Kesaksian atas Tindakan Hamba
1. Unsur hewani dan mengumbar nafsu
2. Memenuhi ilustrasi naluri dan tuntutan instink
3. Berbuat di luar kehendak
4. Takdir tidak mempunyai campur tangan
5. Hikmah
6. Taufik dan penelantaran
7. Tauhid
8. Asma' dan sifat
9. Iman dan pendukung-pendukungnya
10.Rahmat
11.Kelemahan dan ketidak berdayaan
12.Kehinaan, kepasrahan dan kebutuhan
13.Kecintaan dan ubudiyah.
Empat yang pertama merupakan kesaksian dari orang-orang yang menyimpang, delapan yang lainnya dari orang-orang yang istiqamah, dan yang tertinggi adalah kesaksian kesepuluh.
- Kesaksian Hewani dan Pemenuhan Nafsu
Kesaksian unsur hewani dan pemuasan nafsu merupakan kesaksian orang-orang bodoh, yang membuat mereka tidak berbeda dengan semua jenis hewan kecuali dalam postur dan cara bicara. Hasrat mereka hanya untuk mendapatkan nafsu, entah dengan cara apa pun. Jiwa mereka adalah jiwa hewan dan tidak pernah naik ke derajat manusia, apalagi derajat malaikat. Tapi keadaan masing-masing orang di antara mereka berbedabeda tergantung dari perbedaan unsur hewani yang menjadi sifat dan tabiat mereka.
Di antara mereka ada yang memiliki unsur anjing. Andaikan dia menemukan bangkai yang bisa mengenyangkan seribu anjing, niscaya dia akan menguasainya dan tidak memberikan kesempatan kepada anjinganjing lain untuk mencicipinya. Dia akan menyalak untuk mengusir anjing-anjing yang lain. Sehingga anjing-anjing lain tidak bisa mendekati bangkai itu kecuali dengan cara paksa atau mengalahkannya. Hasratnya yang terpenting adalah mengenyangkan perutnya sendiri, entah dengan makanan apa pun, bangkai atau disembelih, baik atau buruk, dan dia tidak perlu malu karena mengkonsumsi makanan yang buruk. Jika engkau membawanya serta, maka dia akan mengulurkan lidah, dan jika engkau meninggalkannya, dia juga tetap akan mengulurkan lidah. jika engkau memberinya makanan, maka dia akan mengibas-ngibaskan ekor-nya dan berputar-putar di sekelilingmu, namun jika engkau tidak memberinya makan, maka dia akan menyalak
di hadapanmu.
Di antara mereka ada yang jiwanya seperti keledai, yang tidak diciptakan kecuali untuk diberi makan dan dipekerjakan. Jika porsi makanan-nya bertambah, maka porsi kerjanya juga harus bertambah. Keledai merupakan hewan yang paling sedikit bicaranya dan paling bodoh. Karena itu Allah mengumpakan orang bodoh ini dengan keledai yang membawa Al-Kitab. Sekalipun dia membawanya, tapi dia tidak mengetahui, mema-hami dan tidak bisa mengamalkannya. Sementara Allah mengumpamakan ulama yang buruk seperti anjing. Dia diberi pengetahuan tentang ayat-ayat Allah, namun dia menyingkirinya dan lebih suka mengikuti hawa nafsunya.
Di antara mereka ada yang jiwanya seperti hewan buas yang selalu mengumbar amarahnya. Hasratnya adalah bermusuhan dengan orangorang lain, memaksa mereka dengan kekuatannya.
Di antara mereka ada yang jiwanya seperti tikus, yang memiliki tabiat yang kotor dan mendatangkan kerusakan bagi apa pun yang ada di sekitarnya.
Di antara mereka ada yang jiwanya seperti hewan yang beracun dan menyengat, seperti ular, kalajengking dan lain-lainnya. Bahkan dengan matanya pun dia bisa menimbulkan bencana bagi orang lain. Jiwanya bergolak karena amarah dan dorongan rasa dengki dan kesombong-an. Sementara korbannya dicari kelengahannya. Matanya menyengat seperti ular yang menyengat bagian tubuh manusia yang tidak tertutup. Setiap
orang bisa menjadi korbannya, karena itu mereka harus melindungi dirinya dengan baju besi dan tameng, berupa dzikir-dzikir seperti yang disebutkan di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Tapi jika seseorang merasa bahwa dia akan menimpakan bahaya kepada orang Iain yang terpancar lewat matanya, maka dia harus bisa menahan dan menguasainya. Karena di antara jiwa manusia itu ada yang seperti jiwa hewan, maka begitulah penafsiran Sufyan bin Uyainah terhadap
"Dan, tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kalian."
Pengumpamaan ini menjadi rujukan bagi para pena'wil mimpi, karena orang yang bermimpi melihat hewan tertentu dalam mimpinya. Bahkan tidak jarang mimpi-mimpi ini juga kita alami sendiri dan me-mang ada kesesuaian dengan kejadian sesungguhnya, dan ternyata ta'wil itu juga sesuai dengan karakter hewan yang dilihat dalam mimpi. Sewaktu perang Uhud Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bermimpi melihat sapi yang disembelih. Kejadian yang sesungguhnya, banyak orang Mukmin yang dibunuh orang-orang kafir. Sementara titik kesesuaiannya, sapi adalah binatang yang paling banyak manfaatnya bagi kehidupan di dunia, di samping postur badannya yang tinggi, besar, namun mudah dikendalikan dan tunduk. Sedangkan Umar bin Al-Khaththab bermimpi dirinya dipatuki ayam sebanyak tiga kali, hingga kemudian dia dibunuh Abu Lu'lu'ah. Ayam merupakan hewan peliharaan selain bangsa Arab, seperti Abu Lu'lu'ah yang bukan dari bangsa Arab.
Di antara manusia ada yang jiwanya seperti babi. Dia melewati barang- barang yang bagus, tapi menoleh pun tidak. Namun jika ada orang yang membuang sampah, maka dia akan menyantapnya hingga habis. Banyak orang yang mendengar dan melihat hal-hal yang baik pada dirimu, jauh lebih banyak dari keburukan-keburukanmu. Namun dia tidak menjaganya dan tidak menceritakannya seperti kenyataannya. Tapi jika dia melihat sesuatu yang buruk atau aib, maka dia akan menjadikannya sebagai santapan yang empuk.
Di antara mereka ada yang memiliki tabiat burung merak, yang membungkus dirinya dengan bulu-bulunya yang cantik dan menarik serta besolek, namun di dalamnya tidak ada apa-apa.
Di antara mereka ada yang memiliki tabiat seperti onta, hewan yang paling pendengki dan paling kasat hatinya.
Di antara mereka ada yang memiliki tabiat seperti beruang, tidak banyak bicara namun sangat jahat. Dan, masih banyak hewan-hewan lain yang mengindikasikan sifat manusia.
Namun di antara tabiat hewan yang paling terpuji adalah tabiat kuda, yang jiwanya paling baik dan tabiatnya paling mulia. Begitu pula kambing. Maka siapa yang dirinya mempunyai kemiripan dengan hewanhewan ini, maka seakan-akan dia telah mengambil tabiat dan sifat darinya. Jika dia mengkonsumsi dagingnya, maka kemiripan itu tampak lebih nyata. Karena itu Allah mengharamkan daging hewan buas, karena dengan memakan dagingnya, bisa menimbulkan kemiripan dengannya.
Dengan kata lain, siapa yang memiliki kesaksian-kesaksian ini, maka mereka tidak memiliki kesaksian selain kecenderungan terhadap jiwa dan nafsunya, sehingga mereka tidak mengenal yang selain itu.
- Kesaksian Ilustrasi Naluri dan Tuntutan Instink
Seperti kesaksian orang-orang zindiq dan filosof. Mereka menganggap ilustrasi naluri ini merupakan tuntutan diri manusia. Komposisi diri manusia itu terdiri dari empat tabiat yang kemudian bercampur sesuai dengan campuran masing-masing, sebagian bias mengalahkan sebagian yang lain dan ada yang menyimpang dari kewajarannya, tergan-tung dari proses pencampuran itu. Komposisi dirinya yang terdiri dari badan, jiwa, naluri dan campuran-campuran unsur hewan, dikuasai oleh pengaruh naluri dan ilustrasi instink ini, yang tidak bisa diatur kecuali dengan pengatur tertentu, entah berasal dari dirinya atau dari luar dirinya. Sementara mayoritas manusia tidak mempunyai pengatur dari dirinya sendiri. Kebutuhannya terhadap pengatur di atas dirinya membuat dirinya berada di bawah kekuasaannya, seperti kebutuhan manusia terhadap makan, minum dan pakaian. Maka selagi orang yang berakal mempunyai pengatur dari dirinya, maka dia tidak memerlukan perintah, larangan dan kontrol dari orang selain dirinya. kesaksian pada diri
mereka berasal dari aktivitas jiwa yang bisa memilih apa pun yang hendak dipilihnya sendiri, yang tentunya tidak lepas dari kejahatan, seperti aktivitas naluri yang memaksanya, yang tentunya harus menerima perubahan.
- Kesaksian fabariyah
Mereka mempersaksikan bahwa tindakan mereka sudah ditetap-kan, sehingga semua tindakan terjadi begitu saja di luar kekuasaan mereka. Bahkan mereka tidak mau mempersaksikan bahwa semua itu merupakan tindakan mereka sendiri. Mereka berkata, "Pada hakikatnya seseorang bukanlah sang pelaku dan juga tidak berkuasa. Pelakunya adalah orang selain dirinya dan siapa yang menggerakkannya. Dia hanya sekedar sebagai alat, dan tindakannya seperti angin yang berhembus atau seperti gerakan pohon yang dihembus angin. Jika tindakan mereka diingkari, maka mereka berhujjah dengan takdir. Bahkan mereka sangat berlebihan dalam masalah ini, sehingga menganggap semua tindakan mereka merupakan ketaatan, yang baik maupun yang buruk.
- Kesaksian Qadariyah
Mereka mempersaksikan bahwa semua tindak kejahatan dan dosa berasal dari diri manusia dan mutlak berdasarkan kehendaknya, semen-tara Allah tidak mempunyai kehendak apa pun dan tidak mempunyai ketetapan takdir terhadap tindakan manusia, tidak pula kuasa memberi petunjuk maupun menyesatkan, tidak kuasa memberikan ilham petun-juk dan kesesatan. Manusia menciptakan perbuataannya tanpa ada sangkut
pautnya dengan kehendak Allah. Kesaksian-kesaksian berikut ini merupakan kesaksian orang-orang yang istiqamah.
- Kesaksian Hikmah
Maksudnya adalah kesaksian hikmah Allah dalam takdir-Nya terhadap hamba, berkaitan dengan hal-hal yang dibenci, dicela dan yang mendatangkan siksa-Nya. Andaikan Allah menghendaki, tentu Dia akan menghalangi dirinya untuk melakukan hal yang dibenci itu. Tidak ada sesuatu pun di alam ini melainkan berdasarkan kehendak-Nya. Mereka mempersaksikan bahwa Allah tidak menciptakan sesuatu secara sia-sia dan tanpa makna, Dia mempunyai hikmah dalam segala kekuasaan dan ketetapan-Nya, baik maupun buruk, ketaatan maupun kedurhakaan. Di
yang hikmah-Nya bisa ditangkap orang-orang yang berakal. Ketika para malaikat mempertanyakan penciptaan manusia, maka Allah menjawab, ”Aku inengetahui apa yang kalian tidak mengetahuinya."' Yang pertama kali bisa dipersaksikan orang-orang yang memiliki bashirah dengan mata hatinya ialah, "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha-suci Engkau." (Ali Imran: 191).
Berapa banyak tanda-tanda kekuasaan Allah di muka bumi yang menunjukkan keberadaan Allah dan kebenaran rasul-rasul-Nya, bahwa penyebabnya adalah
kedurhakaan anak keturunan Adam dan dosa-dosanya, seperti kaum Nuh yang ditenggelamkan dan keselamatan para penolong dan pengikutnya. Begitu pula kebinasaan kaum Ad dan Tsamud atau lain-lainnya yang muncul di setiap zaman. Allah mempunyai tanda kekuasaan pada diri Fir'aun dan kaumnya, tatkala Musa diutus kepadanya. Andaikan mereka tidak durhaka dan tidak kufur, maka tanda-tanda kekuasaan dan hal-hal yang menakjubkan tidak akan terjadi. Di dalam Taurat disebutkan, "Allah befirman kepada Musa, 'Pergilah kepada Fir'aun karena aku akan mengeraskan hatinya dan menghalanginya untuk beriman, agar Aku dapat tanda-tanda kekuasaan dan kejaiban-Ku di Mesir'."
Begitu pula apa yang diperlihatkan Allah, yang merubah api men-jadi dingin dan merupakan keselamatan bagi Ibrahim, karena dosa dan kedurhakaan kaumnya, hingga akhirnya beliau mendapatkan status kekasih.
dunia mereka tidak ada istilah kemuliaan, pahala, siksa, kebahagian, kesengsaraan dan lain-lainnya.
Ini merupakan satu titik dari lautan hikmah Allah pada makhluk- Nya. Orang yang berilmu bisa melihat apa yang ada di balik semua itu dengan ilmunya, sehingga dia bisa mengetahui keajaiban hikmah Allah yang tidak bisa diungkap lewat kata-kata.
- Tauhid
Seseorang mempersaksikan kesendirian Allah dalam penciptaan dan hikmah. Apa pun yang dikehendaki-Nya pasti akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Tidak ada satu atom pun yang bergerak kecuali dengan izin-Nya. Semua makhluk ada dalam genggaman- Nya dan tidak ada hati melainkan ada di antara dua jari Allah. Dia bias membalik dan mengubahnya menurut kehendak-Nya. Dialah yang mendatangkan ketakwaan ke jiwa orang-orang Mukmin, Dialah yang menunjuki dan mensucikannya, Dialah yang mengilhamkan kesesatan orangorang yang sesat dan fasik. Firman-Nya,
"Dan, siapa yang disesatkan Allah, maka baginya tidak ada orang yang akan memberi petunjuk." (Al-A'raf: 186).
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu mengatakan, "Iman kepada qadar merupakan tatanan tauhid. Siapa yang mendustakan qadar, maka pendustaannya ini telah membatalkan tauhidnya. Siapa yang beriman kepada qadar, maka imannya itu telah membenarkan tauhid."
Dengan kesaksian ini seorang hamba memiliki kemantapan dera-jat iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, dari segi ilmu dan keadaan, sehingga pijakan kakinya pada tauhid Rububiyah menjadi mantap, lalu meningkat ke tauhid Uluhiyah. Siapa yang percayaijahwa mudharat dan manfaat, pemberian dan penahanan, petunjuk dan kesesatan, kebahagiaan dan penderitaan ada di Tangan Allah dan bukan di tangan selain-Nya, bahwa Dialah yang berbuat segala sesuatu menurut kehendak-Nya, berarti dia adalah orang yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan, paling dicintai, paling ditakuti dan paling diharapkan. Ini merupakan tanda tauhid Uluhiyah, yang masuk ke dalam hati lewat pintu tauhid Rububiyah.
- Taufik dan Penelantaran
Orang-orang yang mengetahui tentang Allah sepakat bahwa yang dimaksudkan taufik di sini adalah: Allah tidak memasrahkanmu kepada dirimu sendiri. Sedangkan penelantaran ialah: Allah menyerahkanmu kepada dirimu sendiri. Seorang hamba berganti-ganti keadaan, terkadang dalam taufik-Nya dan terkadang dalam penelantaran-Nya. Bahkan pada satu saat seseorang bisa berada dalam taufik dan juga penelantaran-Nya. Dia taat, ridha dan mensyukuri taufik-Nya, kemudian dia durhaka, ma-rah dan melalaikan-Nya. Yang pasti dia berputar di antara taufik dan penelantaran-Nya. Allah memberinya taufik dengan karunia dan rahmat- Nya, menelantarkannya dengan keadilan dan hikmah-Nya. Allah tetap terpuji dalam dua keadaan ini dan Dia lebih tahu di mana meletakkan masing-masing pada tempatnya.
Dengan kesaksian ini seorang hamba mempersaksikan taufik dan penelantaran Allah, sebagaimana dia mempersaksikan Rububiyah dan dan penciptaan-Nya, lalu memohon taufik-Nya dan berlindung dari penelantaran-Nya dengan penuh kepasrahan dan ketundukan, merasa dirinya tidak mampu mengatur mudharat dan manfaat, hidup dan mati. Dengan kata lain, taufik adalah kehendak Allah terhadap hamba untuk melakukan sesuatu yang bermaslahat baginya, seperti menjadi-kannya mampu melakukan sesuatu yang diridhai-Nya, yang dicintai-Nya dan lebih mementingkan-Nya daripada yang lain serta membenci apa yang dibenci Allah. Ini hanya sekedar perbuatannya, belum yang lain-lain.Firman-Nya: "Tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hati kalian serta menjadikan kalian benci kepada kekufuran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, sebagai karunia dan nikmat dari Allah." (Al-Hujurat: 7-8).
Allah befirman, "Kecintaan kalian kepada iman dan keindahan iman itu di dalam hati kalian, bukan berasal dari dari kalian, tetapi Allahlah yang menjadikan iman itu ada di dalam hati kalian, sehingga kalian lebih mementingkannya dan ridha kepadanya. karena itu janganlah kalian berbuat lancang di hadapan rasul-Ku, janganlah mengatakan sebelum dia mengatakan dan janganlah kalian berbuat sebelum dia memerintah-kan."
Perumpamaan tentang taufik dan penelantaran ini seperti seorang raja yang mengirim utusan kepada segolongan orang dari rakyatnya. Dia menulis
- Asma' dan Sifat
Kesaksian ini lebih tinggi dan lebih luas dari sebelumnya. Yang terlihat dalam kesaksian ini adalah pengetahuan tentang ketergan-tungan makhluk terhadap Asma'ul-husna dan sifat-sifat Allah yang tinggi serta kesempurnaan-Nya. Ini merupakan ma'rifat dan pengetahuan yang paling agung dan mulia. Setiap asma' Allah memiliki sifat khusus yang menggambarkan pujian dan kesempurnaan. Setiap sifat mempunyai konsekuensi dan tindakannya. Tindakan ini berkaitan dengan apa yang ditindakkan, sesuai dengan kelayakannya. Inilah yang berlaku pada penciptaan dan perintah-Nya, pahala dan siksaan-Nya. Semua itu merupakan pengaruh dari Asma'ul-husna dan keharusan-keharusannya.
Asma' Allah Al-Hamid, Al-Majid, Al-Hakim menghalangi Allah untuk membiarkan manusia dalam keadaan sia-sia dan terabaikan, tidak mendapat perintah dan larangan, tidak diberi pahala dan siksa. Asma' Al- Maliku, Al-Hayyu menghalangi Allah untuk menganggur tanpa berbuat apa-apa, karena hakikat hidup adalah berbuat dan setiap yang hidup tentu berbuat. Asma' As-Sami', Al-Bashir mengharuskan Allah untuk mendengar dan melihat segala apa pun, yang kecil maupun yang besar. Asma' Al- Ghaffar, At-Tawwab, Al-Afuwwu mengharuskan adanya kaitan-kaitan dengan asma' ini, seperti keharusan adanya kesalahan yang harus diampuni, taubat yang diterima dan kejahatan yang dimaafkan. Allah juga mencintai siapa pun yang berbuat sesuai dengan asma' dan sifat-sifat-Nya. Allah yang Al-Alim mencintai orang yang berilmu. Allah yang
Al-Witru mencintai shalat witir. Allah yang Al-Jamil mencintai keindahan. Allah yang Asy-Syakur mencintai orang yang bersukur. Begitu pula dengan asma' dan sifat-sifat-Nya yang lain.
- Tambahan Iman Pendukung-pendukungnya
Ini merupakan kesaksian yang paling halus dan paling khusus bagi orang-orang yang memiliki ma'rifat. Boleh jadi orang yang mendengar-nya akan menolak kesaksian ini dengan berkata, "Bagaimana mungkin iman bisa bertambah karena ada dosa dan kedurhakaan? Bukanlah itu justru mengurangi iman? Sementara orang-orang salaf juga sudah sepakat, bahwa iman bisa bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kedurhakaan."
Kesaksian ini berasal dari orang yang memiliki ma'rifat, yang jeli
melihat dosa dan kedurhakaan pada dirinya maupun pada orang lain, serta pengaruh yang diakibatkannya. Hasilnya lebih lanjut, dia mendapatkan salah satu panji nubuwah dan keterangan yang jelas tentang kebenaran para rasul serta apa yang dibawa para rasul itu. Sementara para rasul memerintahkan manusia kepada perkara-perkara yang membawa kebaikan zhahir dan batinnya, mencegah mereka dari hal-hal yang mendatangkan kerusakan dalam kehidupannya. Mereka memberitahukan bahwa Allah mencintai ini dan itu, membenci ini dan itu, memberi pahala ini dan itu, menghukum ini dan itu. Jika Allah ditaati karena apa yang diperintahkan-Nya, maka Dia mensyukurinya dengan memberikan tambahan ketaatan, kenikmatan di badan dan hati, sehingga hamba merasakan betul tambahan ini. Jika Allah didurhakai, maka akan mengakibat-kan munculnya kelemahan, kerusakan dan kehinaan. Allah befirman tentang dua fenomena ini : "Dan, hendaklah kalian meminta ampun kepada Rabb kalian dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kalian mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepada kalian sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiaptiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keuta-maannya." (Hud: 3).
"Dan, barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (Thaha: 124).
- Rahmat
Jika seseorang berbuat salah atau durhaka terhadap orang lain, maka dari hati orang yang didurhakai ini muncul sifat kekerasan, kekasaran dan amarah. Bahkan andaikan mampu, dia akan melibasnya dan berdoa kepada Allah untuk mencelakakan serta menghukumnya, karena dorongan amarah di dalam hatinya dan ambisinya agar tidak didurhakai. Di dalam hatinya tidak ada sedikit pun rasa belas kasihan terhadap orang yang bersalah kepadanya, dia memandangnya dengan pandangan mencemooh, mencaci dan mencelanya. Tapi jika karena satu sebab tertentu orang yang bersalah ini menghadap kepadanya layaknya seorang tawanan, merengekrengek sambil meminta belas kasihannya, memohon layaknya orang yang terpaksa, maka kekerasan hati itu akan berubah menjadi kelembutan dan kasih sayang. Yang tadinya dia mendoakan kecelakaan baginya, berubah mendoakan keselamatan baginya dan memohonkan ampunan kepada Allah. Ini merupakan kesaksian yang nyata bagi manusia dan mengandung pengertian yang besar.
- Kelemahan dan Ketidak berdayaan
Kesaksian yang kesepuluh melahirkan kesaksian ini, bahwa hamba terlalu lemah dan terlalu tidak berdaya untuk menjaga dirinya sendiri, bahwa dia tidak mempunyai daya dan kekuatan kecuali yang datang dari Allah. Hal ini memberikan kesaksian kepada hatinya, bahwa dia seperti sehelai bulu yang jatuh di
Beginilah keadaan hamba di hadapan Allah dan bahkan di hadap-an musuh-musuhnya dari syetan-syetan yang berupa jin dan manusia. Jika Allah melindungi dan menjaganya, maka mereka tidak akan mampu berbuat apa pun terhadap dirinya. Jika Allah membiarkan dan menelan-tarkannya, walau sekejap mata pun, maka dia akan menjadi bagian bagi siapa pun di antara mereka yang beruntung mendapatkan dirinya.
Dengan kesaksian ini seorang hamba bisa mengetahui dirinya secara hakiki dan sekaligus mengetahui Rabb-nya. Ini merupakan salah satu ta'wil dari pepatah yang sudah terkenal, "Siapa yang mengetahui dirinya, tentu mengetahui Rabb-nya." Tapi perlu dicatat, ini hanya sekedar perkataan seseorang dan bukan hadits dari Rasulullah. Di
kenalilah Rabb-mu, niscaya engkau akan mengenali dirimu sendiri."
1. Siapa yang mengetahui kelemahan dirinya, tentu mengetahui kekuatan Rabb-nya. Siapa yang mengetahui ketidakberdayaan dirinya, tentu mengetahui kekuasaan-Nya. Siapa yang mengetahui kehinaan dirinya, tentu mengetahui kemuliaan-Nya. Siapa yang mengetahui kebodohan dirinya, tentu mengetahui ilmu-Nya. Allah memiliki kesempurnaan, pujian dan kekayaan secara total, sedangkan hamba adalah yang miskin dan serba kurang serta selalu membutuhkan. Seberapa jauh seseorang mengetahui kadar kehinaan, kelemahan, kemiskinan dan kebodohan dirinya, maka sejauh itu pula dia bisa mengetahui sifat-sifat kesempurnaan Rabb-nya.
2. Siapa yang memandang sifat-sifat pujian, kehidupan, kekuatan dan kehendak pada dirinya, maka dia mengetahui bahwa yang memberi-nya semua itu lebih layak memiliki semua pemberian itu. Yang member! kesempurnaan lebih layak mempunyai kesempurnaan itu. Bagai-mana mungkin seorang hamba bisa hidup, berbicara, mendengar, melihat, berkehendakdan berilmu, sementara yang menciptakannya tidak mampu melakukan semua itu? Tentu saja ini mustahil. Yang membuat hamba bisa berbicara, lebih mampu berbicara. Siapa yang membuat hamba bisa hidup, berilmu, mendengar, melihat dan berbuat, lebih layak dan lebih mampu melakukan semua itu. Ini merupakan ta'wil dari sisi kelayakan, sedangkan ta'wil yang perta-ma dari sisi kebalikannya.
3. Ini merupakan ta'wil dari sisi penafian. Artinya, andaikan engkau tidak mengetahui dirimu sendiri, padahal engkaulah yang paling dekat dengan dirimu, maka engkau pun tidak akan tahu hakikat dan seluk beluk dirimu. Jika seperti ini keadaannya, maka bagaimana mungkin engkau tahu Rabb-mu, seluk beluk dan sifat-sifat-Nya?
Kesaksian ini membuat hamba tahu bahwa dirinya adalah lemah dan tidak berdaya, sehingga membuat dirinya tidak akan membual dan tidak mengandalkan kepada kemampuan diri sendiri, membuatnya tahu bahwa dia tidak berkuasa sedikit pun terhadap dirinya. Dari kesaksian inilah lahir kesaksian berikutnya.
- Kehinaan, Kepasrahan dan Kebutuhan
Dengan setiap atom lahir dan batinnya dia memberikan kesaksian tentang kebutuhannya kepada Penolong dan Rabb-nya, yang di Tangan- Nyalah terletak kemaslahatan, petunjuk, keberuntungan dan kebahagiaannya. Keadaan yang terasa di dalam hati ini tidak bisa diungkap dengan kata-kata, tapi bisa diketahui secara persis oleh orang yang be-narbenar merasakannya. Kepasrahan hatinya kepada Rabb tidak bisa
diserupakan dengan apa pun. Dia melihat dirinya seperti secuil pecahan kaca di tanah, tidak dianggap, tidak dipedulikan dan tidak diminati siapa pun. Dia melihat kebaikan Rabb terhadap dirinya terlalu banyak dan melimpah, sementara ketaatan-ketaannya
kepada Rabb terlihat terlalu sedikit. Siapa yang melihat pemenuhannya terhadap hak-hak Rabb terlalu sedikit dan melihat kedurhakaan dan dosanya terlalu banyak, maka akan
membuat hatinya tunduk dan pasrah kepada-Nya.
Hati yang paling dicintai adalah hati yang diisi kepasrahan, kehinaan
dan ketundukan ini. Kepalanya merunduk di hadapan Rabb-nya, tidak berani mendongak kepada-Nya karena malu dan sungkan. Di antara orang arif pernah ditanya, "Apakah hati itu bisa bersujud?" Maka dia menjawab, "Bisa. Hati itu sujud dengan cara tidak mendongakkan kepalanya hingga saat berdua dengan-Nya. Inilah sujudnya hati."
Orang yang mempunyai kesaksian ini melihat dirinya seakan seorang anak yang ada dalam pemeliharaan ayahnya. Sang ayah memberinya makanan dan minuman yang lezat, pakaian yang bagus, mendidiknya dengan penuh kasih sayang, memperhatikan pertumbuhannya dan menangani semua keperluannya. Suatu hari sang ayah menyuruhnya untuk suatu keperluan. Di tengah jalan ada musuh yang menculiknya lalu
membawanya ke daerah musuh. Di
Begitulah keadaan Allah, jika ada seorang hamba yang lari menghampiri- Nya, setelah hamba itu dapat membebaskan diri dari cengkeraman musuh, lalu memasrahkan diri sambil tersungkur di ambang pintu- Nya, sambil menitikkan air mata dia berkata, "Ya Rabbi, wahai Rabb-ku, kasihilah aku yang tiada pengasih selain Engkau dan yang tiada penolong, penjaga dan pelindung selain Engkau. Akulah orang yang miskin dan fakir, yang memohon dan mengharapkan-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan tempat kembali kecuali kepada Engkau."
Dikatakan dalam sebuah syair : "Wahai yang paling layak diharapkan perlindungan yang dijadikan tempat berlindung dari kesalahan Dialah yang berkuasa menghinakan manusia Dia pula yang memuliakan jika menghendakinya."
Jika kesaksian ini sudah diketahui dan bersemayam di dalam hati seorang hamba, bisa menyatu dengannya dan dia merasakan manisnya, maka kesaksian ini menanjak ke
kesaksian yang lebih tinggi lagi.
- Ubudiyah dan Cinta
Kesaksian ubudiyah, cinta dan kerinduan untuk bersua dengan Allah ini merupakan sasaran yang dituju orang-orang yang meniti jalan kepa-da Allah. Dengan kesaksian ini hatinya menjadi senang dan anggota tubuhnya merasa tentram. Dzikir senantiasa membasahi lidah dan hatinya Cinta dan taqarrub menggantikan tempat kedurhakaan dan pembangkangan kepada-Nya. Hati diisi dengan cinta dan lidah dibasahi dzikir kepada-Nya. Memang ketundukan yang khusus ini mempunyai pengaruh yang sangat menakjubkan terhadap cinta, yang tak bisa diungkap dengan kata-kata.
Seorang arif berkata, "Aku mencoba masuk ke tempat Allah dari berbagai macam pintu ketaatan. Namun aku tidak bisa masuk karena semua pintu penuh dengan kerumunan orang yang juga ingin masuk. Maka aku mencoba masuk dari pintu kehinaan. Ternyata pintu ini justru lebih dekat dan lebih luas untuk sampai ke tempat Allah, tidak ada kerumunan dan tidak berdesak-desakan. Ketika aku menapakkan kaki, Allah menghela tanganku dan menuntunku masuk."
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Siapa yang menghendaki kebahagiaan yang abadi, maka hendaklah dia masuk dari pintu ubudiyah."
Seorang arif berkata, "Tidak ada jalan yang lebih dekat untuk sampai kepada Allah selain dari ubudiyah, tidak ada penghalang yang lebih kokoh selain dari bualan, tidak ada gunanya amal dan usaha yang disertai ujub dan takabur, tidak ada mudharat merendahkan diri sekalipun tanpa amal, yakni setelah semua kewajiban dilaksanakan."
Inilah yang bisa dirasakan sebagian dari pengaruh cinta Allah kepada hamba dan kegembiraan-Nya terhadap taubat hamba. Sebab Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan sangat gembira karena taubat mereka.
Selagi seorang hamba mengetahui kemurahan hati Allah sebelum dia berbuat dosa, ketika berbuat dosa dan sesudahnya, melihat kebaikan dan kasih sayang-Nya, tentu di dalam hatinya bergolak rasa cinta dan kerinduan untuk bersua dengan-Nya. Sebab hati itu diciptakan untuk mencintai siapa yang berbuat baik kepadanya. Lalu kebaikan macam
apakah yang lebih besar daripada Dzat yang mengetahui kedurhakaan hamba, lalu justru memberinya nikmat, memperlakukannya dengan lemah lembut, menutupi aibnya, menjaganya dari serangan musuh yang selalu mengintainya dan menjadi penghalang di antara keduanya? Semua ada dalam pengamatan dan penglihatan-Nya. Padahal langit sudah meminta izin untuk menindihnya, bumi sudah meminta izin untuk menelannya dan
laut sudah meminta izin untuk menenggelamkannya.
Di dalam Musnad Al-Imam Ahmad telah disebutkan dari Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda :
"Tidak ada satu hari pun yang berlalu melainkan laut meminta izin kepada Rabbnya untuk menenggelamkan Bani Adam.
Nya untuk segera menangani dan memati-kan mereka. Sementara Allah befirman, 'Biarkanlah hamba-Ku. Aku lebih tahu tentang dirinya ketika Aku menciptakannya dari tanah. Andaikan ia hamba kalian, maka urusannya terserah kalian. Karena ia hamba-Ku, maka ia berasal dari-Ku dan urusannya terserah kepada-Ku. Demi kemuliaan dan
keagungan-Ku, jika hamba-Ku datang kepada-Ku pada malam hari, maka Aku menerimanya. Jika ia datang kepada-Ku pada siang hari, maka Aku menerimanya. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia berjalan
kepada-Ku, maka Aku berlari-lari kecil kepadanya. Jika ia meminta ampun kepada-Ku, maka Aku mengampuninya. Jika ia meminta maaf kepada-Ku, maka Aku memaafkannya. Jika ia bertaubat kepada- Ku, maka Aku menerima taubatnya. Siapakah yang lebih murah hati dan mulia dari-Ku, padahal Akulah yang paling murah hati dan mulia? Pada malam hari hamba-hamba-Ku menampakkan dosa-dosa besar kepada-Ku, padahal Akulah yang melindungi mereka di tempat tidurnya dan Akulah yang menjaga mereka di kasurnya. Siapa yang menghadap kepada-Ku, maka Aku menyambutnya dari jauh. Siapa yang tidak beramal karena Aku, maka Aku memberinya lebih dari tam-bahan. Siapa yang berbuat dengan daya dan kekuatan-Ku, maka Aku melunakkan besi baginya.
Siapa yang menginginkan seperti yang Ku-inginkan, maka Aku pun menginginkan seperti apa yang ia inginkan. Orang-orang yang berdzikir kepada-Ku adalah mereka yang ada dalam majlis-Ku. Orang-orang yang bersyukur kepada-Ku adalah mereka yang menginginkan tambahan dari-Ku. Orang-orang yang taat kepada- Ku adalah mereka yang mendapat kemuliaan-Ku. Orang-orang yang durha-ka kepada-Ku tidak Kubuatputus asa terhadap rahmat-Ku. Jika mereka bertaubat kepada-Ku, maka Aku adalah kekasih mereka, dan jika mereka tidak mau bertaubat kepada-Ku, maka Aku adalah tabib mereka. Aku akan menguji mereka dengan musibahmusibah, agar Aku mensucikan mereka dari noda-noda'."
Inabah kepada Allah
Seperti yang sudah engkau ketahui, bahwa siapa yang berada di tempat persinggahan taubat, berarti dia berada di seluruh tempat persinggahan Islam, sebab taubat sudah meliputi segalanya. Tapi bagaima-na pun juga tempat-tempat persinggahan yang lain ini perlu rincian dan perlu disebutkan, agar ada kejelasan hakikat, kekhususan dan syarat-syaratnya.
Jika kaki seorang hamba sudah mantap berada di tempat persinggahan taubat, maka setelah itu dia beralih ke tempat persinggahan "Inabah" (kembali kepada Allah). Allah telah memerintahkan inabah ini di dalam Kitab-Nya, seperti firman-Nya :
"Dan, kembalilah kalian kepada tuhanmu." (Az-Zumar: 54).
Allah juga mengabarkan bahwa yang mau mengambil pelajaran dari ayat-ayat
Allah dan menjadikannya sebagai peringatan adalah orangorang yang kembali kepada-Nya :
"Maka apakah mereka tidak melihat langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun? Dan, Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gununggunungyang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (kepada Allah)." (Qaf: 6-8).
Allah juga mengabarkan bahwa pahala dan surga-Nya diberikan kepada orang-orang yang takut dan kembali kepada-Nya :
"Dan, didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepada-mu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya), yaitu orang yang takut kepada Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (oleh-nya) dan dia datang dengan hati yang kembali (kepada Allah). Masukilah surga itu dengan aman." (Qaf: 31-34).
Allah juga mengabarkan bahwa kabar gembira hanya diberikan kepada orang-orang kembali kepada-Nya :
"Dan, orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira." (Az-Zumar: 17).
Inabah ada dua macam:
1. Inabah kepada Rububiyah Allah. Ini merupakan inabah-nya semua makhluk, entah orang Muslim atau kafir, orang baik maupun orang jahat
"Dan, apabila manusia disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Rabbnya dengan kembali kepada-Nya." (Ar-Rum: 33).
Ini merupakan hak siapa pun yang berdoa kepada Allah saat dia menda-pat bahaya. Inabah ini tidak mengharuskan adanya Islam, karena ini juga meliputi orang-orang musyrik dan kafir. Allah befirman tentang mereka :
"Kemudian apabila Dia merasakan kepada mereka barang sedikit rah-mat daripada-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan Rabbnya, sehingga mereka mengingkari rahmat yang telah Kami berikan kepada mereka." (Ar-rum: 33-34).
Itulah keadaan mereka setelah mereka kembali kepada Allah.
- Inabah kepada Uluhiyah Allah, dan ini merupakan inabah-nya waliwali Allah, yaitu inabah ubudiyah dan cinta, yang meliputi empat macam: Cinta, tunduk, menghadap kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya. Tidak ada sebutan munib (orang yang ber-inabah) kecuali bagi orang yang menghimpun empat perkara ini.
Pengarang Manazilus-Sa'irin (Abu Ismail) menjelaskan, bahwa inabah menurut bahasa adalah kembali kepada kebenaran, yang bisa dibagi menjadi tiga macam:
- Kembali kepada kebenaran karena ingin perbaikan, sebagaimana kembali kepada kebenaran karena ingin menyatakan kesalahan dan meminta maaf Karena orang yang bertaubat telah kembali kepada Allah dengan menyatakan kesalahannya dan membebaskan diri dari kedurhakaan kepada-Nya, maka untuk menyempurnakan hal ini dia harus kembali kepada Allah dengan usaha dan nasihat agar dia senantiasa taat kepada- Nya. Tidak ada artinya taubat sambil duduk ongkang-ongkang tan-pa usaha. Jadi harus ada taubat dan amal shalih, dengan meninggalkan apa yang dibenci Allah dan mengerjakan apa yang dicintai-Nya, sebagaimana firman-Nya, "...kecuali orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih." (Al-Furqan: 70).
Kembali kepada Allah menjadi benar dengan tiga cara:
- Keluar dari dosa dan kesalahan. Caranya dengan taubat dari dosa antara hamba dengan Allah dan memenuhi hak manusia.
- Menderita atas kesalahan yang dilakukannya dan hatinya merasa sesak. Sebab ini merupakan tanda orang yang kembali kepada Allah. Berbeda dengan orang yang hatinya tidak pernah merasa sesat dan tidak pula menderita karena kesalahannya, yang sekaligus menunjukkan kerusakan hatinya. Bahkan dia juga menderita jika ada orang lain yang melakukan kesalahan, seakan-akan dialah yang melakukannya.
- Mencari-cari ketaatan dan taqarrub yang tidak dilakukannya, terlebih lagi jika dia merasa sisa umurnya tinggal sedikit, sehingga dia akan menghidupkan apa yang dia matikan dan mencari apa yang tertinggal.
2. Kembali kepada Allah karena ingin memenuhi hak, sebagaimana ia kembali karena ingin menepati per janjian dengan-Nya. Engkau kemba li kepada Allah, pertama-tama dengan masuk ke dalam ikatan perjan- jian, dan kedua kalinya engkau memenuhi perjanjian itu. Semua sisi agama merupakan perjanjian dan pemenuhan. Allah telah membuat perjanjian dengan semua mukallaf agar mereka taat kepada-Nya. Dia membuat perjanjian dengan para nabi dan rasul lewat perkataan para malaikat atau secara langsung, membuat perjanjian dengan umat manusia lewat para rasul, membuat perjanjian dengan orang-orang yang bodoh lewat para ulama, membuat perjanjian dengan para ulama lewat belajar dan mengajar. Untuk itu Allah memuji orang-orang yang memenuhi perjanjian dengan Allah dan mengabarkan bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar,
"Dan, barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan
memberinya pahala yang besar." (Al-Fath: 10).
"Dan, tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kalian berjanji." (An- Nahl: 91).
Perjanjian dengan Allah ini mengharuskan adanya pemenuhannya se-cara ikhlas, disertai iman dan ketaatan kepada-Nya serta pemenuhan janji dengan manusia. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mengabarkan bahwa di antara tanda-tanda kemunafikan adalah mengkhianati janji. Tidak ada artinya seseorang kembali kepada Allah jika dia mengkhianati janji, begitu pula jika dia tidak masuk ke dalam perjanjian dengan-Nya. Sebab inabah tidak akan terwujud kecuali dengan membuat perjanjian
dengan Allah dan sekaligus memenuhinya. Kembali kepada Allah karena ingin memenuhi janji dapat menjadi benar dengan tiga cara:
- Membebaskan diri dari kenikmatan dosa. Jika inabah kepada Allah benar-benar tulus, maka kenikmatan dosa juga akan hilang dari pikiran dan hati, yang kemudian diisi dengan kegelisahan dan kegundahan karena ingat dosa itu. Selagi di dalam hatinya masih ada ke nikmatan dosa itu, berarti inabah-nya belum murni.
- Tidak mengabaikan orang-orang yang lalai karena waspada dan takut terhadap mereka, dan berharap untuk diri sendiri. Engkau berharap kebaikan untuk diri sendiri. Engkau mengharapkan rahmat bagi dirimu dan takut terhadap orang-orang yang lalai lagi menderita. Tapi tetaplah mengharap rahmat bagi mereka dan takutlah penderitaan bagi dirimu. Kalau perlu celalah mereka jika memang engkau mengetahui keadaan mereka.
- Mencermati kekurangan dalam berbuat kebajikan, yaitu dengan memeriksa hal-hal yang mengotori amalnya, yang boleh jadi amalnya lebih banyak dilandasi nafsu, sementara engkau tidak menyadarinya. Berapa banyak penyakit dan tujuan-tujuan yang mendekam di dalam jiwa, yang menghambat amal. Sebab ada seseorang melakukan suatu amal yang tidak diketahui orang lain, namun dia melakukannya tidak secara ikhlas karena Allah, sementara ada orang lain yang melakukan suatu amal namun dia melakukannya secara ikhlas karena Allah. Tidak ada yang bisa membedakan dua keadaan ini kecuali orang yang memiliki bashirah. Antara amal dan hati terdapat jarak perjalanan, yang di
dalamnya akan muncul cahaya, sehingga membuat dirinya tahu mana yang haq dan mana yang batil. Kemudian antara hati dan Allah juga ada jarak perjalanan, yang di
3. Kembali kepada Allah secara seketika, sebagaimana dorongan untuk memenuhi seruan, yang bisa menjadi benar dengan tiga cara:
- Merasa putus asa terhadap amal yang dilakukan. Hal ini bisa ditafsiri dengan dua macam penafsiran: Pertama, dengan melihat pelaku yang sebenarnya dan penggerak pertama. Kalau bukan karena kehendak- Nya, maka tidak ada perbuatan yang muncul dari dirimu. Karena kehendak-Nyalah ada perbuatanmu, dan itu bukan karena semata kehendakmu sendiri. Kedua, merasa putus asa akan mendapatkan keselamatan karena amal diri sendiri. Engkau melihat keselamatan ini hanya berasal dari rahmat Allah dan karunia-Nya. Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Sekali-kali seseorang di antara kalian tidak akan selamat karena amalnya". Mereka bertanya, "Tidak pula engkau wahai Rasulullah? "Beliau menjawab, "Tidak pula aku, kecuali jika Allah melimpahiku dengan rahmat dan karunia dari-Nya."
- Merasakan adanya kebutuhan secara terus-menerus. Apabila pada awal mula seoranghamba merasa putus terhadap amalnya, lalu akhirnya dia merasa putus asa terhadap keselamatannya, maka dia akan merasa membutuhkan Allah, dalam segala hal. Sifat kekayaan hanya milik Allah dan sifat kemiskinan menjadi milik hamba.
- Merasakan kasih sayang Allah terhadap dirimu. Jika engkau sudah melihat kekuatan yang hanya dimiliki Allah dan engkau merasa putus asa terhadap amalmu sendiri, maka engkau akan melihat bagaimana kasih sayang Allah yang diberikan kepadamu. Allahlah yang berbuat baik dengan menciptakan sebab akibat, dan yang semua urusan ada di Tangan-Nya.
Tadzakkur dan Tafakkur
Tadzakkur artinya mengambil pelajaran dan tafakkur berarti memikirkan atau mengamati. Tadzakkur yang menjadi tempat persinggahan hati merupakan pasangan inabah. Allah befirman : "Dan, tiadalah yang mau mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah)." (Al-Mukmin: 13).
Tadzakkur ini merupakan sifat yang khusus bagi orang-orang yang mau berpikir dan berakal, sebagaimana firman-Nya : "Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran." (Ar-Ra'd: 19).
Tadzakkur dan tafakkur merupakan dua tempat persinggahan yang membuahkan berbagai macam ma'rifat, hakikat iman dan kebajikan. Orang yang memiliki ma'rifat senantiasa mengembalikan tadzakkur kepada tafakkur, dan mengembalikan tafakkur kepada tadzakkur, hingga dapat membuka gembok hatinya.
Pengarang Manazilus-Sa'irin menjelaskan bahwa tadzakkur setingkat di atas tafakkur. Sebab tafakkur itu merupakan pencarian, sedangkan tadzakkur merupakan wujud. Maksudnya, tafakkur adalah mencari tujuan se-menjak dari permulaannya, seperti yang dikatakan dalam pepatah, "Tafakkur adalah mencari bisikan hati, untuk mengetahui keinginannya." Tadzakkur merupakan wujud, karena ia ada setelah ada tafakkur, yang bisa hilang karena lupa. Jika ingat, maka tadzakkur ini pun ada.
Tadzakkur merupakan kata aktiva dari dzikr (ingat), kebalikan dari lupa. Artinya hadirnya gambaran sesuatu yang diingat dan diketahui di dalam hati. Kedudukan tadzakkur di samping tafakkur sama dengan kedudukan perolehan sesuatu yang dituntut setelah memeriksa dan menyelidikinya. Karena itu ayat-ayat Allah yang dibaca dan dapat disaksikan merupakan peringatan, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat- Nya yang dibaca : "Dan, sesungguhnya telah Kami berikan petunjuk kepada Musa, dan Kami wariskan Taurat kepada Bani Israel, agar menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berpikir." (Al-Mukmin: 53-54).
Allah befirman dalam ayat-ayat-Nya yang bisa disaksikan : "Maka apakah mereka tidak melihat langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retaksedikitpun?Dan, Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah)." (Qaf: 6-8).
Manusia ada tiga macam:
1. Orang yang hatinya mati dan seakan-akan dia tidak mempunyai hati. Ayat Allah tidak akan menjadi peringatan bagi hati ini.
2. Orang yang mempunyai hati yang hidup dan siap, namun ia tidak memperhatikan ayat-ayat Allah yang dibaca, yang mengabarkan ayat-ayat-Nya yang dapat disaksikan, entah karena ayat-ayat itu memang tidak sampai kepadanya, karena dia sibuk dengan halhal yang lain, entah karena sebab lain. Orang seperti ini hatinya pergi entah ke mana dan tidak ada di tempat. Hati ini juga tidak mempan oleh peringatan, sekalipun sebenarnya ia siap.
3. Orang yang hatinya benar-benar hidup dan siap. Bila ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya, maka ia pun menyimak dengan pendengarannya, menghadirkan hatinya, sibuk memahami apa yang didengarnya. Hati seperti inilah yang bisa mengambil manfaat dari ayat-ayat yang dibaca maupun ayat-ayat yang disaksikan.
Orang pertama seperti orang buta yang sama sekali tidak bisa melihat. Orang kedua seperti orang yang dapat melihat, namun arahnya tidak tepat pada sasaran yang mestinya dilihat. Dua orang ini sama-sama tidak bisa melihat Allah. Orang ketiga seperti orang yang dapat melihat dan memusatkan pandangan ke sasarannya, baik dari jarak yang dekat maupun jauh. Inilah orang yang dapat melihat Allah. Mahasuci Allah yang menjadikan kalam-Nya obat penyembuh dari penyakit yang menghimpit dada.
Pengarang Manazilus-Sa'irin menjelaskan bahwa bangunan tadzakkur itu ada tiga macam:
1. Mengambil manfaat dari izhah. Maksud izhah di sini adalah perintah dan larangan, yang lebih dikenal dengan istilah at-targhib wat-tarhib. Izhah ada dua macam: Izhah dengan pendengaran dan dengan penglihatan. Izhah dengan pendengaran ialah mengambil manfaat dari petunjuk dan nasihat yang didengar, yang disampaikan para rasul atau apa yang diwahyukan kepada mereka, atau dari siapa pun yang menyampaikan nasihat, demi kemaslahatan agama dan dunia. Sedangkan izhah dengan penglihatan ialah mengambil manfaat dari apa pun di dunia ini yang bisa dilihat dari tanda-tanda kekuasaan Allah dan yang menunjukkan kebenaran para rasul. Mengambil manfaat dari izhah tidak bisa dilakukan kecuali setelah ada tiga perkara: Sangat membutuhkan izhah itu, tidak melihat aib pemberi izhah dan mengingat janji serta ancaman.
2. Mencari kejelasan lewat pelajaran. Karena tadzakkuritu berarti mencermati makna-makna yang diperoleh dengan memikirkan ayat-ayat dan pelajaran, maka tadzakkur ini bisa didapatkan dengan tafakkur. Sementara tekad untuk melanjutkan perjalanan tergantung pada kekuatan pengetahuan tentang perjalanannya, sebab pengetahuan inilah yang memberi batasan gerak dan tujuan. Jika perasaan terhadap kekasih semakin kuat, maka perjalanan hati pun juga menjadi tegar. Jika pikiran terpusat ke perjalanan ini, maka perasaan juga semakin terarah kepadanya. Mencari kejelasan dengan pelajaran ini dapat dilakukan dengan tiga perkara: Dengan akal yang hidup, mengetahui lamanya perjalanan dan selamat hingga sampai ke tujuan.
3. Mencari buah pikiran. Ini merupakan masalah yang sangat lembut dan sensitif. Pikiran itu mempunyai dua buah: Mendapatkan apa yang dicari secara utuh sebisa mungkin, dan berbuat sebagaimana lazimnya untuk memenuhi hak. Saat hati sedang memikirkan, maka boleh jadi bebannya terlalu berat sehingga menghambatnya untuk memperoleh apa yang diinginkan. Jika hati sudah kembali normal dan akal menjadi tenang, maka ia kembali seperti keadaan semula dan ingat lagi apa yang dicarinya. Memang masalah ini agak rumit untuk dipahami. Tapi sekedar sebagai gambaran, orang yang mencari harta tentu terus bersemangat dan bersungguh-sungguh mencarinya, sekalipun dia dalam keadaan letih dan penat. Jika dia sudah mendapatkannya, maka dia pun merasa tenang dan pulang sambil membawa
keuntungan perdagangannya. Jika dia orang yang benar, maka dia akan mem-belanjakan hartanya untuk hal-hal yang bermanfaat baginya.
Buah pikiran bisa dipetik dengan tiga cara: Tidak mengumbar harapan, menyimak Al-Qur'an, dan meninggalkan lima perkara yang merusak hati : Tidak banyak bergaul, tidak mengumbar angan-angan, tidak bergantung kepada selain Allah dan mengurangi makan serta sedikit tidur. Karena ini merupakan tingkatan yang paling tinggi dari tadzakkur, maka kami akan mengupasnya dengan porsi yang lebih banyak.
Tidak mengumbar harapan artinya menyadari tentang dekatnya per jalanan dan begitu singkatnya tempo kehidupan. Ini merupakan perkara yang paling bermanfaat bagi hati, karena yang demikian ini bisa mendorong seorang hamba untuk mengefektifkan waktu yang terus berlalu seperti awan dan untuk segera membalik lembaran-lembaran hidupnya, menggugah hasratnya kepada akhirat, mendorongnya untuk segera menyentuh
garis finish dan berzuhud di dunia, pandangannya hanya tertuju ke akhirat. Dengan begitu di dalam hatinya ada kesaksian yang memberi keyakinan tentang dunia yang fana dan begitu cepat ia berlalu serta tertinggal di belakang. Di hadapannya terpampang akhirat yang kekal dan semua akan menuju ke sana. Sebagai bukti agar harapan ini tidak diumbar
adalah firman Allah : "Dan (ingatlah) akan hari (yang pada waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa pada hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat saja pada siang hari (pada waktu itu) mereka saling berkenalan." (Yunus: 45).
"Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakanakan tidak tinggal (di dunia) melainkan(sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.”(An-Nazi'at: 46).
Pada suatu sore ketika matahari berada di pucuk bukit, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berpidato di hadapan para shahabat : "Sesungguhnya tidak ada yang menyisa dari dunia yang sudah berlalu melainkan seperti apa yang menyisa dari hari kalian yang sudah berlalu ini."
Ketika beliau sedang melewati sebagian shahabat yang sedang memperbaiki gubuk mereka yang sudah reyot, maka beliau bertanya, "Apa ini?" Mereka menjawab, "Kami sedang memperbaiki gubuk milik kami." Beliau bersabda, "Aku tidak melihat urusan hidup ini melainkan lebih cepat rusaknya daripada gubuk kalian ini."
Tidak mengumbar harapan ini didasarkan pada dua hal: Pertama, meyakini kefanaan dunia dan perpisahan dengannya. Kedua, kekekalan akhirat dan kepastian bersua dengannya. Kemudian dua perkara ini dibandingkan, dan tentukan mana yang lebih dipentingkan.
Menyimak Al-Qur'an artinya memusatkan perhatian hati ke maknamaknanya, memusatkan pikiran untuk mengamati dan memikirkannya. Inilah maksud diturunkannya Al-Qur'an, dan bukan sekedar membacanya tanpa pemahaman, pendalaman dan perhatian. Firman-Nya : "Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh
dengan barakah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. "(Shad: 29).
Al-Hasan berkata, "Al-Qur'an diturunkan agar diperhatikan dan diamalkan. Maka amalkanlah apa yang kalian baca."
Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi hamba di dunia dan di akhirat serta yang lebih dekat dengan keselamatannya selain dari mendalami dan memperhatikan Al-Qur'an serta memikirkan makna ayat-ayatnya, karena makna-makna ini akan menunjukkan tanda-tanda kebaikan dan keburukan dengan segala hiasannya, menunjukkan jalan, sebab dan buah kebaikan dan keburukan, menyodorkan kunci-kunci simpanan keba-hagiaan dan ilmu yang bermanfaat, meneguhkan sendi-sendi iman di dalam hati, mengokohkan bangunannya, memperlihatkan gambaran dunia dan akhirat, surga dan neraka, memperlihatkan keadaan berbagai umat, keadilan Allah dan karunia-Nya, Dzat, sifat, asma dan perbuatan-Nya, apaapa yang dicintai dan dibenci-Nya, menunjukkan jalan yang
menghantarkan kepada-Nya, penghambat-penghambat jalan dan ujian-nya, memperlihatkan tingkatan-tingkatan orang yang berbahagia dan menderita, macam-macam manusia dan golongannya. Secara umum makna-makna Al-Qur'an ini memperkenalkan Allah yang diseru dan jalan yang menghantarkan kepada-Nya.
Kebalikan dari hal-hal di atas, makna-makna Al-Qur'an juga menunjukkan apa yang diserukan syetan, jalan yang menghantarkan kepada-nya, dan akibat yang bakal diterima orang yang memenuhi seruan ini, berupa kehinaan dan siksaan setelah dia sampai kepadanya. Inilah perkara-perkara yang perlu diperhatikan hamba, agar dia bias mengetahui akhirat seakan-akan dia berada di sana dan tidak lagi berada di dunia ini, bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil dalam perkara-perkara yang diperselisihkan, sehingga yang haq benar-benar haq dan yang batil benar-benar batil, memberinya cahaya untuk membedakan petunjuk dan kesesatan, jalan lurus dan jalan menyimpang, membe-rikan kekuatan di dalam hati, kehidupan, kelapangan dan kegembiraan.
Makna-makna Al-Qur'an berkisar pada masalah tauhid dan penjelasan- penjelasannya, ilmu tentang Allah dan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, sifat-sifat kekurangan yang dijauhkan dari-Nya, pengenalan hak-hak hamba dan hak-hak yang mengutus mereka, iman kepada malaikat yang merupakan utusan Allah dalam menangani urusan alam atas dan alam bawah, khususnya segala urusan manusia, apa yang telah disiapkan Allah bagi musuh-musuh-Nya, berupa kampung siksaan, yang di dalam-nya sama sekali tidak ada kegembiraaan dan kesenangan, rincian perintah dan larangan, syariat dan qadar, halal dan haram, nasihat dan peri-ngatan, kisah-kisah dan permisalan, sebab-sebab, hukum, prinsip, tujuan dan lainlainnya.
Ketahuilah bahwa hati itu dalam perjalanan kepada Allah Azza wa Jalla dan kampung akhirat. Jalan yang benar sudah ditunjukkan, begitu pula ujian jiwa dan amal,
penghambat-penghambat jalan yang dapat disingkirkan dengan cahaya, kehidupan dan kekuatannya, dengan kesehatan pendengaran dan penglihatannya. Lima perkara inilah yang akan memadamkan cahaya hati, menutupi penglihatan dan menyumbat pen- dengarannya, membuatnya bisu dan tuli, melemahkan kekuatannya, menggerogoti kesehatannya dan menghentikan tekadnya. Siapa yang tidak merasakan semua ini, berarti hatinya mati. Sementara luka pada orang yang sudah mati tidak membuatnya kesakitan.
Tidak ada kenikmatan, kelezatan, kesenangan dan kesempurnaan kecuali dengan mengetahui Allah dan mencintai-Nya, merasa tentram saat menyebut-Nya, senang berdekatan dengan-Nya dan rindu bersua dengan-Nya. Inilah surga dunia baginya, sebagaimana dia tahu bahwa kenikmatannya yang hakiki adalah kenikmatan di akhirat dan di surga.
Dengan begitu dia mempunyai dua surga. Surga yang kedua tidak dimasuki
sebelum dia memasuki surga yang pertama. Kami pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata : "Sesungguhnya di dunia ini ada surga, siapa yang tidak memasukinya, maka dia tidak akan memasuki surga di akhirat."
Sebagian orang arif berkata, "Hari-hari telah berlalu dan dapat dirasakan hati. Maka saya katakan, 'Jika para penghuni surga seperti ini keadaannya, tentunya mereka benar-benar dalam kehidupan yang sangat menyenangkan'."
Sebagian yang lain berkata, "Para penghuni dunia yang celaka keluar dari dunia tanpa merasakan kenikmatan sedikit pun yang ada di dalamnya." Orang-orang bertanya, "Lalu apakah yang paling nikmat di dunia?" Dia menjawab, "Mencintai Allah, bersama-Nya, kerinduan bersua dengan-Nya, menghadap kepada-Nya dan berpaling dari hal-hal selain- Nya."
Lima perkara ini menjadi penghalang antara hati dan Allah, menghambat perjalanannya dan menimbulkan penyakit di dalamnya. Inilah uraiannya.
- Terlalu Banyak Bergaul dengan manusia. Hal ini bisa memenuhi hati dengan polusi napas Bani Adam, sehingga hati mereka menjadi hi-tam, lalu menimbulkan perselisihan, kepekatan, perpecahan dan be-ban yang berat untuk dipikul. Akibat yang ditanggungnya adalah gesek-an dengan teman-teman yang jahat, banyak kemaslahatannya yang terbuang siasia, sibuk dengan urusan mereka, pikiran terpecah untuk memenuhi berbagai macam keinginan dan tuntutan mereka. Jika seperti ini keadaannya, lalu apa yang menyisa bagi Allah dan kampung akhirat? Pergaulan yang didasari cinta dunia dan ambisi ini bisa berubah men-jadi permusuhan jika semua hakikat terkuak, sehingga menimbulkan penyesalan bagi sebagian di antara mereka. Yang lebih celaka lagi, jika penyesalan ini terasa setelah di akhirat. Firman Allah : "Teman-teman akrab pada hari itu, sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa." (Az-Zukhruf: 67).
"Dan (ingatlah) hari(ketika)orang yang zhalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama- sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku(dulu)tidak menjadikan Fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur'an ketika Al-Qur'an itu telah datang kepadaku. Dan, adalah syetan itu tidak mau menolong manusia(Al-Furqan:27-29).
Inilah keadaan orang-orang yang bersekutu untuk mendapatkan suatu tujuan. Mereka senantiasa tampak saling bahu-membahu dan menyayangi untuk mendapatkan tujuan itu. Jika ternyata tujuan itu meleset, maka yang ada tinggal penyesalan, kesedihan dan penderitaan. Kasih sayang itu pun berubah menjadi kebencian, kutukan dan celaan sebagian terhadap sebagian yang lain. Cukup banyak bukti tentang hal ini. Untuk mencari keseimbangan dalam masalah pergaulan ini atau pergaulan yang bermanfaat ialah bergaul dengan manusia dalam kebaikan, seperti menghadiri shalat Jum'at, jama'ah, haji, mempelajari ilmu, berjihad, nasihat-menasihati, menjauhi mereka dalam keburukan dan hal-hal mubah yang kelewatan. Jika seseorang terpaksa harus bergaul dengan mereka dalam keburukan dan tidak mungkin untuk menghindar, maka dia harus waspada agar jangan sampai menyerupai mereka dan dia harus bersabar menghadapi gangguan mereka. Sebab sudah selayaknya jika mereka mengganggunya, terlebih jika dia tidak mempunyai kekuatan dan pendukung. Sebab jika dia berbuat seperti yang mereka perbuat, hanya akan mendatangkan kehinaan dan celaan orangorang Mukmin dan Allah.
2. Mengarungi hamparan lautan harapan dan angan-angan yang tidak bertepi. Ini merupakan lautan yang diarungi orang yang bangkrut, sebagaimana yang dikatakan dalam pepatah, "Angan-angan merupakan modal orang yang bangkrut." Barang dagangan para penumpangnya adalah janji-janji syetan dan hayalan yang menipu. Gelombang anganangan dusta dan hayalan batil terus bergulung-gulung, mempermainkan penumpang, seperti anjing yang mempermainkan bangkai. Angan-angan ini disesuaikan dengan kondisi setiap orang. Ada yang berangan-angan memegang kekuasaan, ada yang berangan-angan memiliki harta yang menumpuk, memiliki istri-istri yang cantik dan lain sebagainya. Setiap orang menciptakan di dalam jiwanya gambaran yang diinginkannya. Seakan-akan dia beruntung mendapatkannya. Tapi ketika dia tersadar, ternyata tangannya hampa dan hanya memegang bantal. Tapi orang yang memiliki hasrat yang tinggi, maka angan-angannya berkisar pada ilmu dan iman serta amal yang bisa mendekatkan dirinya kepada Allah. Dikatakan dalam syair : "Angan-anganku adalah iman, hikmah dan cahaya sedang anganangan mereka adalah tipuan belaka."
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memuji orang yang mengangan- angankan kebaikan, sehingga dalam kondisi tertentu, dia mendapatkan pahala seperti pahala
yang didapatkan orang yang mengerjakan kebaikan itu, seperti perkataannya, "Andaikan aku mempunyai harta yang melimpah, tentu aku akan membelanjakannya seperti yang dilakukan Fulan karena Allah semata, digunakan untuk menyambung tali persaudaraan dan menshadaqahkannya menurut haknya."
3. Bergantung kepada selain Allah. Ini merupakan perusak hati yang paling besar dan tidak ada yang lebih berbahaya selain dari hal ini, tidak ada yang lebih menghambat kemaslahatan dan kebahagiaannya se lain dari hal ini. Jika hati bergantung kepada selain Allah, maka Allah menyerahkannya kepada sesuatu yang dijadikan sebagai gantungannya. Padahal apa yang dijadikan sebagai gantungan itu dihinakan Allah dan dia tidak mendapatkan maksudnya karena dia beralih kepada selain Allah, sehingga dia tidak mendapatkan apa yang ada di sisi Allah dan tidak mendapatkan dari apa yang dijadikannya sebagai gantungan seperti yang diharapkannya. Firman Allah : "Dan, mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung bagi mereka. Sekali-kali tidak. Kelak mereka (sembahan-sembahan) itu akan mengingkari penyembahan (para pengikutnya) terhadapnya, dan mereka (sembahansembahan) itu akan menjadi musuh bagi mereka." (Maryam: 81-82).
Orang yang paling hina adalah yang bergantung kepada selain Allah. Orang yang bergantung kepada selain Allah seperti orang yang berlindung dari panas dan dingin dengan rumah laba-laba, karena rumah laba-laba merupakan rumah yang paling rapuh. Secara umum, landasan dan fondasi syirik adalah bergantung kepada selain Allah, sehingga pelakunya mendapat kehinaan dan celaan.
"Janganlah kamu adakan sesembahan yang lain di samping Allah, agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah)." (Al-Isra': 22).
3. Perusak hati yang keempat adalah makanan yang berlebihan. Ada dua macam kaitannya dengan makanan ini: Pertama, jenis makanannya itu sendiri seperti makanan yang diharamkan. Makanan yang diharamkan ini juga ada dua macam: Yang haram menurut hak Allah, seperti bangkai, darah, babi, binatang buas yang bertaring dan burung yang bercakar tajam. Yang haram menurut hak manusia, seperti barang curian dan yang diambil tidak berdasarkan ridha pemiliknya. Kedua, makanan yang merusak karena pertimbangan porsi dan jumlahnya serta yang melebihi batasnya, seperti berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi makanan yang halal dan makan terlalu kenyang, karena bias memberatkannya untuk mengerjakan ketaatan dan membuatnya sibuk dengan urusan makanan semata, sehingga bisa membuat badannya menjadi gemuk dan menguatkan dorongan syahwat, yang berarti membuka jalan yang lapang bagi syetan. Sebab syetan bisa menyusup ke dalam tubuh manusia lewat aliran darahnya. Maka tidak heran jika puasa mempersempit dan menghalangi jalannya,
sementara perut kenyang melapangkan jalan bagi syetan. Siapa yang makan banyak dan minum banyak, membuatnya banyak tidur, lalu banyak menye-sal.
Di dalam hadits yang masyhur telah disebutkan sabda Nabi Shal-lallahu Alaihi wa Sallam : "Tidaklah seorang anak Adam memenuhi bejana yanglebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap yang bisa menegakkan tulang sulbinya. Jikalau memang harus berbuat, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga untuk napasnya."
Dikisahkan bahwa Iblis muncul di hadapan Yahya bin Zakaria Alaihis-
Salam. Beliau bertanya, "Apakah kamu bisa berbuat sesuatu terhadap aku?" Iblis menjawab, "Tidak. Hanya saja suatu malam ada makanan yang dihidangkan kepadamu. Lalu aku membuat makanan itu tampak lezat, sehingga engkau memakannya hingga kenyang, lalu engkau tertidur dan tidak melakukan wirid." Maka Yahya berkata, "Demi Allah, sekali-kali aku tidak akan makan hingga kenyang." Iblis berkata, "Dan aku, demi Allah, sekali-kali tidak akan memberi nasihat kepada anak Adam."
5. Banyak tidur. Karena banyak tidur membuat badan terasa berat, membuang- buang waktu secara percuma, mengakibatkan lalai dan malas serta hal-hal makruh lainnya. Yang pasti, banyak tidur tidak bermanfaat bagi badan. Sedangkan tidur yang paling bermanfaat ialah jika memang diperlukan untuk tidur. Tidur pada awal malam lebih baik dan lebih bermanfaat daripada tidur pada akhir malam, dan tidur te-ngah malam lebih bermanfaat daripada dua tepinya. Yang paling banyak bahayanya adalah tidur sehabis ashar dan pada pagi hari, kecuali jika pada malam harinya berjaga. Yang dimakruhkan adalah tidur setelah shalat subuh hingga matahari terbit, karena waktu ini seperti barang rampasan perang. Bagi orangorang yang mengadakan perjalanan kepada Allah, waktu ini mempunyai banyak keutamaan. Sehingga sekalipun sepanjang malam mere-ka berjaga, maka mereka tidak akan menggunakan waktu ini untuk dudukduduk saja, hingga terbitnya matahari, karena ini merupakan awal siang dan kuncinya, waktu turunnya rezki dan datangnya barakah.
Secara umum, tidur yang paling bermanfaat ialah pada tengah malam yang pertama dan seperenam yang terakhir, yang kira-kira selama delapan jam. Inilah waktu tidur yang paling efektif menurut ilmu kedokteran. Jika kurang atau lebih, tentu akan berpengaruh terhadap tabiat manusia. Sedangkan tidur yang tidak bermanfaat adalah pada awal malam setelah matahari tenggelam.
I'tisham
I'tisham artinya berpegang teguh. I'tisham ini ada dua macam: I'tisham
kepada Allah dan i'tisham kepada tali Allah. Firman-Nya: "Dan, berpeganglah kalian kepada Allah. Dia adalah pelindung kalian, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong." (Al- Hajj: 78).
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kalian bercerai berai." (Ali Imran: 103).
I'tisham merupakan kata aktiva dari ishmah (perlindungan), yang berarti berpegang kepada sesuatu yang melindungimu dan menjagamu dari sesuatu yang ditakuti atau dihindari. Maka terkadang benteng juga bisa disebut awashim, karena ia berfungsi menjaga dan melindungi.
Poros kebahagiaan kehidupan di dunia dan di akhirat adalah berpegang atau berlindung kepada Allah dan kepada tali Allah. Tidak ada keselamatan kecuali dengan dua perlindungan ini. Berpegang kepada tali Allah artinya berlindung dari kesesatan. Sedangkan berpegang kepada Allah artinya berlindung dari kebinasaan. Orang yang berjalan kepada Allah seperti orang yang sedang meniti suatu jalan menuju ke tempat tujuannya.
Berarti dia membutuhkan penunjuk jalan dan keselamatan dalam perjalanannya. Dia tidak akan sampai ke tujuan kecuali dengan dua cara ini. Adanya petunjuk sudah cukup untuk menjaganya agar tidak tersesat dan sekaligus memberinya petunjuk jalan yang harus dilalui, begitu pula persiapan, kekuatan dan peralatan yang dapat melindunginya dari penghalang di tengah perjalanan.
Berpegang kepada tali Allah mengharuskan seorang hamba untuk mendapatkan petunjuk dan keharusan mengikuti dalil. Sedangkan berpegang kepada Allah mengharuskannya memiliki kekuatan, persiapan dan peralatan serta perangkat yang mendukung keselamatannya di jalan. Karena itu ungkapan orang-orang salaf tentang berpegang kepada tali Allah ini bermacam-macam. Tapi yang pasti setelah mereka mengisyaratkan kepada makna ini.
Menurut Ibnu Abbas, artinya berpegang kepada agama Allah. Menurut Ibnu Mas'ud, artinya jama'ah. Dia berkata, "Hendaklah kalian mengikuti jama'ah, karena jama'ah adalah tali Allah yang diperintahkan- Nya. Apa yang kalian benci dalam jama'ah dan ketaatan, masih lebih baik daripada apa yang kalian sukai dalam perpecahan."
Menurut Mujahid dan Atha', artinya membuat perjanjian dengan Allah. Sedangkan menurut Qatadah dan mayoritas mufassir, artinya adalah Al-Qur'an.
Ibnu Mas'ud mengatakan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam : "Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah tali Allah, cahaya yang terang benderang, obat
penyembuh yang bermanfaat, perlindungan bagi siapa yang berpegang kepadanya dan keselamatan bagi siapa yang mengikuti-nya."
Ali bin Abu Thalib mengatakan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang Al-Qur'an : "Ia adalah tali Allah yang kokoh, dzikir kepada Dzat Yang Maha Bijaksana, jalan yang lurus, yang tidak luntur karena hawa nafsu, yang tidak berbeda bacaannya, tidak berubah karena banyak yang menolak dan tidak membuat para ulama merasa kenyang."
Muqatil berkata, "Artinya, berpeganglah kepada perintah Allah dan ketaatan kepada-Nya, janganlah kalian berpecah belah seperti orangorang Yahudi dan Nasrani."
Di dalam Al-Muwaththa' disebutkan dari hadits Malik, dari Suhail bin Abu Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda : "Sesungguhnya Allah meridhai tiga perkara bagi kalian dan memurkai tiga perkara bagi kalian. Dia meridhai bagi kalian: Jika kalian menyembah-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, berpegang kepada tali Allah semuanya dan menyampaikan nasihat kepada orang yang diangkat Allah menjadi wall urusan kalian. Dia murka bagi kalian: Kata-mengatai, menghambur-hamburkan harta dan banyak bertanya." (Diriwayatkan Muslim).
Pengarang Manazilus-Sa'irin menjelaskan, bahwa i'tisham kepada tali Allah artinya menjaga ketaatan kepada-Nya dengan melaksanakan perintah- Nya. Dengan kata lain, taat kepada-Nya secara tulus, karena Allah memerintahkannya dan mencintainya, bukan karena mengikuti tradisi atau karena alasan tertentu. Inilah makna iman dan mencari pahala di sisi Allah seperti yang diisaratkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam sabdanya : "Barangsiapa puasa Ramadhan karena iman dan mencari pa-hala di sisi Allah, dan siapa yang mendirikan shalat pada lailatul-qadar karena iman dan mencari pahala di sisi Allah, maka dosa-dosanya diam-puni."
Sedangkan i'tisham kepada Allah artinya tawakal, berlindung, pasrah, memohon agar Dia menjaga dan memelihara. Di antara buah i'tisham adalah pertolongan Allah terhadap hamba. Menurut pengarang Manazilus- Sa'irin, i'tisham kepada Allah artinya melepaskan diri dari segala sesuatu selain Allah:
I'tisham kepada Allah ini mempunyai tiga derajat:
- I'tisham-nya orang-orang awam, yaitu mereka yang berpegang kepada pengabaran, dengan meyakini janji dan ancaman, mengagungkan perintah dan larangan, yang melandaskan mu'amalah kepada keyakinan dan keadilan. Dengan kata lain, orang-orang awam itu berpegang kepada pengabaran yang disebutkan dari Allah, menerimanya secarautuh tanpa ada penentangan, dengan penuh iman, yang membuat mereka mengagungkan perintah dan larangan, membenarkan janji dan peringatan. Mereka melandaskan mu'amalah kepada keyakinan dan sama sekali tidak ada keraguan.
Ada yang berkata, "Ahli nujum dan tabib menganggap bahwa jasad manusia tidak akan dibangkitkan lagi. Saya katakan, 'Itu terserah apa pendapatmu. Kalau memang pendapatmu benar, aku pun tidak mera-sa rugi, karena kerugian itu akan menjadi milikmu'." Keadilan yang menjadi dasar mu'amalah mereka, maksudnya adil dalam bermu'amalah dengan Allah dan dengan manusia. Adil dalam ber-mu'amalah dengan Allah ialah melakukan ubudiyah sesuai dengan haknya, tidak memberikan sifat-sifat Uluhiyah yang tidak semestinya, tidak bersyukur kepada selain-Nya atas nikmat-nikmat yang diterimanya dan tidak menyembah selain-Nya.
Dalam atsar Ilahy disebutkan, "Aku, jin dan manusia berada dalam pengabaran yang besar. Akulah yang menciptakan, namun selain-Ku yang disembah. Akulah yang memberi rezki, namun selain-Ku yang disyukuri."
Dalam atsar lain disebutkan, "Wahai anak Adam, kamu tidak adil kepada- Ku. Kebaikan-Ku turun kepadamu namun keburukanmu naik kepada- Ku. Apakah kamu menyukai nikmat, padahal Aku tidak membu-tuhkan kamu, dan kamu membuatku murka karena kedurhakaan, padahal kamu membutuhkan Aku. Malaikat yang mulia senantiasa naik kepada-Ku melaporkan amalmu yang buruk."
Sedangkan adil dalam bermu'amalah dengan hamba, ialah memperlakukan mereka dengan cara yang dia pun suka jika diperlakukan seperti itu.
Yang dikatakan tentang i'tisham-nya orang-orang awam ini pada hakikatnya juga merupakan i'tisham-nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus. Tapi masalah ini tidak perlu dipermasa-lahkan.
2. Adapun i'tisham-nya orang-orang khusus ialah dengan memutuskan. Artinya menjaga kehendak dan menahannya, menolak hal-hal yang berkaitan dengan selain Allah dan membaguskan akhlak. Hal ini juga disebut dengan istilah "Berpegang kepada tali yang kokoh". Menolak segala kaitan (dengan selain Allah) harus dilakukan secara lahir dan batin. Tapi prinsipnya adalah memutus kaitan batin. Jika kaitan batin diputuskan, maka kaitan zhahirnya tidak akan berbahaya. Jika ada harta di tanganmu, namun harta itu tidak ada di hatimu, maka ia tidak akan berbahaya, sekalipun jumlahnya banyak. Al-Imam Ahmad pernah ditanya, "Apakah seseorang bisa disebut orang zuhud jika dia memiliki seribu dinar?" Dia menjawab, "Bisa, tapi dengan syarat, dia tidak merasa senang karena jumlah itu semakin bertambah, dan tidak sedih jika ia semakin sedikit. Karena itu para shahabat adalah orang-orang yang paling zuhud, meskipun di tangan mereka ada harta benda yang melimpah."
3. Adapun i'tisham-nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus ialah dengan menyambung. Artinya menyambung hubungan dan mendekatkan diri kepada Allah secara sendirian tanpa perantaraan apa pun. Pada tingkatan ini ada kehendak, cinta, pengagungan, ketakutan, pengharapan dan tawakal. Dalam
hubungan antara hamba dan Rabb-nya hampir tidak ada perantara dan pembatas sedikit pun. Di sini hamba memenuhi seruan dengan senang hati dan penuh cinta, bukan karena terpaksa, seakan ada keterpaduan antara hati yang mencintai dan ruh-nya, lalu menyatu dengan kekasihnya.
Firar dan Riyadhah
Hakikat firar adalah melarikan diri dari sesuatu ke sesuatu yang lain.
Firar ini ada dua macam:
- Firar-nya orang-orang yang bahagia, yaitu firar kepada Allah.
- Firar-nya orang-orang yang menderita, yaitu firar dari Allah kepada selain Allah.
Sedangkan firar dari Allah kepada Allah adalah firar-nya wali-wali Allah. Dalam menafsiri firman Allah, "Maka larilah kepada Allah", Ibnu Abbas berkata, "Artinya, larilah dari Allah kepada Allah dan taatlah kepada- Nya." Sedangkan Sahl bin Abdullah berkata, "Artinya, larilah dari selain Allah kepada Allah." Yang lain lagi berkata, "Larilah dari adzab Allah ke pahala-Nya, dengan iman dan ketaatan."
Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Artinya lari dari sesuatu yang tidak ada ke sesuatu yang senantiasa ada.
1. Firar-nya orang-orang awam, dari kebodohan ke ilmu, dengan disertai keyakinan dan usaha, dari kemalasan ke kerajinan yang disertai kesungguhan dan tekad, dari kesempitan ke kelapangan yang disertai harapan. Tentang firar dari kebodohan ke ilmu, kebodohan itu sendiri ada dua macam: Pertama, tidak mengetahui kebenaran yang bermanfaat. Kedua, tidak beramal menurut keharusan dan kelazimannya. Kedua-duanya sudah mendefinisikan makna kebodohan menurut bahasa, istilah, syariat dan hakikat. Maka Musa berkata : "Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang bodoh." (Al-Baqarah: 67).
Beliau berkata seperti itu setelah kaumnya berkata, "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Berarti, Musa berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang suka mengejek. Yusuf juga berkata : "Dan, jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." (Yusuf: 33).
Artinya, agar beliau tidak termasuk orang-orang yang melakukan apaapa yang diharamkan kepada mereka. Allah befirman : "Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kebodohan." (An-Nisa': 17).
Qatadah berkata, "
Seorang penyair berkata, "Tak ada gunanya seseorang membodohi kami hingga kita lebih bodoh dari jahily."
Orang yang tidak mendalami ilmu disebut bodoh, entah karena dia tidak bisa mengambil manfaat dari ilmu itu, hingga dia disebut orang bodoh, entah karena ketidaktahuannya terhadap akibat dari perbuatannya. Firar ini merupakan firar dari dua macam kebodohan: Kebodohan terhadap ilmu yang harus didapatkan dan diyakini, dan kebodohan terhadap pengamalannya. Firar dari kemalasan ke kerajinan yang disertai kesungguhan dan tekad, artinya meninggalkan belenggu kemalasan lalu berbuat dan berusaha, dengan kesungguhan dan tekad, tidak asal-asalan, tidak meremeh-kan dan tidak berandai-andai. Kesungguhan artinya kebenaran dalam beramal dan berusaha, sedangkan tekad merupakan kesungguhan dalam kehendak. Maka Allah befirman kepada Yahya : "Hai Yahya, ambillah Al-Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh." (Maryam: 12).
Quwwah dalam ayat ini berarti kesungguhan yang disertai tekad dan usaha, tidak seperti orang yang mengambil perintah-Nya dengan ragu-ragu dan setengah hati. Firar dari kesempitan ke kelapangan yang disertai harapan artinya lari dari dada yang terasa sesak dan penat karena kekhawatiran, kegelisahan, kesedihan dan ketakutan yang dirasakan hamba dari dalam dirinya, dan juga yang datang dari luar dirinya, seperti hal-hal yang berkaitan dengan sebab-sebab kemaslahatan hidupnya di dunia ini, baik dalam masalah harta, badan, keluarga, masyarakat atau musuhnya. Dia harus lari dari semua jenis kesempitan yang menghimpit dada, lalu beralih ke kelapangan keyakinan kepada Allah, tawakal dan harapan kepada-Nya : "Dan, barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginyajalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya." (Ath-Thalaq: 2-3).
Ar-Rabi' bin Khutsaim berkata, "Artinya, Allah menjadikan baginya jalan keluar dari hal-hal yang biasanya membuat manusia merasa sesak dadanya."
Abul-Aliyah berkata, "Artinya, Allah menjadikan baginya jalan keluar dari segala kekerasan, baik kekerasan di dunia maupun di akhirat. Allah pasti memberikan kelapangan bagi orang Mukmin dari segala hal yang biasanya membuat manusia merasa sempit dan sesak dadanya."
Selagi seorang hamba mempunyai persangkaan yang baik terhadap Allah, berpengharapan yang baik kepada-Nya dan tawakkal secara sung-guhsungguh, maka Allah tidak akan menelantarkannya dan tidak akan mengabaikan harapannya.
Keyakinan dan baik sangka terhadap Allah ini merupakan istilah lain dari kelapangan
hati. Sebab tidak ada yang lebih membuat dada terasa lapang setelah iman, selain dari keyakinan, mengharapkan yang baik dan berbaik sangka kepada Allah.
2. Firar-nya orang-orang yang khusus, yaitu dari pengabaran ke kesaksian, dari rupa ke inti, dari bagian untuk diri sendiri ke pelepasan. Artinya, mereka tidak ridha jika iman mereka hanya sekedar dari pengabaran. Mereka ingin naik lebih tinggi agar bisa menyaksikan siapa pemberi kabar itu. Mereka ingin naik dari ilmul-yaqin lewat pengabaran ke ainul-yaqin lewat kesaksian, seperti yang diinginkan Ibrahim Alaihis-
Salam dari Allah : "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, 'Ya Rabbi, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati!' Allah befirman, 'Belum yakinkah kamu?' Ibrahim menjawab, 'Aku telah meyakininya, tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)'." (Al-Baqarah: 260).
Ibrahim menuntut agar keyakinannya nyata di depan mata dan apa yang ingin diketahui dapat disaksikan. Inilah makna yang diungkapkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang kesangsian, dalam sabda beliau : "Kita lebih layak untuk sangsi daripada Ibrahim yang berkata, 'Ya Rabbi, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati!'"
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah sangsi, begitu pula Ibrahim. Tapi memang begitulah beliau mengungkapkan makna ini. Apa yang dituntut Ibrahim itu bukan karena sangsi atau ragu-ragu, tapi karena beliau menuntut kemantapan.
menghapal semata, tanpa memahami dan mengerti maksudnya. Mereka ini lebih membutuhkan kepada perintah, sebab mereka tidak sampai kepada pengertian dan hakikat itu kecuali dengan adanya perintah, di samping harus ada hapalan, pengetahuan dan pengamalan. Orang-orang sufi ini mengartikan hakikat perintah yang dituntut adalah ruhnya, bukan rupa dan zhahimya. Karena itu mereka berkata, "Kami menghimpun hasrat pada tujuan dan hakikat, dan kami tidak membutuhkan rupa dan zhahimya. Siapa yang menyibukkan diri dengan rupa berarti melalaikan tujuan dengan suatu sarana." Mereka tertipu, seperti halnya orang-orang yang hanya memperhatikan rupa amal dan zhahimya tanpa memperhatikan hakikat, ruh dan tujuannya. Golongan yang kedua mengabaikan rahasia amal, tujuan dan hakikatnya, sedangkan golongan pertama mengabaikan rupa dan zhahimya. Mereka menganggap telah sampai kepada hakikat amal sekalipun tanpa zhahir amal itu. Padahal mereka hanya sampai kepada zindiq dan kekufuran, mengingkari apa yang seharusnya diketahui tentang diutus- nya para rasul. Mereka adalah orang-orang kafir, zindiq dan munafik, sedangkan golongan selain mereka juga tidak sempuma. Hati itu mempunyai ubudiyah sebagaimana anggota badan. Mengabaikan ubudiyah hati sama dengan mengabaikan ubudiyah anggota tubuh. Kesempurnaan ibadah ialah dengan menerapkan ubudiyah untuk masing-masing pasukan, pasukan hati dan pasukan anggota tubuh. Firar dari bagian untuk diri sendiri ke pelepasan bagian itu ada beberapa tingkatan, yang tidak diketahui kecuali oleh orang yang benarbenar memiliki ma'rifat tentang hak-hak Allah dan apa yang diinginkan- Nya serta hak-hak hamba-Nya, mengetahui diri sendiri, amal dan penghalangnya. Secara umum, bagian ini artinya apa pun selain yang dikehendaki Allah darimu, entah yang hukumnya haram, makruh, mubah atau sunat. Semua ini tidak akan diketahui kecuali dengan memiliki ilmu yang mendalam tentang Allah dan perintah-Nya, tentang nafsu dan sifat-sifatnya. Sebenarnya di
3. Adapun firar-nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus ialah lari dari selain kebenaran kepada kebenaran, dari kesaksian firar kepada kebenaran, kemudian firar dari kesaksian firar. Uraian tentang masalah ini tidak jauh berbeda dengan uraian yang terdahulu.
Riyadhah
Salah satu di antara persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in ialah riyadhah, yang artinya melatih jiwa pada kebenaran dan keikhlasan.
Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Riyadhah artinya melatih jiwa untuk menerima kebenaran." Hal ini bisa mengandung dua pengertian:
Pertama, melatihnya untuk menerima kebenaran, jika kebenaran ini disodorkan kepadanya, yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan mau-pun kehendaknya. Apabila kebenaran ini ditawarkan kepadanya, maka dia langsung menerimanya. Kedua, menerima kebenaran dari orang yang menawarkan kepadanya. Firman Allah :
"Dan, orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Az- Zumar: 33).
Kebenaranmu saja tidak cukup, tapi harus ada kebenaranmu dan pembenaranmu terhadap orang-orang yang benar. Sebab sebenarnya banyak orang yang benar, tetapi mereka tidak mau membenarkan karena takabur, dengki atau sebab lainnya.
Riyadhah ini ada tiga tingkatan:
1. Riyadhah-nya orang awam, yaitu mendidik akhlak dengan ilmu, membersihkan amal dengan keikhlasan dan memperbanyak hak dalam mu'amalah. Mendidik akhlak dengan ilmu artinya menata dan membersihkan akhlak sesuai dengan pranata ilmu, sehingga seorang hamba tidak bererak, zhahir maupun batinnya kecuali dengan pranata ilmu, sehingga semua gerakannya itu selalu ditimbang dengan timbangan syariat. Membersihkan amal dengan keikhlasan artinya membebaskan semua amal dari pendorong untuk kepentingan selain Allah yang mengotori-nya. Ini merupakan istilah lain dari menyatukan kehendak. Memperbanyak hak dalam mu'amalah artinya memberikan hak Allah dan hak hamba secara sempurna seperti yang diperintahkan.
Jika tiga perkara ini dirasakan berat, maka pelaksanaannya merupakan riyadhah. Apabila sudah terbiasa, maka ia akan menjadi akhlak dan perilaku.
2. Riyadhah-nya orang-orang khusus, yaitu dengan mencegah perpisahan, tidak menoleh ke tahapan yang telah dilewatinya dan membiarkan ilmu mengalir terus. Mencegah perpisahan artinya memotong sesuatu yang memisahkan hatimu dari Allah secara keseluruhan, menghadap kepada-Nya secara utuh, hadir bersama-Nya dengan segenap hati dan tidak menoleh kepada selain-Nya. Tidak menoleh ke tahapan yang telah dilewati artinya tidak menganggap ilmu yang dimiliki sudah cukup dan baik, tetap mencari tambahan, merasa khawatir andaikata kedudukan dirinya justru menjadi penghambat untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Yang sudah ada harus di jaga, dan seluruh kekuatannya harus digunakan untuk mencapai tingkat-an dan tahapan yang lebih tinggi lagi. Siapa yang tidak mempunyai tekad untuk maju terus, berarti dia sedang mundur tanpa disadarinya. Sebab tabiatnya tidak mengenal istilah berhenti di tempat. Yang ada adalah maju ke depan ataukah mundur ke belakang. Orang yang benar-benar melaku-kan perjalanan tidak akan menoleh ke belakang dan tidak ingin mende-ngar panggilan kecuali yang dating dari arah depan dan bukan dari arah belakang. Membiarkan ilmu mengalir terus artinya pergi bersama orang yang
mengajak untuk mencari ilmu, kemana pun perginya dia ikut di belakangnya, ke mana pun berlari, dia tetap mengikuti. Hakikatnya adalah pasrah kepada ilmu dan tidak menentangnya, rasa maupun keadaan. Teruslah berjalan bersama ilmu ke mana pun ia pergi. Tapi yang wajib dilakukan adalah mempersatukan ilmu dengan keadaan dan membuatnya menga-tur keadaan serta tidak berbenturan. Tentu saja semua ini sulit dilakukan kecuali orang-orang yang benar benar memiliki tekad yang kuat dan benar, karena itulah yang demiki-an ini disebut riyadhah (latihan). Selagi jiwa dilatih terus dan dibiasakan, maka lama-kelamaan akan berubah menjadi akhlak.
3. Riyadhah-nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus ialah dengan membebaskan kesaksian, naik ke tingkat penyatuan, menolak penentangan dan memutuskan segala bentuk penukaran. Membebaskan kesaksian mengandung dua pengertian: Membebaskannya agar tidak menoleh ke yang lain, dan membebaskannya agar tidak perlu melihatnya. Sedangkan naik ke tingkat penyatuan artinya mening-galkan makna-makna perpisahan lalu beralih ke penyatuan dzat. Meno-lak penentangan artinya apa yang bertentangan dengan salah satu ke-hendaknya atau kehendak Allah. Memutuskan segala bentuk penukaran artinya membebaskan mu'amalah dari kehendak untuk mendapatkan pengganti atau imbalan. Dengan kata lain, menjadikan Allah sebagai sesembahan, sekalipun yang menyembah- Nya tidak mendapat imbalan apa-apa, karena memang menurut Dzat- Nya Allah layak untuk disembah dan tidak perlu menuntut atau meminta imbalan dari-Nya.
Namun ada yang berpendapat, memperhatikan imbalan ini sangat penting bagi orang yang beramal. Jadi yang menjadi permasalahan adalah perhatian terhadap imbalan ini dan kejelasannya. Orang yang mencintai secara tulus dan tidak peduli terhadap imbalan, ternyata justru mengharapkan imbalan yang lebih besar dan dia mengejarnya. Imbalan yang lebih besar ini adalah kedekatan dengan Allah, melakukan perjalanan hingga sampai di sisi-Nya, tidak menyibukkan diri dengan hal-hal selain- Nya, menikmati cinta dan kerinduan untuk bersua dengan-Nya. Ini semua merupakan imbalan yang diharapkan orang-orang yang khusus mengharapkannya dan sekaligus merupakan tujuan mereka. Tidak ada yang tercela dalam hal ini. Bahkan ibadah mereka yang paling sempurna ialah jika perhatian mereka terhadap imbalan ini semakin besar. Memang meminta imbalan yang berkisar di kalangan makhluk, berupa kedudukan, harta, kekuasaan, tempat tinggal dan hal-hal lain yang serupa dengan ini merupakan sikap yang tercela. Terlebih lagi jika memang hanya itulah tuntutannya. Tapi jika tuntutan mereka adalah Dzat Yang Mahaagung, kedekatan dengan-Nya, kenikmatan cinta dan kerinduan bersua dengan-Nya, maka tidak ada yang tercela dalam ubudiyah ini dan tidak ada yang dianggap kurang. Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda : "Apabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah surga Firdaus kepada-Nya, karena Firdaus itu merupakan pertengahan surga dan surga yang paling tinggi. Di atasnya ada 'Arsy Allah Yang Maha Pengasih, dan dari
Sebagaimana yang diketahui, surga Firdaus ini adalah tempat orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus. Memohon agar termasuk golongan mereka bukanlah sesuatu yang tercela dalam ubudiyah.
Sima'
Di antara macam-macam tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in adalah sima' yang berarti mendengarkan. Sima' merupakan mashdar seperti kata niyat. Allah telah memerintahkan sima' ini di dalam Kitab-Nya, memuji para pelakunya dan mengabarkan bahwa mereka akan mendapat kabar gembira. Firman-Nya : "Sekiranya mereka mengatakan, 'Kami mendengar dan patuh, dengarlah dan perhatikanlah kami', tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat." (An-Nisa': 46).
"Maka sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yangmempunyai akal."(Az-Zumar. 17-18).
Pendengaran yang diberikan Allah dan mereka yang bisa mendengar merupakan bukti bahwa mereka mengetahui pengabaran tentang diri mereka. Jika tidak, berarti mereka tidak mempunyai bukti itu. Firman- Nya : "Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada diri mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar, dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka berpaling juga." (Al-Anfal: 23).
Allah mengabarkan tentang musuh-musuh-Nya, bahwa mereka tidak mau
"Dan orang-orang yang kafir berkata, 'Janganlah kalian mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur'an ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)." (Fushshilat: 26).
Sima' merupakan utusan iman ke hati, penyeru dan pengajarnya. Berapa banyak disebutkan di dalam Al-Qur'an, "Tidakkah kalian mendengar?" Sima' merupakan dasar akal dan asas iman untuk sesuatu yang dibangun di atasnya, juga merupakan penuntun, tangan kanan dan pendampingnya. Tapi yang lebih penting lagi adalah apa jenis yang didengarkan. Inilah yang menjadi pangkal perbedaan pendapat dan juga kesalahan di kalangan manusia.
Hakikat sima' merupakan peringatan bagi hati tentang makna yang didengarkan. Penggeraknya adalah pencarian, penghindaran, cinta dan kebencian, yang merupakan pendorong bagi setiap orang hingga dia berada di tempat berpijaknya. Di antara mereka ada yang mendengar dengan naluri, hasrat jiwa dan nafsunya. Tentu saja yang demikian ini sejalan dengan pembawaannya. Di antara mereka ada yang mendengar beserta Allah dan tidak mau mendengar dengan selain Allah. Yang pasti, pembicaraan tentang sima' harus dikaitkan dengan pujian dan celaan, yang berarti harus ada kejelasan tentang gambaran yang didengarkan, hakikat, sebab, pendorong, hasil dan tujuannya. Dengan uraian di bawah ini bisa dirinci masalah sima' ini, dapat dibedakan mana yang berman-faat dan mana yang berbahaya, mana yang haq dan mana yang batil, mana yang
terpuji dan mana yang tercela.
Apa (obyek) yang didengarkan bisa dibagi menjadi tiga macam:
- Sima' Yang Dicintai dan Diridhai Allah
Ini merupakan sima' yang diperintahkan Allah di Kitab-Nya, yang pelakunya dipuji dan disanjung, yang berpaling darinya dicela dan dilak-nat, bahkan mereka dianggap lebih sesat daripada binatang dan mereka menjadi penghuni neraka. Firman-Nya : "Dan mereka berkata, 'Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya kami tidak termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala." (Al-Mulk: 10).
Sima' merupakan dasar bangunan yang didirikan di atasnya.
Ini merupakan sima' pengetahuan yang membawa kepada iman dan pemenuhan. Sedangkan sima' pemahaman adalah sima'yang dinafi-kan dari orang-orang yang berpaling dan lalai, sebagaimana firman Allah : "Maka sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orangorang yang mati dapat mendengar dan menjadikan orang-orang yang tuli dapat mendengar."(Ar-Rum: 52).
Sedangkan sima' penerimaan dan pemenuhan terdapat di dalam firman Allah yang mengisahkan hamba-hamba-Nya yang beriman, yang berkata, "Kami mendengar dan kami taat". Ini merupakan sima' penerimaan dan pemenuhan yang menghasilkan ketaatan. Yang pasti, sima' ini mencakup tiga macam sima' ini, mereka tahu apa yang didengarkan, memahami dan memenuhinya.
Di antara gambaran sima' penerimaan seperti firman Allah : "Sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka (orang-orang munafik)." (At-Taubah: 47).
Artinya mereka menerima apa pun yang dikatakan orang-orang munafik dan menelannya begitu saja. Ini merupakan satu pendapat yang paling benar dari dua pendapat tentang makna ayat ini. Tentang pendapat orang yang mengatakan, bahwa artinya mereka mempunyai mata-mata, maka ini adalah pendapat yang lemah. Allah hendak mengabarkan hikmah keterlibatan orang-orang munafik dalam pasukan perang, bahwa mereka hanya ingin menciptakan kekacauan dan kerusakan serta menyebarkan isu
di tengah pasukan. Sementara dalam pasukan Muslimin ada orang-orang yang suka menerima perkataan orang-orang munafik itu. Istilah mata-mata seperti yang lazim digunakan tidak disebut dengan kata samma' (orang yang amat suka mendengarkan), tapi disebut dengan kata jasus.
Maksud lebih jauh, bahwa sima'-nya orang-orang yang khusus dan suka mendekatkan diri kepada Allah ialah dengan mendengarkan Al- Qur'an dan menggunakan tiga istilah ini: Mengetahui, memahami dan memenuhi. Allah memuji orang yang mendengarkan Al-Qur'an dan memerintahkan para wali-Nya untuk melakukannya, yaitu mendengarkan ayat-ayat Al-Qur'an dan bukan bait-bait syair, mendengarkan Al-Qur'an dan bukan lagu-lagu, mendengarkan kalam Allah yang menguasai langit dan bumi, bukan kasidah-kasidah para penyair, mendengarkan para nabi
dan rasul, bukan para penyanyi.
Inilah Sima' pendorong hati agar menuju sisi Allah, penggerak yang membangkitkan tekad agar mendapatkan derajat yang paling tinggi, penyeru kepada iman, penunjuk jalan yang menuntun ke surga, yang menyeru hati setiap pagi dan petang dengan alunan Hayya alal-falah.
- Sima' Yang Dibenci dan Dimurkai Allah
Yaitu mendengarkan segala sesuatu yang mendatangkan mudharat terhadap hamba, hati dan agamanya, seperti mendengarkan semua jenis kebatilan, kecuali jika ada maksud untuk menghambat, membatilkan dan melarangnya atau untuk tujuan kebalikan dari kebatilan itu. Sebab sesuatu akan tampak kebaikannya dengan kebalikannya, seperti yang dikatakan dalam sebuah syair : "Cinta ini semakin mekar karena mendengar kata-katamu justru pada saat aku mendengar perkataan selain dirimu."
Contohnya adalah orang yang mendengarkan perkataan yang tidak bermanfaat, lalu dia menyuruh orang-orang untuk mendengarkannya dan berpaling darinya, sebagaimana dia juga berpaling darinya. Firman Allah : "Dan, apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya." (Al-Qashash: 55).
Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata, "Maksud perkataan yang tidak bermanfaat di dalam ayat ini adalah nyanyian."
Ibnu Mas'ud berkata, "Nyanyian dapat menumbuhkan kemunafikan di dalam hati sebagaimana air yang dapat menumbuhkan bawang."
Ini merupakan pernyataan tentang dampak negatif nyanyian yang bisa dirasakan secara langsung. Selagi seseorang terbiasa mendengarkan nyanyian, maka di dalam hatinya tumbuh kemunafikan, sementara dia tidak menyadarinya. Andaikan dia tahu hakikat kemunafikan, tentu dia akan mengetahuinya di dalam hatinya. Di dalam hati seseorang tidak akan tumbuh cinta kepada Al-Qur'an dan cinta kepada nyanyian. Yang satu tentu akan menyisihkan yang lain. Kita bisa melihat bagaimana beratnya Al-Qur'an ini bagi orang-orang yang suka terhadap nyanyian, terlebih lagi bagi penyanyinya, bagaimana mereka merasa tersiksa jika ada bacaan Al- Qur'an yang terlalu lama atau hati mereka yang sama sekali tidak bias memetik manfaat dari bacaan Al-Qur'an. Minimal hatinya tidak tersentuh dan tidak tergerak. Maka bagaimana mungkin hati mereka menjadi tentram, menangis dan menggigil jika mereka lebih suka berjaga di waktu malam untuk mendengarkan nyanyian dan mengumbar angan-angan? Kalaupun hal ini bukan merupakan kemunafikan, maka ini merupakan cikal bakal kemunafikan.
Bagaimana mungkin sesuatu yang didengarkan seorang hamba, sesuai dengan tabiat dan hawa nafsunya, dikatakan lebih bermanfaat dari apa yang didengarnya karena Allah dan berasal dari Allah? Tentu saja ini merupakan upaya pemutarbalikan fakta. Oleh karena itu kami katakana bahwa pembahasan tentang masalah ini tidak bisa netral dan obyektif kecuali dengan mengetahui gambaran apa yang didengarkan, hakikat, sebab dan tingkatannya. Allah telah menjadikan balasan untuk setiap sesuatu. Sekali-kali Allah tidak menjadikan bagian untuk orang yang mendengarkan ayat-ayat-Nya, sama dengan bagian orang yang biasa mendengarkan nyanyian dan lagu.
Yang paling menggelikan, alasan yang dipergunakan orang-orang yang menghalalkan nyanyian ini, karena mendengarkan nyanyian sudah menjadi kebiasaan manusia, mereka bisa menikmatinya, jiwa merasa tenang, anak-anak juga merasa nyaman karena mendengarkan suara yang mengalun lembut, sehingga bisa menghilangkan rasa penat di badan saat mengadakan perjalanan jauh umpamanya. Suara merdu dan yang mengalun lembut ini pun merupakan nikmat yang diberikan Allah kepada pemiliknya dan menambah keagungan dalam ciptaan-Nya. Sementara Allah mencela suara yang bising seperti suara keledai. Suara yang merdu ini pun merupakan nikmat Allah yang diberikan kepada para penghuni surga. Maka bagaimana mungkin nyanyian yang merdu ini diharamkan, sementara ini juga merupakan nikmat di dalam surga? Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pun terpesona mendengar suara Abu Musa Al- Asy'ary yang sedang membaca Al-Qur'an dan memujinya, seraya bersabda : "Orang ini telah dianugerahi kemerduan di antara kemerduan keluarga Daud."
Lalu Abu Musa menimpali, "Andaikata aku tahu engkau sedang menyimak, tentu aku akan lebih membaguskannya lagi." Beliau juga bersabda : "Hiasilah Al-Qur'an dengan suara kalian."
"Bukan termasuk golongan kami yang tidak pernah melagukan Al- Qur'an."
Makna yang benar tentang hadits ini, bahwa melagukan di sini adalah membaguskan suara. Maka Al-Imam Ahmad menafsirinya dengan berkata, "Membaguskan suara menurut kesanggupannya."
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam juga memperkenankan bagi Aisyah untuk memanggil dua penyanyi dari budak perempuan pada led. Beliau berkata kepada Abu Bakar, "Biarkan saja mereka berdua. Karena setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan sekarang inilah hari raya para pemeluk Islam."
Beliau juga pernah mengizinkan nyanyian dalam jamuan pengantin dan menyebutnya al-lahwu. Beliau pernah mendengar nyanyian dan mengizinkannya. Beliau pernah mendengar Anas dan shahabat lainnya yang melantunkan syair saat menggali parit sebelum perang Ahzab : "Kepada Muhammad kami menyatakan sumpah setia untuk berjihad selagi kami masih ada di dunia."
Sewaktu pulang dari perang Khaibar, ada seseorang yang melantunkan syair di dekat beliau : "Demi Allah, kalau bukan karena-Nya kami tak mendapat petunjuk kami tidak shalat dan tidak pula berinfak, turunkanlah ketenangan kepada kami di medan perang kokohkan pijakan kaki orang-orang yang akan melakukan penindasan tak kan berhasil jika menimpakan cobaan kami berteriak lantang saat dating karena itu mereka lari tunggang langgang hanya karunia-Mu yang kami harapkan."
Beliau pernah berdoa bagi Hassan, agar Allah menguatkannya dengan Ruhul-Qudus dan meniupkan kepadanya, karena beliau sangat kagum terhadap syair-syairnya.
Ibnu Umar, Abdullah bin Ja'far dan penduduk Madinah menetapkan keringanan hukum untuk nyanyian ini, dan masih banyak orang-orang lain yang pernah menghadiri dan mendengarkan nyanyian. Maka barangsiapa mengharamkan nyanyian, berarti dia telah melecehkan orangorang yang tehormat ini.
Pendengaran bisa mendorong jiwa dan hati pendengarnya kepada sesuatu yang dicintainya. Jika yang dicintainya itu haram, maka pendengarannya merupakan penolong kepada sesuatu yang haram. Namun jika yang dicintainya mubah, maka pendengaran itu hukumnya juga mubah. Jika kecintaannya itu untuk menggugah rasa kasih sayang, maka itu merupakan taqarrub dan ketaatan, karena hal itu menggerakkan rasa kasih sayang dan cinta. Kenikmatan telinga mendengarkan suara yang merdu sama dengan kenikmatan mata melihat pemandangan yang indah, kenikmatan mulut merasakan makanan yang lezat, kenikmatan hidung mencium aroma yang harum dan sedap. Jika nyanyian ini haram, maka semua bentuk kenikmatan ini pun juga haram. Jawaban dari alasan yang mereka pergunakan, dapat dikatakan sebagai berikut:
Bahwa alasan ini merupakan upaya menyimpangkan tujuan, mengalihkan masalah dari inti perselisihan dan bergantung kepada sesuatu yang tidak ada kaitannya.
Keberadaan sesuatu yang bisa dinikmati indera dan sesuai dengannya, tidak menunjukkan pembolehan dan pengharaman, kemakruhan dan anjurannya. Kenikmatan mendengarkan nyanyian ini harus dikait-kan secara tepat kepada lima dasar hukum: Haram, wajib, makruh, sunat dan mubah. Maka bagaimanakah orang yang mengetahui syarat-syarat dalil dan penempatannya, melandaskan kenikmatan kepada dasar hukum ini? Bukankah alasan ini sama dengan orang yang membolehkan perzinaan karena alasan kenikmatan? Karena siapa pun yang mempu-nyai naluri yang normal tidak akan mengingkari kenikmatan hubungan seksual. Apakah sekian banyak hal-hal yang haram dihalalkan karena yang haram itu nikmat dan menyenangkan? Bukankah suara-suara alat musik yang pengharamannya telah disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para ulama pun sudah menyepakati pengharamannya, termasuk kenikmatan yang dirasakan pendengaran? Apakah anak-anak yang menikmati suara merdu dapat dijadikan dalil atas suatu ketetapan hukum, halal atau haram?
Yang lebih aneh lagi tentang alasan pembolehan nyanyian ini, bahwa Allahlah yang menciptakan suara yang merdu, yang berarti merupakan tambahan nikmat bagi pemiliknya. Rupa yang cantik menawan juga merupakan tambahan nikmat, dan Allahlah yang menciptakannya dan memberikannya. Apakah dengan begini boleh menikmati rupa yang cantik tanpa ada batasannya? Bukankah yang demikian ini merupakan pendapat para penganut paham permisivisme yang biasa mengikuti tuntutan naluri dan birahi? Apakah karena Allah mencela suara keledai bisa dijadikan dalil pembolehan musik, nyanyian dan lagu?
Yang lebih aneh lagi ialah penggunaan dalil pembolehan mendengarkan nyanyian, karena para penghuni surga juga menikmatinya di surga. Mungkin yang lebih tepat lagi ialah membolehkan minum khamr, karena para penghuni surga juga menikmatinya di surga, membolehkan kain sutera karena para penghuni surga juga mengenakannya di surga.
Jika mereka mengatakan, "Sudah ada dalil yang mengharamkan khamr dan kain sutera bagi kaum laki-laki. Sementara itu, tidak ada dalil tentang pengharaman mendengarkan." Maka dapat dijawab sebagai berikut: Penggunaan dalil ini lain dengan dalil yang digunakan tentang pembolehannya bagi penghuni surga. Dengan begitu jelas sudah bahwa dalil yang kalian gunakan tentang pembolehan nyanyian bagi penghuni surga merupakan tindakan yang salah dan batil, tidak bisa diterima. Tentang tidak adanya dalil pengharaman mendengarkan seperti anggapan kalian, maka perlu ditanyakan, pendengaran macam apa ini? Apa yang didengarkan? Harus ada pengaitan terhadap salah satu dasar hukum: Haram, wajib, makruh, sunat dan mubah. Tunjuk salah satu di antaranya agar ada kejelasan ketetapan dan penafiannya.
Jika mendengarkan syair, perlu ditanyakan, syair macam apa? Jika isinya berupa pujian kepada Allah, Rasul, agama dan kitab-Nya, maka orang-orang Muslim biasa mendengarkan dan bahkan mempelajarinya. Itu pula yang didengarkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, diakui dan dianjurkannya. Dari sinilah banyak orang yang terkecoh, terutama mereka yang biasa mendengarkan suara-suara yang dikemas syetan. Mereka berkata, "Itu adalah bait-bait syair, dan yang kami dengarkan juga bait-bait syair. Jadi sudah klop." Sunnah adalah perkataan, bid'ah juga perkataan. Tasbih adalah perkataan, ghibah juga perkataan. Doa adalah perkataan, tuduhan juga perkataan. Apakah di antara dua perkara yang berlawanan ini juga dikatakan sama? Apakah yang didengarkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat juga sama dengan apa yang kalian dengarkan, yang berupa suara-suara berbau syetan?
Hal ini tidak jauh berbeda dengan sikap mereka yang menganggap baik suara bacaan Al-Qur'an, anjuran Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kecintaan Allah kepadanya, sebagaimana mereka menganggap baik suara wanita dan penyanyi, yang diiringi alunan alat-alat musik, yang isi nyanyian itu menggambarkan cinta kasih, orang yang mabuk kepayang dilanda cinta, menggambarkan bibir wanita yang merekah, pipi yang ranum, tubuh yang indah semampai, perpisahan dengan kekasih tercinta, keresahan, kegundahan hati dan lain sebagainya, yang jauh le-bih merusak hati daripada meminum khamr. Apalah artinya kerusakan selama satu hari karena minum khamr jika dibandingkan dengan keseronokan dalam nyanyian itu yang berpengaruh sepanjang waktu dan pendengarnya bisa menjadi tawanannya?
Sungguh aneh sekali jika kalian melandaskan dalil tentang pembolehan mendengarkan nyanyian yang sudah menjadi kebiasaan semua orang, dengan nyanyian dua gadis kecil yang belum baligh pada hari raya semasa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang melantunkan baitbait syair bangsa Arab yang menggambarkan patriotisme di medan peperangan dan akhlak yang mulia. Lalu di mana letak kesesuaiannya? Yang lebih aneh lagi, inilah alasan yang paling kalian andalkan untuk membo- lehkan nyanyian. Abu Bakar Ash-Shbiddiq menyebut nyanyian sebagai seruling syetan, dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ikut menegaskan sebutan ini. Lalu beliau membuat keringanan hukum untuk dua gadis kecil yang belum baligh yang sama sekali tidak mendatangkan mudharat jika keduanya melantunkannya atau orang lain mendengarkannya. Apakah hal ini menunjukkan pembolehan apa yang kalian lakukan, yang mendengarkan nyanyian-nyanyian yang isinya tidak perlu dijelaskan lagi? Tanggapan tentang alasan-alasan lain yang mereka pergunakan tidak jauh berbeda dengan tanggapan ini.
Untuk menuntaskan perselisihan pendapat tentang hukum masalah ini, harus ada rincian tiga kaidah, dan ini merupakan kaidah iman dan perilaku yang paling penting. Siapa yang tidak berdiri pada tiga kaidah ini, maka bangunannya seperti bangunan di
pinggir jurang. Tiga kaidah ini adalah:
1. Apakah perasaan, kata hati dan keadaan merupakan penentu hokum atau yang diberi ketentuan hukum, yang berarti harus ada penentu hukum yang lain baginya? Di sinilah sumber kesesatan orang-orang yang rusak ketika mereka hendak mengikuti jalan orang-orang yang benar. Pasalnya, mereka menjadikan perasaan ini sebagai penentu hukum untuk sesuatu yang dianjurkan atau yang dilarang, yang benar atau yang rusak. Mereka menjadikan perasaan sebagai pemilah kebenaran dan kebatilan. Sehingga tidak heran jika permasalahannya menjadi berlarut-larut, kerusakan dan kejahatan ada di mana-mana, sendi-sendi iman dan perilaku tercabut, jalan menjadi sesat, manusia menyembah Allah hanya dengan dibungkus perasaan dan akhirnya mereka menyembah diri mereka sendiri. Kerusakan ada di mana-mana karena manusia menjadikan perasaan sebagai penentu hukum. Karena perasaan itu berbeda-beda dan amat banyak warnanya. Setiap orang dan setiap golongan mempunyai perasaan dan keadaan sendiri-sendiri, selaras dengan keyakinan dan peri-lakunya.
2. Jika ada perselisihan dalam hukum suatu perbuatan, keadaan atau perasaan, apakah hal itu benar atau salah, haq atau batil, maka per masalahannya harus dikembalikan kepada hujjah yang bisa diterima di sisi Allah dan hamba-hamba-Nya yang Mukmin. Hujjah ini merupakan wahyu yang menjadi sumber pengambilan hukum untuk setiap keadaan dan menjadi timbangannya. Siapa yang tidak melandaskan ilmu, perilaku dan perbuatannya ke dasar ini, maka dia tidak mempu nyai urusan sedikit pun dengan agama, yang berarti dia tertipu dan terkecoh. Firman Allah : "Dan, orang-orang yang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila air itu didatangi, dia tidak mendatapi sesuatu apa pun dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya." (An-Nur: 39).
3. Jika hukum sesuatu dianggap rumit atau samar-samar, apakah boleh atau haram, maka hendaklah dia melihat sisi kerusakan, hasil dan akibatnya. Jika akibatnya jelas mendatangkan kerusakan, maka mustahil pembawa syariat memerintahkannya dan membolehkannya. Terlebih lagi jika hal itu merupakan jalan yang bisa mendatangkan kemurkaan Allah dan Rasul-Nya serta menjauhkan dari-Nya. Tidak diragukan bahwa yang semacam ini diharamkan. Bagaimana mungkin Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui segala sesuatu mengharamkan barang yang memabukkan, sedikit apa pun, karena yang sedikit ini bisa menyeret kepada yang banyak, lalu Dia menghalalkan yang lebih besar akibatnya bagi jiwa, yang bisa menyeret kepa da perbuatan-perbuatan dosa lainnya? Jika kalian tidak mempunyai kesempatan untuk menyerahkan ketetapan hukum kepada perasaan, maka kami akan menghukumi kalian dengan perasaan yang tidak bisa kita ingkari. Marilah kita simak berikut ini.
Hati mempunyai dua keadaan: Keadaan sedih dan berduka saat kehilangan, keadaan gembira dan suka saat mendapatkan apa yang disu-kai. Masing-masing dari dua keadaan ini mempunyai ubudiyah. Dalam keadaan yang pertama (sedih), maka ubudiyahnya adalah ridha dan sa-bar. Dalam keadaan yang kedua (gembira), maka ubudiyahnya adalah syukur. Dua ubudiyah ini dirintangi nafsu dan syetan, dengan dua jenis suara yang menunjukkan kebodohan dan keburukan, yang keduanya diperuntukkan bagi syetan dan bukan bagi Allah, yaitu: Suara ratapan saat sedih dan kehilangan sesuatu atau orang yang dicintai, suara yang tidak bermanfaat, musik dan nyanyian saat gembira dan mendapatkan sesuatu yang dicintai. Syetan mengganti dua macam ubudiyah dengan dua suara ini. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mengisyaratkan secara langsung dua makna ini dalam hadits dari Anas Radhiyallahu Anhu, beliau bersabda : "Aku hanya melarang dua jenis suara yang bodoh dan buruk: Suara kutukan saat mendapat musibah dan suara musik saat mendapat nikmat."
Siapa yang lebih sedikit mendapatkan cahaya Nabawy tentu akan mendapatkan kesenangan dan kenikmatan dari nyanyian itu, atau bahkan dia menjadikan nyanyian itu sebagai sesembahannya. Akibatnya, hatinya menjadi keras saat mendengar nasihat orang yang mengingkari-nya, tabiatnya menjadi kaku, jiwanya terasa berat. Untuk mengobati hati orang yang keadaannya semacam ini, maka secara bertahap dia dapat beralih dengan mendengarkan bacaan Al-Qur'an yang dibaca dengan alunan lagu dan suara yang merdu, disertai pemahaman makna-maknanya dan mendalami seruan-seruannya. Hal ini bias dilakukan secara perlahan-lahan dan bertahap, sampai akhirnya dia bisa meninggalkan kebiasaan lamanya yang suka mendengarkan lagulagu. Mengganti ratapan dengan sabar dan nyanyian dengan syukur merupakan masalah yang sangat penting dalam agama. Siapa yang menolak hal ini adalah orang yang jauh dari iman dan ilmu. Sebab syukur merupakan kesibukan dalam ketaatan kepada Allah, bukan dengan suara-suara yang menggambarkan kebodohan dan keburukan, yang hanya diperuntukkan bagi syetan. Begitu pula ratapan yang kebalikan dari sabar. Maka dari itu Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu pernah menempeleng seorang wanita yang meratap tangis hingga kelihatan rambutnya, seraya berkata, "Wanita ini tidak mempunyai kehormatan diri, karena dia menyuruh kepada kegelisahan, padahal Allah melarangnya. Dia melarang sabar, padahal Allah memerintahkannya. Dia mendatangkan cobaan bagi orang yang hidup dan menyakiti orang yang meninggal. Dia menjual peringatannya dan menggugah kesedihan selainnya." Semua orang sudah tahu bahwa mudharat nyanyian dan lagu lebih besar daripada mudharat ratapan. Pengalaman menunjukkan bahwa di tempat yang banyak diisi dengan lagu dan nyanyian, tentu banyak terda-pat musuh-musuh Allah dan syetan, kejahatan dan keburukan. Orang yang berakal tentunya bisa melihat gambaran hal ini atau keadaan di sekitarnya.
Pengarang Manazilus-Sa'irin menjelaskan, bahwa sima' itu ada tiga derajat :
1. Sima'-nya orang-orang awam, yang meliputi tiga hal: Mengikuti pemenuhan celaan terhadap peringatan, mengusahakan pemenuhan seruan janji, dan memperhatikan pencapaian kesaksian karunia. Peringatan di sini bisa berarti meninggalkan apa yang diperintahkan dan mengerjakan apa yang dilarang. Mengikuti ini merupakan ketaatan kepada Allah, karena Allahlah yang memerintah, melarang dan menjanjikan. Mengerjakan apa yang diperintahkan didasarkan pada cahaya iman dan mengharap pahala. Meninggalkan apa yang dilarang pun juga didasarkan kepada cahaya iman, karena takut siksaan. Mengusahakan pemenuhan janji maksudnya melakukan perintah karena mengharapkan apa yang dijanjikan, dengan berusaha semampu mungkin. Sedangkan maksud memperhatikan pencapaian kesaksian karunia ialah memperhatikan bahwa semua kebaikan yang diperoleh merupakan karunia dari Allah, padahal belum tentu dia berhak mendapatkan karunia itu. Firman Allah : "Mereka merasa telah memberikan nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, 'Janganlah kalian merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislaman kalian, sebenarnya Allahlah yang melimpahkan nikmat kepada kalian dengan menunjuki kalian kepada keimanan jika kalian adalah orang-orang yang benar'." (Al-Hujurat: 17). Begitu pula keduniaan yang tidak didapatkannya atau musibah yang menimpanya, maka semua itu dari Allah, yang harus diterima dengan nalar yang sehat. Di antara orang salaf berkata, "Wahai anak Adam, kamu tidak tahu mana di antara dua nikmat yang paling baik bagimu: Nikmat Allah yang diberikan kepadamu ataukah nikmat-Nya yang disingkirkan darimu."
Umar bin Al-Khaththab berkata, "Aku tidak peduli apa yang terjadi pada diriku di waktu pagi atau petang hari. Jika ada kekayaan, maka itu perlu disyukuri, dan jika ada kemiskinan, maka harus sabar."
2 Sima'-nya orang-orang khusus, yang meliputi tiga hal: Mempersaksikan maksud dalam setiap simbol, memperhatikan tujuan di setiap waktu, dan tidak membebaskan diri dari kenikmatan perpisahan. Mempersaksikan maksud dalam setiap simbol artinya mempersaksikan keberadaan Allah dalam segala sesuatu, karena semua yang bisa didengar memperkenalkan Allah, sifat, asma', janji, ancaman, perbuatan, hukum, perintah, larangan, keadilan dan karunia-Nya. Memperhatikan tujuan di setiap waktu artinya mencari dan mengadakan perjalanan agar dengan apa yang didengarkan dapat menghantarkan ke tujuan, yaitu Allah. Sedangkan tidak membebaskan diri dari kenikmatan perpisahan artinya memisahkan diri dari makna-makna yang didengar, karena dengan mengalihkan hati darinya bisa mendatangkan kenikmatan.
3. Si ma’nya orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus ialah sima'yang menyingkirkan penghambat hati untuk penyingkapan, menghantarkan keabadian ke keazalian dan mengembalikan kesudahan ke permulaan.
Maksud menyingkirkan penghambat hati untuk penyingkapan ialahpenyingkapan hakikat apa yang didengarkan, sehingga tidak ada lagi syubhat dan tidak ada penghalang antara orang yang mendengar dan apa yang didengar. Sedangkan yang kedua dan ketiga, jika dipahami menurut zhahirnya termasuk sesuatu yang mustahil.
Hazan
Di antara tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in adalah hazan (kesedihan hati atau duka cita). Tapi ini bukan merupakan tempat persinggahan yang dituntut atau diperintahkan untuk disinggahi, sekalipun mungkin orang yang sedang mengadakan perjalanan harus menyinggahinya. Sebab di dalam Al-Qur'an tidak disebutkan kata hazan, melainkan sesuatu yang dilarang atau pun dinafikan. Yang dilarang seperti firman Allah : "Dan, janganlah kalian bersikap lemah dan jangan (pula) kalian bersedih hati. "(Ali Imran: 139).
Sedangkan yang dinafikan seperti firman Allah : "Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, nicaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Al- Baqarah: 38).
Pasalnya, kesedihan hati merupakan tempat pemberhentian dan bukan pendorong untuk mengadakan perjalanan serta tidak ada kemaslahatannya bagi hati. Di samping itu, yang paling disukai syetan ialah membuat hati hamba bersedih, lalu dia tidak mau melanjutkan perjalanannya dan mendorongnya untuk berhenti, sebagaimana firman-Nya : "Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari syetan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita." (Al-Mujadilah: 10).
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga melarang tiga orang yang sedang berkumpul, sementara dua orang saling berbisik-bisik, karena yang demikian itu membuat orang yang ketiga bersedih hati. Kesedihan hati bukan sesuatu yang dituntut, tidak ada tujuan dan manfaatnya.
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berlindung dari kesedihan hati, sebagaimana dalam doa beliau, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekhawatiran dan kesedihan."
Tapi dari segi kenyataan hidup, memang tempat persinggahan ini tidak bisa dihindari. Karena itu para penghuni surga berucap saat mereka memasukinya : "Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan hati dari kami." (Fathir:34).
Hal ini menunjukkan bahwa dahulunya mereka pernah mengalami kesedihan hati, selagi masih di dunia, sebagaimana mereka ditimpa musibah-musibah lain tanpa menghendakinya. Sementara Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadits shahih : "Tidaklah seorang Mukmin ditimpa kekhawatiran, keletihan dan
kesedihan hati, melainkan Allah mengampuni sebagian dari kesalahan-kesalahannya."
Ini menunjukkan bahwa itu semua merupakan musibah yang ditimpakan Allah kepada hamba, agar dengan begitu Allah mengampuni kesalahan- kesalahannya, bukan karena menunjukkan kedudukan kesedihan hati ini yang merupakan tuntutan.
Sedangkan hadits Hindun bin Abu Halah yang berkata mensifati Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Bahwa beliau selalu tampak bersedih hati", ini hadits yang sama sekali tidak kuat dan di dalam isnadnya ada seseorang yang tidak diketahui.
Di samping itu, bagaimana mungkin beliau senantiasa bersedih hati, padahal beliau telah dijaga Allah agar tidak bersedih hati karena tidak mendapatkan dunia dan sebab-sebabnya, dilarang bersedih hati dalam menghadapi orang-orang kafir, dan dosadosa beliau yang lampau maupun yang akan datang sudah diampuni? Lalu
apa yang membuat beliau harus senantiasa bersedih hati? Beliau adalah orang yang senantiasa banyak senyum dan manis muka. Begitu pula riwayat yang mengatakan, "Sesungguhnya Allah mencintai setiap hati yang banyak bersedih." Isnad riwayat ini tidak diketahui, begitu pula siapa yang meriwayatkannya. Taruklah bahwa ada hadits yang shahih dan ada ayat yang menggambarkan kesedihan, maka maksudnya adalah musibah yang ditimpakan kepada hamba.
Yang pasti para ulama telah sepakat bahwa kesedihan hati di dunia bukan sesuatu yang terpuji, kecuali Abu Utsman Al-Hiry. Dia berkata : "Menampakkan kesedihan di hadapan setiap orang adalah kemuliaan dan tambahan pahala bagi orang Mukmin, selagi kesedihan itu bukan karena musibah yang menimpanya."
Khauf
Khauf (takut) merupakan tempat persinggahan yang amat penting dan paling bermanfaat bagi hati. Ini merupakan keharusan bagi setiap orang. Firman Allah : "Karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kalian benar-benar orang yang beriman." (Ali Imran: 175).
Allah memuji orang-orang yang takut di dalam Kitab-Nya dan menyanjung mereka : "Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (adzab) Rabb mereka, dan orang-orang yang beriman terhadap ayat-ayat Rabb mereka, dan orang-orang yang tidak mempersekutukan de-ngan Rabb mereka (sesuatu apa pun), dan orang-orang yang memberi-kan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya." (Al-Mukminun: 57-61).
Ahmad dan At-Tirmidzy meriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha, dia pernah berkata, "Aku pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, tentang firman Allah, 'Dan
orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut', apakah dia itu orang yang berzina, minum khamr dan mencuri?" Beliau menjawab, "Bukan wahai putri Ash-Shiddiq, tetapi dia orang yang puasa, shalat dan mengeluarkan shadaqah, sedang dia takut amalnya tidak diterima."
Al-Hasan berkata, "Demi Allah, mereka itu adalah orang-orang yang melakukan berbagai macam ketaatan dan berusaha untuk itu, sedang mereka takut amalnya tertolak. Sesungguhnya orang Mukmin itu menghimpun kebajikan dan ketakutan, sedangkan orang munafik menghimpun kejahatan dan rasa aman."
Kata khauf tidak jauh maknanya dengan kata wajal, khasyyah, rahbah, haibah, sekalipun mungkin ada sedikit perbedaan pada perincian atau penyertaannya. Ada yang berpendapat, khauf merupakan kegundahan hati dan gerakannya karena ingat sesuatu yang ditakuti. Ada pula yang berpendapat, khauf adalah upaya hati untuk menghindar dari datangnya sesuatu yang tidak disukainya, saat ia merasakannya. Sedangkan khasyyah lebih khusus daripada khauf. Khasyyah adalah milik orangorang yang memiliki pengetahuan tentang Allah. Firman-Nya : "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba- Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu." (Fathir: 28).
Khasyyah merupakan khauf yang disertai ma'rifat. Maka dari itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda : "Sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah di antara kalian, dan aku adalah orang yang paling takut kepada-Nya di antara kalian."
Sedangkan rahbah mencari peluang untuk lari dari sesuatu yang tidak disukai. Kebalikannya raghbah, yaitu gerakan hati untuk mencari sesuatu yang diinginkan. Wajal artinya hati yang menggigil dan bergetar karena mengingat orang yang ditakuti kekuasaan dan hukumannya atau saat melihatnya. Haibah artinya ketakutan yang disertai pengagungan dan penghormatan, yang biasanya juga disertai rasa cinta, karena penghormatan merupakan pengagungan yang disertai rasa cinta.
Khauf merupakan sifat orang-orang Mukmin secara umum, khasyyah merupakan sifat orang-orang yang berilmu dan memiliki ma'rifat, haibah merupakan sifat orang-orang yang mencintai, sedangkan ijlal merupakan sifat orang-orang mendekatkan diri. Seberapa banyak ilmu dan ma'rifat yang dimiliki, maka sebanyak itu pula khauf dan khasyyahnya, sebagaimana yang disabdakan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam : "Sesungguhnya aku adalah orang yang paling mengetahui Allah di antara kalian, dan aku adalah orang yang paling takut kepada-Nya di antara kalian."
Beliau juga bersabda : “ Sekiranya kalian mengetahui apa yang kuketahui, tentu kalian sedikit tertawa, banyak menangis, tidak bercumbu dengan istri di atas tempat tidur dan kalian akan keluar ke atas bukit untuk memohon pertolongan kepada Allah."
Orang yang mempunyai sifat khauf lebih suka melarikan diri atau menahan diri, sedangkan orang yang memiliki sifat khasyyah lebih suka berlindung kepada ilmu. Perumpamaan di antara keduanya seperti orang yang sama sekali tidak mengerti ilmu kedokteran dan seorang dokter yang andal. Orang yang pertama mengandalkan pertahanan dan upaya melarikan diri, sedangkan orang yang kedua mengandalkan ilmu dan pengetahuannya tentang penyakit dan obat.
Abu Hafsh berkata, "Khauf merupakan cemeti Allah untuk menggiring orang-orang yang meninggalkan pintu-Nya. Khauf juga merupakan pelita di dalam hati, yang dengannya dia bisa melihat kebaikan dan keburukan. Setiap orang yang engkau takuti, tentu engkau hindari, kecuali Allah Azza wa jalla. Orang yang takut, lari dari Rabb-nya namun juga menuju Rabb-nya."
Khauf bukan merupakan sasaran inti, tetapi merupakan sasaran bagi selainnya, karena ia hanya merupakan sasaran perantara. Maka khauf akan hilang jika apa yang ditakuti juga tidak ada. Karena itu para penghuni surga tidak lagi takut dan bersedih hati. Khauf berhubungan dengan perbuatan, dan cinta berhubungan dengan dzat serta sifat. Karena itu cinta orang-orang Mukmin kepada Rabb semakfn berlipat ganda jika mereka sudah masuk surga dan mereka tidak lagi merasa takut. Sehingga kedudukan cinta lebih tinggi daripada kedudukan khauf. Khauf yang terpuji dan benar ialah yang menjadi penghalang antara pelakunya dan hal-halyang diharamkan Allah. Jika hal ini dilanggar, maka rasa putus asa membuat- nya merasa takut. Abu Utsman berkata, "Khauf yang benar ialah menghindari dosa secara lahir dan batin."
Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata : "Khauf yang terpuji ialah yang menghalangi dirimu dari hal-hal yang diharamkan Allah."
Pengarang Manazilus-Sa'irin menjelaskan, bahwa khaufaitinya tidak merasa tenang dan aman karena mendengar suatu pengabaran. Dengan kata lain tidak merasa aman karena mengetahui apa yang dikabarkan Allah, baik yang berupa janji maupun ancaman.
Menurutnya, ada tiga derajat khauf :
1. Khauf terhadap hukuman, yaitu khauf yang ditunjang iman hingga menjadi benar. Ini khauf-nya orang-orang awam. Khauf ini muncul karena mempercayai ancaman, ingat kesalahan diri sendiri dan memperkirakan akibat. Khauf didahului dengan perasaan dan ilmu. Mustahil seseorang takut jika dia tidak merasakannya. Ada dua kaitan dengan hal ini: Dengan sesuatu yang tidak disukainya, yang dikhawatirkan akan terjadi, dan dengan sebab yang mengarah ke sesuatu yang ditakuti itu. Sejauh mana seseorang merasakan suatu sebab dapat menjurus ke sesuatu yang ditakuti, maka sejauh itu pula ketakutannya. Siapa yang tidak percaya bahwa suatu sebab dapat menjurus ke sesuatu yang tidak disukainya, maka dia tidak akan takut, dan siapa yang
percaya bahwa sebab itu menjurus kepada sesuatu yang tidak disukainya, namun dia tidak mengetahui gambaraannya secara pasti, maka dia tidak takut seperti ketakutan yang pertama. Jika dia tahu gambarannya, maka muncullah ketakutan itu. Inilah makna munculnya pembenaran ancaman, mengingat kesalahan dan memperkirakan akibat.
2. Khauf terhadap tipu daya selagi dia dalam keadaan sadar dan yang bias mengganggu kesenangan hatinya. Dengan kata lain, siapa yang dalam keadaan sadar dan tidak lalai serta hidup secara normal, tentu akan merasakan kesenangan. Sebab tidak ada yang lebih menyenangkan selain dalam keadaan sadar. Jika dia dalam keadaan sadar, berarti dia harus merasa takut terhadap tipu daya atau jika kesadaran dan kesenangan itu terampas.
3. Ini merupakan khauf-nya orang-orang khusus, yang praktis tidak lagi mempunyai khauf selain dari haibah karena pengagungan. Ini merupakan derajat paling tinggi dalam khauf.
Bayang-bayang khauf muncul jika ada pemutusan dan hambatan hubungan. Sementara orang-orang yang khusus ini adalah mereka yang sudah sampai dan dekat dengan Allah. Jadi khauf mereka bukan khauf yang senantiasa membayang-bayangi, seperti rasa takutnya orang-orang yang berbuat salah. Sebab Allah senantiasa bersama mereka, menerima mereka dan mencintai mereka.
Dalam perjalanannya kepada Allah, hati itu diibaratkan seekor burung. Cinta merupakan kepalanya, rasa takut dan berharap merupakan dua buah sayapnya. Selagi kepala dan dua sayap normal, maka burung itu bisa terbang dengan baik. Jika kepala terputus, maka ia akan mati. Jika dua sayap tidak ada, maka ia tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi orang-orang salaf lebih suka memperhatikan kesehatan sayap rasa takut daripada sayap harapan. Tapi saat keluar dari dunia mereka lebih memprioritaskan sayap harapan daripada sayap rasa takut. Ini juga merupakan pendapat Abu Ismail (pengarang kitab Manazilus- Sa'iriri). Dia berkata, "Rasa takut harus lebih menguasai hati. Jika harapan yang lebih menguasainya, maka ia akan rusak."
Yang lain berkata, "Yang paling sempurna adalah menyelaraskan harapan dan rasa takut serta memperbanyak cinta. Sebab cinta itu ibarat kendaraan, harapan ibarat dorongan, rasa takut ibarat sopir dan Allahlah yang menghantarkan ke tujuan dengan karunia-Nya."
Isyfaq
Di antara tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in adalah isyfaq. Allah berfirman : "(Yaitu) orang-orang yang takut akan adzab) Rabb mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat." (Al-Anbiya': 49).
"Dan, sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain saling tanya-menanya. Mereka berkata, Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami, merasa takut (akan adzab).Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka'." (Ath-Thur: 25-27).
Isyfaq artinya rasa takut yang amat lembut terhadap orang yang ditakutinya. Perbandingannya dengan rasa takut seperti rasa belas kasihan dengan kasih sayang. Jadi ini merupakan kasih sayang yang amat lembut.
Karenanya pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Isyfaq adalah kewaspadaan secara terus-menerus yang disertai rasa sayang. Ada tiga derajat isyfaq:
1. Isyfaq terhadap jiwa kalau-kalau beralih ke pengingkaran, atau mengikuti jalan nafsu dan kedurhakaan serta pengingkaran ubudiyah. Sedangkan isyfaq terhadap amal ialah kalau-kalau amal itu sia-sia. Artinya takut kalau-kalau amalnya itu seperti yang difirmankan Allah : "Dan, Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan." (Al-Furqan: 23).
Amal yang diibaratkan debu yang beterbangan itu ialah amal-amal yang dimaksudkan untuk selain Allah, tidak menurut perintah-Nya dan Sunnah Rasul-Nya. Rasa takut ini juga berlaku untuk amal-amal yang akan datang, kalau-kalau dia meninggalkannya atau karena kedurhakaan yang dilakukannya, sehingga amal-amal itu menjadi hilang, hingga keadaannya seperti yang difirmankan Allah : "Apakah ada salah seorang di antara kalian yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dalam kebun itu dia mempunyai segala macam buah-buahan,"(Al- Baqarah: 266).
Umar bin Al-Khaththab bertanya kepada para shahabat, "Kepada siapakah ayat ini diturunkan?" Mereka menjawab, "Allahlah yang lebih mengetahuinya." Mendengar jawaban mereka ini, Umar marah, lalu dia berkata, "Katakan saja, kami tahu atau kami tidak tahu." Ibnu Abbas berkata, "Wahai Amirul-Mukminin, aku mempunyai selintas pengertian tentang ayat ini." Umar menyahut, "Wahai anak saudaraku, katakanlah, dan janganlah engkau terlalu merendah diri." Ibnu Abbas berkata, "Ayat ini merupakan perumpamaan tentang suatu amal." "Amal macam apa?" tanya Umar. Ibnu Abbas menjawab, "Tentang seseorang yang kaya raya dan juga rajin melakukan ketaatan kepada Allah, lalu Allah mengutus syetan kepadanya, dan dia pun melakukan kedurhakaan, sehingga menenggelamkan semua amalnya."
2. Isyfaq terhadap waktu kalau-kalau ia ternodai perpisahan. Dengan kata lain, seseorang mewaspadai waktunya agar tidak tercampuri sesuatu yang bisa memisahkan kebersamaannya dengan Allah. Sedangkan isyfaq terhadap hati, kalau-kalau ia terisi
penghalang, entah berupa syubhat, syahwat atau sebab apa pun yang menghambat perjalanan.
3. Isyfaq yang menjaga usaha seorang hamba dari ujub, menahannya agar tidak memusuhi akhlak dan membawanya agar menjaga kesungguhannya. Yang pertamaberkaitan dengan amal, yang kedua berkaitan dengan akhlak dan yang ketiga berkaitan dengan kehendak. Pada masing- masing bagian ini ada sesuatu yang bisa merusaknya. Ujub merusak amal. Merasa takut terhadap usahanya yang bisa dirusak ujub ini dapat menjaga usaha tersebut. Memusuhi akhlak merupakan perusak akhlak. Merasa takut terhadap akhlak yang bisa dirusaknya ini dapat menjaga akhlak tersebut. Keinginan bisa dirusak oleh tidak adanya kesungguhan, yaitu canda dan senda gurau. Merasa takut terhadap keinginan yang bisa dirusak senda gurau ini dapat menjaga keinginan tersebut.
Khusyu'
Allah befirman tentang khusyu' ini : "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyu' hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)?"
(Al-Hadid: 16).
Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu berkata, "Selang waktu antara keislaman kami dan teguran Allah terhadap kami hanya selama empat tahun." Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya Allah menganggap lamban hati orang-orang Mukmin. Maka Allah menegur mereka pada penghujung masa selama tiga belas tahun setelah turunnya Al-Qur'an. Lalu Allah befirman : "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya." (Al-Mukminun: 1-2).
Khusyu' menurut pengertian bahasa berarti tunduk, rendah dan tenang, seperti firman Allah, "Dan merendahlah semua suara kepada Rabb Yang Maha Pemurah". Bumi juga disifati khusyu', yang artinya kering, tandus dan berupa dataran rendah, yang tidak bisa diairi dan ditanami. Firman-Nya : "Dan, sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya, bahwa kalian melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atas-nya, niscaya ia bergerak dan subur." (Fushshilat: 39).
Khusyu' artinya keberadaan hati di hadapan Rabb, dalam keadaan tunduk dan merendah, yang dilakukan secara bersamaan. Ada yang berpendapat, khusyu'artinya tunduk kepada kebenaran. Tapi ini bukan defi-nisi khusyu', tapi merupakan keharusannya.
Di antara tanda-tanda khusyu' ialah jika seorang hamba dihadapkan kepada kebenaran, maka dia menerimanya dan tunduk patuh. Ada yang berpendapat, khusyu' artinya padamnya api syahwat dan tenangnya asap dada serta bercahayanya sinar di hati. Al-Junaid berkata, "Khusyu' artinya ketundukan hati kepada Dzat Yang Maha Mengetahui yang gaib."
Para ulama sepakat bahwa khusyu' itu berada di dalam hati dan hasilnya ada di anggota tubuh atau anggota tubuhlah yang menampakkan khusyu' itu. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melihat seseorang yang mengacak-acak jenggotnya ketika shalat, kemudian beliau bersabda : "Sekiranya hati orang ini khusyu', tentu anggota tubuhnya juga khusyu'." Beliau juga pernah bersabda, "Takwa itu ada di sini", sambil menunjuk ke dada. Beliau melakukannya tiga kali. Seorang shahabat (Hudzaifah bin Al-Yaman) berkata, "Jauhilah oleh kalian khusyu' kemunafikan." Ada yang bertanya, "Apa artinya khusyu' kemunafikan itu?" Dia menjawab, "Jika engkau melihat tubuh khusyu', tapi hati tidak khusyu'."
Umar bin Al-Khaththab pernah melihat seseorang yang melengkungkan lehernya tatkala shalat. Maka Umar berkata kepada orang itu, "Hai pemilik leher, tegakkanlah lehermu, karena khusyu' itu tidak terletak di leher, tapi di dalam hati."
Aisyah Radhiyallahu Anha pernah melihat sekumpulan pemuda yang berjalan perlahan-lahan. Dia bertanya kepada orang yang tahu tentang mereka, "Siapa mereka itu?" Orang itu menjawab, "Mereka para ahli ibadah." Aisyah berkata, "Umar bin Al-Khaththab adalah orang yang paling cepat jalannya, jika dia berbicara aku dapat mendengarnya dari kejauhan, jika memukul benarbenar menimbulkan rasa sakit dan jika memberi makanan, hingga yang diberinya kenyang, dan dia adalah ahli ibadah yang sebenarnya."
Al-Fudhail bin Iyadh paling benci melihat seseorang yang menampakkan khusyu' lebih banyak daripada apa yang ada di dalam hatinya.
Hudzaifah berkata, "Yang pertama kali hilang dari agama kalian adalah khusyu' dan yang terakhir kali hilang dari agama kalian adalah shalat. Berapa banyak orang yang mendirikan shalat namun tidak ada kebaikan di dalamnya. Begitu cepat mereka masuk masjid untuk berjama'ah, namun engkau tidak melihat seorang pun diantara mereka yang khusyu'. "Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Khusyu' adalah ketundukan jiwa dan kepatuhan tabiat kepada seseorang yang diagungkan atau yang disegani."
Yang jelas, khusyu' merupakan pengertian yang sejalan dengan pengagungan, cinta, kepatuhan dan ketundukan. Menurutnya, ada tiga derajat khusyu':
1. Tunduk kepada perintah, pasrah kepada hukum dan merendah kare-na melihat kebenaran. Tunduk kepada perintah berarti menerima, melaksanakan dan mengikuti
perintah, menyelaraskan zhahir dan batin, menampakkan kelemahan, memperlihatkan kebutuhan terhadap petunjuk pelaksanaan perintah itu sebelum melaksanakannya, pertolongan saat melaksanakannya dan penerimaan setelah pelaksanaannya. Pasrah kepada hukum, artinya hukum-hukum syariat. Dengan kata lain, tidak menentangnya karena berdasarkan kepada pendapat atau nafsu. Atau bisa juga diartikan pasrah kepada hukum takdir, dalam pengertian ridha terhadap takdir dan tidak marah karenanya. Makna yang paling tepat ialah hukum yang mengandung dua pengertian
ini. Merendah karena melihat kebenaran, artinya hati dan anggota tubuh yang merendahkan diri karena melihat Allah, bahwa Allah melihat sekecil apa pun yang ada di dalam hati dan anggota tubuhnya. Ini merupakan salah satu dari dua penakwilan terhadap firman Allah : "Dan, bagi orang yang takut akan saat menghadap Rabbnya, ada dua surga." (Ar-Rahman: 46).
"Dan, adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya." (An-Nazi'at: 40-41).
Ta'wil yang pertama ini merupakan pengetahuan tentang hamba-Nya, yang berkuasa atas dirinya. Ketakutan hamba terhadap pengetahuan Rabb-nya ini menimbulkan khusyu'-nya hati. Selagi perasaan ini semakin kuat, maka khusyu'-nya juga semakin kuat. Ta'wil yang kedua ialah saat hamba menghadap Rabb-nya, yaitu saat bersua dengan-Nya.
2. Memperhatikan penghambat jiwa dan amal, melihat kelebihan orang lain atas dirimu, menghembuskan angin kefanaan. Memperhatikan penghambat jiwa dan amal artinya melihat kekurang-an dan aib jiwa serta amal, karena yang demikian ini bisa membuat hati menjadi khusyu’, karena ia melihat kekurangan dan aibnya, seperti takabur, ujub, riya', tidak jujur, tidak yakin, niat yang bercabang dan aib-aib jiwa dan perusak amal lainnya. Melihat kelebihan orang lain atas dirimu artinya memperhatikan hakhak orang lain atas dirimu lalu engkau harus memenuhinya dan engkau tidak melihat bahwa apa yang mereka lakukan merupakan hak-mu atas mereka dan engkau juga tidak menuntut kepada mereka un-tuk memenuhi hakmu, engkau mengakui kelebihan mereka dan tidak melupakan kelebihan dirimu sendiri.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Orang yang arif ialah yang tidak melihat satu hak pun atas seseorang dan tidak memperlihatkan kelebihannya atas orang lain. Karena itu dia tidak boleh mencela, tidak menuntut dan tidak membanding-bandingkan." Menghembuskan angin kefanaan artinya menjadikan derajat ini seperti angin sepoisepoi menuju kefanaan, yang merupakan kesudahan hidup manusia.
Disebut angin sepoi-sepoi karena kelembutan ruh yang mengalir. Tidak dapat diragukan bahwa khusyu’ 'merupakan sebab yang menghantarkan kepada kefanaan.
3. Menjaga kesucian saat mencapai tujuan, membersihkan waktu dari riya' di hadapan orang lain dan tidak melihat kemuliaan diri sendiri. Menjaga kesucian saat mencapai tujuan artinya tetap menjaga jiwa agar tunduk dan merendahkan diri saat mencapai tujuan. Member sihkan waktu dari riya' di hadapan orang lain artinya tidak hanya disibukkan oleh usahanya membersihkan waktu dari riya'. Sebab orang yang memiliki derajat ini lebih tinggi kedudukannya. Dengan kata lain, dia menyembunyikan keadaan dirinya di hadapan orang lain, seperti khusyu'-nya dan ketundukannya, agar orang lain tidak melihatnya lalu membuatnya merasa bangga. Tidak melihat
kelebihan diri sendiri artinya tidak melihat kemuliaan dan kebaikan dirinya kecuali kebaikan itu datang dari Allah. Hanya Allah-lah yang memberikan karunia tanpa ada sebab dari dirimu. Tidak ada pemberi syafaat yang memberinya syafaat dan tidak ada yang menghantarkannya kepada kebaikan kecuali Allah semata. Jika ada yang bertanya, "Apa yang kalian katakan tentang shalat yang dilakukan seseorang tanpa khusyu’', apakah shalat itu dianggap ada ataukah tidak?" Dapat dijawab sebagai berikut: Penilaian tentang shalat itu diukur dari pahala. Jelasnya tidak ada pahala yang diberikan kepada pelakunva kecuali menurut penghayatan, penelaahan dan khusyu'-nya kepada Allah. Ibnu Abbas berkata, "Engkau tidak mendapat pahala dari shalatmu kecuali menurut apa yang engkau pahami dari bacaannya." Di dalam Al-Musnad disebutkan secara marfu', "Sesungguhnya hamba itu benar-benar mendirikan shalat, dan tidak ditetapkan pahala baginya kecuali separohnya, atau sepertiganya, atau seperempatnya, hingga mencapai sepersepuluhnya." Allah mengaitkan keberuntungan orang-orang yang shalat dengan khusyu'-nya shalat mereka. Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak khusyu' tidak termasuk orang-orang yang beruntung. Jika dengan shalat itu ditetapkan pahala baginya, berarti dia termasuk orang-orang yang beruntung. Kaitannya dengan hukum di dunia, jika khusyu'-nya itu lebih ba-nyak, maka shalatnya dianggap sah. Shalat-shalat sunat sebelum dan sesudahnya serta dzikir sesudahnya menyempurnakan kekurangannya. Jika yang lebih banyak adalah tidak khusyu'-nya dan juga tidak memahaminya, maka ada perbedaan pendapat tentang pengulangannya di kalangan fuqaha'. Ada yang mewajibkannya, seperti Abdullah bin Hamid dan rekan-rekan Ahmad serta Al-Ghazaly di dalam Ihya'-nya. Mereka berhuj ah, karena shalat itu tidak mendapat pahala dan tidak mendatangkan keberuntungan. Karena khusyu'dan memahami itu meru-pakan ruh, inti dan tujuan shalat, maka bagaimana mungkin shalat dianggap sah jika kehilangan ruh dan intinya, hanya tinggal rupa dan zha-hirnya? Sekiranya hamba meninggalkan salah satu kewajiban shalat secara sengaja, berarti dia membatalkan shalatnya. Sebagian kewajiban yang ditinggalkan ini seperti salah satu anggota tubuh seorang budak yang dimerdekakan dalam kafarat. Bagaimana dengan shalat yang kehilangan ruh, inti dan tujuannya? Hal ini tidak jauh berbeda dengan memerdekakan budak yang putus tangannya, sebagai kafarat yang wajib dilakukan. Yang demikian ini belum dianggap sah, terlebihlagi jika budak yang dimerdekakan itu sudah mati. Di antara orang salaf ada yang berkata, "Shalat itu bagaikan budak perempuan yang dihadiahkan kepada seorang raja. Apa pendapatmu tentang orang yang menghadiahkan kepada raja itu seorang budak perempuan yang cacat, buta, tidak mempunyai tangan dan kaki, sakit atau buruk rupanya? Bagaimana dengan shalat yang dihadiahkan hamba dan dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada Rabb-
nya? Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik. Tentu saja shalat yang tidak mempunyai ruh bukan termasuk amal yang baik, sebagaimana bukan termasuk pembebasan budak yang baik dalam kafarat, jika budak yang dipilih adalah cacat atau bahkan mati tanpa ruh."
Di dalam riwayat At-Tirmidzy dan juga lainnya, ada hadits yang dimarfu'kan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai." Hal ini berlaku untuk doa yang bersifat khusus, yaitu doa ibadah, atau yang bersifat umum, yaitu doa yang berupa permohonan. Jika maksudnya adalah doa berupa permohonan, maka doa ibadah jauh lebih layak untuk tidak dikabulkan, yang merupakan hak Allah untuk menolak doa dari hati yang lalai. Allah telah befirman : "Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orangyang lalai dalam shalatnya." (Al-Ma'un: 4-5).
Lalai disini bukan berarti meninggalkan. Jika tidak, tentunya mereka tidak disebut orang-orang yang shalat. Berarti maksudnya melalaikan kewajibannya, entah yang berkaitan dengan waktu seperti yang dikatakan
Ibnu Mas'ud dan lain-lainnya, entah yang berkaitan dengan kehadiran hati dan khusyu'. Namun yang benar adalah dua-duanya. Allah mengakui shalat mereka dan mensifati mereka sebagai orang-orang yang lalai dari shalat itu, yaitu lalai dari waktu yang diwajibkan atau lalai dari keikhlasan dan kehadiran hati. Karena itu Allah mensifati mereka dengan riya' setelah itu. Andaikata lalai itu memang berarti lalai, tentunya mereka dibiarkan dengan riya'nya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kegunaan ikhlas dan kehadiran hati bersama Allah dalam shalat lebih kuat dalam pandangan Pem-buat syariat daripada kegunaan semua kewajiban-kewajibannya. Bagai-mana mungkin ada orang yang menganggap shalat tidak sah karena dia meninggalkan salah satu takbirnya, meninggalkan satu huruf dalam bacaannya, tidak bertasbih, tidak mengucapkan sami'allahu liman hamidah, tidak mengucapkan shalawat kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, kemudian dia menganggap shalat itu sah padahal kehilangan inti, ruh, rahasia dan maksudnya yang paling besar? Inilah beberapa hujjah yang diajukan golongan ini. Memang ini merupakan hujjah yang cukup realistis dan kuat. Tapi kita perlu menyimak pendapat golongan kedua dan hujjah-hujjahnya.
Golongan kedua ini berpendapat, shalat itu tetap dianggap sah dan tidak perlu mengulanginya. Dalam hal ini telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam di dalam Ash-Shahih, beliau bersabda : "Jika mu'adzin menyerukan adzan, maka syetan menyingkir sambil terkentut- kentut hingga tidak mendengar suara adzan. jka suara adzan sudah selesai, maka syetan datang lagi. jika iqamat diserukan, maka dia menyingkir lagi, dan jika iqamat sudah selesai, maka dia datang lagi, hingga ia berada di antara seseorang dan jiwanya, lalu ia mengingatkannya sesuatu yang
tadinya tidak dia ingat. Syetan berkata, 'Ingatlah ini, ingatlah itu!' Padahal sebelumnya dia tidak mengingat-nya, sampai akhirnya seseorang tidak tahu sudah berapa rakaat dia shalat. Jika salah seorang di antara kalian mengalami yang demikian ini, maka hendaklah dia sujud dua kali sujud saat dia duduk (tasyahhud akhir)."
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan orang yang melakukan shalat semacam ini, yang telah dilalaikan syetan hingga tidak tahu sudah berapa rakaat dia shalat, untuk melakukan sujud sahwi dua kali sujud. Beliau tidak memerintahkannya untuk mengulang shalatnya. Andaikan shalat itu batal seperti pendapat golongan yang pertama, tentunya beliau memerintahkan untuk mengulanginya. Inilah rahasia disyariatkannya sujud sahwi, sebagai penghinaan bagi syetan, karena ia telah membisiki hamba dan menjadi penghalang antara dirinya dan khusyu' dalam shalat. Karena itu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyebut dua sujud sahwi ini muraghamatain (dua kali penghinaan), dan beliau memerintahkan melakukan dua sujud sahwi ini bagi yang lalai. Beliau tidak merinci kelalaian yang terjadi, entah sedikit entah banyak, yang mengharuskannya sujud sahwi. Beliau hanya bersabda, "Setiap kelalaian dilakukan dua sujud sahwi." Karena syariat-syariat Islam didasarkan kepada perbuatan-perbuatan yang nyata, sedangkan hakikat-hakikat iman didasarkan kepada hal-hal yang batin, yang karenanya ada pahala dan siksa, maka Allah mempunyai dua hukum: Hukum di dunia yang didasarkan kepada syariatsyariat zhahir dan amal-amal anggota tubuh, dan hukum di akhirat yang didasarkan kepada syariat-syariat yang zhahir dan amal-amal batin. Maka dari itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menerima apa yang ditampakkan orang-orang munafik, sedangkan apa yang mereka sembunyikan di dalam batin diserahkan kepada Allah. Karena itu mereka juga menikah, waris-mewarisi menurut syariat Islam dan shalat mereka tetap dianggap sah menurut hukum di dunia. Mereka tidakdihukumi sebagai orang-orang yang meninggalkan shalat, karena memang mereka melakukannya menurut zhahirnya. Hukum pahala dan siksa bukan di tangan manusia, tapi ada di Tangan Allah. Allahlah yang akan menanganinya di akhirat. Masih menurut golongan ini, dalam hukum syariat Islam kami raenetapkan keabsahan shalatnya orang munafik dan riya', sekalipun siksaan atas dirinya tidak gugur dan dia pun tidak mendapatkan pahala di akhirat. Maka shalatnya orang Muslim yang lalai dan dibisiki syetan, sehingga mengurangi kesempurnaannya karena tidak ada khusyu', lebih layak untuk dianggap sah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar