidak ada cinta yang lain.

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Cinta adalah keterkaitan hati, antara hasrat dan kejinakan." Artinya, cinta adalah keterkaitan hati dengan kekasih, dengan suatu kaitan yang disertai hasrat orang yang mencintai dan kejinakannya dengan kekasih serta pengesaan keterkaitan itu, sehingga tidak ada tempat di dalamnya bagi selain kekasih. Cinta merupakan lembah kefanaan yang pertama dan merupakan rambu-rambu yang menggugah kewaspadaan. Cinta merupakan tanda orang-orang yang berjalan kepada Allah, petunjuk jalan dan penghubung antara hamba dan Allah."

Ada tiga derajat cinta, yaitu:

1. Cinta yang memotong bisikan-bisikan, yang membuat pengabdian terasa nikmat dan yang membuat musibah terasa menggembirakan. Cinta dan bisikan-bisikan merupakan dua hal yang saling bertentangan. Cinta mengharuskan hati untuk mengingat kekasih semata, sedangkan bisikan-bisikan membuat hati lupa sang kekasih, sehingga ia mengingat selainnya. Perbedaan di antara keduanya seperti perbe-daan antara mengingat dan melupakan. Hasrat cinta ialah menyingkir-kan keterkaitan hati antara kekasih dan selainnya, dan sekaligus ini merupakan sebab munculnya bisikan-bisikan. Seorang pecinta yang sesungguhnya sama sekali tidak akan membiarkan rongga di dalam hatinya untuk diisi bisikan-bisikan, karena hatinya sudah sibuk dengan keberadaannya di hadapan kekasih. Bukankah bisikan-bisikan ini hanya ada di dalam hati orang-orang yang lalai dan berpaling dari Allah? Bagaimana mungkin cinta dan bisikan-bisikan bisa menyatu? Orang yang mencintai tentu akan merasakan kenikmatan karena da-pat mengabdi kepada kekasih. Dia tidak pernah merasa penat karena pengabdiannya itu. Orang yang mencintai juga lupa terhadap musibahyang menimpanya karena dia sudah mendapatkan kenikmatan cinta. Seakan-akan dia memperoleh tabiat lain yang bukan tabiatnya sebagai manusia. Bahkan karena kekuasaan cinta ini, dia tetap merasakan kenikmatan sekalipun musibah yang datang dari kekasihnya amat banyak. Dia tidak lagi peduli terhadap bagian dan keinginan dirinya. Syaikh juga berkata, "Ini merupakan cinta yang tumbuh karena melihat karunia, yang menguat karena mengikuti As-Sunnah dan berkembang karena doa kefakirannya dikabulkan." Cinta ini muncul karena hamba melihat karunia yang dilimpahkan Allah, berupa nikmat zhahir dan batin. Seberapa jauh dia bisa melihat karunia ini, maka sejauh itu pula kekuatan cintanya. Sesungguhnya hati itu diciptakan untuk mencintai sesuatu yang dianggapnya berbuat baik kepadanya dan membenci yang berbuat jahat kepadanya. Sementara tak ada satu kebaikan pun yang diperoleh hamba melainkan datang dari Allah dan tidak ada kejahatan terhadap dirinya kecua-li datang dari syetan. Karunia terbesar yang diberikan Allah kepada hamba-Nya adalah menjadikannya mencintai Allah, mengetahui-Nya, mengharapkan Wajah-Nya dan mengikuti kekasih-Nya. Dasar hal ini adalah cahaya yang dimasukkan Allah ke dalam hati hamba. Jika ca-haya ini menyelusup ke dalam hati dan dirinya, maka dirinya menjadi berbinarbinar dan kegelapan menyingkir darinya. Sebab cahaya dan kegelapan tidak akan menyatu, kecuali

setelah salah satu di antara keduanyamenyingkir. Pada saat itulah ruh berada di antara keeng-ganan dan kejinakan di samping kekasih yang pertama. Cahaya ini sepertimatahari di dalam hati orang-orang yang taqarrub, atau seperti bulan purnama di dalam hati ashhabul-yamin, atau seperti bintang di dalam hati orang-orang Mukmin secara umum. Cinta bisa menguat karena mengikuti As-Sunnah, artinya mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dalam perkataan, perbuatan dan akhlak. Kekuatan dan

keteguhan cinta ini tergantung dari kekuat-an mengikuti beliau. Jika ada kelemahan dalam mengikuti, maka cinta pun melemah pula. Mengikuti Rasulullah ini menumbuhkan cinta dan status sebagai hamba yangdicintai. Suatu urusan tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dua hal ini. Yang menjadi pertim-bangan bukan bagaimana engkaumencintai Allah, tapi bagaimana Allah mencintaimu. Allah tidak akan mencintaimu kecuali jika engkau mencintai kekasih-Nya, secara zhahir dan batin, di samping engkau juga harus membenarkan pengabarannya, menaati perintahnya, memenuhi seruannya, mendahulukan kepentingannya, tidak me-ngacu kepada hukumselainnya, tidak mencintai orang selainnya, tidak menaati orang selainnya. Doa berkembang karena doa kefakiran dikabulkan, artinya orang yang berdoa melakukan amal yang banyak tapi seakan dia tidak melakukannya. Yang diharapkannya hanyalah kefakiran, karena jalan kefakiran enggan jika pelakunya merasa telah memiliki peran dan amal, kedudukan atau keadaan. Dia ingin menemui Allah dalam keadaan fakir. Maka tidak dapat diragukan bahwa cinta akan tumbuh dari kesaksian ini.

2. Cinta yang mendorong untuk mementingkan Allah daripada selain- Nya, menggerakkan lisan untuk menyebut nama-Nya, menggantungkan hati kepada kesaksian-Nya. Ini adalah cinta yang muncul karena memperhatikan sifat-sifat, melihat tanda-tanda kekuasaan dan melatih diri berada dalam kedudukan. Derajat ini lebih tinggi dari derajat pertama, karena pertimbangansebab dan tujuannya. Sebab derajat pertama adalah melihat karunia dan kebaikan Allah. Sedangkan sebab derajat ini adalah memperhatikan sifat-sifat Allah, mempersaksikan makna tanda-tanda kekuasaan-Nya yang didengarkan atau yang dilihat dan melatih diri dalam kedudukan Islam serta iman. Karena itu derajat ini lebih tinggi dari derajat pertama. Karena kesempurnaan dan kekuatan cinta, maka orang yang mencintai meninggalkan hal-hal selain Allah, lebih mementingkan Allah daripada

selain-Nya, dan membuat lisannya senantiasa menyebut nama-Nya. Kemudian jika hati menggantungkan kesaksian kepada Allah, maka seakan-akan hati itu tidak lagi menyaksikan selain-Nya. Ini adalah cinta yang muncul karena memperhatikan sifat-sifat. Artinya, pertama cinta itu harus dikukuhkan. Kedua, mengetahui sifat-sifat-Nya. Ketiga, tidak menyimpang dari nash-Nya. Keempat, tidak mem-buat penyerupaan dengan-Nya. Memperhatikan sifat-sifat-Nya yang bias menumbuhkan cinta tidak akan sempurna kecuali dengan empat perkara ini. Melihat tanda-tanda kekuasaan artinya melihat dengan

pikiran dan mengambil pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan yang bisa disaksi-kan dan tanda-tanda kekuasaan yang bisa didengarkan. Semua ini bisamendorong munculnya kekuatan cinta kepada Allah. Begitu pula melatih diri berada dalam kedudukan Islam dan iman, yang bisa memupuk cinta kepada Allah.

3. Cinta yang menyambar, yang memotong ungkapan, yang menepis isyarat dan yang tidak habis disifati. Cinta yang menyambar artinya menyambar hati orang yang mencintai, ketika dia melihat keelokan kekasih. Hal ini diisyaratkan Syaikh kepada kefanaan dalam cinta dan kesaksian. Ungkapan akan terputus tan-pa disertai hakikat cinta itu dan isyarat pun tidak akan sampai kepada-nya, karena hakikat cinta ini di atas ungkapan dan isyarat. Syaikh berkata : "Cinta adalah poros keadaan ini, sedangkan selain-nya adalah mengharapkan sesuatu dari kekasih. Cinta ini disifati lisan, yang diseru

akhlak dan diharuskan akal." Cinta pada derajat ketiga ini merupakan poros keadaan orang-orang yang berjalan kepada Allah, karena cinta ini bersih dari noda, kotoran dan cacat. Sedangkan selainnya adalah orang yang mengharapkan sesuatu dari kekasihnya. Cinta ini selalu disebut-sebut dan disifati lisan, yang tidak bisa didapatkan dengan suatu sebab dan tidak bisa dinyatakan dengan suatu ungkapan. Diharuskan akal, artinya bahwa akal itu menetapkan keharusan mendahulukan cinta kepada Allah daripa-da cinta kepada diri sendiri, keluarga, harta, anak dan selain-Nya. Sia-pa yang akalnya tidak memutuskan seperti ini, maka tidak ada peran dalam akalnya itu. Sebab akal, fitrah, syariatdanpandangan, semuanya mengajak untuk mencintai Allah.

Cemburu

Allah befirman kaitannya dengan ghairah (cemburu) ini, "Katakanlah, 'Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak atau pun yang tersembunyi'." (Al-A'raf: 33).

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Al-Ahwash, dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda : "Tidak ada seseorang yang lebih cemburu selain dari Allah. Di antara cemburu-Nya ialah Dia mengharamkan kekejian yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada seseorang yang lebih mencintai pujian selain dari Allah. Karena itulah Dia memuji Diri-Nya. Tidak ada seseorang yang lebih mencintai alasan selain dari Allah. Karena itu Dia mengutus para rasul sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan."

Di dalam Ash-Shahih juga disebutkan dari hadits Abu Salamah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihiwa

Sallam bersabda : "Sesungguhnya Allah itu cemburu dan sesungguhnya orang Mukmin itu cemburu. Kecemburuan Allah ialah jika hamba melakukan apa yang

diharamkan-Nya."

Di dalam Ash-Shahih juga disebutkan, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda : "Apakah kalian heran terhadap kecemburuan Sa'd? Aku benar-benar

lebih cemburu daripada dia dan Allah lebih cemburu daripada aku." Yang termasuk dalam cemburu adalah firman Allah : "Dan, apabila kamu membaca Al-Qur'an, niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup." (Al-Isra': 45).

As-Sary bertanya kepada rekan-rekannya, "Tahukah kalian apa maksud dinding di dalam ayat ini? Itu adalah dinding cemburu. Sementara tidak ada seseorang yang lebih cemburu selain dari Allah. Karena itu Allah tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai orang-orang yang layak memahami kalam-Nya, mengetahui, mengesakan dan mencintai-Nya. Allah juga menjadikan di antara mereka dengan Rasul, kalam dan pengesa-an-Nya, dinding yang tidak terlihat mata. Inilah kecemburuan Allah jika semua itu diterima orang yang tidak layak menerimanya." Cemburu merupakan tempat persinggahan yang mulia dan agung.

Tetapi orang-orang sufi dekade terakhir ada yang membalik pokok permasalahannya, membuat pengertian lain yang batil, menempatkan-nya tidak secara proporsional dan menyamarkannya.

Cemburu ada dua macam: Cemburu dari sesuatu dan cemburu terhadap sesuatu. Cemburu dari sesuatu ialah kebencianmu kepada sesuatu yang bersekutu dalam mencintai kekasihmu. Sedangkan cemburu terhadap sesuatu ialah hasratmu yang menggebu terhadap kekasih, sehingga engkau merasa takut andaikan orang lain beruntung mendapatkannya atau ada orang lain yang bersekutu untuk mendapatkannya.

Cemburu juga ada dua macam: Cemburu Allah terhadap hamba- Nya, dan cemburu hamba bagi Allah dan bukan cemburu terhadap Allah. Cemburu Allah terhadap hamba-Nya ialah tidak menjadikan manusia sebagai hamba bagi makhluk-Nya, tapi menjadikannya sebagai hamba bagi Diri-Nya dan tidak menjadikannya sekutu dalam penghambaan ini. Ini merupakan cemburu yang paling tinggi.

Sedangkan cemburu hamba bagi Allah ada dua macam: Cemburu dari dirinya dan cemburu dari selain-nya. Cemburu dari dirinya ialah tidak menjadikan sesuatu dari perkataan, perbuatan, keadaan, waktu dan napasnya bagi selain Allah. Sedangkan cemburu dari selainnya ialah marah jika ada pelanggaran terhadap hal-hal yang diharamkan Allah atau ada pengabaian terhadap hak-hak Allah.

Cemburu hamba terhadap Allah merupakan kebodohan dan kebatilan yang besar, pelakunya adalah orang yang amat bodoh, yang bias menyeretnya kepada penentangan tanpa disadarinya dan membuatnya menyimpang dari Islam, atau bisa membuatnya berbuat lebih jahat terhadap orang-orang yang berjalan kepada Allah daripada para perampok jalanan. Mengapa harus cemburu terhadap Allah dan bukannya cemburu bagi

Allah, yang mengharuskannya mengagungkan hak-Nya dan membersihkan amal serta keadaannya karena Allah? Orang yang berilmu tentu akan cemburu karena Allah. Sedangkan orang bodoh cemburu terhadap Allah. Maka tidak bisa dikatakan, "Aku cemburu terhadap Allah, tapi aku cemburu bagi Allah."

Kecemburuan hamba dari dirinya lebih penting daripada kecemburuannya dari selainnya. Jika engkau cemburu dari dirimu, maka cemburumu dari selainmu bagi Allah menjadi benar. Jika engkau cemburu bagi Allah dari selain dirimu, dan engkau tidak cemburu dari dirimu, maka itu adalah cemburu yang cacat. Perhatikanlah baik-baik masalah ini, karena banyak orang yang kakinya terpeleset. Sesungguhnya Allah Maha Pemberi petunjuk dan taufik.

Dikisahkan dari salah seorang pemimpin sufi yang ternama, bahwa dia pernah berkata, "Aku tidak merasa tenang hingga aku tidak melihat seseorang yang berdzikir kepada Allah." Ini merupakan kecemburuan terhadap Allah dari orang-orang yang lalai. Anehnya, semacam ini justru dianggap sebagai salah satu kebaikan sufi tersebut. Berdzikir kepada Allah dalam keadaan lalai dan dalam keadaan bagaimana pun, lebih baik daripada lupa berdzikir sama sekali. Selagi lisan tidak mau menyebut asma Allah yang merupakan kekasihnya, tentu akan menyebuat hal-hal yang dimurkai-Nya. Lalu ketenangan macam apakah yang dikatakan sufi tersebut?

Ada pula di antara mereka yang berkata, "Aku tidak suka melihat Allah dan tidak ingin memandang-Nya." "Mengapa begitu?" tanya seseorang. Dia menjawab, "Itu merupakan kecemburuan terhadap Allah dari pandangan terhadap diriku."

Tentu saja perkataan seperti ini menggambarkan kecemburuan yang buruk dan menunjukkan kebodohan orangnya. Hal serupa dikisahkan dari Asy-Syibly, bahwa tatkala anaknya meninggal dunia, maka dia mencukur jenggotnya hingga tak selembar rambut pun yang menyisa. Orang-orang yang sedang berta'ziyah bertanya, "Wahai Abu Bakar, apa yang engkau lakukan ini?" Dia menjawab, "Aku juga setuju jika seluruh keluargaku mencukur rambut mereka." Orang-orang berkata, "Beritahukan kepada kami apa alasannya?" Dia menjawab, "Karena aku tahu mereka bermaksud menghiburku pada saat aku lalai, sambil berkata, 'Semoga Allah memberikan pahala kepadamu'. Maka kuputuskan untuk menebus perkataan mereka yang mengingatkan aku pada saat aku lalai dengan mencukur jenggotku."

Perhatikanlah cemburu yang diharamkan dan buruk ini, yang mengandung beberapa pelanggaran terhadap hal-hal yang diharamkan, yaitu mencukur rambut pada saat mendapat musibah. Padahal Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda, "Bukan termasuk golongan kami orang yang mencukur rambut, mencabik-cabik dan membakar baju (saat mendapat musibah)."

Memang tujuan tindakan ini, agar dosa-dosanya diampuni. Hal ini sama sekali tidak bisa disebut kebaikan, terlebih lagi cemburu yang terpuji. Suatu kali Asy-Syibly mengumandangkan adzan. Ketika sampai pada bacaan syahadatain, dia berkata, "Kalau bukan karena Engkau memerintahkan aku untuk menyebut selain-Mu bersama-Mu, tentu aku tidak akan menyebut nama Muhammad." Lalu orang-orang yang bodoh di sekitarnya berkomentar, "Ini mencerminkan kalimat la ilaha illallah yang keluar dari dasar hati, sementara Muhammad Rasulullah keluar dari anting-anting."

Dapat saya katakan, "Muhammad Rasulullah merupakan pelengkap la ilaha illallah. Dua kalimat ini harus keluar dari dasar hati dan dari satu misykat. Salah satu di antaranya belum dianggap sempurna kecuali dengan yang lain."

Dalam membicarakan masalah cemburu ini, pengarang Manazirus- Sa'irin menukil ayat yang mengisahkan tentang Nabi Sulaiman, beliau berkata : "'Bawalah semua kuda itu kembali kepadaku'. Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu." (Shad: 33).

Sisi pembuktian dengan ayat ini, bahwa Sulaiman Alaihis-Salam sangat menyukai kuda, sehingga beliau sering menyibukkan diri dengancara memilih kuda-kuda yang bagus dan memandanginya. Suatu hari beliau ketinggalan mengerjakan shalat pada siang hari karena kesibukan-nya ini, apalagi matahari tertutup awan pada saat itu. Maka beliau merasakancemburu bagi Allah dari kuda ini, sampai-sampai beliau tidak memenuhihak-hak Allah. Maka kemudian beliau meminta semua kuda itu lalumenyembelihnya, sebagai wujud kecemburuan bagi Allah.

Syaikh berkata, "Cemburu adalah menggugurkan kesanggupan karena bakhil dan tidak bisa bersabar karena kecintaannya." Artinya, orang yang cemburu merasa tidak sanggup melakukan kesibukan yang bisa membuatnya mengabaikan kekasih. Hal itu dia

lakukan karena bakhil, dan kebakhilan ini merupakan kemuliaan bagi orang-orang yang mencintai secara benar. Karena cintanya itu dia juga tidak bisa bersabar jika dia mengabaikan kekasih. Ketidaksabaran ini merupakan sikap yang tidak tercela.

Ada tiga derajat cemburu, yaitu:

1. Kecemburuan ahli ibadah terhadap sesuatu yang hilang namun dia dapat menutupi apa yang hilang, dapat mengejar yang tertinggal dan dapat mengembalikan kekuatannya. Ahli ibadah di sini adalah orang yang beramal shalih berdasarkan ilmu yang bermanfaat. Karena cemburunya terhadap amal shalih yang hilang, maka dia berusaha memperoleh kembali apa yang hilang itu dengan amal lain yang serupa dengannya, meneliti ibadah-ibadah nafilah dan wirid yang hilang lalu mengerjakan ibadah-ibadah serupa atau yang sejenis, mengqadha' mana yang bisa diqadha' dan mengganti mana yang bisa diganti. Perbedaan antara memperoleh kembali apa yang hilang dan mendapatkan kembali yang tertinggal, yang pertama adalah kemungkinan memperoleh kembali sesuatu yang hilang dalam bentuk yang sama, seperti orang yang tidak bias

menunaikan haji pada tahun tertentu yang sebenarnya memungkinkan baginya untuk menunaikannya, lalu dia bisa memperoleh kembali haji yang sama pada tahu berikutnya. Begitu pula orang yang menunda pembayaran zakat pada waktu yang telah ditetapkan, lalu dia bisa mengeluarkan zakat itu pada waktu lain. Sedangkan mendapatkan kembali yang tertinggal, ialah mendapat-kan kembali hal yang serupa dengannya, seperti mengqadha' shalat yang tertinggal dari waktu pelaksanaannya. Sedangkan mengembalikan kekuatan artinya mendapatkan kembali kekuatan itu dengan menggunakannya dalam ketaatan sebelum kekuatannya melemah. Dia cemburu terhadap kekuatannya jika kekuatan itu hilang percuma bukan untuk ketaatan kepada Allah. Inilah cemburunya hamba terhadap amal.

2. Kecemburuan orang yang mencintai, yaitu cemburu terhadap waktu yang tertinggal, dan ini merupakan cemburu yang bisa membunuh, sebab waktu itu cepat berlalunya dan lambat kembalinya. Orang yang mencintai adalah ahli ibadah dan ahli ibadah adalah orang yang mencintai. Tapi sebutan ahli ibadah lebih dikhususkan terhadaporang yang mengerjakan amal secara murni. Qrang yang mencintai namun bukan ahli ibadah adalah orang zindiq, sedangkan ahli ibadah yang tidak mencintai adalah orang yang takabur. Waktu menurut ahli ibadah ialah untuk mengerjakan ibadah dan wirid, sedangkan menurut orang yang mencintai ialah untuk menghadap kepada Allah dan menyatukan hati dengan-Nya. Waktu bagi dirinya adalah sesuatu yang paling beharga. Dia cemburu terhadap waktu jika berlalu tanpa termanfaatkan untuk itu. Jika waktu ini sudah berlalu, maka dia akan bisa mendapatkannya kembali, sebab waktu berikutnya digunakan untuk mengerjakan kewajibannya yang khusus, sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Musnad secara marfu', "Siapa yang tidak berpuasa pada bulan Ramadhan secara sengaja tanpa ada alasan, maka dia tidak bisa mengqadha'nya dengan puasa setahun penuh, sekalipun selama setahun itu dia berpuasa." Dikatakan cemburu yang bisa membunuh, karena memang cemburu ini bisa mendatangkan bahaya besar yang menyerupai kemampuan untuk membunuh, karena kerugian kehilangan ini memang benarbenar bisa membunuh, apalagi jika orangnya mengetahui bahwa dia sama sekali tidak memperolehnya kembali. Waktu itu juga cepat berlalunya, cepat hilangnya, seperti berlalunya awan, hilang begitu saja dan tidak bisa kembali, kecuali pengaruh dan hukumnya. Maka dari itu pilihlah yang terbaik bagi dirimu dari waktunya agar manfaatnya kembali kepada dirimu sendiri. Maka kelak dikatakan kepada orangorang yang berbahagia : "Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kalian kcrjakan pada hari-hari yang telah lalu." (Al-Haqqah: 24). Sementara kepada orang-orang yang menderita dikatakan, "Yang demikian disebabkan karena kalian bersuka ria di muka bumi dengan tidak benar dan karena kalian suka bersuka ria (dalam kemaksiatan)." (Al-Mukmin: 75).

3. Kecemburuan orang yang memiliki ma'rifat terhadap mata yang tertutup tabir, cemburu terhadap rahasia yang tertutup kotoran dan cemburu terhadap napas yang bergantung kepada harapan atau berpaling kepada pemberian. Orang yang memiliki ma'rifat ini cemburu terhadap pandangan yang tertutup tabir atau hijab. Maksud rahasia dalam perkataan Syaikh di sini adalah keadaan antara hamba dan Allah. Jika keadaan ini tertutup kotoran, maka orangnya akan memohon pertolongan, sebagaimana orang yang sedang mendapat siksaan meminta pertolongan agar dibebaskan dari siksaan. Jadi dia cemburu terhadap keadaannya yang tertutup oleh kotoran. Dia juga cemburu terhadap napasnya, jika napas itu bergantung kepada harapan akan datangnya pahala, sementara ia tidak bergantung kepada kehendak Allah dan cinta-Nya. Dia juga cemburu jika berpaling kepada pemberian dari selain Allah, lalu dia ridha. Tidak selayaknya dia bergantung kecuali kepada Allah semata dan tidak berpaling kecuali kepada Allah Yang Mahakaya lagi Maha Terpuji.

Rindu

Allah befirman berkaitan dengan tempat persinggahan ini : "Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan Allah itu pasti datang." (Al- Ankabut: 5).

Ada yang berpendapat, ini merupakan hiburan bagi orang-orang yang rindu. Dengan kata lain, Aku tahu bahwa siapa yang mengharap perjumpaan dengan-Ku, berarti dia rindu kepada-Ku. Aku telah mempercepat waktu baginya sehingga terasa dekat, dan waktu itu pasti akan datang. Sebab segala sesuatu yang akan datang itu dekat. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam biasa bersabda dalam doa : "Aku memohon kepada-Mu kelezatan memandang Wajah-Mu dan kerinduan berjumpa dengan-Mu."

Sebagian orang berkata, "Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa rindu berjumpa dengan Allah. Kerinduan beliau tidak semata ingin berjumpa dengan Allah, tapi kerinduan ini memiliki seratus bagian. Sembilan puluh sembilan bagi beliau dan satu bagian dibagi-bagi kepada umat. Beliau ingin agar satu bagian ini ditambahkan kepada bagian kerinduan yang dikhususkan bagi beliau. Allahlah yang lebih tahu."

Rindu merupakan salah satu pengaruh dan hukum cinta. Rindu merupakan perjalanan hati menuju kekasih dalam keadaan bagaimana pun. Ada yang berpendapat, rindu adalah gejolak hati untuk bertemu kekasih.

Ada yang berpendapat, rindu dapat membakar hati dan menghentikan detak jantung. Cinta lebih tinggi daripada rindu, sebab rindu muncul dari cinta. Kuat dan lemahnya rindu ini tergantung kepada cinta.

Yahya bin Mu'adz berkata, "Tanda rindu ialah tersapihnya anggota tubuh dari syahwat."

Abu Utsman berkata, "Tanda rindu ialah menyukai mati asalkan mendatangkan ketenangan jiwa, seperti keadaan Yusuf Alaihis-Salam ketika dimasukkan ke dalam sumur. Dalam keadaan seperti ini beliau tidak berkata, "Matikanlah aku!" Begitu pula saat beliau dijebloskan ke dalam penjara. Tetapi ketika semua urusan sudah beres, keamanan sudahterjamin dan nikmat ada di mana-mana, maka beliau berkata, "Matikanlah aku dalam keadaan berserah diri."

Ibnu Khafif berkata, "Rindu adalah ketenangan hati karena cinta dan keinginan untuk berjumpa serta berdekatan."

Saya katakan, bahwa di sini ada masalah yang diperselisihkan di antara orang-orang yang mencintai, apakah kerinduan itu bisa lenyap setelah ada pertemuan ataukah tidak? Tapi mereka tidak berbeda pendapat bahwa cinta tidak hilang karena ada pertemuan.

Di antara mereka ada yang berpendapat, rindu tidak hilang meskipun sudah ada pertemuan. Sebab rindu merupakan perjalanan hati kepada kekasihnya. Jika sudah sampai di hadapannya, maka rindu ini berganti menjadi kesenangan. Kesenangan ini menyatu dengan cinta dan tidak mengenyahkannya.

Ada yang berpendapat, rindu semakin bertambah karena kedekat-an dan pertemuan. Rindu tidak hilang karena pertemuan. Karena sebelum menerima kabar dan mengetahui, begitu pula sesudahnya, sudah ada kesaksian.

Al-Junaid berkata, "Aku pernah mendengar As-Sary berkata, "Rindu merupakan kedudukan yang mulia bagi orang yang memiliki ma'rifat. Jika dia dapat mewujudkan kerinduan itu, maka perhatiannya hanya tertuju kepada siapa yang dia rindukan. Karena itu para penghuni surga senantiasa merindukan Allah, sekalipun mereka dekat dan dapat melihat- Nya." Di antara bukti bahwa kerinduan justru semakin menggebu pada saat pertemuan, bahwa terkadang melihat orang yang jatuh cinta justru menangis jika bertemu orang yang dicintainya. Tangis itu karena kerinduannya dan cintanya yang amat besar. Maka saat bertemu itu justru dia mendapatkan kerinduan lain di samping kerinduan yang sudah-ada, yang tidak dia dapatkan saat berjauhan dengannya. Letak pertentangan dalam masalah ini, bahwa yang dimaksudkan dengan rindu adalah gerakan hati dan kobarannya untuk bertemu kekasih.

Hal ini bisa hilang setelah ada pertemuan. Tetapi hal ini bisa menimbulkan kerinduan lain yang justru lebih besar lagi, yang membangkitkan kenikmatan untuk selalu berhubungan dan melihat keelokan kekasih. Hal ini bisa bertambah karena pertemuan dan sama sekali tidak bisa hilang.

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Rindu adalah perjalanan hati kepada kekasih yang berjauhan. Menurut golongan ini, alasan kerinduan itu amat besar. Kerinduan muncul terhadap kekasih yang jauh. Kerinduan berdasarkan kepada kesaksian.

Karena itu Al-Qur'an tidak dibaca dengan namanya." Tentang alasan kerinduan ini sudah diisyaratkan sebelumnya, bahwa di antara manusia ada yang menjadikan kerinduan lebih sempurna pada saat pertemuan daripada saat berjauhan.

Ada tiga derajat rindu, yaitu:

1. Kerinduan ahli ibadah kepada surga, agar yang takut merasa aman, yang sedih merasa gembira dan yang berharap merasa beruntung. Ada tiga hukum tentang kerinduan ahli ibadah untuk masuk surga, yaitu:

- Diperolehnya rasa aman yang mendorong harapan. Ketakutan yang tidak memberikan rasa aman dari segala sisi, tidak akan mampu mendorong orangnya untuk beramal, selagi tidak disertai harapan, yang kemudian berubah menjadi rasa putus asa.

- Kegembiraan orang yang sedih. Kesedihan yang tidak disertai kegembiraan, bisa membunuh orangnya. Sekiranya tidak ada ruh kegembiraan, maka kekuatan orang yang sedih akan merosot dan kesedihan akan selalu menyertainya. - Ruh keberuntungan. Jika orang yang berharap tidak disertai run ha-rapan, maka harapannya akan mati.

2. Kerinduan kepada Allah. Kerinduan ini ditanam oleh cinta yang tumbuh di atas hamparan anugerah. Hati bergantung kepada sifat-sifat- Nya yang suci, lalu rindu untuk melihat kelembutan kemurahan-Nya, tanda-tanda kebaikan dan karunia-Nya. Ini adalah kerinduan yangtertutup kebaikan, mendekatkan perjalanan dan menguatkan kesabaran. Kerinduan kepada Allah sama sekali tidak menghapus kerinduan kepada surga, karena kenikmatan yang paling baik di surga adalah berdekatan dengan Allah, memandang-Nya dan mendengar kalam-Nya. Kenikmatan kerinduan hanya semata kepada makanan, minuman dan bidadari di surga, adalah kerinduan yang sama sekali tidak sempurna, jika dibandingkan dengan kerinduan kepada Allah. Bahkan kerinduan ini tidak bisa diukur. Kerinduan ini ada dua tingkatan, salah satu di antaranya adalah kerinduan yang ditanam oleh cinta, yang penyebabnya adalah kemurahan dan anugerah, melihat anugerah Allah, kemurahan dan nikmat-Nya. Yang dimaksud sifat-sifat-Nya yang suci di sini adalah sifat-sifat Allah yang khusus berkaitan dengan karunia dan kemurahan, seperti sifat Al- Birr, Al-Mannan, Al-Muhsin, Al-Jawad, Al-Mu'thy, Al-Ghafur dan lain sebagainya. Yang suci di sini juga berarti suci dari penyimpangan ta'wil orang-orang yang menyimpang dan juga penyerupaan. Karena ini merupakan kerinduan yang tertutup kebaikan, berarti merupakan kerinduan yang belum sempurna, tidak murni karena Dzat Kekasih, tapi merupakan kerinduan yang muncul dari kebaikan yang diterima. Dengan kerinduan ini pelakunya merasakan kedekatan perjalanan yang dilakukan dan kesabarannya menjadi lebih kuat. Kesabaran ini mendukung kerinduannya dan tidak mengalahkannya, berbeda dengan kerinduan pada derajat ketiga.

3. Kerinduan berupa api yang dinyalakan kesucian cinta, yang digerakkan hidup, yang disambar kebebasan derita cinta, dan yang tidak bias dihentikan kecuali bertemu

kekasih. Kerinduan ini menyerupai api yang dinyalakan oleh kesucian cinta. Diserupakan dengan api, karena keadaannya yang berkobar di dalam relung hati. Kesucian cinta di sini merupakan isyarat bahwa itu merupakan cinta yang tidak dimaksudkan untuk mendapatkan karunia dan kenikmatan, tapi merupakan cinta yang bergantung kepada Dzat dan sifat Allah. Digerakkan hidup, artinya orangnya tidak bisa diam untuk mendapatkan kenikmatan hidup. Kerinduan ini tidak bisa dihentikan kecuali bertemu kekasih, berarti harus ditunjang dengan kesabaran.

Keresahan

Kerinduan ini bisa menjadi-jadi dan terbebas dari kesabaran, yang kemudian disebut keresahan. Begitulah sebutan yang diberikan pengarang

Manazilus-Sa'irin. Hal ini dikuatkannya dengan firman Allah yang mengisahkan Musa Alaihis-Salam, yang berkata, "Aku bersegera kepada-Mu, ya Rabbi, agar Engkau ridha (kepadaku)." (Thaha: 84).

Seakan-akan Syaikh memahami, bahwa Musa bersegera karena didorong oleh keresahan hati, yaitu membebaskan kerinduan dengan bertemu Allah. Tapi menurut zhahir ayat ini, bahwa yang mendorong musa tergesa-gesa ialah karena mencari keridhaan-Nya, dan keridhaan Allah muncul jika segera melaksanakan perintah-Nya. Karena ayat inilah orang-orang salaf berhujjah bahwa shalat pada awal waktu itu lebihafdhal.

Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan hal ini, seraya berkata, "Ridha Allah ada dalam penyegeraan perintah-Nya."

Syaikh membatasi keresahan ini dengan tidak adanya kesabaran dalam kerinduan. Jika disertai kesabaran, maka itu semata merupakan kerinduan. Ada tiga derajat keresahan, yaitu:

1. Keresahan yang menyempitkan akhlak, yang membuat benci kepada manusia dan merasakan kenikmatan maut. Akhlak orang yang resah menjadi sempit dalam menghadapi orang lain, apalagi mengikat mereka. Membuat benci kepada manusia, artinya orangnya tidak suka bergaul dengan manusia, karena keresahannya lebih suka menyendiri dan tidak bergaul dengan mereka. Saya pernah diberitahu rekan-rekan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, bahwa pada awal mulanya dia suka pergi ke tengah padang pasir dan tidak mau bergaul dengan manusia, jika ada suatu kekuatan yang tidak mampu dilawannya. Maka suatu hari aku membuntuti di belakangnya. Ketika sudah tiba di tengah padang pasir, dia menghela napas dalam-dalam, kemudian melantunkan syair Laila Majnun, "Aku keluar meninggalkan perkampungan agar aku bisa berbincang dengan jiwamu sendirian." Orang yang resah karena rindu tentu ingin bertemu kekasihnya. Jika dia ingat mati, maka dia merasakan kenikmatan, sebagaimana musafir yang merasa senang jika membayangkan pertemuan dengan keluarga dan orang-orang yang dicintainya.

2. Keresahan yang mengalahkan akal, mengosongkan pendengaran dan menghambat kekuatan. Hampir saja keresahan ini menundukkan dan mengalahkan akal. Tapi karena belum mencapai derajat kesaksian, maka akal tidak bisa ditundukkan. Sebab yang bisa menundukkan akal adalah kesaksian. Mengosongkan pendengaran, artinya membuat pendengaran itu tidak peduli terhadap peringatan orang lain. Yang diinginkannya hanyalah pengabaran tentang kekasih. Menghambat kekuatan, artinya kekuatan sabar tidak mampu untuk mengenyahkan keresahan itu.

3. Keresahan yang tidak mengasihi selamanya, yang tidak menerima batasan dan yang tidak membiarkan seseorang. Keresahan ini benar-benar sudah menguasai orangnya, karena keresahan ini berasal dari kesaksian. Dia tidak mau menerima batasan dihadapannya. Keresahan ini berkuasa dan tidak bisa dikuasai, mengendalikan hati dan tidak bisa dikendalikan, sehingga kehadiran seseorang dianggap tidak ada.

Haus

Jika keresahan ini menguat dan menjadi-jadi, hingga membuat keadaan hati seperti kebutuhan terhadap seteguk air karena udara panas yang membakar, maka keadaan ini disebut athasy. Begitulah menurut pengarang Manazilus-Sa'irin. Syaikh mengacukan hal ini kepada firman Allah tentang Ibrahim Al-Khalil : "Ketika malam telah menjadigelap, dia melihat scbuah bintang (lain) dia berkata, 'Inilah Rabbku'." (Al-An'am: 76).

Seakan-akan dari isyarat ini Syaikh menyimpulkan bahwa karena rasa hausnya untuk bertemu kekasih, maka Ibrahim berkata pada saatmelihat bintang, "Ini adalah Rabb-ku." Sesungguhnya orang yang ke- hausan, seakan melihat air saat melihat fatamorgana, sehingga justru membuat rasa hausnya semakin bertambah.

Tapi makna ayat ini bukan seperti yang diisyaratkannya. Sebab memang orang-orang sufi cenderung kepada isyarat-isyarat. Jika bukan itu maksudnya, maka ada yang berpendapat, bahwa dengan perkataan itu, seakan-akan beliau membubuhi dengan tanda tanya, yang berarti, "Inilah Rabb-ku?"

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Haus merupakan kiasan tentang kesukaan yang berat terhadap sesuatu yang diharapkan."

Menurut Syaikh, ada tiga derajat haus, yaitu:

1. Kehausan orang yang mencintai terhadap saksi yang memberinya minum, memberinya isyarat yang menyembuhkannya dan memberinya sentuhan kasih yang melindunginya.

Jika orang yang haus menemui seseorang yang menuntunnya ke ternpat minum, maka hatinya merasa tenang dan dia bisa menyaksikan yang sebenarnya. Memberi isyarat yang menyembuhkan, artinya menyembuhkan hati dari penyakit yang menimpa. Jika dia mendapat isyarat kesembuhan dari orang lain seperti dirinya, atau dari orang yang lebih

berilmu, atau dari ayat yang dipahaminya, maka hatinya bisa sembuh. Memberinya sentuhan kasih, artinya kasih sayang dari kekasihnya, yang bisa memadamkan bara kehausannya. Sebab tidak ada yang bisa mendinginkan hati orang yang mencintai selain dari sentuhan kasih kekasihnya.

2. Kehausan orang yang mengadakan perjalanan hingga ke batas waktu yang dilaluinya, hingga hari ke hari yang dibutuhkannya dan kepersinggahan yang bisa dijadikan tempat beristirahat. Ini merupakan kehausan dalam perjalanan hingga tiba di tempat kekasih. Dia melalui perjalanannya dengan cepat agar sampai ke tujuan, etape demi etape dia lalui, hingga sampai ke suatu hari dia bias melihat apa yang dibutuhkan hatinya. Dalam perjalanan itu tentunya dia harus melewati beberapa persinggahan untuk menenangkan hatinya dan membebaskannya dari segala keadaan.

3. Kehausan orangyang mencintai terhadapsifat-sifatkekasih, yangtidak ditutupi awan nafsu, yang tidak diselubungi tabir perpisahan dan tidak menunggu-nunggu. Hati orang yang haus pada derajat ini dikuasai oleh sifat-sifat kekasih dan keelokannya, yang tidak ditutupi awan nafsu dan tidak diselubungi tabir. Mereka sepakat bahwa tabir yang paling besar adalah tabir nafsu. Sedangkan tabir Allah adalah cahaya. Jika Dzat beliau tampak ke-pada sesuatu, maka pancaran Wajah-Nya akan membakar semua peng-lihatan yang sampai kepada-Nya. Sedangkan tabir antara Allah dan hamba adalah nafsu dan kegelapannya. Jika tabir ini terkuak, maka hamba bisa sampai kepada Allah.

Al-Barqu

Al-Barqu atau kilat merupakan salah satu cahaya iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, yang menerangi hamba saat masuk ke jalan orangorang yang benar. Pengarang Manazilus-Sa'irin mengatakan, "Kilat merupakan awal kilauan yang tampak di hadapan hamba, lalu mengajaknya untuk masuk ke jalan ini."

Syaikh menguatkan hal ini dengan firman Allah, "Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? Ketika ia melihat api, lalu ia berkata kepada keluarganya, 'Tinggallah kamu (di sini) sesung-guhnya aku melihat api'."(Thaha: 9-10). Letak pelandasan kepada ayat ini, karena api yang dilihat Musa itu terjadi pada awal jalan nubuwahnya. Kilat yang diisyaratkannya di sini merupakan kilat keadaan, bukan kilat amal, atau kilat yang datang dari orang yang mengadakan perjalanan, tapi itu semata merupakan pemberian.

Ada tiga derajat kilat, yaitu:

1. Kilat yang berkilau dari sisi janji, yang muncul dari hakikat harapan, sehingga karenanya hamba menganggap banyak pemberian yang sedikit, menganggap sedikit keletihannya yang banyak dan menganggap manis kepahitan qadha'. Janji di sini adalah janji yang diberikan Allah kepada para wali-Nya, berupa berbagai macam karamah di dunia ini dan pada saat perjumpaan dengan-Nya. Kilat ini berkilau dari puncak hakikat

harapan, sehingga seorang hamba menganggap banyak pemberian Allah yang sedikit, yang pada hakikatnya pemberian itu tidaklah sedikit. Yang membuatnya berpandangan seperti ini empat hal:

- Melihat keagungan pemberinya.

- Menghinakan diri sendiri.

- Kecintaan kepada pemberi.

- Melihat keadaan sebelum menerima pemberian itu, yang tidak mempunyai apa-apa. Menganggap sedikit keletihannya, membuatnya mampu mengemban beban perjalanan dan menghadapi kesulitannya. Begitu pula sikap-nya yang menganggap manis kepahitan qadha', yaitu berupa ujian yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya, agar Dia mengetahui siapa di antara mereka yang paling sabar, benar dan Iebih besar iman-nya, lebih cinta, tawakal dan patuh. Jika orang yang mengadakan perjalanan kepada Allah melihat kilat ini, maka qadha' yang pahit akan terasa manis.

2. Kilat yang berkilau dari sisi peringatan agar waspada, sehingga hamba menganggap pendek harapannya yang panjang, berzuhud di tengah manusia dengan segera dan membersihkan rahasia dirinya. Puncak kilat ini tidak seperti puncak kilat pada derajat pertama. Kilat ini berkilau dari puncak kewaspadaan. Sementara kilat pada derajat pertama dari puncak harapan. Jika hamba bisa menangkap kilat ini, maka dia menganggap pendek harapannya yang panjang dan setiap saat terbayang bahwa karunia pasti akan datang kepadanya. Karena itu dia menjadi semakin waspada terhadap serangannya, karena takut akan mendapatkan siksa Allah atau muncul gangguan saat akan berjumpa dengan-Nya. Sehingga jika saat pertemuan itu dia belum dalam keadaan suci dan tidak diperkenankan masuk kecuali setelah dalam keadaan suci, sebagaimana dia tidak boleh masuk shalat selagi di dunia kecuali setelah dalam keadaan suci. Hal ini mengingatkan hamba agar mensucikan hati sebelum menghadap kepada Allah dan masuk ke tempat perjumpaan, terutama ditujukan kepada orang-orang yang mau memikirkan Allah dan memahami rahasia-rahasia ibadah. Membersihkan rahasia diri artinya membersihkan relung-relungnya dari hal-hal selain Allah. Hal ini telah dijelaskan di bagian terdahulu.

3. Kilat yang berkilau dari sisi kelembutan karena membutuhkan, se hingga menghasilkan awan kegembiraan, menurunkan hujan kesenangan dan mengalir dari sungai kebanggaan.Ini merupakan kilat yang berkilau dari ufuk kelembutan dan kasih saying Allah terhadap hamba-Nya. Yang bisa melihat kilat ini akan memperoleh kebanggaan, yaitu berupa jalan paling besar yang menghubungkannya dengan Allah, sedangkan jalan selainnya tertutup. Kilat ini menimbulkan kegembiraan yang bersifat khusus, yang tidak ada duanya di dunia. Jika di langit sudah tampak awan, maka tak lama kemudian akan turun hujan, sehingga membuat batinnya merasa senang dan bangga, yang tidak dimiliki hamba yang lain. Kebanggaan ini termasuk kesempurnaan

ubudiyah. Dengan kata lain, jika hamba melihat kasih sayang dan kelembutan Allah, menyaksikan karunia dankemurahan-Nya, tentu dia akan menyaksikan kebutuhannya kepada Allah di setiap saat. Yang demikjan ini termasuk pintu syukur yang paling besar dan merupakan sebab bertambahnya nikmat. Jika nikmat itu beralih dari dirinya, di dalam hatinya tetap ada awan kegembira-an. Jika awan ini menggumpal di langit hatinya, maka akan menim-bulkan hujan, dan hujan ini pun mendatangkan kesenanganyang lain. Dalam keadaan seperti itu pada lisannya akan mengalir sungai ke-banggaan, bukan karena ujub atau riya', tapi karena wujud kegembi-raan terhadap nikmat Allah yang senantiasa diterimanya.

Memperhatikan

Pengarang Manazilus-Sa'irin melandaskan masalah memperhatikan ini kepada firman Allah, "Tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya, niscaya

kamu dapat melihat-Ku." (Al-A'raf: 143).

Letak pelandasan kepada ayat ini, bahwa Allah ingin memperlihatkan kesempurnaan keagungan-Nya kepada Musa, agarbeliau tahu, bahwa kekuatan yang dimiliki manusia di dunia ini tidak akan mampu membuatnya bisa melihat Allah dengan mata telanjang atau secara langsung, karena bukit pun menjadi berkeping-keping ketika Allah menampakkan Diri kepadanya. Hal ini seperti yang diriwayatkan Ibnu Jarir di dalam tafsirnya, dari hadits Humaid bin Salamah, dia berkata, "Kami diberitahu Tsabit, dari Anas, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa ketika Allah menampakkan Diri kepada bukit, maka bukit itu pun hancur berkeping-keping.

Lalu Humaid berkata kepada Tsabit, "Apakah engkau meriwayatkan yang seperti ini?" Tsabit memukul dada Humaid, seraya berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menyampaikan hal ini, dan bukan aku sendiri yang meriwayatkannya." (Diriwayatkan Al-Hakim di dalam Shahihnya menurut syarat Muslim).

Letak pelandasannya kepada ayat ini, bahwa Allah memerintahkan Musa agar melihat ke arah bukit ketika Allah menampakkan Diri kepadanya. Maka Musa melihat bukit itu hancur luluh dan membuat Musa jatuh pingsan.

Syaikh berkata, "Memperhatikan artinya melihat secara sepintas lalu." Artinya memandang dengan cara mencuri-curi, sehingga yang dipandang tidak merasa bahwa dia sedang dipandang. Mencuri-curi pandang ini memiliki tiga sebab: Pengagungan dan keagungan yang dipandang, sehingga yang memandang mencuri-curi pandangan kearahnya serta tidak memandang dengan pandangan yang tajam sebagai sikap pengagungan kepadanya. Hal ini seperti yang dilakukan para shahabat terhadap Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Mereka tidak pernah memandang dengan pandangan yang tajam terhadap beliau, sebagai penghormatan dan pengagungan terhadap beliau. Arar bin Al-Ash berkata, "Aku tidak pernah memandang secara utuh ke arah beliau, sebagai

pengagungan terhadap beliau. Jika aku diminta untuk mensifati diri beliau, maka aku tidak akan mampu, karena aku tidak pernah memandang beliau secara sempurna."

Ada sebab lain yang membuat orang yang memandang tidak berani memandang secara langsung kepada yang dipandang, karena dia takut terhadap pengaruh yang dipandang. Hal ini disebabkan oleh cinta, atau rasa malu atau kelemahannya untuk memandang secara langsung. Inilah sebab yang umum dalam hal ini.

Begitulah orang yang memiliki keadaan ini. Selagi dia memperhatikan keagungan Rububiyah Allah dengan hatinya, kesempurnaan Allah,kesempurnaan sifat-sifat-Nya, kemurahan, kebaikan serta karunia-Nya,maka hatinya akan mencuri pandang kepada Allah dan ia mempunyaiubudiyah secara khusus.

Menurut Syaikh, ada tiga derajat memperhatikan, yaitu:

1. Memperhatikan karunia yang sudah ditetapkan sejak semula, yang memotong jalan permintaan, dengan menampakkan kerendahan diri sesuai dengan hak Rububiyah, yang menumbuhkan kegembiraan, yang dicampuri kewaspadaan terhadap tipu daya, yang membangkit-kan rasa syukur menurut sifat yang ditegakkan Allah bagi Diri-Nya. Seperti kebiasaan Syaikh dalam setiap masalah yang dikupasnya, yang selalu membagi menurut tiga derajat. Dalam masalah ini pun begitu pula. Memperhatikan bisa dengan mata dan bisa dengan hati. Tapi yang dimaksudkan Syaikh adalah yang kedua, memperhatikan de-gan hati, bukan dengan mata. Karena ini merupakan pembahasan yang khusus. Sementara ayat yang dijadikan sebagai landasan tentang masalah ini.lebih terarah kepada perhatian dengan mata. Padahal yang dia maksudkan dalam pembahasan ini bukan perhatian dengan mata. Memperhatikan karunia yang sudah ditetapkan sejak semula, artinya memperhatikan pemberian Allah yang sudah ditetapkan dalam takdir sebelum dikeluarkan ke dunia, sebagaimana firman-Nya, "Bahwa orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka." (Al-Anbiya': 101). "Dan, sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan, sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang." (Ash-Shaffat: 171-173). Masalah ini bisa ditafsiri menurut dua makna, yaitu: Makna Pertama: Jika hamba melihat ketetapan yang telah ditakdirkan Allah sejak semula, yang berarti ketetapan itu pasti akan sampai ke-padanya, maka hatinya menjadi tenang, jiwanya menjadi tentram, dan dia tahu bahwa apa yang menimpa dirinya bukan untuk menyalah-kannya dan kesalahan yang dilakukannya bukan merupakan musibah yang ditimpakan kepadanya. Dia tahu bahwa rahmat yang dibukakan Allah baginya, maka manusia tidak akan sanggup menahannya, dan apa yang ditahan-Nya, maka mereka tak akan sanggup melepaskannya. Jika dia meyakini hal ini, maka dia akan merasakan manisnya iman kepada qadha' dan qadar, lalu dia akan memotong jalan tuntut-an terhadap Allah. Sebab apa yang sudah ditetapkan di dalam qadar pasti akan sampai

kepadanya. Tapi Syaikh sudah menyadari bahwa hamba harus memohon dan meminta kepada Allah. Maka dia berkata, "Kecuali dengan menampakkan kerendahan diri sesuai dengan hak Rububiyah". Artinya, dia tidak yakin bahwa permintaannya itu dapat mendatangkan apa yang bermanfaat bagi dirinya dan menyingkirkan apa yang tidak diinginkannya. Sebab qadar akan sampai kepadanya, dia meminta atau tidakmeminta. Tapi permintaan kepada Allah diwujudkan untuk merendahkan diri dan menampakkan kebutuhan ubudiyah di hadapan Rububiyah- Nya. Sebab Allah menyukai hamba yang memohon kepada-Nya. Sebab sampainya pemberian dan kebaikan Allah juga tergantung pada permohonan hamba, sekaligus untuk memperlihatkan martabat ubudiyah, kebutuhan dan pengakuan terhadap kemuliaan Rububiyah serta kesempurnaan kekayaan Allah. Sebab hamba pasti membutuhkan karunia Allah setiap saat. Hamba tetap meminta dan memohon, tapi juga menyadari bahwa sebenarnya dia tidak layak meminta dan memohon. Namun begitu Allah suka jika dimintai, sebagaimana firman- Nya, "Dan, apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hcndaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (Al-Baqarah: 186). Ayat-ayat lain yang senada banyak disebutkan di dalam Al-Qur'an, berupa perintah untuk memohon kepada Allah. Di dalam As-Sunnah juga banyak disebutkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Hendaklah salah seorang di antara kalian memohon segala sesuatu kepada Rabbnya, hingga tali sandalnya yang putus, karena jika Allah tidak memudahkannya, maka dia juga tidak akan mendapatkan kemudahan." At-Tirmidzy meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Mohonlah kepada Allah dari karunia-Nya, karena Allah suka jika dimintai dari karunia-Nya, dan tidak ada sesuatu yang diminta dari

Allah yang lebih disukai-Nya selain dari afiat." Beliau juga bersabda,: "Tidaklah ada orang yang berdoa kepada Allah dengan suatu doa, rnelainkan Dia akan memberikan salah satu di antara tiga perkara karena doa itu, yaitu: Dia menyegerakan kebutuhan baginya, atau Dia memberinya kebaikan yang serupa dengan doa itu, atau Dia menghindarkan darinya kejahatan yang serupa dengan doa itu". Mereka bertanya, "Bagaimana jika kita memperbanyak doa wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Allah (mempunyai) yang lebih banyak lagi." "Tidak ada sesuatu yang lebih mulia atas Allah selain dari doa." Allah befirman dalam sebuah hadits qudsy yang diriwayatkan Muslim dari Abu Dzar Radhiyallahu Anhu, dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Wahai hamba-hamba-Ku, setiap orang di antara kalian adalah lapar kecuali siapa yang Kuberi makanan. Maka mintalah makanan kepada- Ku agarAku memberi kalian makanan. Wahai hamba-hamba-Ku, setiap orang di antara kalian adalah telanjang kecuali yang

Kuberi pakaian. Maka mintalahpakaian kepada-Ku agar Aku memberi kalian pakaian. Wahai hamba-hamba-Ku, setiap orang di antara kalian adalah sesat kecuali yang Kuberi petunjuk. Maka mintalah petunjuk kepada-Ku agar Aku memberi kalian petunjuk. Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian melakukan kekeliruan pada malam dan siang hari, sedang Aku mengampuni dosa-dosa semuanya, dan Aku tidak peduli. Maka memohonlah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni dosa kalian." Beliau juga bersabda : "Sedangkan sujud, maka berusahalah kalian di dalamnya dengan berdoa, karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian untuk dikabul-kan." Umar bin Al Khaththab berkata, "Aku tidak membawa hasrat pengabulan, tapi aku membawa hasrat berdoa. Jika aku diberi ilham berdoa, maka aku pun tahu bahwa pengabulan besertanya." Allah menyukai kerendahan dan kehinaan hamba di hadapan-Nya, permohonan, permintaan, kebutuhan, pengaduan, penyandaran dan kembali kepada- Nya. Dalam masalah ini ada dua golongan yang keblinger. Golongan pertama berpendapat bahwa ketetapan qadar yang telah ada membuat doa sama sekali tidak berfaidah. Menurut mereka, kalau pun-apa yang diminta telah ditetapkan dalam takdir, maka pasti akan sampai, diminta atau tidak diminta hamba. Jika tidak ditetapkan dalam takdir, maka tidak ada jalan untuk sampai, diminta atau tidak diminta hamba. Ketika mereka melihat bahwa Al-Kitab dan As-Sunnah telah me-nampakkan perintah berdoa dan keutamaannya, maka mereka berkata, "Doa itu merupakan ubudiyah semata, yang tidak berpengaruh terhadap apa yang diminta. Itu merupakan wujud ibadah kita kepada Allah lewat doa, dan setiap hamba bisa beribadah kepada-Nya menu-rut kehendaknya." Sementara golongan kedua berpendapat bahwa hanya dengan doa dan permintaan itu saja sudah menjamin pengabulan apa yang diminta dan pasti akan didapatkannya, sehingga se-akan-akan doa ini merupakan sebab yang berdiri sendiri. Mereka me-nambahkan kesaksian, bahwa ini merupakan sebab yang datang dari mereka dan yang mereka usahakan dengan perbuatan serta jiwa merekalah yang mengadakannya, sekalipun mereka juga menyadari bahwa Allahlah yang menciptakan perbuatan hamba, gerak dan diam-nya. Boleh jadi mereka tidak menyertakan kesaksian ini secara murni, bahwa Allahlah yang menggerakkan mereka untuk berdoa. Dua golongan ini samasama keliru. Golongan pertama tidak bisa melihat hikmah Allah dalam sebab dan peranannya dalam menegakkan ubudiyah, kaitan syariat dan qadar dengan ubudiyah ini. Tabir yang menghalangi mereka untuk melihat hikmah ini sangat tebal. Sedangkan golongan kedua tidak bias melihat pemberian dan karunia Allah, keesaan Allah dalam Rububjyah dan penanganan segala urusan, bahwa apa pun yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Hamba tidak mempunyai daya dan kekuatan, karena semuanya berasal dari Allah semata. Tidak ada satu atom pun yang bergerak kecuali dengan seizin Allah dan menurut kehendak-Nya. Kaitannya dengan pendapat golongan pertama, bahwa jika yang diminta sudah ditetapkan dalam qadar, maka pasti akan diperoleh, dan jika tidak

ditetapkan, maka tidak perlu mengharapkan akan bisa diperoleh. Dapat dijawab sebagai berikut: Ada pendapat ketiga yang lewat dari perhatian kalian, bahwa Allah menetapkan sebab. Jika ada seba tentu akan muncul akibatnya. Jika tidak ada sebab tentu tidak akan ada akibat. Di antara sebab diperolehnya apa yang diminta adalah berdoa dan meminta. Jika dua perkara ini ada, maka akan ada pula akibat yang menyusulnya, sebagaimana sebab adanya anak adalah hasil jima', sebab adanya tanaman adalah benih dan lain sebagainya. Pendapat yang ketiga inilah yang benar. Sedangkan terhadap pendapat golongan kedua, dapat dijawab sebagai berikut: Tidak ada yang mendatangkan kecuali kehendak Allah. Tidak ada sebab yang berdiri sendiri selain dari kehendak-Nya ini. Allahlah yang menjadi sebab itu sebagai sebab, Dialah yang menciptakan akibat dari suatu sebab. Sekiranya Allah menghendaki, maka Dia bias menciptakan akibat tanpa sebab tersebut, dan jika menghendaki, Dia bisa mencegah fungsi sebab dan memotong akibatnya. Sebab merupakan kehendak dan qadar Allah secara murni, yang ada dalam penanganan- Nya, dan Dia bisa membalik menurut kehendak-Nya. Penafsiran makna kedua tentang memperhatikan karunia yang sudah ditetapkan sejak semula, bahwa siapa yang memperhatikan dengan mata hatinya apa yang telah ditetapkan Allah baginya sejak semula, berupa nikmat, karunia, pemberian dan rahmat, yang semua itu tan-pa ada sebab dari hamba, yang semua itu sebelumnya tidak ada sama sekali, maka perhatian ini membuatnya sibuk mencari Allah dan mencintai-Nya, sehingga dia memotong jalan permintaan, menyibuk-kan diri untuk berdzikir dan bersyukur kepada-Nya, bukan karena dia beranggapan bahwa meminta dan memohon kepada-Nya mencerminkan kekurangan. Perkataan Syaikh tentang derajat pertama, "Menumbuhkan kegembiraan yang dicampuri kewaspadaan terhadap tipu daya", artinya perhatian hamba ini menumbuhkan kegembiraannya, selagi dia mengetahui bahwa karunia Allah telah ditetapkan baginya jauh hari sebelum dia diciptakan, dan Allah mengetahui keadaan dan keterbatasannya secara rinci. Pengetahuan Allah ini tidak menghalangi untuk menetapkan karunia dan kebaikan baginya, karena memang Allah lebih mengetahui tentang dirinya yang diciptakan-Nya dari tanah, semenjak dia berada di rahim ibunya. Dalam hal ini Allah tetap me-limpahinya dengan karunia dan kebaikan, tanpa ada sebab yang me-ngawali

karunia itu. Jika hamba mengetahui yang demikian ini, maka kesenangannya terhadap Allah menjadi sangat besar, karena dia merasa mendapatkan curahan karunia, kebaikan dan kemurahan-Nya, karena dia menjadi hamba dan orang yang dicintai-Nya, dia senang kepada Allah sebagai Rabb dan Ilah-nya, pemberi nikmat dan pelindungnya, jauh lebih

senang daripada kesenangan budak karena mendapatkan belas kasihan tuannya. Di bagian mendatang akan dibahas secara rinci makna kesenangan dan kegembiraan ini. Kegembiraan dan kesenangan bisa melapangkan jiwa dan menumbuhkannya, membuatnya lupa aib dan kekurangannya. Kesenangan terhadap nikmat juga bisa membuat hamba lupa terhadap pemberi nikmat itu. Dalam keadaan seperti ini, tipu daya

menjadi lebih dekat dengannya daripada jarak antara tangan yang memegang makanan dengan mulut. Demi Allah, berapa banyak orang yang menolak apa yang diberikan kepadanya, yang di dalamnya justru terkandung hikmah dan rahmat baginya. Sebab andaikan dia terus dalam keadaannya itu, maka dikhawatirkan dia akan melampaui batas, sebagaimana firman-Nya, "Ketahuilah, sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup." (Al-Alaq: 6-7). Jika merasa berkecukupan ini berkaitan dengan sesuatu yang fana dan pasti akan berakhir, lalu bagaimana dengan merasa berkecukupan yang berkaitan dengan sesuatu yang lebih tinggi dari hal itu? Orang seperti ini, yang tidak disertai kewaspadaan terhadap tipu daya, maka dikhawatirkan kecukupan dirampas dan diambil darinya. Tipu daya yang dikhawatirkan di sini ialah seandainya Allah menying-kirkan kesaks terhadap karunia dan pemberian-Nya, bahwa semua itu semata berasal dari-Nya, hingga Dia menyingkirkan dari dirinya kesaksian terhadap hakikat firman-Nya, "Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan, jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Yunus: 107). Begitu pula yang disebutkan dalam ayat-ayat lain yang senada dengan ayat ini. Yang pasti, jika hamba tidak memiliki kesaksian ini, tertipu terhadap pengetahuan tentang usaha dan pencariannya, tertipu terhadap dirinya yang sebenarnya miskin, tidak bersandar kepada Dzat yang memiliki segala-galanya, maka itulah sebab tipu daya yang paling besar. Seberapa pun tingginya ketaatan yang diraih hamba, tidak seharusnya dia melalaikan kewaspadaan ini. Hamba-hamba Allah yang pilihan pun merasa khawatir akan tipu daya ini, sehingga mereka pasrah kepada kehendak Allah, seperti yang dilakukan Ibrahim, ketika kaumnya menakut-nakuti beliau dengan sesembahan mereka, "Dan, aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sesembahan-sesembahan yang kalian persekutukan dengan Allah, kecuali jika Rabbku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. Pengetahuan Rabbku meliputi segala sesuatu." (Al-An'am: 80). Ibrahim Al-Khalil menyerahkan urusan kepada kehendak Allah dan pengetahuan-Nya tatkala beliau berdebat dengan kaumnya dan ketika mereka menakut-nakuti dengan sesembahan mereka. Allah juga telah befirman, "Maka apakah mereka merasa aman dari tipu daya Allah? Tiadalah yang merasa aman dari tipu daya Allah kecuali orang-orang yang merugi." (Al-A'raf: 99). Orang-orang salaf saling berbeda pendapat, apakah dimakruhkan seorang hamba mengucapkan di dalam doanya, "Ya Allah, janganlah Engkau buat aku merasa aman dari tipu daya-Mu." Sementara itu, di antara mereka memang ada pula yang berdoa seperti ini. Artinya, janganlah Engkau menghinakan aku sehingga aku merasa aman dari tipu daya-Mu dan aku tidak takut padanya. Mutharrif bin Abdullah bin Asy-Syakhir memakruhkan doa semacam ini. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa kegembiraan termasuk sebab tipu daya, selagi tidak disertai dengan rasa takut, adalah

firman Allah, "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa." (Al-An'am: 44). Namun jika kegembiraan karena Allah dan karena mendapat karunia Allah yang disertai rasa takut dan waspada, maka tidak berdampak bagi orangnya. Perkataan Syaikh, "Membangkitkan rasa syukur menurut sifat yang ditegakkan Allah bagi Diri-Nya", artinya perhatian bisa membangkitkan rasa syukur kepada Allah dalam keadaan lapang atau sempit dan pada setiap saat, kecuali jika memang tidak sanggup untuk disyukuri. Syukur hamba kepada Allah merupakan nikmat dari Allah, yang mendorongnya untuk bersyukur lagi. Syukur ini juga merupakan nikmat yang lain lagi sehingga perlu disyukuri sekali lagi. Begitu seterusnya. Kalaupun seorang hamba itu disebut as-syakur (yang banyak bersyukur), maka sebenarnya syukur ini kembali kepada dirinya dan tergantung kepadanya.

2. Memperhatikan cahaya pengungkapan, yang menjulurkan pakaian penghindaran, merasakan kejelian dan yang melindungi dari noda kelalaian. Derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama. Karena derajat pertama merupakan perhatian terhadap ketetapan yang sudah ada dengan cahaya ilmu, sedangkan derajat ini merupakan perhatian terhadap pengungkapan dengan suatu keadaan yang telah menguasai hati, membuatnya mengabaikan semua makhluk, sehingga menjulurkan pakaian kekuasaan Allah semata dan berpaling dari selain-Nya. Cahaya pengungkapan menurut mereka merupakan awal kesaksian, yaitu cahaya yang menjelaskan makna-makna Asma'ul-Husna terhadap hati, lalu menyingkap kegelapan hati. Mereka hendak mengisyarat-kan kepada kesempurnaan ma'rifat dan menyingkirkan tabir kelalaian, keraguan dan keberpalingan, sehingga hati tidak memberikan kesaksian kecuali ma'rifat. Mereka membandingkan hal ini dengan terbit-nya matahari. Jika matahari terbit, maka cahaya bintang menjadi redup dan akhirnya tidak tampak atau hilang sama sekali, karena kalah dengan sinar matahari. Padahal hakikatnya bintang itu tetap ada di tem-patnya, Begitulah gambaran cahaya ma'rifat jika sudah menguasai hati, yang kekuasaannya amat kuat dan mampu menghilangkan tabir yang menutup hati. Ibadah yang benar, latihan berdasarkan syariat, dzikir secara berkelanjutan dengan hati dan lisan, dapat menimbulkan cahaya, tergantung dari kekuatan dan kelemahannya. Cahaya itu boleh jadi menjadi kuat, sehingga seakan hati bisa melihat seperti mata yang melihat secara langsung. Namun karena lemahnya ilmu dan pemilahan antara kekhususan Rububiyah dan keharusan ubudiyah, maka bisa terjadi pencampuradukan dan kesalahan, sehingga apa yang dilihat hati itu adalah cahaya Dzat. Sama sekali tidak. Cahaya Dzat tidak bisa ditem-bus oleh sesuatu pun. Andaikan Allah menyingkap hijab dari Wajah-Nya, tentu alam ini akan luluh lantak hancur berkeping-keping, seperti bukit yang hancur di hadapan Musa. Islam

mempunyai cahaya. Iman mempunyai cahaya yang lebih kuat lagi. Ihsan mempunyai cahaya yang lebih kuat lagi. Jika Islam, iman dan ihsan berhimpun menjadi satu, dan tabir kesibukan yang melalaikan Allah disingkirkan, maka hati dan anggota tubuh akan dipenuhi dengan cahaya tersebut, bukan dengan cahaya yang merupakan sifat Allah. Karena sifat Allah tidak berada pada sesuatu pun di antara makhluk-Nya, sebagaimana makhluk tidak ada yang berada pada Diri Allah. Perkataan Syaikh, "Melindungi dari noda kelalaian", bahwa jika perhatian ini benar-benar, maka dapat melindungi pelakunya dari noda kelalaian untuk mendapatkan tujuannya.

3. Memperhatikan kebersamaan, yang membangkitkan kemudahan dalam usaha, yang membebaskan dari kebodohan penentangan dan memperhatikan kembali permulaan. Derajat ini lebih tinggi dari sebelumnya. Karena derajat sebelumnya merupakan perhatian terhadap pengungkapan cahaya dan mengisyaratkan ke jenis usaha dan pilihan, sedangkan derajat ini merupakan perhatian yang mengalihkan hati dari lembah kehendak, keadaan dan kedudukan, ke kebersamaan, yang memandang kepada Yang Maha-esa, Yang Awal dan tak ada sesuatu pun sebelum-Nya, Yang Akhir dan tak ada sesuatu pun sesudah-Nya, Yang Zhahir dan tak ada sesuatu pun di atas- Nya, Yang Batin dan tak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya. Siapa yang memandang dengan mata ini, maka akan membangkitkan hatinya untuk meremehkan berbagai macam usaha. Dengan kata lain, pada permulaan perjalanannya, seorang hamba tentu akan menghadapi berbagai macam rintangan dan harus menempuh berbagai macam usaha. Jika sudah sampai ke derajat ini, maka usaha-usaha yang sulit akan dianggap mudah, karena dia sudah mencapai kedudukan kebersamaan dengan Allah dan merasa tenang dari keletihannya. Kebersamaan sesaat dengan Allah lebih bermanfaat bag-nya daripada melakukan berbagai macam usaha, apalagi usaha-usaha yang tidak diwajibkan Allah. Jika hasrat dan seluruh isi hati sudah menyatu dengan Allah, maka inilah waktunya yang hakiki dalam hidupnya. Pada saat itu segala keletihan karena usaha seakan hilang. Ada dua golongan manusia yang keliru dalam masalah ini. Yaitu golongan yang bersikap secara berlebih-lebihan dalam hal ini, sehingga mereka lebih mementingkannya daripada melaksanakan yang fardhu dan sunat. Mereka melihat pelaksanaan yang wajib dan sunat bisa menurunkan mereka dari tingkat yang tinggi ke tingkat yang rendah. Ada seseorang yang berkata kepada orang yang berlebih-lebihan dalam masalah kebersamaan dengan Allah ini dan dia membual dapat merasa-kan kebersamaan itu, "Bangunlah dan laksanakan shalat." Maka orang itu menjawab, "Orang yang lalai dituntut untuk membaca wirid. Lalu bagaimana dengan hati yang setiap saat yang dilaluinya adalah wirid?" Mereka ada di antara status kafir dan orang yang tidak sempurna. Siapa yang tidak melihat pelaksanaan yang fardhu sebagai kewajiban, maka dia adalah orang kafir, dianggap keluar dari agama. Siapa yang menelantarkan kemaslahatan yang sudah pasti, seperti ibadah sunat, rawatib,

ilmu yang bermanfaat, jihad, amarma'rufnahi munkar, maka dia adalah orang yang kurang dan tidak sempurna. Sedangkan golongan kedua tidak peduli terhadap kebersamaan dengan Allah dan tidakberusaha untuk itu. Sebab boleh jadi mereka tidak tahu hakikatnya. Jalan orang-orang yang benar, kuat dan istiqamah ialah memperhati-kan

kebersamaan dengan Allah dan juga perpisahan selagi memung-kinkan untuk itu. Mereka melaksanakan ibadah, memberikan man-faat dan berbuat baik kepada makhluk, juga memperhatikan kebersamaan dengan Allah. Jika dia tidak mampu menghimpun dua perkara ini, maka dia hanya melaksanakan yang fardhu dan tidak melakukan kebersamaan. Sebab Allah menginginkan agar dia melaksanakan yang fardhu, sedangkan jiwanya menghendaki kebersamaan, karena di dalam kebersamaan ini terkandung kesenangan dan terbebas dari pen-deritaan perpisahan. Fardhu merupakan hak Allah dan kebersamaan merupakan hak dirinya.

Perkataan Syaikh mengandung pengertian lain, bahwa memperhati-kan kebersamaan bisa membangkitkan kemudahan dalam usaha. Arti-nya, selagi seorang hamba merasa lebih dekat dengan Allah, maka usahanya justru semakin besar. Inilah makna yang lebih benar.

Perhatikanlah keadaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat. Selagi mereka meningkat dalam satu kedudukan yang mendekatkan mereka kepada Allah, maka usaha dan mujahadah mereka semakin besar, tidak seperti anggapan sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada thariqah. Mereka berkata, "Taqarrub yang hakiki ialah yang mengalihkan hamba dari keadaan-keadaan yang zhahir ke amal-amal batin, mengistirahatkan jasad dan anggota badan dari keletihan amal."

Mereka ini adalah orang-orang yang sangat kufur dan ingkar, karena mereka meniadakan ubudiyah dan menganggap bahwa mereka tidak membutuhkan ubudiyah lagi, hanya karena hayalan-hayalan batil dan angan-angan jiwa serta tipu daya syetan. Orang-orang yang istiqamah dan para pemimpin mereka pun menganggap orang-orang yang berpendapat seperti itu adalah kafir dan dianggap keluar dari Islam. Mereka menegaskan bahwa setiap hakikat yang tidak mengikuti syariat adalah kufur.

Sary As-Saqathy berkata, "Siapa yang mengaku mendapatkan hakikat batin yang bertentangan dengan zhahir hukum, maka dia adalah salah."

Masih banyak pernyataan-pernyataan mereka, bahwa amal yang tidak mengikuti As-Sunnah adalah batil, tidak sah dan mungkar. Perkataan Syaikh, "Yang membebaskan dari kebodohan penentangan", artinya perhatian ini membebaskan hamba dari kebodohan penentangan terhadap hukum Allah, baik berupa hukum agama maupun hokum alam. Jadi dia harus tunduk kepada dua hukum ini. Memper-hatikan kebersamaan memberikan kesaksian kepadanya bahwa dua hukum ini berasal dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Bijaksana. Maka hokum Nya tidak bisa ditentang dengan pendapat, jalan pikiran, perasaan dan sesuatu yang melintas di sanubari. Di samping itu, hati juga terbebas dari

penentangan terhadap perintah. Sebab biasanya perintah bertentangan dengan keinginan jiwa, dan pengabaran bertentangan dengan kesangsian dan keraguan. Memperhatikan kebersamaan ini menjadikan hati terbebas dari dua macam penentangan tersebut. Inilah hati yang bersih, yang beruntung karena dapat bertemu Allah. Begitulah penafsiran orang-orang yang benar dan istiqamah. Perkataan Syaikh,"Memperhatikan kembali permulaan", mengandung pengertian bahwa pelakunya memperhatikan ketetapan-ketetapan yang telah dibuat Allah terhadap dirinya dan juga terhadap segala sesuatu. Tapi kata permulaan di sini juga bisa berarti permulaan perjalanannya dan keseriusan pencariannya. Selagi sudah memulai perjalanan, maka dia tidak menoleh ke belakang, karena sibuk memperhatikan apa yang ada di hadapannya dan dikuasai hasratnya. Jika dia memperhatikan kebersamaan, maka dia akan menempuh etape pertama, lalu beralih ke etape kedua. Tapi bukan berarti dia tidak memperhatikan permulaannya, bahkan dia merindukannya. Di sana ada kenikmatan waktu-waktu permulaan, saat menghimpun hasrat dan mengadakan perjalanan kepada Allah. Selagi dia memperhatikan kebersamaan, maka hilanglah rupa dirinya. Tapi dia tidak bisa melepas-kan diri sifat kemanusiaannya dan hukum-hukum tabiatnya, sehing-ga dia harus kembali ke waktu-waktu permulaan, karena saat itu dia memperoleh kenikmatan saat memisahkan diri dari makhluk dan saat menghimpun hasrat.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mengabarkan, bahwa segala sesuatu mempunyai keburukan, dan setiap keburukan mempunyai jeda waktu. Ketika beliau tidak menerima wahyu selama sekian wak-tu, maka beliau pergi ke puncak bukit, lalu menyungkurkan diri di Sana. Lalu Jibril turun menemui beliau dan berkata, "Sesungguhnya eng-kau adalah Rasul Allah." Maka hati beliau menjadi tenang kembali. Jeda waktu bagi orangorang yang mengadakan per j alanan merupakan hal yang wajar. Siapa yang jeda waktunya unruk lebih mendekatkan diri, tidak mengeluarkannya dari yang wajib dan tidak menyeretnya kepada yang haram, maka diharapkan dia akan kembali kepada sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Umar bin Al-Khaththab berkata, "Sesungguhnya hati ini mempunyai saat menghadap dan saat berpaling. Jika ia menghadap, maka isilah dengan nafilah, dan jika berpaling, maka isilah dengan yang fardhu."

Waktu

Dalam masalah waktu ini pengarang Manazilus-Sa'irin mengacu kepada firman Allah sebagai landasannya : "Kemudian kamu datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa."(Thaha: 40).

Menurut Syaikh, waktu adalah wadah pembentukan. Waktu merupakan istilah dalam kajian ini, yang memiliki tiga makna dan dilandaskan kepada tiga derajat. Makna yang pertama adalah saat mampu dan benar, karena melihat cahaya karunia yang ditarik

kebersihan harapan, atau karena ada perlindungan yang ditarik kebenaran ketakutan, atau karena kobaran rindu yang ditarik cinta.

Sisi pelandasannya kepada ayat ini, bahwa Allah telah menetapkan waktu kedatangan Musa pada saat yang sangat dia butuhkan. Menurut Mujahid, artinya pada waktu yang telah dijanjikan. Tapi pendapat ini perlu dipertimbangkan lagi. Sebab antara Allah dan Musa tidak pernah ada ikatan janji sebelumnya. Pelandasannya kepada ayat ini menunjukkan ilmu Allah. Jika sesuatu berada tepat pada waktunya yang paling tepat, maka itulah yang paling baik dan yang paling bermanfaat, seperti halnya hujan yang sangat dibutuhkan pada suatu waktu, yang menjadi jalan keluar pada saatnya yang paling tepat. Siapa yang memperhatikan ketetapan-ketetapan Allah yang ter jadi pada makhluk, maka akan mengetahui bahwa semua itu terjadi pada waktu yang paling tepat. Allah mengutus Musa pada saat manusia sangat membutuhkan utusan-Nya. Begitu pula saat Isa diutus, saat Muhammad diutus, pada waktu yang paling tepat bagi manusia.

Waktu menurut Syaikh merupakan ungkapan tentang kedekatan satu peristiwa dengan peristiwa lain atau merupakan hubungan antara dua peristiwa. Waktu merupakan wadah temporal yang di dalamnya ada kejadian. Tapi waktu menurut mereka mempunyai pengertian yang lebih khusus dari makna ini.

Menurut Abu Ali Ad-Daqqaq, waktu adalah sesuatu yang engkau ada di dalamnya. Jika engkau di dunia, maka waktumu adalah dunia. Jika engkau berada di akhirat, maka waktumu adalah akhirat. Jika engkau berada dalam kegembiraan, maka waktumu adalah kegembiraan. Jika engkau berada dalam kesedihan, maka waktumu adalah kesedihan itu. Artinya, waktu adalah keadaan yang lebih menguasai manusia. Atau bias juga diartikan, bahwa waktu adalah apa yang ada di antara dua masa, lampau dan mendatang. Ini merupakan istilah yang lebih sering mereka gunakan, Maka mereka berkata, "Orang sufi dan orang fakir adalah anak waktunya." Artinya, hasrat yang dimiliki seorang hamba tidak melebihi tugasnya untuk mengisi hidupnya. Inilah yang paling penting dan paling bermanfaat baginya. Dia dituntut melakukan apa yang ada pada saat itu pula, tidak perlu memperhatikan yang sudah lampau dan mendatang. Dia cukup memperhatikan waktu yang ada. Karena memperhatikan waktu dan yang lampau mendatang hanya akan menyia-nyiakan waktu yang ada. Jika datang suatu waktu, maka dia harus meninggalkan dua sisi waktu itu, agar semua waktunya dapat ditinggalkan.

Asy-Syafi'y berkata, "Aku pernah menyertai orang-orang sufi. Tidak ada manfaat yang bisa saya petik dari mereka kecuali dua kalimat yang pernah kudengar dari mereka. Mereka berkata, 'Waktu adalah pedang. Jika engkau tidak memotongnya, maka waktu itulah yang akan memo-tongmu. Jika engkau tidak menyibukkan dirimu dengan kebenaran, maka dirimulah yang akan menyibukkanmu dengan kebatilan'. Saya katakan, "Ini adalah dua kalimat yang sangat mendalam maknanya dan besar manfaatnya, yangmenunjukkan kebesaran hasrat orang yang mengata-kannya."

Yang mereka maksudkan dengan waktu, lebih khusus dari semua pengertian ini. Waktu menurut mereka adalah sesuatu yang secara kebetulan mendatangkan kebenaran bagi mereka, bukan karena apa yang mereka pilih untuk diri mereka sendiri. Jika ada yang berkata, "Fulan menurut hukum waktu". Artinya, dia menerima apa yang datang dari sisi Allah tanpa memilih dan menentukannya.

Yang demikian ini baik dalam satu keadaan tapi juga diharamkan dalam keadaan lain dan pelakunya kurang dalam keadaan yang lain lagi. Dia baik di setiap keadaan yang di dalamnya tidak ada perintah dan larang-an Allah, seperti keadaan berlakunya hukum alam yang tidak berkaitan dengan perintah dan larangan, seperti keadaan sakit, miskin, asing, lapar, menderita, panas, dingin dan lain sebagainya. Diharamkan dalam keadaan yang di dalamnya ada perintah, larangan dan keharusan memenuhi hak-hak syariat. Karena menyia-nyiakan, kepasrahan dan ketidakpedulian, sementara ada kesanggupan, sama dengan meninggalkan agama secara total dan orangnya dianggap tidak sempurna, pada saat dia sanggup melaksanakan nafilah, kebajikan dan berbagai macam ketaatan. Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri hamba-Nya, maka Dia menolong-nya dengan waktu, sehingga waktunya merupakan penolong bagi dirinya. Jika Allah menghendaki suatu keburukan pada diri hamba, maka Dia menjadikan waktunya menguasai dirinya dan waktunya menjadi penghalang baginya. Jika dia bersiap-siap untuk mengadakan perjalanan, maka waktunya tidak memberikan pertolongan kepadanya. Berbeda dengan orang pertama. Selagi dia hendak duduk, maka waktunya mendorongnya untuk bangkit dan memberikan pertolongan kepadanya.

Dalam kaitannya dengan waktu, mereka membagi orang sufi menjadi empat golongan:

- Orang-orang yang bersama waktu lampau. Hati mereka senantiasa ada dalam ketetapan Allah, karena mereka menyadari bahwa hukum aza-ly tidak bisa dirubah oleh usaha hamba. Sekalipun begitu mereka tetap rajin melaksanakan perintah, menjauhi larangan, bertaqarrub kepa-da Allah dengan berbagai macam ketaatan, sekalipun mereka tidak begitu yakin akan semua itu.

- Orang-orang yang bersama waktu mendatang. Pikiran mereka hanya tertuju kepada kesudahan urusan mereka, karena segala urusan dan amal diukur dari kesudahannya. Padahal apa yang terjadi nanti tidak bisa diketahui. Berapa banyak musim semi yang membuat pepohonan berbinar, bunga-bunganya merekah, buah-buahnya ranum, tapi be-gitu cepat pepohonan itu ditimpa bencana dari langit tanpa diduga-duga, sehingga keadaannya seperti yang difirmankan Allah, "Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya adzab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanaman-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami

menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orangyang berpikir."(Yunus: 24).

- Orang-orang yang bersama waktu yang ada. Mereka tidak rnenyibuk-kan diri dengan waktu yang lampau dan tidak pula dengan waktu yang akan datang. Perhatian mereka hanya tertuju pada waktu yang ada dan hukum-hukumnya. Mereka berkata, "Orang yang arif ialah yang menjadi anak waktunya, tidak ada waktu lampau dan tidak ada waktu mendatang."

- Orang-orang yang bersama pemilik waktu dan saat, penguasa dan yang menanganinya, yaitu Allah, dan mereka tidak peduli terhadap waktu itu sendiri.

Seperti yang sudah disinggung di atas, waktu menurut pengarang Manazilus Sa'irin merupakan istilah untuk tiga makna:

Makna Pertama: Saat yang sesungguhnya dan nyata, yaitu saat dari suatu kemampuan untuk berdiri dengan hatinya, tidak merasa terbebani dan tidak dipaksa untuk memperolehnya. Gantungannya adalah melihat cahaya karunia. Melihat di sini bukan sekedar melihat dengan mata semata, tapi disertai hati dan membuatnya tenang, bukan seperti orang yang melihat musuh dan merasa takut kepadanya.

Maksudnya, ini merupakan waktu yang orangnya benar-benar nyata ada di dalamnya, karena dia melihat karunia Allah. Karunia di sini adalah pemberian yang sebenarnya orang yang diberi tidak mempunyai hak atas pemberian itu, atau diberi melebihi kadar yang menjadi haknya. Jika dia melihat karunia ini dan menyimak dengan hatinya, maka akan menghasilkan kemampuan lain yang mendorongnya untuk mencintai Pemberi karunia dan rindu untuk bersua dengan-Nya.

Makna Kedua: Merupakan istilah bagi jalan yang dilalui orang yang sedang berjalan di antara kekuatan dan keragaman, tetap dalam keadaannya dan menoleh kepada ilmu. Terkadang ilmu menyibukkannya dan terkadang keadaan membawa dirinya. Bencananya ada di antara keduanya.

Kekuatan di sini artinya kepatuhan kepada hukum-hukum ubudi-yah berdasarkan kesaksian dan keadaan, sedangkan keragaman mempunyai makna yang lebih khusus lagi, yaitu ketundukan kepada hukum ubudiyah berdasarkan ilmu.

Perkataan Syaikh, "Tetap dalam keadaannya dan menoleh kepada

ilmu", artinya hamba berjalan kepada kekuatan selagi dia melewati keadaan dan menoleh ke ilmu, bukan melewati ilmu dan menoleh ke keadaan.

Ada dua macam orang yang mengadakan perjalanan: Pertama, orang yang berjalan di atas keadaan dan menengok ke ilmu. Mereka lebih dekat kepada pengukuhan. Kedua, orang yang berjalan di atas ilmu dan menengok ke ilmu. Mereka lebih dekat kepada keragaman. Yang satu lemah dalam ilmu dan satunya lagi lemah dalam keadaan. Yang satu tunduk kepada keadaan dan satunya lagi tunduk kepada keadaan. Jika orang yang tunduk kepada keadaan menentang ilmu, maka dia akan terhalang. Sedangkan orang

yang tunduk kepada ilmu namun berpaling dari keadaan, maka dia adalah orang kurang dan sia-sia, hanya sibuk dengan sarana dan melu-pakan tujuan. Orang yang memiliki kekuatan ialah yang mengalihkan ilmunya ke keadaannya, menjadikannya sebagai penentu hukum dan mengalihkan keadaannya ke ilmunya.

Perkataan Syaikh, "Terkadang ilmu menyibukkannya dan terkadang keadaan membawa dirinya", terkadang ilmu menyibukkan dirinya hingga membuatnya lalai menguatkan keadaan. Tapi terkadang dia terlalu dikuasai oleh keadaan, sehingga keadaan itu seakan membawa dirinya sesuai dengan kekuasaannya.

Makna Ketiga: Waktu yang sebenarnya. Yang mereka maksudkan adalah tenggelamnya rupa waktu dalam wujud Allah. Makna ini menunjukkan bahwa Allah lebih dahulu ada daripada waktu. Inilah kandungan makna yang ketiga ini, yang berbagai rupa melebur di dalamnya karena pengungkapan, bukan karena wujud semata.

Ini merupakan makna waktu dalam pengertian yang lebih khusus daripada makna di atas, bahwa orang yang mengadakan perjalanan dengan membawa makna ini, maka jika dia tenggelam dalam waktunya, maka semua waktunya tidak akan terasa.

Kejernihan

Allah befirman kaitannya dengan persinggahan ini : "Dan, sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik." (Shad: 47).

Shafa' artinya terbebas dari kekeruhan atau jernih. Sedangkan dalam pembahasan ini berarti gugurnya keragu-raguan.

Sisi pelandasannya kepada ayat di atas, bahwa kata mushthafa (pilihan) yang disebutkan di dalam ayat ini merupakan bentukan dari shafwah (jernih atau bersih). Artinya saringan sesuatu dan membersihkannya dari hal-hal yang mengotorinya.

Perkataan Syaikh, "Shafa' artinya terbebas dari kekeruhan", makna keruh di sini adalah bercampurnya yang baik dan yang kotor.

Menurutnya ada tiga derajat kejernihan, yaitu:

  1. Kejernihan ilmu yang membimbing saat meniti jalan, memperlihatkan kesudahan usaha, dan meluruskan hasrat mencapai tujuan. yaitu: Faidah Pertama: Ilmu yang membimbing saat meniti jalan. Ilmu yang jernih seperti yang diisyaratkannya ini adalah ilmu yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Al-Junaid sering berkata, "Ilmu kami terikat dengan Al-Kitab dan As- Sunnah. Siapa yang tidak menghapal Al-Qur'an dan tidak menulis hadits serta tidak ada keselarasan, maka dia tidak layak ditiru." An- Nashr Abady berkata, "Dasar golongan (sufi) ini ialah mengikuti Al- Kitab dan As-Sunnah, meninggalkan keinginan diri sendiri dan bid'ah, mengikuti orang-orang salaf, meninggalkan bid'ah-bid'ah yang diciptakan golongan lain dan meniti jalan orang-orang lebih dahulu masuk Islam. Masih banyak pernyataan-pernyataan lain yang serupa, yang berisi keharusan mengikuti As-Sunnah atau ilmu yang dibawa Rasulullah

Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ilmu yang jernih ini, yang diterima dari Misykat wahyu dan nubuwah, membimbing orangnya untuk meniti jalan ubudiyah. Hakikatnya adalah meniru adab-adab Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam secara zhahir dan batin, berhenti di mana beliau berhenti, berjalan di mana beliau berjalan. Engkau menjadikan beliau sebagai syaikhmu, imam, panutan, teladan dan hakim. Engkau menggantungkan hatimu ke hati beliau yang mulia, menggantungkan ruhmu ke ruh beliau, sebagaimana murid yang menggantungkan ruhnya ke ruh syaikhnya. Engkau memenuhinya jika beliau menyerumu, berhenti jika beliau menyuruhmu berhenti, berjalan jika beliau menyuruhmu berjalan, singgah jika beliau memintamu singgah, marah seperti marah beliau, ridha seperti ridha beliau. Jika beliau mengabarkan sesuatu kepadamu, maka engkau menempatkan pengabaran beliau ini seperti sesuatu yang engkau lihat secara langsung. Jika beliau mengabarkan sesuatu dari Allah, maka seakan-akan engkau mendengarnya sendiri pengabaran itu dari Allah secara langsung. Di antara cobaan yang ditimpakan Allah kepada hamba-hamba-Nya, bahwa hampir semua orang di setiap zaman membuat pernyataan seperti ini. Banyak orang yang bertaqlid, yang meninggalkan makna ayat yang sudah jelas dan hadits yang shahih, hanya karena pendapat seseorang yang dijadikannya panutan. Mereka bersumpah dengan sungguh-sungguh, bahwa mereka adalah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah, mereka adalah orangorang yang paling bersemangat mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah. Begitulah kenyataan yang terjadi pada diri orang-orang yang mengaku ahli thariqah, yang meniti jalan kepada Allah. Bahkan golongan Jahmiyah, yang menurut Ibnul-Qayyim adalah orang-orang yang paling gencar memusuhi kebenaran dan yang paling jauh dari Al-Kitab dan As-Sunnah, juga bersumpah bahwa mereka adalah orang-orang yang paling kuat dalam mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah, berpegang teguh kepada nash-nya dan mereka adalah Ahlus-Sunnah. Lalu mereka menuduh Ibnul-Qayyim dan Syaikhnya serta orang-orang yang mengikutinya sebagai orang-orang yang sesat dan memusuhi Al-Kitab serta As-Sunnah.. Secara umum, engkau menjadikan beliau sebagai syaikh, ustadz, pendidik, pembimbingmu, engkau menyingkirkan sarana antara dirimu dan diri beliau kecuali dalam masalah tabligh, sebagaimana engkau harus menyingkirkan sarana antara dirimu dan Dzat yang mengutus para rasul. Sarana tidak dikukuhkan melainkan agar perintah, larangan dan risalah beliau sampai kepadamu. Dua bentuk pembebasan ini merupakan hakikat la ilaha illallah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Allah sematalah yang disembah dan diibadahi, yang selain-Nya tidak memiliki hak ibadah. Sedangkan Rasul-Nya adalah yang harus ditaati dan diikuti, yang selain beliau tidak mempunyai hak untuk ditaati. Selain beliau boleh ditaati selagi beliau memerintahkannya, sehingga dia ditaati karena ada perintah beliau. Semua jalan tertutup kecuali jalan orang yang mengikuti jejak beliau dan mengikuti beliau secara zhahir dan batin. Tidak ada gunanya seseorang berjalan selain di jalan ini dan dia tidak akan memperoleh hasil apa pun selain dari keletihan, dan amalnya

seperti yang difirmankan Allah : "Laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatangi airitu dia tidak menda-patinya sesuatu apa pun, dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amalamal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepatperhitungan- Nya." (An-Nur: 39). Perkataan Syaikh, "Memperlihatkan kesudahan usaha", artinya kejernihan ilmu membimbing orangnya ke tujuan yang dimaksudkan, dengan usaha dan ketekunan. Karena banyak orang yang berjalan, bahkan mayoritas di antara mereka yang berjalan dengan gigih dan dengan segenap usahanya, tanpa memperhatikan tujuannya. Masalah ini bisa saya sajikan satu contoh yang baik, yaitu ada bebe-rapa orang yang datang di suatu perkampungan. Mereka berasal dari negeri yang jauh, pakaian mereka mentereng, indah, penampilan me-nawan, membawa perbekalan yang banyak dan mereka memperlihatkan pengaruh kenikmatan yang dimiliki. Maka orang-orang kagum melihat keadaan mereka itu. Ketika orang-orang bertanya tentang ke-beradaan mereka, maka mereka menjawab, "Negeri kami adalah negeri yang paling baik, banyak kenikmatannya, subur, airnya melimpah, udaranya sejuk, buah-buahannya banyak, rakyatnya makmur. Raja kami juga memiliki semua sifat-sifat yang baik, berilmu, penuh per-hatian terhadap rakyat, kasih sayang dan juga dekat dengan mereka, mempunyai pamor dan karisma yang tinggi di mata semua raja dan penguasa, sehingga tak seorang pun raja lain yang berani mengusik kekuasaannya dan memeranginya. Penduduk negeri dalam keadaan aman dan tentram, tak sedikit pun tebersit rasa takut kepada serbuan musuh dari luar. Raja kami menyatu dengan rakyat, biasa menemui mereka dan mereka pun bebas menemuinnya. Hampir tidak ada pembatas di antara mereka dan raja kami. Jika melihat kemunculannya, mereka tidak mau menoleh ke arah lain dan seakan segala kenikmatan di sekelilingnya. Semua orang tunduk dan mengagungkannya. Sementara kami adalah utusan raja, bertugas mengundang semua manusia untuk bergabung dengannya Surat-surat inilah sebagai buktinya. Jadi tidak perlu ada kecurigaan terhadap kami atau menganggap kami sebagai para pembual yang dusta." Ketika orang-orang mendengar maklumat para utusan itu, maka mereka terpecah menjadi beberapa kelompok :

Kelompok Pertama: Yang mengatakan, "Kami tidakakan meninggalkan negeri dan kampung halaman kami, kami tidak sudi menempuh perjalanan jauh dan sulit, untuk meninggalkan tradisi, kehidupan dan tempat tinggal, bapak, keluarga dan teman-teman kami, hanya karena sesuatu yang dijanjikan kepada kami untuk hidup jauh di luar negeri kami. Toh kami belum tahu apakah kami bisa berhasil sampai di sana." Kelompok ini tidak mau berpisah dengan negerinya, karena mereka melihat hal itu seperti napas yang berpisah dari jasad. Karena napas sudah menyatu dengan jasad, sebagai gambaran dari penyatuan mereka dengan negerinya, maka mereka tidak ingin perpisahan ini, sekalipun ada harapan untuk beralih ke kenikmatan yang lebih

menyenangkan. Mereka lebih dikuasai dorongan perasaan dan tabiat dari-pada dorongan akal.

Kelompok Kedua: Tatkala melihat keadaan para utusan itu dan mempercayai perkataannya, maka mereka segera mengadakan persiapan untuk mengadakan perjalanan jauh menuju negeri itu. Ketika sudah siap untuk berangkat, mereka dihalang-halangi keluarga, teman dan kerabat. Kehidupan mereka yang sudah menyatu dengan kampong halaman dan tempat tinggalnya, seakan juga mencegah keberangkat-an mereka. Di satu saat mereka maju ke depan dan pada saat lain mereka mundur lagi ke belakang. Jika mereka mengingat kenikmatan di negeri raja itu, maka mereka berjalan ke sana, dan jika mereka mengingat kehidupan sebelumnya di tengah keluarga, kerabat dan teman-teman, maka mereka mundur lagi. Mereka tak bisa lepas dari dua daya tarik, sampai akhirnya salah satu di antaranya yang akan menang, dan ke sanalah mereka akan berjalan.

Kelompok Ketiga: Orang-orang yang sudah mempunyai tekad yang bulat untuk pergi ke negeri itu, karena melihat negeri tersebut lebih baik. Mereka tidak peduli celaan orang lain yang suka mencela. Hanya saja perjalanan mereka lamban, karena informasi tentang negeri tersebut tidak banyak mereka ketahui.

Kelompok Keempat: Orang-orang yang bertekad pergi ke negeri itu, berjalan dengan cepat dan penuh semangat, tanpa mau menoleh ke belakang. Hasrat mereka tertuju kepada perjalanan dan agar sampai ke tujuan.

Kelompok Kelima: Orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam mengadakan perjalanan dan hasrat mereka tertuju kepada tujuan, sehingga seakan-akan mereka sudah melihat langsung tujuan itu, dan seakan-akan tujuan itu menyeru mereka. Mereka berbuat atas kesak-sian yang ditunjang oleh hati ini. Orang yang menyaksikan tujuan dan disertai amal yang didukung ilmu, usaha dan keikhlasan, lebih sempurna daripada orang yang tidak menyaksikan dan memperhati-kan tujuan. Orang yang berbuat untuk kepentingan raja dan raja itu ada di hadapannya dan menyaksikannya, tidak seperti keadaan orang yang berbuat sesuatu untuk kepentingan raja, tapi raja tidak menyak-sikannya secara langsung atau bahkan tidak yakin apa yang diperbuat-nya itu sampai kepada raja.

Perkataan Syaikh, "Menyehatkan hasrat mencapai tujuan", artinya kejernihan ilmu ini menyehatkan hasratnya. Selagi hasrat itu sehat, maka ia akan menanjak dan naik. Kehinaan hasrat karena ilmu itu yang sakit. Jika tidak, maka ia seperti api yang meliuk-liuk ke atas dan tidak bias dicegah.

Hasrat yang paling tinggi ialah hasrat yang menghubungkan kepada Allah, baik hasrat pencarian atau menjadikan-Nya sebagai tujuan. Ini merupakan hasrat para rasul dan para pengikut mereka. Sehatnya hasrat ini ialah dengan membedakannya agar tidak terbagi dalam pencariannya, tidak terbagi apa yang dicarinya dan tidak terbagi jalannya

Apa yang dicari harus menyatu dengan ikhlas, pencariannya dengan shidq, dan jalannya dengan berjalan di belakang dalil yang telah dipancangkan Allah, bukan menjadikan jalan itu sebagai dalil.Apabila engkau ingin mengetahui tingkatan-tingkatan hasrat ini, maka lihatlah hasrat Rabi'ah bin Al-Aslamy Radhiyallahu Anhu. Suatu saat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya, "Minta-lah kepadaku." Maka dia berkata, "Aku memohon kepada Engkau agar dapat menyertai engkau di surga." Sementara selainnya meminta makanan untuk mengganjal perutnya dan pakaian untuk membungkus badannya.

Perhatikan hasrat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, saat ditawarkan kunci-kunci dunia, tapi beliau tidak mau menerimanya. Padahal andaikan beliau mengambilnya, tentu beliau akan menginfakkan semuanya dalam ketaatan kepada Allah. Namun begitu hasrat beliau yang tinggi menolak tawaran tersebut, karena beliau tidak ingin bergantung kepada sesuatu selain Allah. Beliau juga ditawari kedudukan seperti raja yang bisa berbuat apa pun. "Eapi beliau memilih ubudiyah. Mahasuci Allah yang telah menciptakan hasrat yang tinggi seperti ini.

2. Kejernihan keadaan, yang dipersaksikan hukum hakikat, yang manisnya munajat terasakan dan yang alam pun terlupakan. Derajat ini lebih tinggi dari derajat pertama, kafena ini merupakan hasrat terhadap keadaan. Padahal hasrat terhadap keadaan merupakan buah ilmu. Suatu keadaan tidak bisa menjadi jernih kecuali jika ada kejernihan ilmu yang menghasilkannya. Jika ilmu kotor, maka keadaan juga kotor. Jika keadaan menjadi jernih, maka hamba bisa menyaksikan pengaruhpengaruh hakikat dan merasakan manisnya munajat. Jika derajat ini sudah mantap, maka seorang hamba bisa melupakan alam dan seluruh isinya.

Derajat ini secara khusus berkaitan dengan kejernihan keadaan. Sedangkan derajat pertama berkaitan dengan kejernihan ilmu. Keadaan membentuk hati sesuai dengan hukum hal-hal yang masuk ke dalamnya, mengajak pemiliknya untuk masuk ke sebuah taman dan berada di dalamnya. Jika hal-hal yang masuk itu berasal dari sisi yang benar, maka itulah sisi hakiat Ilahiyah, bukan sekedar hakikat yang muncul dari angan-angan. Hukum hakikat di sini adalah apa-apa yang berkaitan dengan Allah dan yang dinisbatkan kepada-Nya. Cara mewujudkannya ialah mem-bentuk hati dengan pengaruh-pengaruh hakikat. Segala kebenaran mempunyai hakikat, setiap hakikat mempunyai perwujudan hakikat, yaitu dengan mempersaksikan hakikat itu.

Perkataan Syaikh, "Yang manisnya munajat terasakan", bahwa jika keadaan hamba bersih dari kotoran, maka akan terasakan manisnya saat bermunajat kepada Allah. Munajat artinya perbincangan secara rahasia di dalam hati. Jika keadaannya kotor dan keruh, maka dia tidak akan merasakan manisnya munajat dengan Allah. Jika manisnya munajat ini dirasakan hamba, maka dia bisa melupakan kesibukan dengan makhluk, dan hanya sibuk dengan Allah.

3. Kejernihan hubungan, yang memasukkan bagian ubudiyah ke dalam hak Rububiyah, memperkenalkan kesudahan pengabaran ke permulaan kesaksian mata dan tidak melihat ibadah sebagai kewajiban. Yang dimaksudkan hubungan menurut golongan (sufi) ini adalah hubungan hamba dengan Rabb-nya dan sampainya kepada Rabb. Hal ini tidak bias diartikan sebagai hubungan dzat hamba dengan Dzat Allah, sebagaimana dua macam dzat yang saling berhubungan. Mak-na lebih jauh dari hubungan ini ialah mengenyahkan nafsu dan kesibukan dengan makhluk dalam perjalanan kepada Allah, serta tidak boleh mengangan-angankan selainnya. Orang yang berjalan senantiasa melakukan perjalanan kepada Allah sampai dia meninggal dunia. Tidak ada yang menghentikan perjalanannya kecuali kematian. Di dalam kehidupan ini tidak ada garis finish dan tidak ada pencapaian. Berarti di sana tidak ada hubungan riel antara dzat hamba dengan Dzat Allah.

Perkataan Syaikh, "Memasukkan bagian ubudiyah ke dalam hak Rububiyah", artinya siapa yang di dalam hatinya ada kesaksian asma' dan sifat, ilmu dan keadaannya jernih, maka semua amalnya termasuk dalam hak Allah. Dia melihat semua amalnya di samping hak Allah tidak sampai seperti sebiji sawi di sisi sebuah gunung di dunia. Sehingga di dalam hatinya tidak tebersit keinginan untuk menuntut bagiannya

yang sekecil dan sehina itu.

Al-Imam Ahmad berkata, "Kami diberitahu Hasyim bin Al-Qasim, kami diberitahu Shalih, dari Abu Imran Al-Jauny, dari Abul-Jild, bahwa Allah mewahyukan kepada Daud, "Hai Daud, berikanlah peringatan kepada hamba-hamba-Ku yang lurus, agar sekali-kali mereka tidak mengagumi diri sendiri dan tidak mengandalkan amalnya. Karena tidak ada seorang pun di antara hamba-hamba-Ku yang layak untuk dihisab, dan tidaklah Aku menegakkan keadilan atas dirinya melainkan Aku pasti akan mengadzabnya, tanpa menganiayanya. Dan, sampaikan-lah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku yang melakukan kesalah-an, bahwa tidak ada dosa yang Kuanggap besar, sehingga Aku meng-ampuninya dan memaafkannya."

Al-Imam Ahmad berkata, "Kami diberitahu Sayyar, kami diberitahu Ja'far, kami diberitahu Tsabit Al-Bannany, dia berkata, "Ada seorang laki-laki yang beribadah selama tujuh puluh tahun. Dalam setiap doanya dia selalu berkata, "Ya Rabbi, berilah aku balasan karena amalku." Ketika sudah meninggal, dia dimasukkan ke dalam surga dan mene-tap di sana selama tujuh puluh tahun. Setelah itu dikatakan kepadanya, "Keluarlah dari surga, karena balasan amalmu sudah dipenuhi." Kemudian ditanyakan kepadanya, "Apakah sesuatu yang paling engkau yakini di dalam dirimu selagi di dunia?" Tidak ada yang paling dia yakini di duhia selain daripada doa kepada Allah. Maka dia pun berdoa, "Ya Rabbi, selagi di dunia aku mendengar bahwa Engkau mengampuni kekeliruan. Maka ampunilah kekeliruanku pada hari ini." Karena doanya ini dia pun dibiarkan di surga." Perkataan Syaikh, "Memperkenalkan kesudahan pengabaran ke permulaan kesaksian

mata", maksud kesudahan pengabaran adalah yang berkaitan dengan yang gaib, sedangkan maksud permulaan kesaksian mata adalah yang berkaitan dengan yang tampak. Dengan kata lain, hamba yang mempersaksikan seakan bisa melihat pengabaran Allah dengan hatinya secara langsung. Firman Allah, "Adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar, sama dengan orang yang buta?" (Ar-Ra'd: 19).

Artinya, samakah orang yang melihat apa yang diturunkan Allah kepada Rasulullah dengan kata hatinya, bahwa apa yang diturunkan itu adalah benar, sama dengan orang yang buta dan tidak melihat hal itu? Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga pernah bersabda tentang ihsan, "Hendaklah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya."

Tak dapat diragukan bahwa mempercayai pengabaran bias menguatkan hati, sehingga yang gaib pun seperti sesuatu yang dapat dilihat dengan mata kepala secara langsung. Orang yang berada jpada keduduk-an ini seakan dapat melihat Allah yang berada di atas langit Nya, di 'Arsy, yang mengawasi hamba-hamba-Nya, mendengar perkataan mereka dan mengetahui zhahir serta batin mereka. Orang yang berada pada kedudukan ini seakan bisa mendengar Allah befirman me-nyampaikan wahyu, befirman kepada Jibril, menyampaikan perintah dan larangan seperti yang dikehendaki-Nya, mengatur para malaikat. Seakan dia melihat Allah ridha, murka, mencintai dan membenci, memberi dan menahan, tersenyum dan bergembira, memuji para wali-Nya, mencela musuh-musuh-Nya dan lain sebagainya.

Kegembiraan

Pengarang Manazilus-Sa'irin menukil firman Allah dalam kaitannya dengan masalah ini : "Katakanlah, 'Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan'." (Yunus:58).

Penggunaan ayat ini sebagai landasan pembahasan sungguh amat tepat, sebab Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bergembira karena mendapatkan karunia dan rahmat Allah. Kegembiraan dan kesenangan ini mengikuti Pemberi karunia dan rahmat. Orang yang gembira karena mendapat kemurahan dan kebaikan, memang amat layak untuk merasa gembira. Makna ayat ini akan saya kupas, begitu pula kaitan-nya dengan perkataan pengarang Manazilus-Sa'irin.

Ibnu Abbas, Qatadah, Mujahid, Al-Hasan dan lainnya menyatakan bahwa maksud karunia Allah di sini adalah Islam, sedangkan rahmat-Nya adalah Al-Qur'an. Mereka menganggap rahmat Allah lebih khusus daripada karunia. Karunia-Nya yang khusus diberikan secara umum kepada semua pemeluk Islam. Sedangkan rahmat-Nya yang berupa pendalaman Al-Qur'an menjadi milik sebagian di antara mereka tanpa sebagi-an

yang lain. Allah menjadikan mereka sebagai orang-orang Muslim karena karunia-Nya, dan menurunkan Al-Qur'an kepada mereka dengan rahmat-Nya. Firman Allah : "Dan, kamu tidak pernah mengharapkan agar Al-Qur'an diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Rabbmu." (Al-Qashash: 86).

Menurut Abu Sa'id Al-Khudry, karunia Allah artinya Al-Qur'an, sedangkan rahmat-Nya ialah kita yang dijadikan sebagai Ahli Al-Qur'an. Sedangkan kegembiraan adalah kelezatan yang ada di dalam hati karena mengetahui yang dicintai dan mendapatkan apa yang diingin-kan. Hal ini menimbulkan suatu keadaan yang disebut kegembiraan dan kesenangan, sebagaimana kesedihan dan kedukaan karena kehilangan yang dicintai. Jika kehilangan yang dicintai ini menimbulkan kesedihan dan kedukaan, maka mengingat karunia dan rahmat Allah mendatangkan kegembiraan. Firman-Nya :

"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu perjalanan dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman." (Yunus: 57).

Gembira disebutkan di dalam Al-Qur'an dalam dua bentuk: Tidak ada kaitannya dan yang terkait. Yang tidak ada kaitannya disebutkan dalam bentuk celaan, seperti firman-Nya : "Janganlah kamu terlalu gembira, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu bergembira." (Al-Qashash: 76).

Yang terkait ada dua macam pula: Terkait dengan dunia dan melalaikan pelakunya dari karunia Allah, yang berarti dia tercela, seperti firman-Nya : "Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyongkonyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa." (Al- An'am: 44).

Yang kedua terkait dengan karunia dan rahmat Allah. Hal ini juga ada dua macam: Karunia yang terkait dengan sebab dan karunia yang terkait dengan akibat. Kegembiraan yang terkait dengan Allah, Rasul- Nya, iman, As-Sunnah, ilmu dan Al-Qur'an merupakan kedudukan paling tinggi bagi orang yang memiliki ma'rifat. Allah befirman : "Dan, apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, 'Siapakah di antara kalian yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?' Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah

imannya, sedang mereka merasa gembira." (At-Taubah: 124).

Kegembiraan yang terkait dengan ilmu, iman dan As-Sunnah merupakan dalil pengagungan dan kecintaan pemiliknya kepada tiga perkara ini daripada kepada selainnya. Kegembiraan hamba yang terkait dengan sesuatu pada saat mendapatkannya, tergantung dari kecintaannya kepada sesuatu itu. Siapa yang tidak mempunyai kecenderungan terhadap sesuatu, maka dia tidak akan merasa senang saat mendapatkannya dan tidak sedih saat kehilangannya. Gembira mengikuti kecintaan dan kesenangan.

Perbedaan antara gembira dan girang, bahwa gembira itu setelah mendapatkan apa yang dicintai, sedangkan girang sebelum mendapatkannya, tapi yakin akan mendapatkannya. Karena itu Allah befirman : "Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati

terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka." (Ali-Imran: 170).

Kegembiraan merupakan sifat kesempurnaan. Karena itu Allah disifati dengan jenis sifat yang paling tinggi dan paling sempurna, seperti kegembiraanNya karena taubat orang yang bertaubat, yang lebih besar dari kegembiraan orang yang mendapatkan kembali hewan tunggangannya yang hilang, yang membawa makanan dan minumannya,

saat dia berada di tengah gurun, yang sebelumnya dia sudah berputus asa untuk mendapatkannya kembali.

Maksudnya, kegembiraan merupakan jenis-jenis kenikmatan hati yang paling tinggi. Kegembiraan dan kesenangan merupakan kenikmatan hati, sedangkan kesedihan dan kedukaan merupakan siksaan hati. Kegembiraan karena sesuatu di atas keridhaan terhadap sesuatu.

Sebab ridha merupakan thuma'ninah, ketenangan dan kelapangan hati. Sedang kan kegembiraan merupakan kelezatan dan kenikmatannya. Setiap orang yang gembira adalah orang yang ridha, tapi tidak setiap orang yang ridha adalah gembira. Gembira kebalikan dari sedih, ridha kebalikan dari benci. Kesedihan membuat orangnya menderita, sedangkan kebencian tidak membuat orangnya menderita, kecuali jika

dia tidak mampu membalas.

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Surur merupakan istilah lain dari kegirangan karena akan menerima sesuatu seperti yang diinginkannya. Surur lebih jernih daripada farh. Sebab boleh jadi farh masih serupa dengan kesedihan. Maka Al-Qur'an menyebutkan kata farh di beberapa tempat yang berkaitan dengan kesenangan dunia, dan menyebutkan kata surur di dua tempat dalam Al-Qur'an yang menggambarkan keadaan

(kesenangan) akhirat."

Sedangkan busyra atau bisyarah merupakan kabar awal yang benar dan menggembirakan. Ada dua hal yang dimaksudkan dengan busyra, yaitu: Berita gembira dari pemberinya, dan kegembiraan yang diberi berita. Allah befirman : "Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat." (Yunus: 64).

Di dalam hadits Ubadah bin Ash-Shamit dan Abud-Darda', dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Artinya adalah mimpi baik yang dialami orang Muslim atau yang diperlihatkan kepadanya."

Ibnu Abbas berkata, "Berita gembira di dunia ialah pada saat mati, saat para malaikat mendatangi mereka sambil membawa rahmat dan berita gembira dari Allah. Sedangkan di akhirat ialah saat keluarnya jiwa orang Mukmin, saat naik kepada Allah."

Perkataan Syaikh, "Surur lebih jernih daripada farh", dikuatkan dengan perkataannya, "Sebab boleh jadi farh masih serupa dengan kesedihan". Bahkan antara keduanya bisa bercampur. Hal ini berbeda dengan surur.

Maksud perkataan Syaikh, "Maka Al-Qur'an menyebutkan katafarh di beberapa tempat yang berkaitan dengan kesenangan dunia", bahwa Allah menghubungkan farh dengan keadaan-keadaan dunia, yang kegembiraannya tidak terbebas dari kesedihan dan kedukaannya. Bahkan tidak ada kegembiraan melainkan ada kesusahan sebelumnya, saat mendapatkannya dan setelah mendapatkannya. Memang terkadang kegembiraan lebih kuat daripada kesusahan, tapi bukan berarti lepas darinya sama sekali, terlebih lagi jika kesusahannya lebih dominan.

Perkataan Syaikh, "Menyebutkan kata surur di dua tempat dalam Al-Qur'an yang menggambarkan keadaan (kesenangan) akhirat", yang dia maksudkan adalah : "Adapun orang yang diberikan kitabnya dan sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira." (Al-Insyiqaq: 7-9).

"Maka Rabb memelihara mereka dari kesusahan hari itu dan memberikan kepada mereka kejernihan wajah dan kegembiraan hati."(Al-Insan: 11).

Kegembiraan yang berkaitan dengan dunia di satu tempat disebutkan dalam bentuk celaan, seperti firman-Nya : "Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak, 'Celakalah aku'. Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya." (Al-Insyiqaq: 10-13).

Tapi menurut pendapat saya, penyebutan kata farh dan surur di dalam Al-Qur'an, bisa untuk keadaan dunia dan juga akhirat, tidak ada yang dikuatkan dalam hal ini. Bahkan bisa dikatakan bahwa farh-lah yang lebih kuat, sebab Allah juga disifati dengan kata ini, dan tidak disifati dengan surur. Bahkan Allah juga memerintahkan untuk gembira, sebagaimana firman-Nya, "Karena yang demikian itulah hendaknya mereka bergembira", dan memuji orang-orang yang berbahagia, sebagaimana firman-Nya, "Mereka gembira terhadap apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya"

Ada tiga derajat kegembiraan, yaitu:

1. Kegembiraan rasa, yang lenyap karena tiga jenis kesedihan, yaitu: Kesedihan yang diwariskan ketakutan pemutusan, kesedihan yang dibangkitkan kegelapan kebodohan, dan kesedihan yang didorong keliaran perpisahan. Karena kegembiraan merupakan kebalikan dari kesedihan dan kesedihan tidak bisa menyatu dengan kegembiraan, berarti kesedihan itu bisa menghilangkan kegembiraan. Karena sebab kegembiraan adalah rasa terhadap sesuatu, maka jika rasa itu lebih sempurna, maka kegembiraan pun juga sempurna. Kegembiraan ini bisa hilang karena tiga macam kesedihan: Kesedihan

yang diwariskan ketakutan pemutusan. Ini merupakan kesedihan orang-orang yang tidak bergabung dengan orang-orang yang mencintai dan tidak ikut dalam rombongan cinta. Orang-orang yang terputus adalah mereka yang tidak bergabung ke dalam rombongan ini. Merekalah yang difirmankah Allah : "Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka dan dikatakan kepada mereka, 'Tinggallah kamu sekalian bersama orang-orang yang tinggal itu'." (At-Taubah: 46). Allah melemahkan hasrat mereka untuk berjalan kepada-Nya dan ke surga-Nya, lalu menyuruh hati mereka dengan perintah yang layak bagi mereka, yaitu tinggal bersama orang-orang lain yang juga tinggal.

Kesedihan ini bisa hilang jika orangnya merasakan manisnya iman, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq yang merasakan janji Allah yang disampaikan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Firman-Nya : "Hal manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kalian dan sekali-kali janganlah syetan yang pandai menipu, memperdayakan kalian tentang Allah." (Fathir: 5). Kedua: Kesedihan yang menghilangkan kegembiraan rasa, yaitu kesedihan karena kegelapan kebodohan. Kebodohan ada dua macam: Kebodohan ilmu dan kebodohan ma'rifat, kebodohan amal dan kebodohan kesewenang-wenangan. Keduanya merupakan kegelapan dan ketakutan di dalam hati. Sebagaimana ilmu yang menghasilkan cahaya, maka kebalikan ilmu akan menghasilkan kegelapan. Allah dinamakan dengan Al-Ilmu, yang dengannya Dia mengutus para rasul, cahaya, kehidupan dan petunjuk. Sedangkan kebalikannya disebut kegelapan, kematian dan kesesatan. Allah befirman : "Dan, apakah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya?" (Al- An'am: 122).

Allah mengumpamakan cahaya di dalam hati orang Mukmin ini dalam firman-Nya : "Seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya adapelita besar, Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki." (An-Nur: 35) Sementara orang yang tidak memiliki cahaya ini diserupakan dengan orang yang difirmankan Allah : "Seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yangdi atasnya ombak (pula), di atasnya lagi awan, gelap gulita yang tindih-menindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, dan barangsiapa yang tiada diberi cahaya oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya

sedikitpun." (An-Nur: 40). Ketiga: Kesedihan yang dibangkitkan keliaran pemisahan, yaitu terpisahnya hasrat dan hati dari Allah. Pemisahan ini merupakan kesedihan yang muncul karena tidak ada kebersamaan hati dengan Allah dan kenikmatan-Nya. Jika semua kenikmatan yang dirasakan semua penduduk dunia dihimpun menjadi satu dan dimiliki satu orang saja, maka masih belum sebanding dengan kenikmatan karena kebersamaan hati dengan Allah, kejinakan di sisi-Nya dan kerinduan bersua dengan-Nya. Yang demikian ini tidak diyakini kecuali oleh orang yang bisa merasakannya.

2. Kegembiraan kesaksian, yaitu menyingkap hijab ilmu, membebaskan perbudakan pembebanan kewajiban, dan meniadakan kehinaan pilihan. Artinya, ilmu merupakan hijab ma'rifat. Mempersaksikan penyingkapan hijab ini, hingga mendorong hati kepada ma'rifat, dapat menimbulkan kegembiraan. Ilmu yang dimaksudkan golongan ini ialah pengambilan kesimpulan, sedangkan ma'rifat merupakan kebutuhan yang tidak terhindarkan. Ilmu memiliki pengabaran dan ma'rifat memiliki wujud yang bisa dilihat. Ilmu bagi mereka bisa menjadi hijab bagi ma'rifat, sekalipun tidak ada yang bisa menghantarkan kepada ma'rifat selain dari ilmu. Ilmu bagi ma'rifat tak ubahnya lemari penyimpan bagi isinya dan sekaligus sebagai hijabnya. Isi ini tidak bias diperoleh kecuali lewat lemari penyimpan. Sebagai misal, jika ada lubang di permukaan salju, berarti di dalam salju itu ada hewan yang sedang bernapas. Ini disebut ilmu. Jika engkau melubangi salju itu dan engkau melihat hewan tersebut, maka ini disebut ma'rifat. Perkataan

Syaikh, "Membebaskan perbudakan pembebanan kewajiban", tak bias dibenarkan secara mutlak, sebab perbudakan pembebanan kewajiban tidak bisa dihindarkan hingga mati. Setiap kali ham-ba maju ke etape perjalanan berikutnya, maka dia akan menyaksikan pembebanan yang tidak dilihat sebelumnya. Perbudakan pembebanan kewajiban merupakan sesuatu yang lazim bagi orang mukallaf, selagf dia masih berada di dunia ini. Tapi yang dimaksudkan Syaikh dengan perkataannya ini, bahwa kegembiraan dengan rasa dapat membebaskan hamba dari perbudakan

pembebanan kewajiban, hingga dia tidak lagi menganggapnya sebagai pembebanan kewajiban. Ketaatan yang dilakukan menjadi santapan bagi hati, menjadi kegembiraan baginya dan kesenangan serta kenikmatan bagi ruhnya. Kenikmatan ini jauh lebih dapat dirasakan daripada kenikmatannya terhadap makanan dan minuman serta kenikmatan-kenikmatan jasad lainnya. Kenikmatan ruh dan hati lebih kuat daripada kenikmatan jasad, sehingga dia tidak merasakan beban dalam melaksanakan ibadah dan bukan merupakan pembebanan terhadap haknya. Apa yang dilakukan orang yang mencintai dalam pengabdiannya terhadap kekasih merupakan sesuatu yang paling menggembirakannya. Allah juga menyebut perintah dan larangannya dengan wasiat, janji, pelajaran dan rahmat, tidak menyebutnya pembebanan, kecuali yang sifatnya penafian, seperti firman-Nya, Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai

dengan kesanggupannya." (Al-Baqarah: 2H6). Kesanggupan ini berlaku setelah ada pengecualian pembebanan.

Perkataan Syaikh, "Meniadakan kehinaan pilihan", bahwa selagi seorang hamba terikat oleh pilihan-pilihannya, berarti dia terkerangkeng dalam penjara kehendaknya, yang berarti dia dalam kehinaan dan kekerdilan. Tapi hamba yang berada dalam derajat ini bisa terbebas dari kehinaan pilihannya dan dia dalam keadaan merdeka. Di sana ada ubudiyah yang menimbulkan kebebasan dan kebebasan yang menyempurnakan ubudiyah, sehingga dia berada pada pilihan Allah, bukan menurut pilihannya sendiri. Dia berada pada pilihan Allah, layaknya orang yang tidak bisa memilih untuk dirinya sendiri.

3. Kegembiraan mendengarkan pemenuhan. Ini merupakan kegembiraan

yang menghapus pengaruh keliaran, mengetuk pintu kesaksian dan membuat ruh tersenyum.

Syaikh mengaitkan pendengaran di sini dengan mendengar pemenuhan, karena inilah pendengaran yang memberikan manfaat, bukan sekedar mendengarkan secara inderawi, yang bisa dilakukan orang yang memenuhi dan yang berpaling. Karena itu Allah befirman ten- tang orangnya, "Kami mendengar tapi kami tidak mau menuruti." Maka ketika ada seorang Yahudi yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallatn tentang masalah-masalah gaib, maka beliau bertanya,"Apakah hal itu akan memberikan manfaat bagimu jika aku memberitahukannya?" Orang Yahudi itu menjawab, "Aku akan mendengarkannya dengan telingaku."

Sedangkan mendengarkan pemenuhan ini seperti yang disebutkan dalam firman Allah : "Sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka

mendengarkan perkataan mereka." (At-Taubah: 47). Artinya memenuhi seruan mereka. Inilah yang dimaksudkan dalam ucapan orang yang sedang shalat, "Sami'allahu liman hamidahu". Artinya, Allah memenuhi pujian orang yang memuji-Nya. Pendengaran ini pula yang dinajikan Allah dari orang yang di dalam dirinya tidak dikehendaki Allah ada kebaikan. Makna lebih jauh dari "Mendengarkan pemenuhan" ini ialah mendengarkan

ketundukan hati, ruh dan anggota tubuh, tentang apa yang didengarkan kedua telinga. Menghapus pengaruh keliaran artinya menghilangkan sisa-sisa keliaran, yang sebabnya tidak memiliki kepatuhan secara utuh. Mengetuk pintu kesaksian artinya menyaksikan karunia dan pemberian sebagaimana yang disebutkan dalam dua derajat sebelumnya, lalu

beralih ke derajat yang lebih tinggi lagi, yaitu menyaksikan kebersamaan. Membuat ruh tersenyum artinya mendengarkan pemenuhan bias membuat ruh tersenyum, karena kegembiraan yang dirasakan sete-lah mendengarkan itu. Disebutkan pengkhususan terhadap ruh, agar dari ruh ini keluar kegembiraan yang bisa membuat jiwa, akal dan hati

tersenyum semuanya. Tentu saja hal ini dilandaskan kepada perbedaan antara hokum

jiwa, hati dan ruh.

Rahasia

Pengarang Manazilus-Sa'irin menyitir firman Allah berkaitan dengan masalah rahasia ini :"Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka." (Hud: 31).

Syaikh berkata, "Orang-orang yang memiliki rahasia ialah mereka yang suka menyembunyikan keadaannya seperti yang disebutkan dalam pengabaran (hadits) tentang diri mereka."

Letak pelandasannya kepada ayat ini, bahwa Allah memasukkan sebagian dari rahasia ma'rifat, cinta dan iman kepada-Nya ke dalam hati para pengikut rasul, yang membenarkan mereka, yang lebih mementingkan Allah dan had akhirat daripada kaum dan rekan-rekannya. Sementara rahasia ini tidak dimiliki musuh-musuh rasul. Mereka hanya melihat halhal yang zhahir dan tidak melihat yang batin, sehingga mereka melecehkan dan menghinakan para rasul dan pengikutnya. Mereka berkata kepada Rasul, "Usirlah orang-orang hina itu dari sisimu, agar kami maumenemui-mu dan mendengarkan perkataanmu." Mereka juga tidak percaya bahwa para pengikut rasul inilah yang mendapat karunia Allah.

Maka Nuh Alaihis-Salam berkata kepada kaumnya, "Dan aku tidak mengatakan kepada kalian, 'Aku mempunyai gudang-gudang rezki dan kekayaan dari Allah, dan aku tidak mengetahui yang gaib', dan tidak pula aku mengatakan, 'Bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat', dan tidak pula aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatan kalian, 'Sekali-kali Allah tidak mendatangkan kebaikan kepada mereka'. Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka, sesungguhnya aku kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang yang zhalim." (Hud: 31).

Yang pasti tentang makna ayat ini, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di dalam diri mereka, karena memang Allah membuat mereka orang-orang yang layak menerima agama dan keesaan-Nya serta membenarkan rasul-rasul-Nya. Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana,

Dia meletakkan pemberian di tempat yang semestinya. Yang juga semisal dengan ayat ini adalah firman-Nya yang lain : "Dan, demikianlah telah Kami uji sebagian mereka (orang-orang yang kaya) dengan sebagian mereka (orang-orang yang miskin), supaya (orang-orang yang kaya) berkata, 'Orang-orang semacam inikah yang di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?' (Allah berfirman), 'Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur?'" (Al-An'am: 53).

Orang-orang yang kaya dan terpandang itu tidak terima jika Allah memberikan petunjuk dan kebenaran kepada orang-orang yang miskin, karena memang orang-orang yang kaya itu tidak mendapatkan petunjuk. Seakan-akan mereka menganggap pemberian keduniaan sebagai bukti pemberian akhirat. Maka Allah memberitahukan bahwa Dia

lebih mengetahui siapa yang layak menerimanyapemberian-Nya, karenarahasiayang ada di sisi-Nya, yaitu pengetahuan tentang kadar nikmat dan keutamaan pemberi nikmat, kecintaan dan syukur kepada-Nya. Tidak setiap orang mengetahui rahasia ini, dan tidak setiap orang layak menerima pemberian ini.

Perkataan Syaikh, "Orang-orang yang memiliki rahasia ialah mereka yang suka sembunyi-sembunyi seperti yang disebutkan dalam pengabaran (hadits) tentang diri mereka", boleh jadi pengabaran yang dimaksudkan-nya adalah hadits Sa'id bin Abi Waqqash, yang anaknya berkata kepada-nya, "Mengapa ayah di sini sementara orang-orang berselisih tentang imarah?" Maka dia menjawab, "Aku pernah mendengar Rasulullah ShallallahuAlaihi waSallam bersabda, 'Sesungguhnya Allah menyukai hamba

yang bertakwa, kaya dan sembunyi-sembunyi (tentang keadaan dirinya)'." Boleh jadi yang dimaksudkannya adalah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Berapa banyak orang yang lusuh dan berdebu, yang tertolak di ambang pintu dan tidak dipedulikan, namun jika dia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya." Begitu pula sabda beliau dalam hadits lain, tatkala ada seseorang yang lewat, lalu beliau bertanya kepada para shahabat di dekatnya, "Apa komentar kalian tentang orang itu?" Mereka menjawab, "Dia adalah orang yang pantas. Jika meminta

syafa'at, dia layak diberi syafaat. Jika mengajukan lamaran, dia layak dinikahkan. Jika berkata, perkataannya layak didengarkan." Kemudian ada orang lain yang lewat, lalu beliau bertanya kepada mereka, "Apa komentar kalian tentang orang ini?" Mereka menjawab, "Dia orang yang tidak pantas. Jika meminta syafaat, dia tidak layak diberi syafaat. Jika mengajukan lamaran, dia tidak layak dinikahkan. Jika berkata, perkataannya tidak layak didengarkan." Lalu beliau bersabda, "Orang ini lebih baik daripada seisi dunia."

Menurut Syaikh, orang-orang yang memiliki rahasia ini ada tiga golongan:

1. Golongan yang hasratnya tinggi, yang tujuannya bersih, yang perjalanannya benar, yang tidak berhenti pada suatu rupa, yang tidak mengaitkan kepada suatu nama dan yang tidak dituding dengan jari. Merekalah simpanan-simpanan Allah di mana pun mereka berada.

Syaikh menyebutkan tiga sifat mereka yang positif dan tiga sifat yang negatif.

Pertama: Hasrat mereka yang tinggi. Maksud hasrat yang tinggi ialah tidak berada pada selain Allah, tidak mengganti-Nya dengan sesuatu selain-Nya, tidak ridha kepada selain-Nya sebagai pengganti-Nya, tidak menjual bagian dirinya yang berasal dari Allah, tidak menjual kedekatan, kegembiraan dan kesenangan karena Allah, dengan sesuatu dari bagian-bagian yang hina dan fana. Hasrat yang tinggi dibandingkan dengan hasrat-hasrat yang lain seperti seekor burung yang terbang paling tinggi dibandingkan dengan burung-burung lain yang terbang lebih rendah, sehingga rintangan dan bencana

tidak bisa mengganggunya. Selagi hasrat ini tinggi, maka berbagai bencana tidak akan bisa mengganggunya, tapi selagi hasrat ini rendah, maka berbagai bencana bisa mengganggunya dari segala sisi. Bencana ini berupa perintang dan daya tarik, yang tidak bisa naik ke tempat yang tinggi dan menarik dari sana, karena ia hanya menarik dari tempat-tempat yang rendah. Ketinggian hasrat seseorang merupakan tanda keberuntungannya.

Kedua: Tujuan yang bersih, yaitu kebebasannya dari segala noda yang bisa menghambat untuk mencapai tujuannya, atau kebebasannya dari pencarian tujuan lain yang bukan tujuannya. Tujuan yang bersih seperti yang diisyaratkan Syaikh di sini adalah membebaskan tujuan dari segala kehendak yang mencampuri kehendak kepada Allah.

Ketiga: Perjalanannya yang benar, yaitu keselamatannya dari segala perintang dan penghalang. Caranya tiga macam:

- Harus berada di jalan yang paling besar, yaitu jalan Nabawy yang tinggi dan bukan jalan yang sempit dan hina, yang menggunakan berbagai macam istilah, sekalipun mungkin tampak indah.

- Tidak memenuhi panggilan-panggilan yang batil dan yang membuat-nya menghentikan perjalanan.

- Ketika berjalan harus melihat ke tujuan.

Tiga sifat negatif yang disebutkan Syaikh adalah:

Pertama: Tidak berhenti pada suatu rupa. Artinya, karena hasratnya yang tinggi, mereka bisa mendahului perjalanan orang-orang lain dan tidak berhenti bersama mereka. Karena cepatnya, mereka tidak meninggalkan jejak dalam perjalanannya dan orang-orang yang terting-gal di belakang tidak tahu di mana mereka lewat?

Kedua: Tidak mengaitkan kepada suatu nama. Artinya, mereka tidak menjadi terkenal karena sebutan tertentu, yang membuat manusia mengenali mereka. Sebab biasanya sebutan-sebutan ini menjadi symbol bagi orang-orang yang meniti jalan mereka. Di samping itu, mereka tidak mengikat dengan amal tertentu, sehingga mereka menjadi terkenal karenanya tanpa amal-amal yang lain. Yang demikian ini merupakan bencana dalam ubudiyah dan merupakan ubudiyah yang terbatas. Sedangkan ubudiyah yang tidak terbatas ialah yang pelaku-nya tidak dikenali karena sebutan atau pun nama tertentu, yang bersama setiap ahli ibadah, tidak mengikat dengan nama, sebutan dan simbol-simbol tertentu yang sengaja diciptakan. Jika dia ditanya, "Siapa syaikhmu?" Maka dia menjawab, "Syaikhku Rasulullah." Jika ditanya, "Apa thariqahmu?" Maka dia menjawab, "Thariqahku adalah ittiba'." Jika ditanya, "Apa jubahmu?" Maka dia menjawab, "Jubahku adalah baju takwa." Jika ditanya, "Apa madzhabmu?" Maka dia menjawab, "Madzhabku adalah menjadikan As-Sunnah sebagai penentu hukum."

Ketiga: Yang tidak dituding dengan jari. Artinya, karena kebiasaan mereka yang menyembunyikan keadaannya dari orang-orang, maka di antara mereka pun tidak saling mengenal, sehingga mereka saling menunjuk dengan jari mereka kepada yang lain. Di dalam hadits yang terkenal diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Setiap orang yang beramal mempunyai kerajinan, dan setiap

kerajinan ada waktu senggangnya. Jika pelakunya benar dan bertaqarrub, maka berharaplah baginya, namun jika dia dituding dengan jari, maka janganlah kalian menganggap sedikit pun terhadapnya."

Ketika rawi hadits ini ditanya tentang makna "Dituding dengan jari",

maka dia menjawab, "Dia adalah orang yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agamanya dan orang yang buruk dalam dunianya."

Tapi masalah ini perlu dirinci lagi. Sebab manusia tentu akan menuding dengan jarinya kepada orang yang datang kepada mereka sambil membawa sesuatu. Di antara mereka ada yang mengenalnya dan ada pula yang tidak mengenalnya. Jika dia lewat, maka orang yang mengenal dirinya memberi isyarat kepada orang yang tidak mengenalnya, dengan berkata, "Ini Fulan, yang dulunya dicela, atau dipuja." Siapa yang dulunya dikenal sebagai orang beribadah dan berzuhud, namun kemudian keadaannya merosot dan bergumul dengan dunia serta syahwat, maka seandainya dia lewat di tengah orang-orang, sudah selayaknya jika mereka menuding ke arahnya seraya mengatakan, "Dulu dia orang yang zuhud, lalu dia mendapat cobaan dan keadaannya berbalik." Inilah makna sabda beliau, "Janganlah kalian menganggap sedikit pun terhadap dirinya."

Namun adakalanya seseorang dulunya tenggelam dalam keduniaan, lalu Allah menyadarkannya agar berbuat untuk akhirat, sehingga dia meninggalkan masa lalunya itu dan membalik keadaannya. Dia lewat di antara orang-orang, tentu mereka akan menudingkan jari ke arahnya seraya berkata, "Dulu dia adalah orang yang terpedaya, lalu Allah menyadarkannya. Dulu dia sibuk dengan berbagai macam kedurhakaan, sekarang dia sibuk dengan berbagai macam ketaatan." Jadi secara umum, isyarat dengan telunjuk yang ditujukan kepada seseorang bisa merupakan tanda kebaikan dan juga bisa merupakan tanda keburukan.

Perkataan Syaikh, "Merekalah simpanan-simpanan Allah di mana pun mereka berada", artinya harta milik yang disimpan dan disembunyikan di sisi-Nya untuk kepentingan tertentu, yang tidak dikeluarkan kepada setiap orang. Begitu pula apabila seseorang mempunyai simpanan, yang tidak akan dikeluarkannya kecuali untuk kepentingan yang mendadak atau sangat penting. Tapi karena orang-orang dalam golongan ini suka menyembunyikan keadaan dirinya dan sebab-sebabnya, tidak membedakan diri dengan orang lain dengan suatu nama, madzhab, pakaian atau syaikh tertentu, maka mereka tak ubahnya harta simpanan yang disembunyikan. Mereka adalah orang-orang yang paling jauh dari bencana.

Sebagian imam ada yang ditanya tentang As-Sunnah. Maka dia menjawab, "As-Sunnah ialah yang tidak mempunyai nama selain dari As- Sunnah itu sendiri." Dengan kata lain, Ahlus-Sunnah tidak memiliki nama yang dinisbatkan kepada selain As-Sunnah.

2. Golongan yang mengisyaratkan ke satu persinggahan, padahal mereka

berada di persinggahan lain. Mereka mengucapkan suatu lafazh, padahal mereka memaksudkan untuk makna yang lain. Mereka mengajak kepada suatu keadaan, padahal mereka lebih tinggi dari yang lain. Mereka berada dalam kecemburuan yang menutupi keadaan mereka, berada dalam adab yang melindungi mereka dan berada di satu sisi yang membimbing mereka.

Golongan ini tetap bergaul dengan manusia secara zhahir, berbicara dengan mereka sesuai dengan bobot pemikirannya, tidak berbicara kecuali yang memang bisa diterima akal mereka, mengingkari mereka, sehingga lawan bicaranya beranggapan bahwa mereka seperti dirinya, padahal mereka tidak termasuk golongannya. Perkataan Syaikh : "Mengisyaratkan ke satu persinggahan, padahal mereka berada di persinggahan lain", sebagai contoh mereka mengisyaratkan ke persinggahan taubat dan menghisab diri sendiri, padahal mereka berada di persinggahan cinta. Atau bisa saja mereka mengisyaratkan bahwa mereka adalah orang-orang awam, padahal mereka adalah orang-orang yang khusus dan bahkan lebih khusus lagi. Atau mereka mengisyaratkan sebagai orang-orang yang bodoh, padahal mereka orang-orang yang memiliki ma'rifat tentang Allah. Atau mereka memperlihatkan diri sebagai orang-orang yang tidak layak dipuji, dan mereka menyembunyikan pujian Allah terhadap diri mereka. Hal ini berbeda dengan orang-orang munafik, golongan yang sudah terkenal. Mereka memamerkan amalan dan memendam keadaan lain di dalam hati.

Perkataan Syaikh, "Mereka mengucapkan suatu lafazh, padahal mereka memaksudkan untuk makna yang lain", contohnya perkataan di antara mereka, "Aku adalah orang yang kaya". Lawan bicaranya memahami bahwa dia kaya harta, padahal maksudnya kaya karena Allah. Perkataan Syaikh, "Mereka mengajak kepada suatu keadaan, padahal mereka lebih tinggi dari yang lain", artinya mereka memuji keadaan orang lain dan mengajak kepadanya, padahal mereka lebih tinggi dari keadaan itu. Hal ini tidak jauh berbeda dengan perkataan sebelumnya.

Perkataan Syaikh, "Mereka berada dalam kecemburuan yang menutupi keadaan mereka", artinya Allah cemburu terhadap mereka, sehingga Dia menutupi keadaan mereka.

Perkataan Syaikh, "Berada dalam adab yang melindungi mereka", artinya mereka tetap memperhatikan adab tatkala bergaul dengan manusia, sehingga mereka terpelihara dari persangkaan yang buruk dan mereka juga terjaga dari akhlak serta amal yang hina. Adab mereka merupakan pelindung bagi keadaan mereka. Hasrat mereka naik ke atas dan adab mereka menyungkur ke tanah.

3. Golongan yang keadaannya disembunyikan Allah, lalu Allah menampakkan suatu penampakan yang membuat mereka tidak tahu apa yang ada pada diri mereka, membuat mereka tidak bias mempersaksikan keadaan dirinya, sehingga mereka tidak tahu dirinya sendiri. Mereka mempunyai saksi-saksi yang mempersaksikan kebenaran kedudukan mereka, berkaitan dengan tujuan yang lebih dahulu ada dan cinta yang sebenarnya, yang menyembunyikan permulaan ilmu mereka. Ini merupakan kedudukan yang paling mendetail. Keadaan mereka disembunyikan Allah artinya Dia membuat mereka sibuk bersama Allah dan tidak mengingat-ingat dirinya sendiri. Mengingat Allah membuat mereka lupa mengingat diri sendiri. Ini kebalik-an keadaan orang-orang yang melupakan Allah, lalu Allah membuat mereka lupa terhadap diri sendiri.

Tujuan yang dikehendaki Syaikh dalam golongan ini adalah tenggelam dalam kefanaan. Secara umum golongan yang kedua lebih tinggi daripada golongan ini, lebih sempurna dan lebih kuat, sebagaimana keadaan Rasulullah Sliallallahu Alaihi wa Sallam yang lebih tinggi daripada kedudukan Musa Alaihis-Salam pada malam Isra'. Rasulullah tidak tenggelam dalam kefanaan seperti yang dilakukan Musa.

Napas

Pengarang mensitir firman Allah tentang masalah napas ini : "Maka setelah Musa sadar kembali,dia berkata, Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau'."(Al-A'raf: 143).

Letak isyaratnya kepada ayat ini, bahwa napas didapatkan kembali setelah meninggalkan keadaan dan setelah napas itu terlepas dari orangnya.Keadaan ini seperti orang yang terhimpit, lalu dia bisa bernapas kembali dan merasa lega ketika sudah lepas dari himpitan itu. Napas disebut dengan napas, agar orangnya bisa merasa lega dan lapang.

Ada tiga derajat napas, yaitu:

1. Keserupaan napas dengan derajat-derajat waktu. Sisi keserupaan di antara keduanya, bahwa waktu-waktu itu bisa dihitung dengan napas, seperti derajat-derajatnya yang juga bisa dihitung.

Pengarang Manaziliis-Sa'irm berkata, "Napas ada tiga macam: Napas pada satu saat menyesak dan tidak tampak, ditahan-tahan dan bergantung kepada ilmu. Jika bernapas mengeiuarkan napas duka. Jika berkata mengeiuarkan perkataan duka. Menurutku, hal ini terjadi karena ketakutan terhadap hijab. Ini merupakan kegelapan yang dikatakan orang-orang sebagai kedudukan.

2. Napas pada saat tampak, yaitu napas yang keluar dari kedudukan kegembiraan ke kesaksian, dipenuhi cahaya kebersamaan, tanpa memerlukan isyarat. Derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama, karena derajat pertama terjadi pada saat sesak dan

gelap, sedangkan derajat ini terjadi pada saat nyata dan terang. Hakikatnya adalah menyusupnya cahaya kebenaran ke dalam hati orang yang mengadakan perjalanan. Maksud cahaya di sini adalah cahaya ma'riat dan iman, bukan cahaya yang tampak mata.

3. Napas yang dicuci dengan air kesucian dan yang tegak karena isyarat azal. Inilah napas yang disebut dengan kebenaran cahaya. Yang dimaksudkan kesucian di sini adalah kesaksian yang meniadakan sesuatu yang baru dan belum terjadi, sementara yang azal tetap ada. Napas ini keluar karena kesaksian terhadap azal, yang menghapus segala yang baru. Perkataan, "Inilah napas yang disebut dengan kebenaran cahaya", terkandung makna yang sangat halus, bahwa orang yang mengadakan perjalanan akan menjumpai cahaya dalam perjalanannya untuk beberapa kali, kemudian cahaya itu tidak tampak, seperti kilat yang tampak lalu hilang. Jika cahaya itu kuat dan lama kemunculannya, maka ia akan menjadi cahaya yang sebenarnya.

Ghurbah

Pengarang Manazilus-Sa 'irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah ghurbah (keasingan) : "Maka mengapa tidak ada dari umat-umat sebelum kalian orangorang yang mempunyai keutamaan yang melarang dari (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka." (Hud: 116).

Pelandasannya kepada ayat ini dalam masalah ghurbah menunjukkan kedalamannya dalam ilmu dan ma'rifat serta pemahamannya tentang Al-Qur'an. Orang-orang yang asing di dunia ini adalah mereka yang disifati dalam ayat di atas dan mereka yang telah diisyaratkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam sabdanya : "Islam itu bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing seperti permulaannya. Maka beruntunglah orangorang yang asing". Ada yang bertanya, "Siapakah orang-orang yang asing itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Yaitu orang-orang yang berbuat baik selagi manusia berbuat kerusakan."

Al-Imam Ahmad berkata, "Kami diberitahu Abdurrahman bin Mahdy, dari Zuhair, dari Amr bin Abu Amr, dari Al-Muththalib bin Hanthab, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda : "Beruntunglah orang-orang yang asing". Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing itu?" Beliau menjawab, "Orang-orang yang bertambah (iman dan takwanya) selagi manusia berkurang (iman dan takwanya)."

Dalam hadits Abdullah bin Amr, dia berkata : "Suatu kali selagi kami bersama Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda, "Beruntunglah orang-orang yang asing". Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang-orang yang

asing itu?" Beliau menjawab, "Orang-orang shalih yang sedikit jumlahnya di tengah

orang-orang yang banyak. Siapa yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang taat kepada mereka."

Beliau juga bersabda : "Sesungguhnya yang paling disukai Allah adalah orang-orang yang asing". Ada yang bertanya, "Siapakah orang-orang yang asing itu?" Beliau menjawab, "Orang-orang yang lari sambil membawa agamanya. Mereka berkumpul bersama Isa bin Maryam Alaihis-Salam pada hari kiamat."

Dalam hadits lain disebutkan : "Islam itu bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing seperti permulaannya. Maka beruntunglah orang-orang yang asing". Ada yang bertanya, "Siapakah orang-orang yang asing itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Yaitu orang-orang yang menghidupkan Sunnahku dan mengajarkannya kepada manusia."

Nafi' meriwayatkan dari Malik, bahwa suatu kali Umar bin Al-Khaththab memasuki masjid dan mendapatkan Mu'adz bin Jabal sedang duduk menghadap ke arah rumah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sambil menitikkan air mata. Umar bertanya, "Mengapa engkau menangis wahai Abu Abdurrahman?" Mu'adz menjawab, "Saudaramu ini telah binasa." "Tidak. Tetapi aku pernah mendengar sebuah hadits yang disampaikan

kekasihku Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, juga di masjid ini." "Apa hadits itu?" tanya Mu'adz. Umar menjawab, "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang suka sembunyi-sembunyi, miskin, bertakwa dan berbuat kebajikan. Jika mereka tidak tampak, maka mereka tidak dicari, dan apabila mereka tam- pak, maka mereka tidak dikenali. Hati mereka adalah pelita-pelita petunjuk. Mereka keluar dari segala cobaan yang buta dan gelap." Mereka adalah orang-orang asing yang terpuji dan berbahagia.

Karena jumlah mereka yang sedikit di tengah manusia yang banyak, maka mereka disebut ghuraba' (orang-orang yang asing). Mayoritas manusia tidak memiliki sifat-sifat ini. Para pemeluk Islam di tengah manusia adalah orang-orang asing. Orang-orang Mukmin di tengah para pemeluk Islam adalah orang-orang asing. Orang-orang yang memiliki ma'rifat di tengah orang-orang Mukmin adalah orang-orang asing.

Ketika Musa Alaihis-Salam melarikan diri dari kaum Fir'aun hingga tiba di Madyan dalam keadaan seperti yang telah dijelaskan Allah, sendirian, asing, takut dan lapar. Lalu beliau berkata, "Ya Rabbi, aku dalam keadaan sendirian, sakit dan asing." Dikatakan kepada beliau, "Hai Musa, yang sendirian adalah yang tidak mempunyai pendamping seperti Aku. Orang sakit adalah yang tidak mempunyai tabib seperti Aku, dan orang yang asing adalah yang tidak mempunyai mu'amalah antara Aku dan dirinya."

Ada tiga macam ghurbah, yaitu:

Ghurbah Pertama: Keasingan orang-orang yang mengikuti Allah dan Sunnah Rasul-Nya di antara manusia ini. Ini merupakan keasingan yang pelakunya dipuji Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan tentang agama yang dikabarkan, bahwa ia bermula dalam keadaan asing dan kembali menjadi asing seperti permulaannya serta yang

pelakunya menjadi asing. Keasingan ini bisa terjadi di satu tempat tanpa yang lain, di satu waktu tanpa yang lain dan di tengah suatu kaum tanpa yang lain. Tapi yang pasti, orang-orang yang asing ini adalah mereka yang mengikuti Allah dengan sebenarnya. Mereka tidak berlindung kepada selain Allah, tidak mengaitkan dengan selain Rasulullah dan tidak menyeru kepada selain yang dikabarkan Rasulullah. Jika manusia muncul pada hari kiamat bersama sesembahan mereka, maka orang-orang yang asing itu tetap berada di tempat semula. Dikatakan kepada mereka, "Mengapa kalian tidak menghadap seperti yang dilakukan manusia?" Maka mereka menjawab, "Kami berbeda dengan manusia, dan pada hari ini kami lebih membutuhkan karunia daripada mereka. Kami sedang menunggu Rabb yang dulu kami sembah."

Keasingan ini bukan merupakan keliaran bagi orangnya, tapi itu merupakan kejinakan selagi manusia menjadi liar. Pelindungnya adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, sekalipun mayoritas manusia memusuhi dan menelantarkannya. Di antara orang-orang yang asing ialah seperti yang disebutkan Anas dalam haditsnya dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam : "Berapa banyak orang yang kusut dan berdebu, mengenakan dua lembar pakaian lusuh yang tidak mengundang perhatian, namun sekiranya dia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah mengabulkannya."

Al-Hasan berkata, "Orang Mukmin di dunia seperti orang asing, yang kehinaannya tidak mengundang kesedihan dan yang kemuliaannya tidak perlu disaingi. Manusia dalam satu keadaan dan dia dalam keadaan yang lain. Manusia tidak takut terhadap dirinya, sementara dia dalam kepayahan."

Di antara sifat orang yang asing itu seperti yang digambarkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah berpegang kepada As-Sunnah selagi manusia membenci As-Sunnah. Dia meninggalkan bid'ah yang mereka ciptakan, sekalipun bid'ah itulah yang menjadi tradisi di tengah mereka. Dia memurnikan tauhid sekalipun mayoritas manusia mengingkarinya. Dia meninggalkan penisbatan kepada seseorang selain Allah dan Rasul- Nya, entah kepada syaikh, thariqat, madzhab dan golongan. Seperti inilah gambaran orang-orang asing yang menisbatkan kepada Allah dengan ubudiyah, kepada Rasul-Nya dengan mengikuti apa yang beliau bawa. Orang-orang yang memenuhi dakwah Islam harus meninggalkan kabilah dan kerabatnya, lalu masuk Islam. Mereka adalah orang-orang asing yang sebenarnya. Setelah Islam kuat dan dakwahnya menyebar ke-mana-mana serta manusia masuk Islam secara berbondong-bondong, maka keasingan itu pun menjadi hilang. Tapi kemudian mereka meng-asingkan diri sehingga menjadi orang asing seperti keadaan semula. Islam yang sebenarnya seperti yang ada pada masa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat benar-benar lebih asing pada zaman sekarang daripada keasingan Islam pada permulaannya. Sekalipun simbol, rupa dan tandatandanyayang zhahir ada di mana-mana, tapi Islam yang hakiki dalam keadaan asing sekali dan para pemeluknya asing di tengah manusia. Orang Mukmin yang meniti

jalan kepada Allah berdasarkan ittiba' dalam keadaan asing di tengah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan keinginannya, mematuhi kekikirannya dan bangga dengan pendapatpendapatnya, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam : "Suruhlah kepada yang ma'ruf dan cegahlah dari yang mungkar, hingga jika kalian melihat kekikiran yang dipatuhi, hawa nafsu yang diikuti, dunia yanglebih dipentingkan, setiap orangyang mengeluarkan pendapat, kagum terhadap pendapatnya sendiri, dan jika engkau melihatsuatu urusan yang tiada penolong bagimu, maka hendaklah engkau mengikuti dirimu sendiri secara khusus dan tinggalkanlah mereka secara umum, karena di belakang kalian ada hari-hari, yang pada saat itu orang-orang yang sabar seperti orang yang sedang memegang bara api."

Orang Mukmin yang benar adalah orang asing dalam agamanyakarena kerusakan agama manusia, asing dalam keteguhannya berpegang kepada As-Sunnah karena manusia berpegang kepada bid'ah, asing dalam akidahnya karena kerusakan keyakinan mereka, asing dalam shalatnya karena keburukan shalat mereka, asing dalam jalannya karena kesesatan jalan mereka, asing dalam pergaulannya dengan mereka karena dia mempergauli mereka tidak seperti yang mereka kehendaki. Secara umum dia adalah orang asing dalam urusan dunia dan akhiratnya, tidak mendapatkan dukungan dan pertolongan dari manusia secara umum.

Ghurbah Kedua: Ghurbah yang tercela, yaitu keasingan orang-orang yang batil dan yang berbuat keji di tengah orang-orang yang benar dan lurus. Ini berarti mengasingkan diri dari golongan Allah yang mendapat keberuntungan. Sekalipun jumlah mereka itu banyak, toh mereka tetap disebut orang-orang asing. Mereka dikenal di antara penghuni bumi

namun tidak dikenal di antara penghuni langit.

Ghurbah Ketiga: Ghurbah yang tidak terpuji dan juga tidak tercela. Ini merupakan keasingan karena meninggalkan kampung halaman. Semua manusia di dunia ini adalah orang asing, karena memang dunia ini bukan merupakan tempat yang abadi bagi mereka dan bukan merupakan tempat yang diciptakan sebagai tempat yang abadi. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma : "Jadilah di dunia ini seakan-akan engkau orang asing atau pengembara."

Bagaimana tidak disebut orang asing jika di dunia ini seorang hamba adalah orang yang sedang dalam perjalanan, yang dalam perjalanannya itu dia hanya bisa mengaso di antara orang-orang yang berbaring di kuburnya?

Pengarang Manazilus-Sa'irin mengatakan, "Keasingan merupakan perkara yang diisyaratkan kepada kesendirian tanpa ada yang menyertai." Artinya, setiap orang yang menyendiri dengan suatu sifat yang mulia, sementara orang lain tidak memilikinya, maka dia adalah orang asing di tengah-tengah mereka.

Ada tiga derajat ghurbah, yaitu:

1. Ghurbah karena meninggalkan kampung halaman. Kematian orang asing ini

merupakan mati syahid. Jarak antara kuburannya dan kampong halamannya akan diukur, dan pada hari kiamat akan dihimpun bersama Isa bin Maryam. Ghurbah dalam pengertian ini adalah memisahkan atau meninggalkan, bisa dengan fisik atau dengan tujuan dan keadaan, atau dengan ke-dua-duanya secara berbarengan. Kematian orang asing yang berarti mati syahid, diisyaratkan kepada hadits yang diriwayatkan dari Hi-syam bin Hassan, dari Ibnu Sirin, dari

Abu Hurairah RadhiyallahuAnhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, "Kematian orang asing adalah syahid." Tapi hadits ini tidak kuat dan diriwayatkan dari beberapa jalan yang sedikit pun tidak ada yang shahih. Menu-rut Al-Imam Ahmad, ini adalah hadits yang diingkari. Pengukuran antara kuburannya dan kampung halamannya, diisyaratkan kepada riwayat Abdullah bin Wahb, dia berkata, "Aku diberitahu Huyai bin Abdullah, dari Abdurrahman Al-Bajaly, dari Abdullah bin Amr, dia berkata, "Ada seseorang meninggal dunia di Madinah dan dia termasuk orang yang dilahirkan di sana. Lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menshalati jenazahnya. Beliau bersabda, "Sekiranya dia meninggal tidak di tempat dia dilahirkan." Ada seseorang yang bertanya, "Mengapa begitu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Sesungguhnya jika seseorang meninggal dunia, maka akan diukur pahala bagi dirinya di surga antara tempat kelahirannya dan tempat meninggalnya." Hadits ini diriwayatkan Ibnu Luhai'ah dengan isnad ini.

Suatu kali Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berdiri di dekat kuburan seseorang di Madinah. Lalu beliau bersabda, "Sekiranya dia meninggal sebagai orang asing." Ada yang bertanya, "Ada apa dengan orang asing yang meninggal tidak di kampung halamannya?" Beliau menjawab, "Tidaklah ada orang asing yang meninggal dunia tidak di kampung halamannya, melainkan di surga akan diukur antara tempat meninggalnya dan tempat kelahirannya." Perkataannya, "Pada hari kiamat akan dihimpun bersama Isa bin Maryam", diisyaratkan kepada hadits riwayat Al-Imam Ahmad, dari Al-Qasim bin Jamil, dari Muhammad bin Muslim, dari Utsman bin Abdullah bin Idris, dari Sulaiman bin Hurmuz, dari Abdullah bin Amr, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Yang paling disukai Allah adalah orang-orang asing." Ada yang bertanya, "Ada apa dengan orangorang asing wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Mereka yang melarikan diri sambil membawa agamanya akan berhimpun bersama Isa bin Maryam pada hari kiamat."

2. Ghurbah keadaan. Ini termasuk orang-orang asing yang mendapat keberuntungan, yaitu orang shalih pada zaman yang rusak dan bera-da di tengah kaum yang rusak, atau orang pandai di antara orang-orang yang bodoh, atau orang jujur di antara orang-orang munafik. Yang dimaksudkan keadaan di sini adalah sifat yang dimiliki, berupa agama dan berpegang kepada As-Sunnah, dan bukan keadaan menu-rut pemahaman yang umum dipakai. Pelakunya adalah orang yang mengetahui kebenaran, melaksanakan dan juga mendakwahkannya.

Syaikh mengelompokkan orang-orang asing dalam derajat ini menjadi tiga macam: Orang yang shalih dan berpegang kepada agama di tengah orang-orang yang rusak, orang yang memiliki ilmu dan ma'rifat di tengah orang-orang yang bodoh, orang jujur dan ikhlas di tengah orang-orang yang munafik dan pendusta. Sifat dan keadaan mereka menajikan sifat orang-orang di sekelilingnya. Perumpamaan orangorang asing di tengah kaumnya ini seperti seekor burung yang asing di tengah gerombolan burung.

3. Ghurbah hasrat, yaitu keasingan dalam mencari kebenaran, atau ghurbah orang yang memiliki ma'rifat. Sebab orang yang memiliki ma'rifat adalah orang asing dalam kesaksiannya, apa yang menyertai kesaksiannya juga asing. Wujud dzatnya tidak terbebani ilmu. Keasingan orang yang memiliki ma'rifat adalah keasingan dari keasingan. Sebab dia orang asing bagi penghuni dunia dan juga orang asing bagi peng-huni akhirat. Derajat ini lebih tinggi tingkatannya daripada derajat sebelumnya. Karena yang pertama merupakan ghurbah dengan fisik, dan yang kedua merupakan ghurbah dengan perbuatan dan keadaan. Sedangkan derajat ini merupakan ghurbah dengan hasrat. Hasrat orang yang memiliki ma'rifat berkutat di sekitar ma'rifat. Dia tidak dikenal di antara orang-orang yang menghendaki akhirat, terlebih lagi di antara orangorang yang menghendaki dunia, sebagaimana orang yang mencari akhirat adalah orang asing di tengah orang-orang yang mencari akhirat.

Tamakkun

Pengarang Manazilus-Sa'irin melandaskan kajian tentang masalah tamakkun (kesanggupan hati) ini kepada firman Allah : "Dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu." (Ar-Rum:

60).

Sisi pelandasannya kepada ayat ini sangat jelas, bahwa orang yang mantap hatinya tidak peduli terhadap banyaknya kesibukan, tidak terusik oleh pergaulannya dengan orang-orang yang lalai dan batil. Bahkan dia menjadi mantap dengan kesabaran dan keyakinannya, sehingga dia tidak gelisah karena tindakan mereka terhadap dirinya. Karena itu Allah befirman sebelumnya : "Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah itu adalah benar." (Ar-Rum: 60).

Siapa yang memenuhi hak kesabaran dan yakin bahwa janji Allah adalah benar, maka dia tidak akan takut karena ulah orang-orang yang batil dan tidak gelisah karena orang-orang yang tidak yakin. Tapi selagi kesabaran atau keyakinannya melemah, atau kedua-duanya melemah, maka dia akan takut terhadap mereka dan menjadi gelisah karena ulah mereka. Bahkan mereka bisa menariknya ke golongan mereka, tergantung dari lemahnya kesabaran dan keyakinannya.

Syaikh berkata, "Tamakkun lebih tinggi daripada thuma'ninah, yaitu merupakan isyarat kepada tujuan keteguhan."

Makna lebih jauh dari tamakkun adalah kemampuan untuk bersikap pada saat berbuat atau tidak berbuat. Bisa juga disebut makanah. Allah befirman : "Katakanlah, 'Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuan kalian, sesungguhnya aku pun berbuat (pula)'." (Al-An'am: 135).

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, tamakkun lebih tinggi tingkatannya daripada thuma'ninah, sebab thuma'ninah termasuk jenis kecenderungan. Hati menjadi thuma'ninah (tentram) karena sesuatu yang membuatnya tenang. Terkadang hal ini sanggup dilakukan dan terkadang tidak sanggup dilakukan. Karena itu tamakkun merupakan tujuan yang akan ditempati.

Ada tiga macam tamakkun, yaitu:

1. Tamakkun-nya murid. Dia harus menghimpun kebenaran tujuan yang mendorong perjalanannya, kejelasan ilmu yang membawanya dan keluasan jalan yang melapangkan hatinya.

Murid dalam istilah golongan ini adalah orang yang sudah menetapkan pilihan untuk mengadakan perjalanan kepada Allah. Jadi tingkatannya di atas ahli ibadah. Ini hanya sekedar istilah yang disesuaikan dengan keadaan orang-orang yang mengadakan perjalanan itu. Sebab di luar istilah itu, ahli ibadah juga bisa disebut murid dan murid bias disebut ahli ibadah.

Syaikh menyebutkan tiga perkara yang berkaitan dengan tamakkun dalam derajat ini: Kebenaran tujuan, kebenaran ilmu dan keluasan jalan. Dengan kebenaran tujuan, maka perjalanannya menjadi benar. Dengan kebenaran ilmu, akan terkuak jalan yang akan dilewati. Dengan keluasan jalan, maka perjalanannya menjadi mudah.

2. Tamakkun-nya orang yang sedang mengadakan perjalanan, yaitu dengan menghimpun kebenaran pemutusan, kilat pengungkapan dan sinar keadaan. Derajat ini lebih sempurna daripada derajat pertama. Yang pertama merupakan tamakkun dalam meluruskan tujuan amal, sedangkan derajat ini merupakan tamakkun dalam keadaan tamakkun. Yang dimaksud kebenaran pemutusan ialah pemutusan hati dari segala hal yang bisa mengotorinya. Jika begitu keadaannya, maka hati memperoleh sinar pengungkapan, yang menempatkan iman seperti sesuatu yang dapat dilihat dengan mata kepala.

3. Tamakkun-nya orang yang memiliki ma'rifat, yang diperoleh dalam kemuliaan kebersamaan di atas hijab pencarian, dengan mengenakan cahaya keberuntungan. Orang yang memiliki ma'rifat lebih khusus dan lebih tinggi daripada orang yang mengadakan perjalanan. Tapi menurut pendapat saya, ini bukan kemuliaan kebersamaan, namun merupakan kemuliaan kare-na pengawasan, yang merupakan ciri khusus para nabi dan orang-orang yang memiliki ma'rifat. Penafsiran ini lebih pas dan lebih benar. Orang yang memiliki kemuliaan ini tidak dikepung oleh mendung kelalaian dan tidak disebutkan hal-hal yang melenakannya. Perkataannya, "Di atas hijab

pencarian", bahwa orang yang memiliki ma'rifat naik dari kedudukan pencarian ma'rifat ke kedudukan per-olehannya. Orang yang mencari sesuatu berbeda dengan orang yang sudah memperolehnya. Orang yang mencari berarti masih berada di balik hijab pencariannya. Sementara orang yang memiliki ma'rifat naik dari hijab pencarian, karena dia sudah menyaksikan hakikat. Perkataan semacam ini perlu ada kejelasan lebih lanjut. Sebab pencarian tidak pernah lepas dari hamba selagi hukum-hukum ubudiyah masih berlaku pada dirinya. Tapi maksudnya adalah beralih di bebera-pa kedudukanpencarian, berpindah dari satu ubudiyah ke ubudiyah yang lain, namun sesembahannya tetap satu, tidak beralih dari-Nya. Bagaimana mungkin ma'rifat bisa membebaskan seseorang dari pencarian? Ini merupakan masalah, yang karenanya banyak orang yang terpeleset kakinya, dan orang-orang yang tertipu beranggapan, bahwa mereka tidak perlu melakukan pencarian lagi karena ma'rifat, bahwa pencarian merupakan sarana dan ma'rifat merupakan tujuan, sehing-ga tidak ada gunanya menyibukkan diri dengan sarana jika tujuan sudah teraih. Mereka yang beranggapan seperti ini adalah orang-orang yang keluar dari agama secara total, setelah mereka menyim-pang dari jalan.

Mukasyafah

Pengarang Manazilus-Sa'irin mensitir firman Allah kaitannya dengan masalah mukasyafah (pengungkapan) ini : "Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan." (An-Najm: 10).

Sisi pelandasannya kepada ayat ini, bahwa Allah mengungkap kepada hamba-Nya, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang tidak diungkapkan-Nya kepada selain beliau, memperlihatkan apa yang tidak diperlihatkan-Nya kepada selain beliau, hingga hati beliau mendapatkan pengungkapan berbagai macam hakikat, yang tak pernah terlintas di dalam sanubari orang lain, hakikat yang dikhususkan bagi beliau. Kata auha artinya pemberitahuan secara cepat dan tersembunyi.

Syaikh berkata, "Mukasyafah artinya jalinan secara rahasia antara dua batin." Maksudnya, mukasyafah adalah salah satu dari dua orang yang saling mencintai, yang mengetahui batin urusan dan rahasia yang satunya lagi. Jalinan ini terjadi secara lembut dan penuh kasih sayang.

Jika seorang hamba sampai ke kedudukan ma'rifat, maka seakan-akan dia dapat melihat sifat-sifat kesempurnaan Allah dan keagungan-Nya, sehingga ruhnya merasakan kedekatan yang khusus, berbeda dengan kedekatan yang bersifat inderawi, sehingga seakan-akan dia bisa menyaksikan disingkapkannya hijab antara ruh dan hatinya dengan Rabb-nya.

Hijab tersebut adalah nafsunya, yang disingkap Allah dengan kekuatan- Nya. Dengan begitu dia akan menyembah-Nya seakan-akan dapat melihat-Nya.

Ada tiga derajat mukasyafah, yaitu: Mukasyafah yang menunjukkan penerapan yang benar, yang harus berjalan secara terus-menerus. Hal ini terjadi pada sekali waktu tanpa waktu yang lain, tanpa diselingi suatu pemisahan. Hijab yang tipis bias terbentang pada kedudukannya, hanya saja hijab itu tidak membuatnya memalingkannya dan meniadakan bagiannya. Ini merupakan derajat orang yang menuju suatu tujuan. Jika berlangsung terus, maka menjadi derajat kedua. Mukasyafah yang benar merupakan ilmu yang disusupkan Allah ke dalam hati hamba dan menampakkan kepadanya perkara-perkara yang tidak diketahui orang lain. Namun Allah juga bisa memalingkan dan menahannya karena kelalaian dan membuat tutupan di dalam hatinya. Tapi tutupan ini amat tipis, yang disebut al-ghain. Yang lebih tebal lagi disebut al-ghaim, dan yang paling tebal adalah ar-ran. Yang pertama berlaku bagi para nabi, seperti yang disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya ada tutupan dalam hatiku, dan sesungguhnya aku memohon ampun kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali (dalam sehari)." Yang kedua berlaku bagi orang-orang Mukmin, dan yang ketiga bagi orang-orang yang menderita, seperti firman Allah, "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka." (Al-Muthaffifin: 14).

Hijab ada sepuluh macam:

1. Hijab peniadaan dan penafian hakikat asma' serta sifat. Ini merupakan hijab yang paling tebal. Orang yang memiliki hijab ini tidak mempunyai kesiapan untuk mengetahui Allah dan sama sekali tidak sam-pai kepada Allah, sebagaimana batu yang tidak bisa naik ke atas.

2. Hijab syirik, yaitu membuat hati menyembah kepada selain Allah.

3. Hijab bid'ah yang bersifat perkataan, seperti hijab orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan berbagai macam perkataan yang batil lagi rusak.

4. Hijab bid'ah yang bersifap ilmiah, seperti hijab para ahli thariqah yang melakukan bid'ah dalam perjalanannya kepada Allah.

5. Hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara batinnya, seperti hijab orang-orang yang takabur, ujub, riya', dengki, membang-gakan diri dan lain sebagainya.

6. Hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara zhahir. Hijab mereka lebih tipis daripada hijab orang-orang yang melakukan dosa besar secara batin, sekalipun mereka lebih banyak ibadahnya dan lebih zuhud. Dosa besar secara zhahir lebih dekat kepada taubat daripada dosa besar secara batin. Orang yang melakukan dosa besar secara zhahir lebih bisa diselamatkan dan hatinya lebih baik daripada orang yang melakukan dosa besar secara batin.

7. Hijab orang-orang yang melakukan dosa-dosa kecil.

8. Hijab orang-orang yang berlebih-lebihan dalam hal-hal yang mubah.

9. Hijab orang-orang yang lalai melakukan tujuan penciptaannya dan yang dikehendaki dari dirinya, tidak senantiasa berdzikir, bersyukur dan beribadah kepada Allah.

10. Hijab orang-orang yang berijtihad namun menyimpang dari tujuan.

Inilah sepuluh macam hijab yang mendinding antara hati dengan Allah, menjadi penghalang di antara keduanya. Hijab-hijab ini muncul dari empat unsur: Jiwa, syetan, dunia dan nafsu. Hijab tidak bisa disingkirkan jika unsur-unsur penyebabnya masih ada. Empat unsur inilah yang merusak perkataan, perbuatan, tujuan dan jalan, tergantung dari banyak dan sedikitnya, memotong jalan perkataan, perbuatan dan tujuan untuk sampai ke hati. Sementara apa yang dipotong agar tidak sampai ke hati, juga dipotong agar tidak sampai kepada Allah. Antara perkataan dan perbuatan dengan hati terbentang jarak perjalanan. Seorang hamba menempuh jarak perjalanan itu agar sampai ke hatinya, agar dia bisa melihat berbagai macam keajaiban di sana. Dalam perjalanan ini terdapat banyak perampok jalanan seperti yang sudah disebutkan di atas. Jika dia bias memerangi para perampok jalanan itu dan amalnya bisa sampai ke hati, maka ia akan menetap di dalam hati, lalu dari hati ini dia akan mendapatkan jendela agar dapat melihat Allah.

Sekalipun perjalanan itu sudah sampai ke hati, namun hamba tidak mendapatkan jendela untuk melihat Allah, bahkan di dalamnya bersemayam nafsu dan pasukannya, sekalipun dia orang yang zuhud dan paling banyak beribadah, maka dia adalah orang yang paling jauh dari Allah.

Bahkan orang-orang yang melakukan dosa besar, hatinya bisa lebih dekat dengan Allah daripada mereka. Lihatlah seorang ahli ibadah dan zuhud, yang di keningnya terdapat bekas sujud, tapi justru mengingkari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam karena amalnya yang kelewat batas, sehingga dia pun mencemooh orang Muslim lainnya dan menumpahkan darah para shahabat. Di sisi lain lihat seorang peminum berat,17 yang sering mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan dia pun siap dijatuhi hukuman karena kebiasaannya itu. Karena iman, keyakinan dan kecintaannya kepada Allah serta Rasul-Nya, dia rela menerimanya, sampaisampai beliau melarang orang lain yang memakinya. Dari sini dapat diketahui bahwa orang yang melakukan kedurhakaan lebih baik kesudahannya daripada orang yang melanggar ketaatan..

Perkataan Syaikh, "Mukasyafah yang menunjukkan penerapan yang benar", setiap orang mengaku memiliki kesesuaian yang benar. Tidak da penerapan yang benar kecuali yang sesuai dengan perintah. Penerapan dalam ilmu ialah pengungkapan yang sesuai dengan apa yang dikabarkan para rasul. Penerapan yang benar dalam kehendak ialah yang sesuai dengan kehendak Allah.

Mukasyafah yang sebenarnya ialah mengetahui kebenaran yang disampaikan Allah kepada para rasul-Nya dan yang diturunkan ke dalam kitab-kitab-Nya, yang dilihat dengan hatinya. Ini pula yang disebut penerapan yang benar. Sedangkan kebalikannya adalah suatu keburukan.

Ini merupakan derajat pertama, yaitu derajatnya orang yang menuju ke suatu tujuan. Jika berjalan terus dan teguh hati, maka akan mencapai derajat kedua.

Syaikh berkata, "Sedangkan derajat ketiga adalah mukasyafah mata dan bukan mukasyafah ilmu, yaitu mukasyafah yang tidak membiarkan adanya pertanda yang menimbulkan kelezatan, atau yang menghentikan perjalanan atau yang singgah di satu penghalang. Tujuan dari mukasyafah ini adalah kesaksian."

Derajat ini disebut pengungkapan mata, karena banyaknya cahaya pengungkapan apa yang ada di dalam hati, lalu menggantikan kedudukan ilmu yang tidak mungkin diingkari dan didustakan. Sebagaimana melihat dengan pandangan mata yang tidak bisa dilakukan kecuali adanya kekuatan penglihatan, tidak ada pembatas, tidak gelap dan tidak jauh jaraknya, maka pengungkapan dengan mata hati mengharuskan adanya hati yang sehat dan tidak adanya perintang untuk mengungkap segala rahasianya.

Musyahadah

Pengarang Manazilus-Sa'irin mensitir firman Allah berkaitan dengan masalah musyahadah (menyaksikan) ini : "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya." (Qaf: 37).

Allah menjadikan kalam-Nya sebagai peringatan. Tidak ada yang bisa mengambil manfaat dari kalam-Nya kecuali orang yang bias menghimpun tiga perkara ini:

1. Harus memiliki hati yang hidup dan sadar. Jika tidak, maka dia tidak bisa mengambil manfaat dari peringatan.

2. Harus menyimak dengan pendengarannya dan menghadapkannya secara keseluruhan kepada lawan bicara. Jika tidak, maka dia tidak akan bisa mengambil manfaat dari perkataannya.

3. Harus menghadirkan hati dan pikirannya di hadapan orang yang berbicara dengannya. Dengan begitu dia menyaksikan secara langsung atau hadir. Jika hatinya tidak hadir dan melancong ke tempat lain, maka dia tidak akan bisa mengambil manfaat dari pembicaraan yang ada.

Sebagaimana orang melihat yang tidak bisa mengetahui hakikat obyek yang dilihatnya, kecuali jika dia memiliki kekuatan penglihatan dan memusatkan penglihatan ke obyek yang dilihat serta hatinya tidak sibuk dengan perkara lain. Jika salah satu dari perkara-perkara ini tidak dipenuhi, maka dia tidak akan bisa melihatnya. Berapa banyak orang yang lewat di hadapanmu, namun engkau tidak merasa mereka lewat di hadapanmu, karena engkau sibuk dengan perkara yang lain.

Syaikh berkata, "Musyahadah artinya runtuhnya runtuh secara pasti." Musyahadah inilah yang meruntuhkan hijab dan bukan merupakan wujud dari keruntuhan hijab itu. Runtuhnya hijab diikuti dengan musyahadah.

Ada tiga derajat musyahadah, yaitu:

1. Musyahadah ma'rifat, yang berlalu di atas batasan ilmu, dalam cahaya wujud dan berada dalam kefanaan kebersamaan. Ini merupakan landasan golongan ini, bahwa ma'rifat di atas ilmu. Ilmu menurut mereka adalah pengetahuan tentang data, sedangkan ma'rifat merupakan penguasaan tentang sesuatu dan batasannya. Dengan begitu ma'rifat lebih tinggi daripada ilmu. Ada pula yang me-ngatakan bahwa amal orang-orang yang berbuat baik berdasarkan ilmu, sedangkan amal orang-orang yang taqarrub berdasarkan ma'rifat. Di satu sisi pendapat ini bisa dibenarkan, tapi di sisi lain dianggap salah. Orang-orang yang berbuat baik dan orang-orang yang taqarrub beramal berdasarkan ilmu memperhatikan hukum-hukumnya. Seka-lipun ma'rifatnya orangorang yang taqarrub lebih sempurna daripada orang-orang yang berbuat baik, toh keduanya sama-sama ahli ma'rifat dan ilmu. Orangorang yang berbuat kebaikan tidak akan menyingkirkan ma'rifat dan orang-orang yang taqarrub tetap mem-butuhkan ilmu. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menasihati Mu'adz bin Jabal, "Engkau akan menemui suatu kaum dari Ahli Kitab. Maka hendaklah seruanmu yang pertama kepada mereka adalah sya-hadat la ilaha Wallah. Jika mereka sudah mengetahui Allah, kabarkan-lah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima waktu sehari semalam." Mu'adz bin Jabal harus membuat mereka tahu tentang Allah sebelum menyuruh mereka mendirikan shalat dan mem-bayar zakat. Tidak dapat diragukan bahwa ma'rifat seperti ini tidak seperti ma'rifatnya orang-orang Muhajirin dan Anshar. Manusia ber-beda-beda dalam tingkat ma'rifatnya.

2. Musyahadah dengan mata kepala, yang memotong tali kesaksian, mengenakan sifat kesucian dan mengelukan lidah isyarat. Derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama. Sebab derajat perta ma merupakan kesaksian kilat yang berasal dari ilmu mengenai tauhid, sehingga orangnya dapat melihat semua sebab. Sedangkan orang yang ada dalam derajat ini tidak memiliki tali kesaksian, bebas dari sifat-sifat jiwa, dan sebagai gantinya dia mengenakan sifat kesucian serta lidahnya tidak membicarakan isyarat kepada apa yang disaksikannya. Ini merupakan kesaksian wu jud itu sendiri, tanpa disertai kilat dan cahaya, yang berarti derajatnya lebih tinggi.

3. Musyahadah kebersamaan, yang menarik kepada kebersamaan, yang mencakup kebenaran perjalanannya dan menumpang perahu wujud.

Menurut Syaikh, orang yang ada dalam derajat ini lebih mantap dalam kedudukan musyahadah, kebersamaan dan wujud serta lebih mampu membawa beban perjalanannya, yang berupa berbagai macam pengungkapan dan ma'rifat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar