Selasa, 02 November 2010

MADARIJUS SOLIHIN ( PENDAKIAN MENUJU ALLAH 1 )

PENJABARAN MENYELURUH

IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASTA'IN

Al-Fatihah Yang Mencakup Berbagai Tuntutan

Mengingat kesempurnaan manusia itu hanya tercapai dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih seperti yang terkandung di dalam surat Al-Ashr, maka Allah bersumpah bahwa setiap orang akan merugi, kecuali siapa yang mampu menyempurnakan kekuatan ilmiahnya dengan iman dan kekuatan amaliahnya dengan amal shalih serta menyempurnakan kekuatan selainnya dengan nasihat kepada kebenaran dan kesabaran menghadapinya. Yang paling penting adalah iman dan amal, yang tidak bisa berkembang kecuali dengan sabar dan nasihat.

Selayaknya bagi manusia untuk meluangkan sedikit waktunya, agar dia mendapatkan tuntutan yang bernilai tinggi dan membebaskan diri-nya dari kerugian. Caranya ialah dengan memahami Al-Qur'an dan mengeluarkan kandungannya. Karena hanya inilah yang bisa mencukupi ke-maslahatan hamba di dunia dan di akhirat serta yang bisa menghantarkan mereka ke jalan lurus.

Berkat pertolongan Allah, kami bisa menjabarkan makna Al-Fatihah, menjelaskan berbagai macam isi yang terkandung di dalam surat ini, berupa berbagai macam tuntutan, bantahan terhadap golongan-golongan yang sesat dan ahli bid'ah, etape orang-orang yang berjalan kepada Allah, kedudukan orang-orang yang berilmu, perbedaan antara sarana dan tujuan. Tidak ada sesuatu pun yang bisa mewakili kedudukan surat Al-Fatihah ini. Karena itu Allah tidak menurunkan di dalam Taurat, Injil maupun Jabur, yang menyerupai Al-Fatihah. Surat Al-Fatihah mencakup berbagai macam induk tuntutan yang

tinggi. Ia mencakup pengenalan terhadap sesembahan yang memiliki ti-ga nama, yaitu Allah, Ar-Rabb dan Ar-Rahman. Tiga asma ini merupakan rujukan Asma'ul-Husna dan sifat-sifat yang tinggi serta menjadi porosnya.

Surat Al-Fatihah menjelaskan ilahiyah, Rububiyah dan Rahmah. Iyyaka na'budu merupakan bangunan di atas Ilahiyah, Iyyaka nasta'in di atas Rububiyah, dan mengharapkan petunjuk kepada jalan yang lurus merupakan sifat rahmat. Al-Hamdu mencakup tiga hal: Yang terpuji dalam Ilahiyah- Nya, yang terpuji dalam Rububiyah-Nya dan yang terpuji dalam rahmat- Nya.

Surat Al-Fatihah juga mencakup penetapan hari pembalasan, pembalasan amal hamba, yang baik dan yang buruk, keesaan Allah dalam hukum, yang berlaku untuk semua makhluk, hikmah-Nya yang adil, yang semua ini terkandung dalam maliki yaumiddin. Surat Al-Fatihah juga mencakup penetapan nubuwah, yang bisa dilihat dari beberapa segi:

1. Keberadaan Allah sebagai Rabbul-'alamin. Dengan kata lain, tidak layak bagi Allah

untuk membiarkan hamba-hamba-Nya dalam keadaan sia-sia dan telantar, tidak

memperkenalkan apa yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat mereka, serta apa yang mendatangkan mudharat di dunia dan di akhirat.

2. Bisa disimpulkan dari asma-Nya, Allah, yang berarti disembah dan dipertuhankan. Hamba tidak mempunyai cara untuk bisa mengenalsesembahannya kecuali lewat para

rasul.

3. Bisa disimpulkan dari asma-Nya, Ar-Rahman. Rahmat Allah mencegah- Nya untuk

menelantarkan hamba-Nya dan tidak memperkenalkan kesempurnaan yang harus

mereka cari. Dzat yang diberi asma Ar- Rahman tentu memiliki tanggung jawab

untuk mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab. Tanggung jawab ini lebih

besar daripada tanggung jawab untuk menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman dan

mengeluarkan biji-bijian. Konsekuensi rahmat untuk menghidupkan hati dan ruh, lebih besar daripada konsekuensi menghidupkan badan.

4. Bisa disimpulkan dari penyebutan yaumid-din, yaitu hari di mana Allah akan

memberikan pembalasan terhadap amal hamba. Dia memberikan pahala kepada mereka atas kebaikan, dan menyiksa mereka atas keburukan dan kedurhakaan. Tentu saja Allah tidak akan menyiksa seseorang sebelum ditegakkan hujjah atas dirinya. Hujjah ini tegak lewat para rasul dan kitab-kitab-Nya.

5. Bisa disimpulkan dari iyyaka na'budu. Beribadah kepada Allah tidak boleh dilakukan

kecuali dengan cara yang diridhai dan dicintai-Nya. Beribadah kepada-Nya berarti bersyukur, mencintai dan takut kepada- Nya, berdasarkan fitrah, sejalan dengan akal yang sehat. Cara beribadah ini tidak bisa diketahui kecuali lewat para rasul dan berdasarkan penjelasan mereka.

6. Bisa disimpulkan dari ihdinash-shirathal-mustaqim. Hidayah adalah keterangan dan

bukti, kemudian berupa taufik dan ilham. Bukti dan keterangan tidak diakui kecuali yang datang dari para rasul. Jika ada bukti dan keterangan serta pengakuan, tentu akan ada hidayah dan taufik, iman tumbuh di dalam hati, dicintai dan berpengaruh di sifat rahmat.

Al-Hamdu mencakup tiga hal: Yang terpuji dalam Ilahiyah- Nya, yang terpuji dalam Rububiyah-Nya dan yang terpuji dalam rahmat- Nya. Surat Al-Fatihah juga mencakup penetapan hari pembalasan, pembalasan amal hamba, yang baik dan yang buruk, keesaan Allah dalam hukum, yang berlaku untuk semua makhluk, hikmah-Nya yang adil, yang semua ini terkandung dalam maliki yaumiddin.

"Katakanlah, 'Hai Ahli Kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan

mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus'. "(Al-Maidah: 77).

Penggal pertama tertuju kepada orang-orang Yahudi dan penggal kedua tertuju kepada orang-orang Nashara.

Di dalam riwayat At-Tirmidzy dan Shahih Ibnu Hibban, dari hadits Ady bin Hatim, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,"Orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang mendapat murka dan orang-orang Nashara adalah orang-orang yang sesat." Nikmat dikaitkan secara jelas kepada Allah.

Sedangkan pelaku kemurkaan disamarkan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa pertimbangan:

1. Nikmat itu merupakan gambaran kebaikan dan karunia, sedangkan kemurkaan berasal dari pintu pembalasan dan keadilan. Sementara rahmat mengalahkan kemurkaan.Tentang pengkhususan nikmat yang diberikan kepada orang-orang yang mengikuti jalan lurus, maka itu adalah nikmat yang mutlak dan yang mendatangkan keberuntungan yang abadi. Sedangkan nikmat itu secara tak terbatas diberikan kepa da orang Mukmin dan juga orang kafir. Jadi setiap makhluk ada dalam nikmat-Nya. Di sinilah letak rincian perselisihan tentang pertanyaan,

"Apakah Allah memberikan kepada orang kafir ataukah tidak?" Nik mat yang tak terbatas hanya bagi orang yang beriman, dan ketidakterbatasan nikmat itu bagi orang Mukmin dan juga bagi orang kafir. Inilah makna firman-Nya :

"Dan, jika kalian menghitung nikmat Allah, tidaklah kalian dapat menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangatzhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)." (Ibrahim: 34).

2. Allah lah satu-satunya yang memberikan nikmat, sebagaimana firman- Nya, "Dan, apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allahlah (datangnya).(An-Nahl: 53). Sedangkan kemurkaan kepada musuh-musuh-Nya, maka bukan Allah saja yang murka, tapi para malaikat, nabi, rasul dan para wali-Nya juga murka kepada musuh-musuh Allah.

3. Ditiadakannya pelaku kemurkaan menunjukkan keremehan orang yang mendapat murka dan kehinaan keadaannya. Hal ini berbeda dengan disebutkannya pemberi nikmat, yang menunjukkan kemuliaan orang yang mendapat nikmat.

Perhatikanlah secara seksama rahasia penyebutan sebab dan balasan bagi tiga golongan ini dengan lafazh yang ringkas. Pemberian nikmat kepada mereka mencakup nikmat hidayah, berupa ilmu yang bermanfa-at dan amal yang shalih atau petunjuk dan agama yang benar, di samping kesempurnaan nikmat pahala.

Lafazh an'amta 'alaihim mencakup dua perkara ini. Penyebutan murka Allah terhadap orang-orang yang dimurkai, juga mencakup dua perkara:

- Pembalasan dengan disertai kemurkaan, yang berarti ada siksa dan pelecehan.

- Sebab yang membuat mereka mendapat murka-Nya.

Allah terlalu pengasih untuk murka tanpa ada ke jahatan dan kesesatan yang dilakukan manusia. Seakan-akan murka Allah itu memang layak diberikan kepada mereka karena kesesatan mereka. Penyebutan orangorang yang sesat juga mengharuskan murka Allah dan siksa-Nya terhadap mereka. Dengan kata lain, siapa yang sesat layak mendapat siksa, sebagai konsekuensi dari kesesatannya.

Perhatikanlah kontradiksi antara hidayah dan nikmat dengan murka dan kesesatan. Allah menyebutkan orang-orang yang mendapat murka dan yang sesat pada sisi yang berseberangan dengan orang-orang yang mendapat petunjuk dan mendapat nikmat. Yang pertama seperti firman Allah :

"Dan, barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit". (Thaha: 124). Yang kedua seperti firman Allah,

"Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabbnya dan merekalah orang-orang yang beruntung." (Al-Baqarah: 5).

Ash-Shirathul-Mustaqim

Allah menyebutkan Ash-Shiratul-mustaqim dalam bentuk tunggal dan diketahui secara jelas, karena ada lam ta'rif dan karena ada keterang-an tambahan, yang menunjukkan kejelasan dan kekhususannya, yang berarti jalan itu hanya satu. Sedangkan jalan orang-orang yang mendapat murka dan sesat dibuat banyak. Firman-Nya :

"Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya." (Al-An'am: 153).

Allah menunggalkan lafazh ash-shirath dan sabilihi, membanyakkan lafazh as-subula, sehingga jelas perbedaan di antara keduanya. Ibnu Mas'ud berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menorehkan satu garis di hadapan kami, seraya bersabda, 'Ini adalah jalan Allah'. Kemudian be-liau menorehkan beberapa garis lain di kiri kanan beliau, seraya bersabda, 'Ini adalah jalan-jalan yang lain. Pada masing-masing jalan ini ada syetan yang mengajak kepadanya'. Kemudian beliau membaca ayat, 'Dan bahwa...'."

Pasalnya, jalan yang menghantarkan kepada Allah hanya ada satu, yaitu jalan yang karenanya Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab. Tak seorang pun bisa sampai kepada Allah kecuali lewat jalan ini. Andaikan manusia melalui berbagai macam jalan dan membuka berbagai macam pintu, maka jalan itu adalah jalan buntu dan pintu. itu terkunci.

Ash-Shirathul-mustaqim adalah jalan Allah. Sebagaimana yang pernah kami singgung, Allah mengabarkan bahwa ash-shirath itu ada pada Allah dan Allah ada pada ash-shirathul-mustaqim. Yang demikian ini disebutkan di dua tempat dalam Al-Qur'an:

"Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus." (Hud: 56).

"Dan Allah membuat perumpamaan: Dua orang lelaki, yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban ataspenanggungnya, kemana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia beradapula di atas jalan yang lurus?" (An-Nahl: 76).

Inilah perumpamaan yang diberikan Allah terhadap para berhala yang tidak dapat mendengar, tidak dapat berbicara dan tidak berakal, yang justru menjadi beban bagi penyembahnya. Berhala membutuhkan penyembahnya agar dia membawa, memindahkan dan meletakkannya di tempat tertentu serta mengabdi kepadanya. Bagaimana mungkin mereka mempersamakan berhala ini dengan Allah yang menyuruh kepada keadilan dan tauhid, Allah yang berkuasa dan berbicara, yang Maha-kaya, yang ada di atas ash-shirathul-mustaqim dalam perkataan dan perbuatan-Nya?

Perkataan Allah benar, lurus, berisi nasihat dan petunjuk, perbuatan-Nya penuh hikmah, rahmat, bermaslahat dan adil. Inilah pendapat yang paling benar tentang hal ini, dan sayangnya jarang disebutkan para mufassir atau pun ulama lainnya. Biasanya mereka

lebih mem-prioritaskan pendapat pribadi, baru kemudian menyebutkan dua ayat ini, seperti yang dilakukan Al-Baghawy. Sementara Al-Kalby berpendapat, "Artinya Dia menunjukkan kalian kepada jalan yang lurus."

Kami katakan, petunjuk-Nya kepada jalan yang lurus merupakan keharusan keberadaan Allah di atas ash-shirathul-mustaqim. Petunjuk-Nya dengan perbuatan dan perkataan-Nya, dan Dia berada di atas ash-shirathulmustaqim dalam perbuatan dan perkataan-Nya. Jadi pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa Dia berada di atas ash-shirathul-mustaqim.

Jika ada yang mengatakan, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sal-lam menyuruh kepada keadilan", berarti beliau berada di atas ash-shirathulmustaqim.

Hal ini dapat kami tanggapi sebagai berikut: Inilah yang memang sebenarnya dan tidak bertentangan dengan pendapat di atas. Allah berada di atas ash-shirathul-mustaqim, begitu pula Rasul-Nya. Beliau tidak menyuruh dan tidak berbuat kecuali menurut ketentuan dari Allah.

Berdasarkan pengertian inilah perumpamaan dibuat untuk menggambarkan pemimpin orang-orang kafir, yaitu berhala yang bisu, yang tidak mampu berbuat apa pun untuk menunjukkan kepada hidayah dan kebaikan. Sedangkan pemimpin orang-orang yang baik, Rasulullah Shal- lallahu Alaihi wa Sallam menyuruh kepada keadilan, yang berarti beliau berada di atas ash-shirathul-mustaqim.

Karena orang yang mencari ash-shirathul-mustaqim masih mencari sesuatu yang lain, maka banyak orang yang justru menyimpang dari jalan lurus itu. Karena jiwa manusia diciptakan dalam keadaan takut jika sendiri-an dan lebih suka mempunyai teman

karib, maka Allah juga mengingat-kan tentang teman karib saat melewati jalan ini. Orang-orang yang layak dijadikan teman karib adalah para nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin.

Mereka inilah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah. Dengan begitu rasa takut dari gangguan orang-orang di sekitarnya karena dia sendi-rian saat meniti jalan, menjadi sirna. Dia tidak risau karena harus berbe-da dengan orang-orang yang menyimpang dari jalan tersebut. Mereka adalah golongan minoritas dari segi kualitas, sekalipun mereka merupakan golongan mayoritas dari segi kuantitas, seperti yang dikatakan se-bagian salaf, "Ikutilah jalan kebenaran dan jangan takut karena minimnya orangorang yang mengikuti jalan ini. Jauhilah jalan kebatilan dan jangan tertipu karena banyaknya orang-orang yang mengikutinya." Jika engkau meniti jalan kebenaran, teguhkan hatimu dan tegarkan langkah kakimu, jangan menoleh ke arah mereka sekalipun mereka memanggil-manggilmu, karena jika sekali saja engkau menoleh, tentu mereka akan menghambat perjalananmu.

Karena memohon petunjuk jalan yang lurus merupakan permohonan yang paling tinggi nilainya, maka Allah mengajarkan kepada hambahamba- Nya bagaimana cara berdoa kepada-Nya dan memerintahkan agar mereka mengawalinya dengan pujian dan pengagungan kepada-Nya, kemudian menyebutkan ibadah dan pengesaan-Nya. Jadi ada dua macam tawassul dalam doa:

1. Tawassul dengan asma' dan sifat-sifat-Nya serta memuji-Nya.

2. Tawassul dengan beribadah dan mengesakan-Nya.

Surat Al-Fatihah juga memadukan dua tawassul ini. Setelah dua tawassul ini digunakan, bisa disusul dengan permohonan yang paling penting, yaitu hidayah. Siapa pun yang berdoa dengan cara ini, maka doanya layak dikabulkan.

Cakupan Surat Al-Fatihah terhadap Macam-macam Tauhid

Tauhid itu ada dua macam:

1. Tauhid dalam ilmu dan keyakinan.

2. Tauhid dalam kehendak dan tujuan.

Yang pertama disebut tauhid ilmu karena keterkaitannya dengan pengabaran dan pengetahuan. Tauhid kedua yang disebut tauhid kehendak dan tujuan, dibagi menjadi dua macam: Tauhid dalam Rububiyah dan tauhid dalam Uluhiyah.

Tauhid ilmu berkisar pada penetapan sifat-sifat kesempurnaan, penafian penyerupaan, peniadaan aib dan kekurangan. Hal ini bisa diketahui secara global maupun secara terinci. Secara global dapat dikatakan, "Penetapan pujian hanya bagi Allah". Adapun secara terinci dapat dikatakan, "Penyebutan sifat Uluhiyah, Rububiyah, rahmah dan kekuasaan. Empat sifat ini merupakan pusaran asma' dan sifat."

Pujian di sini berarti pujian terhadap Dzat yang dipuji dengan menyebutkan sifat-

sifat kesempurnaan dan keagungan-Nya, disertai kecintaan, ridha dan ketundukan kepada-Nya. Seseorang tidak bisa disebut orang yang memuji jika dia mengingkari sifat-sifat yang dipuji, tidak mencintai, tidak tunduk dan ridha kepadanya. Jika sifat-sifat kesempurnaan yang dipuji lebih banyak, maka pujian pun semakin sempurna.

Begitu pula sebaliknya. Karena itu segala pujian hanya tertuju kepada Allah karena kesempurnaan dan banyaknya sifat-sifat yang dimiliki-Nya, yang selain Allah tidak mampu menghitungnya. Karena itu pula Allah mencela sesembahan orang-orang kafir dengan meniadakan sifat-sifat kesempurnaan darinya. Allah mencelanya sebagai sesuatu yang tidak bias mendengar, melihat, berbicara, memberi petunjuk, mendatangkan manfaat dan mudharat. Maka Allah menjelaskan hal ini seperti dalam perkataan Ibrahim Al-Khalil,

"Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak tnelihat dan tidak dapat menolongmu sedikitpun?" (Maryam: 42).

Andaikata sesembahan Ibrahim seperti sesembahan bapaknya, Azar, tentu bapaknya akan menjawab, "Toh sesembahanmu seperti itu pula. Maka buat apa kamu mengingkari aku?" Sekalipun begitu sebenarnya Azar juga tahu siapa Allah, sama seperti orang-orang kafir Quraisy yang tahu siapa Allah, tapi mereka menyekutukan-Nya. Begitu pula kaum Musa. Firman Allah :

"Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menun-jukkan jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sesembahan) dan mereka adalah orang-orang yang zhalim." (Al-A'raf: 148).

Jika ada yang berkata, "Bukankah Allah tidak bisa berbicara dengan hamba-Nya?" Maka dapat dijawab sebagai berikut: Allah berbicara dengan hamba-hamba-Nya. Di antara mereka ada yang diajak berbicara dengan Allah dari balik hijab, yang lain ada yang tanpa perantara, seperti Musa, ada yang berbicara dengan Allah lewat perantara malaikat yang diutus, yaitu para nabi dan rasul, dan Allah berbicara dengan seluruh ma-nusia lewat para rasul-Nya. Allah menurunkan firman-Nya kepada mereka yang disampaikan para rasul, "Ini adalah firman Allah dan Dia meme-rintahkan agar kami menyampaikannya kepada kalian." Berangkat dari sinilah orangorang salaf berkata, "Siapa mengingkari keadaan Allah yang dapat berbicara, berarti dia mengingkari risalah para rasul." Begitu pula kaitannya dengan sifat-sifat Allah selainnya.

Dari sini dapat diketahui bahwa hakikat pujian mengikuti ketetapan sifat-sifat kesempurnaan, dan penafian hakikat pujian ini juga mengikuti penafian sifat-sifat kesempurnaan.

Hakikat Asma' Allah

Pembuktian asma' Allah yang lima (Allah, Ar-Rabb, Ar-Rahman, Ar- Rahim dan Al-Malik), dilandaskan kepada dua dasar:

  • Dasar Pertama:

Asma' Allah menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Asma' ini merupakan sifat, yang semuanya baik, husna. Sebab jika asma' itu hanya sekedar lafazh yang tidak mempunyai makna apa pun, maka ia tidak bias disebut husna dan tidak menunjukkan kesempurnaan, lalu akan terjadi kerancuan antara dendam dan marah yang menyertai rahmat dan ihsan, sehingga kalau berdoa kita harus mengucapkan, "Ya Allah, sesungguh-nya aku menganiaya diriku sendiri, maka ampunilah aku karena Engkau pendendam". Penafian makna Asma'ul-husna termasuk kufur yang terbesar. Jika Allah mensifati Diri-Nya Al-Qawiyyu, berarti memang Dia benarbenar mempunyai kekuatan. Begitu pula sifat-sifat lainnya.

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

beliau bersabda,

"Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak seharusnya Dia tidur. Dia merendahkan timbangan dan meninggikannya. Amal pada malam hari disampaikan kepada-Nya sebelum siang hari, dan amal slang hari disampaikan kepada-Nya sebelum malam hari. Hijab-Nya adalah cahaya, yang andaikan hijab ini disingkap, maka kemuliaan Wajah-Nya benar- benar membakar pandangan makhluk yang memandang-Nya."

Menafikan makna asma'-Nya juga termasuk kufur yang paling besar. Gambaran kufur lainnya adalah menamakan berhala dengan asma' Allah, sebagaimana mereka menamakannya alihah (sesembahan). I

Bnu Abbas dan Mujahid berkata, "Mereka mengambil asma' Allah lalu menamakan berhala-berhala mereka dengan asma'-Nya, dengan sedikit mengurangi atau menambahi. Mereka mengambil nama Lata dari Allah, Uzza dari Al-Aziz, Manat dari Al-Mannan."

  • Dasar Kedua:

Satu dari berbagai asma' Allah, di samping menunjukkan kepada Dzat dan sifat yang disesuaikan dengannya, maka ia juga menunjukkan dua bukti lainnya yang sifatnya kandungan dan keharusan. As-Sami' menunjukkan kepada Dzat Allah dan pendengaran-Nya, juga kepada Dzat semata dan kepada pendengaran yang menjadi kandungannya. Begitu pula sifat-sifat lainnya.

Jika sudah ada kejelasan tentang dua dasar ini, maka asma' Allah menunjukkan kepada keseluruhan Asma'ul-husna dan sifat-sifat yang tinggi. Hal ini menunjukkan kepada Ilahiyah-Nya, dengan penafian kebalikannya.

Maksud sifat-sifat Ilahiyah adalah sifat-sifat kesempurnaan, yang terlepas dari penyerupaan dan permisalan, aib dan kekurangan. Karena Allah menambahkan semua Asma'ul-husna ke asma'-Nya yang agung ini (Allah).

Asma' "Allah" layak untuk semua makna Asma'ul-husna dan menunjukkan kepadanya secara global. Sedangkan Asma'ul-husna itu sendiri merupakan rincian dari sifat-sifat Ilahiyah yang berasal dari asma'"Allah".

Asma' "Allah" menunjukkan keadaan-Nya sebagai Dzat yang disembah. Semua makhluk menyembah-Nya dengan penuh rasa cinta, pengagungan dan ketundukan. Hal ini mengharuskan adanya kesempurnaan Rububiyah dan rahmat-Nya, yang juga mencakup kesempurnaan kekuasaan dan puji- Nya.

Sifat keagungan dan keindahan lebih dikhususkan untuk nama "Allah". Perbuatan, kekuasaan, kesendirian-Nya dalam memberi manfaat dan mudharat, memberi dan menahan, kehendak, kesempumaan kekuatan dan penanganan urusan makhluk, lebih dikhususkan untuk nama " Ar- Rabb". Sifat ihsan, murah hati, pemberi dan lemah lembut lebih dikhususkan untuk nama "Ar-Rahman". Masing-masing disesuaikan dengan kaitan sifat. Ar-Rahman artinya yang memiliki sifat rahmat. Sedang-kan Ar-Rahim adalah yang mengasihi hamba-hamba-Nya. Karena itu dik-takan dalam firman- Nya, "Dia Ar-Rahim (Maha Pengasih) terhadap hamba-hamba-Nya", dan tidak dikatakan, "Ar-Rahman (yang memiliki sifat rahmat) terhadap hamba-hamba-Nya". Perhatikanlah kaitan penciptaan dan urusan dengan tiga asma' ini, yaitu Allah, Ar-Rabb dan Ar-Rahman, yang dari tiga asma' ini ada penciptaan, urusan, pahala dan siksa, bagaimana makhluk dihimpunkan dan dipisah-pisahkan.

Asma' Ar-Rabb memiliki cakupan yang menyeluruh terhadap semua makhluk. Dengan kata lain, Dia adalah pemilik segala sesuatu dan penciptanya, yang berkuasa terhadapnya dan tidak ada sesuatu pun yang keluar dari Rububiyah-Nya. Siapa pun yang ada di langit dan bumi merupakan hamba-Nya, ada dalam genggaman dan kekuasaan-Nya. Mereka berhimpun berdasarkan sifat Rububiyah dan berpisah dengan sifat Ilahiyah.

Hanya Dialah yang disembah, kepada-Nya mereka tunduk, bahwa Dialah Allah yang tidak ada sesembahan selain-Nya. Ibadah, tawakal, berharap, takut, mencintai, pasrah, tunduk tidak boleh diperuntukkan kecuali bagi-Nya semata.

Berangkat dari sinilah manusia terbagi menjadi dua golongan: Golongan orang-orang musyrik yang berada di neraka, dan golongan orangorang muwahhidin yang berada di surga. Yang membuat mereka terpi-sah adalah Ilahiyah, sedangkan Rububiyah membuat mereka bersatu. Agama, syariat, perintah dan larangan berasal dari sifat Ilahiyah. Penciptaan, pengadaan, penanganan urusan dan perbuatan berasal dari sifat Rububiyah.

Pahala, balasan, siksa, surga dan neraka berasal dari sifat Al-Malik. Artinya, Dialah yang menguasai hari pembalasan. Dia memerin-tahkan mereka berdasarkan Ilahiyah-Nya, menunjuki dan menyesatkan mereka berdasarkan Rububiyah-Nya, memberi pahala dan siksa berdasarkan kekuasaan dan keadilan-Nya. Setiap masalah ini tidak bisa dipisah-kan dari yang lain.

Disebutkannya asma'-asma' ini setelah al-hamdu (pujian) dan pengaitan al-hamdu dengan segala cakupannya, menunjukkan bahwa memang Dia adalah yang terpuji dalam Ilahiyah-Nya, terpuji dalam Rubu- biyah-Nya, terpuji dalam Rahmaniyah-Nya, terpuji dalam kekuasaan-Nya, Dia adalah sesembahan yang terpuji, ilah dan Rabb yang terpuji, Rahman yang terpuji, Malik yang terpuji. Dengan begitu Dia memiliki seluruh kesempumaan; kesempumaan dalam asma' Allah secara sendirian dan kesempumaan dalam asma'-asma' lainnya secara sendirian serta kesempumaan dalam penyertaan satu asma' dengan asma' lain. Karena itu sering disebutkan dua asma' secara berurutan, seperti: Wallahu ghaniyyun hamid, wallahu alimun hakim, wallahu ghafurur rahim. Al-Ghaniyyu merupakan sifat kesempurnaan dan Al-Hamid merupakan sifat kesempurnaan

pula. Penyertaan dua asma' ini merupakan kesempurnaan-Nya, begitu pula penyertaan sifat-sifat yang lain.

Tingkatan-tingkatan Hidayah Khusus dan Umum

  • Tingkatan Pertama:

Tingkatan pembicaraan Allah dengan hamba-Nya secara sadar dan langsung tanpa perantara. Ini merupakan tingkatan hidayah yang paling tinggi, sebagaimana Allah yang berbicara dengan Musa bin Imran. Allah befirman :

"Dan, Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung." (An-Nisa': 164).

Sebelum ayat ini disebutkan wahyu Allah yang diberikan kepada Nuh dan para nabi sesudahnya, kemudian mengkhususkan Musa, bahwa Allah berbicara dengan beliau. Ini menunjukkan bahwa pembicaraan ini lebih khusus dari sekedar memberikan wahyu seperti yang disebutkan dalam ayat sebelumnya. Lalu hal ini ditegaskan lagi dengan adanya mashdar dari kallama. Hujjah ini untuk menyanggah pendapat jahmiyah, Mu'- tazilah dan golongan-golongan lain yang mengatakan bahwa itu artinya wahyu atau isyarat atau pengenalan terhadap suatu makna, yang artinya bukan bicara secara langsung. Al-Fara' berkata, "Orang-orang Arab menye-but kontak dengan orang lain adalah bicara, dengan cara apa pun dan bagaimana pun. Tetapi makna ini tidak disertai dengan mashdar dari fi'il yang sama. Jika dikuatkan dengan mashdar, berarti hakikatnya memang bicara. Maka apabila dikatakan, "Fulan araada iraadatan", artinya Fulan benar-benar menghendaki. Ada firman Allah yang lain tentang hal ini :

"Dan, tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabbnya telah berbicara (langsung) kepadanya, Musa berkata,

'Ya Rabbi, tampakkanlah (Diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau'." (Al-A'raf: 143).

Pembicaraan ini berbeda dengan yang pertama saat Dia mengutusnya kepada Fir'aun. Dalam pembicaraan kali ini Musa meminta untuk dapat melihat Allah. Pembicaraan kali ini berasal dari janji Allah kepadanya. Sementara pada pembicaraan yang pertama tidak didahului dengan janji.

  • Tingkatan Kedua :

Tingkatan wahyu yang secara khusus diberikan kepada para nabi. Allah befirman,

"Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya." (An-Nisa': 163).

"Dan, tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir." (Asy- Syura: 51).

Allah menjadikan wahyu dalam ayat kedua ini termasuk bagian dari bicara, sedangkan dalam ayat pertama menjadi lawan bicara. La wan bica-ra secara khusus artinya tanpa ada perantara, sedangkan bagian dari bicara yang bersifat umum, berarti penyampaian makna dengan berbagai macam cara.

  • Tingkatan Ketiga :

Mengirim utusan dari jenis malaikat kepada utusan dari jenis manusia, lalu utusan malaikat ini menyampaikan wahyu dari Allah seperti yang diperintahkan-Nya.

Tiga jenis tingkatan ini dikhususkan hanya bagi para rasul dan nabi, tidak berlaku untuk selain mereka. Utusan malaikat itu bisa berwujud manusia berjenis laki-laki, yang bisa dilihat dengan mata telanjang dan juga berbicara empat mata, dan adakalanya dia menampakkan diri dalam wujud aslinya. Adakalanya malaikat ini masuk ke dalam diri rasul dan menyampaikan wahyu seperti yang diperintahkan, lalu dia melepaskan diri

darinya. Tiga cara ini pernah dialami nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.

  • Tingkatan Keempat:

Dengan cara bisikan. Tingkatan ini berbeda dengan wahyu yang sifatnya khusus dan juga berbeda dengan tingkatan para shiddiqin, seperti yang dialami Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu. Hal ini pernah ditegaskan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya di tengah umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang mendapat bisikan. Sedangkan dalam umat ini adalah Umar bin Al-Khaththab."

Orang yang mendapat bisikan ialah orang yang mendapat bisikan (firasat) itu secara rahasia di dalam hatinya tentang sesuatu, kemudian dia menyatakannya. Lalu bagaimana dengan sekian banyak orang yang dikuasai imajinasi dan hayalan, yang mengatakan, "Hatiku mendapat bisikan dari Allah?" Memang tidak bisa disangkal bahwa hatinya mendapat bisikan itu. Tapi dari mana dan dari siapa? Dari syetan ataukah dari

Allah? Jika dia mengaku berasal dari Allah, berarti dia menyandarkan bisikan itu dari seseorang yang sebenarnya dia pun tidak mengetahuinya secara pasti, bahwa yang membisikkan kepadanya itu benar-benar mem-bisikkan. Ini sama saja bohong. Sementara Umar bin Al-Khaththab, salah seorang dari umat ini yang telah dilejitimasi oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai orang yang mendapat bisikan dari Allah, tidak membuat pengakuan seperti itu dan berkata seperti itu, kapan pun, karena Allah telah melindungi dirinya agar tidak berkata seperti itu. Bahkan suatu hari saat sekretarisnya menulis, "Inilah yang diperlihatkan Allah kepada Amirul- Mukminin, Umar bin Al-Khaththab", dia berkata, "Tidak, hapus itu. Tapi tulislah: Inilah yang dilihat Umar bin Al-Khaththab. Jika benar, maka ini datangnya dari Allah, dan jika salah, maka ini dari Umar, sedangkan Allah dan Rasul-Nya terbebas darinya." Dia juga pernah berkata ketika

memutuskan perkara tentang seorang anak yang tidak jelas bapak ibunya, "Aku memutuskannya berdasarkan pendapatku. Jika benar, maka itu datangnya dari Allah, dan jika salah, maka itu dariku dan dari syetan."

Dengan begitu engkau bisa membedakan antara sosok Umar bin Al- Khaththab dengan sekian banyak orang yang dikuasai hayalan, pem-bual dan permisivis yang mengatakan, "Hatiku mendapat bisikan (wang-sit) dari Allah." Perhatikan dan bandingkan antara keduanya, kemudian berikan hak kepada masing-masing secara proporsional, jangan samakan pembual dengan orang yang tulus.

  • Tingkatan Kelima:

Dengan cara pemahaman. Allah befirman :

"Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan, adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan ilmu." (Al-Anbiya': 78-79).

Allah menyebutkan dua nabi yang mulia ini, memuji keduanya dengan ilmu dan hukum, mengkhususkan Sulaiman dengan pemahaman dalam peristiwa ini.

Ali bin Abu Thalib pernah ditanya seseorang, "Apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mengkhususkan kalian para shahabat dengan sesuatu tanpa yang lain?" Ali menjawab, "Tidak pernah, kecuali hanya pemahaman tentang Kitab-Nya seperti yang diberikan Allah kepada seorang hamba."

Pemahaman ini datangnya dari Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan inti kebenaran. Ada perbedaan di antara orang-orang yang berilmu sehubungan dengan pemahaman ini, sampai-sampai ada satu orang yang disamakan dengan seribu orang. Perhatikan pemahaman yang dimiliki Ibnu Abbas, saat dia ditanya Umar dalam pertemuan yang dihadiri para shahabat yang pernah ikut perang Badr dan juga lain-

lainnya tentang makna surat An-Nashr. Menurut Ibnu Abbas, surat ini merupakan pengabaran tentang kedekatan ajal beliau. Ternyata jalan pikiran Ibnu Abbas ini cocok dengan jalan pikiran Umar sendiri. Hanya mereka ber-dua yang memahami seperti ini, sekalipun Ibnu Abbas adalah orang yang paling muda di antara para shahabat yang ada pada waktu itu. Dari sisi mana surat ini bisa dipahami sebagai pengabaran tentang ajal beliau yang sudah dekat kalau bukan karena pemahaman yang sifatnya khusus?

  • Tingkatan Keenam:

Penjelasan secara umum. Artinya, penjelasan tentang kebenaran dan kemampuan untuk membedakannya dari yang batil, berdasarkan dalil, bukti dan saksi-saksi penguat, sehingga lalu berubah seperti sebuah kenyataan di dalam hati, seperti sebuah kenyataan yang tampak jelas di depan mata kepala. Tingkatan ini merupakan hujjah Allah atas makhluk-Nya.

Dia tidak mengadzab dan tidak menyesatkan seseorang kecuali sete-lah orang

tersebut mendapatkan kejelasan ini. Firman-Nya :

"Dan, Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah

Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus dijauhi." (At-Taubah: 115).

Kesesatan ini merupakan hukuman bagi mereka yang datangnya dari Allah, karena Dia telah menjelaskan kepada mereka, namun mereka tidak mau menerima dan tidak mengamalkannya. Maka Allah menghukum mereka dengan cara menyesatkannya dari petunjuk. Jadi, Allah sama sekali tidak menyesatkan seseorang kecuali setelah ada penjelasan ini. Jika engkau sudah memahami hal ini, tentu engkau bisa memahami rahasia takdir, sehingga engkau tidak terasuki sekian banyak keragu-raguan dan

syubhat tentang masalah ini. Penjelasan ini ada dua macam: Penjelasan dengan ayat-ayat yang bias didengar, dan penjelasan dengan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) yang bisa dilihat mata. Keduanya merupakan bukti dan penjelasan tentang keesaan Allah dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Karena itu Allah menyeru hamba-hamba-Nya lewat ayat-ayat-Nya yang bisa dibaca agar memikirkan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang bisa dilihat mata. Karena penjelasan inilah para rasul diutus dan pengemban sesudah para nabi adalah para ulama. Setelah ada penjelasan itu, maka Allah menyesatkan siapa pun yang dikehendaki-Nya. Allah menjelaskan, dan Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya serta memberikan petunjuk kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya berdasarkan hikmah-Nya.

  • Tingkatan Ketujuh:

Penjelasan bersifat khusus. Maksudnya penjelasan yang mendatang-kan petunjuk khusus, atau penjelasan yang disusul dengan pertolongan, taufik dan pengenyahan sebab-

sebab kehinaan dari hati, sehingga dia tidak kehilangan hidayah. Allah befirman,

"Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya." (An-Nahl: 36).

"Sesungguhnya kami tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya." (Al-Qashash: 56).

  • Tingkatan Kedelapan:

Lewat pendengaran. Allah befirman,

"Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar." (Al-Anfal: 23)

Memperdengarkan di sini lebih khusus daripada memperdengarkan hujjah dan tabligh, sebab yang demikian itu berangkat dari diri mereka sendiri dan karenanya Allah menegakkan hujjah atas mereka. Yang demikian itu berarti memperdengarkan telinga, sedangkan yang ini memperdengarkan hati. Perkataan mempunyai lafazh dan makna, yang berkaitan dengan telinga dan hati. Mendengarkan lafazh merupakan bagian telinga, sedangkan mendengarkan hakikat makna dan tujuannya merupakan bagian hati. Allah meniadakan pendengaran maksud dan tujuan yang merupakan bagian hati dari orang-orang kafir, dan hanya menetapkan pendengaran lafazh-lafazh yang merupakan bagian telinga.

Perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan pemahaman, bahwa tingkatan ini diperoleh lewat sarana telinga, sedangkan tingkatan pemahaman sifatnya lebih umum. Jadi tingkatan ini lebih khusus daripada tingkatan pemahaman, jika dilihat dari sisi ini. Tapi tingkatan pemahaman juga bisa lebih khusus jika dilihat dari sisi yang lain lagi, yaitu karena ia berkaitan dengan makna yang dimaksudkan, kaitan dan isyarat-nya. Inti

tingkatan mendengar ialah penyampaian maksud ke hati, yang berarti harus ada penerimaan pendengaran. Berarti dalam tingkatan ini ada tiga tingkatan lain: Telinga yang mendengar, hati yang mendengar dan penerimaan atau pemenuhan.

  • Tingkatan Kesembilan:

Ilham. Allah befirman,

"Demi jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya." (Asy-Syams: 7-8).

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Hushain bin Al- Mundzir saat dia masuk Islam,

"Katakanlah, 'Ya Allah, ilhamkanlah kepadaku petunjukku dan lindungilah aku dari kejahatan diriku."

Pengarang Manazilus-Sa'irin (Abu Ismail) menganggap ilham ini sama kedudukannya dengan bisikan di dalam hati. Jadi ilham lebih tinggi daripada firasat.

Sebab boleh jadi firasat itu jarang-jarang terjadi atau bersifat insidental dan pelakunya tidak bisa menentukan kapan waktunya atau bahkan ia bisa mengecohnya. Sementara kedudukan ilham sudah jelas.

Saya katakan, bisikan di dalam hati lebih khusus daripada ilham. Ilham bersifat umum bagi orang-orang Mukmin, tergantung pada iman mereka. Setiap orang Mukmin mendapat ilham petunjuk dari Allah, yang menghasilkan keimanan kepada-Nya. Sedangkan bisikan dalam hati ha-nya dikhususkan bagi orang-orang yang memang mendapatkannya, se-perti Umar bin Al-Khaththab. Jadi bisikan hati ini merupakan ilham khusus, atau bisa dikatakan wahyu yang diberikan kepada selain para nabi, baik mukallaf

atau bukan mukallaf. Wahyu yang diberikan kepada mukallaf seperti firman Allah :

"Dan, Kami ilhamkan kepada ibu Musa, 'Susuilah dia'." (Al-Qashash:7).

Wahyu yang diberikan kepada yang bukan mukallaf,

"Dan, Rabbmu mewahyukan kepada lebah, 'Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat yang dibikin manusia'."(An-Nahl: 68).

Jika ilham ini dianggap lebih tinggi daripada kedudukan firasat, maka justru bisa melemahkan anggapan itu sendiri. Sebab seperti yang sudah dikatakan di atas, firasat itu jarang-jarang terjadinya. Sementara sesuatu yang jarang-jarang terjadi tidak mempunyai hukum. Jelasnya tentang masalah ini, masing-masing dari firasat dan ilham dibagi menjadi umum dan khusus. Yang khusus pada masing-masing lebih tinggi dari yang umum pada selainnya. Tapi perbedaan yang jelas di antara kedua-nya, firasat lebih berkaitan dengan satu jenis tindakan atau perbuatan, sedangkan ilham murni pemberian, yang tidak bisa diperoleh dengan tindakan atau usaha tertentu.

  • Tingkatan Kesepuluh:

Mimpi yang benar, yang merupakan satu bagian dari nubuwah, seperti yang dikabarkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, "Mimpi yang benar itu merupakan satu bagian dari empat puluh enam bagian dari nubuwah."

Tapi dalam riwayat lain yang shahih disebutkan merupakan satu bagian dari tujuh puluh bagian dari nubuwah. Yang pasti, mimpi merupakan permulaan wahyu. Kebenarannya tergantung kepada orang yang bermimpi, dan mimpi yang paling benar ialah mimpinya orang yang perkataannya paling benar dan jujur. Jika kiamat sudah dekat, maka hamper tidak ada mimpi yang meleset, karena jaraknya yang jauh dari masa nubuwah. Sementara pada masa nubuwah tidak membutuhkan mimpi-mimpi yang benar ini, karena sudah ada kekuatan cahaya nubuwah. Kebalikan dari mimpi yang benar ini adalah karamah yang muncul setelah masa shahabat, namun tidak muncul pada masa dekatnya hari kiamat. Hal ini disebabkan kuat dan lemahnya iman. Begitulah yang ditegaskan Al-Imam Ahmad. Ubadah bin Ash-Shamit berkata, "Mimpi orang Mukmin merupakan perkataan yang disampaikan Allah kepada hamba-Nya ketika dia tidur."

Mimpi itu layaknya suatu pengungkapan, di antaranya ada yang berasal dari

Allah, ada yang berasal dari kejiwaan dan ada yang berasal dari syetan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Mimpi itu ada tiga macam: Mimpi dari Allah, mimpi sedih dari syetan dan mimpi yang terbawa bisikan seseorang ke dalam hatinya saat terjaga, lalu dia memimpikannya saat tidur."

Mimpi yang menjadi sebab hidayah adalah mimpi yang secara khusus datangnya dari Allah. Sementara mimpi para nabi sama dengan wahyu, karena mimpi mereka terlindung dari syetan. Begitulah kesepakatan umat. Karena itu Al-Khalil Ibrahim hendak menyembelih putranya, sekalipun itu bermula dari perintah dalam mimpi yang beliau alami. Sedangkan mimpi selain para nabi, bisa dilaksanakan seperti halnya wahyu yang jelas, jika memang tepat. Jika tidak, maka tidak perlu diamalkan. Lalu apa komentar kalian tentang mimpi yang benar? Jika mimpi itu mimpi yang benar, maka ia tidak akan bertentangan dengan wahyu. Siapa yang ingin agar mimpinya benar, maka hendaklah dia terus-menerus menjaga kejujurannya, memakan yang halal, menjaga perintah dan larangan, tidur dalam keadaan suci, menghadap ke arah kiblat, menyebut asma Allah

hingga matanya terlelap. Jika dia berbuat seperti ini, hampir pasti mimpinya bukan mimpi yang dusta.

Mimpi yang paling benar adalah mimpi pada waktu sahur, karena itulah waktu turunnya wahyu, rahmat, ampunan dan saat syetan menyingkir jauh. Sebaliknya, mimpi pada permulaan malam adalah mimpi yang banyak ditebari syetan dan ruh-ruh syetan.

Kemujaraban Al-Fatihah Yang Mengandung Kesembuhan bagi Hati dan Kesembuhan bagi Badan

Kandungan Al-Fatihah yang mampu menyembuhkan hati merupakan kandungannya yang paling komplit. Sumber penyakit hati dan deritanya ada dua macam: Ilmu yang rusak dan tujuan yang rusak. Dari dua sumber ini muncul dua penyakit lain: Kesesatan dan kemarahan. Kesesatan merupakan akibat dari ilmu yang rusak, sedangkan kemarahan merupakan akibat dari tujuan yang rusak. Dua jenis penyakit ini merupakan inti dari semua jenis penyakit hati. Hidayah ke jalan yang lurus men-jamin kesembuhan dari penyakit kesesatan. Karena itu memohon hidayah ini merupakan doa yang paling wajib bagi setiap hamba, yang juga diwajibkan atas dirinya setiap malam dan siang, dalam setiap shalat dan saat terdesak keperluan.

Sedangkan penegasan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in secara ilmu dan ma'rifat, amal dan kondisional, menjamin kesembuhan dari penya-kit hati dan tujuan yang rusak. Sebab tujuan yang rusak ini berkaitan dengan sasaran dan sarana. Siapa yang mencari tujuan yang pasti akan ter-putus dan fana, menggunakan berbagai macam sarana untuk dapat me-raihnya, maka hal itu justru akan menjadi beban baginya dan tujuannya jelas salah.

Inilah keadaan setiap orang yang tujuannya untuk mendapatkan hal-hal selain

Allah dari kalangan orang-orang musyrik, orang-orang yang hanya ingin memuaskan nafsunya, para tiranyang menopang kekuasaannya dengan segala cara, tak peduli benar maupun batil. Jika ada kebenaran yang menghambat jalan kekuasaannya, maka mereka mendepaknya. Jika tidak mampu mendepaknya, mereka akan menepis kebenaran itu, layaknya pemelihara sapi yang menyingkirkan sampah di kandang. Jika mereka tidak bisa melakukannya, mereka menghentikan langkah di jalan itu lalu mencari jalan lain. Dengan cara apa pun mereka siap menolaknya. Jika ada kebenaran yang mendukung kekuasaan, mereka mendukungnya, bukan karena itu merupakan kebenaran, tapi karena kebenaran itu yang kebetulan sejalan dengan tujuan dan nafsunya.

Karena tujuan dan sarana yang dipergunakan rusak, maka mereka adalah orang-orang yang paling menyesal dan merugi, jika tujuan yang mereka raih meleset. Merekalah orang-orang yang paling menyesal dan merugi di dunia, yaitu jika kebenaran dikatakan benar dan kebatilan dikatakan batil. Yang demikian ini seringkali terjadi di dunia. Penyesalan ini akan semakin nyata tatkala mereka meninggal dunia dan menghadap Allah serta berada di alam Barzakh.

Begitu pula orang yang mencari tujuan yang tinggi dan sasaran yang mulia, namun tidak menggunakan sarana yang mendukungnya untuk meraih tujuan itu, dia hanya mendugaduga sarana yang digunakannya itu akan mendukungnya. Keadaan orang ini tak jauh berbeda dengan orang yang pertama. Dia tidak akan mendapatkan kesembuhan dari penyakit ini kecuali dengan obat iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in.

Obat ini mempunyai empat komposisi: Ibadah kepada Allah, perintah dan larangan-Nya, memohon pertolongan dengan beribadah kepada-Nya, tidak dengan hawa nafsu, tidak dengan pendapat manusia dan pemikirannya, tidak dengan diri manusia dan kekuatannya. Inilah unsurunsur yang terkandung di dalam obat iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Jika unsur-unsur ini diramu oleh seorang dokter yang berpengalaman, tentu

akan menjadi obat yang sangat mujarab.

Hati itu mudah terjangkiti dua macam penyakit yang kronis. Jika seseorang tidak mengobatinya, tentu dia akan binasa, yaitu riya' dan taka-bur. Obat riya adalah iyyaka na'budu, sedangkan obat takabur adalah iyyaka nasta'in. Seringkali kami mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Iyyaka na'budu menolak penyakit riya', dan iyyaka nasta'in menolak penyakit takabur."

Jika seseorang diberi kesembuhan dari penyakit riya' dengan iyyaka na'budu, diberi kesembuhan dari penyakit takabur dan ujub dengan iyyaka nasta 'in, diberi kesembuhan dari penyakit kesesatan dan kebodohan dengan ihdinash-shirathal-mustaqim, berarti dia telah diberi kesembuhan dari segala macam penyakit. Namun di antara orang-orang yang menda-pat kenikmatan juga ada yang mendapat murka. Mereka adalah orang-orang yang tujuannya rusak, yang sebenarnya mengetahui kebenaran namun menyimpanginya. Ada pula di antara mereka yang adh-dhallin (sesat), yaitu mereka yang

memiliki ilmu yang rusak dan tidak mengetahui kebenaran.

Tentang surat Al-Fatihah yang mengandung obat bagi penyakit badan, maka akan kami jelaskan seperti yang telah dijelaskan As-Sunnah dan dikuatkan ilmu medis serta berdasarkan pengalaman. Di dalam Ash- Shahih disebutkan dari hadits Abul-Mutawakkil An-Najy, dari Abu Sa'id Al-Khudry, bahwa ada beberapa orang dari shahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang melewati sebuah perkampungan Arab dalam perjalanannya. Para penduduk kampung itu tidak mau menerima mereka sebagai tamu, apalagi menjamu. Pada saat yang sama pemimpin mereka disengat hewan. Maka penduduk kampung mendatangi mereka dan bertanya, "Adakah kalian mempunyai mantera atau adakah di antara kalian yang bisa menyembuhkan dengan mantera?"

"Ya, ada. Tapi karena kalian tidak mau menjamu kami, maka kami tidak mau mengobati kecuali jika kalian memberikan imbalan kepada kami."

Maka penduduk kampung itu sepakat untuk memberikan beberapa ekor kambing. Maka setiap orang di antara para shahabat itu memba-cakan Al-Fatihah. Seketika itu pula pemimpin kampung itu bangkit, se-akanakan sebelumnya dia tidak pernah sakit. Kami berkata, "Janganlah kalian terburu-buru menerima imbalan ini sebelum kita menemui Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam."

Setelah bertemu beliau, mereka menceritakan kejadian ini. Beliau bersabda, "Apa pendapat kalian kalau memang Al-Fatihah itu benar-benar merupakan ruqyah? Terimalah imbalan itu dan sisihkan bagianku."

Hadits ini menjelaskan keampuhan Al-Fatihah yang bisa menyembuhkan sengatan hewan, sehingga ia berfungsi sebagaimana obat, atau bahkan lebih mujarab daripada obat itu sendiri. Padahal orang yang disembuhkan itu tidak terlalu tepat untuk disembuhkan dengan cara tersebut, entah karena penduduk kampung itu bukan orang Muslim atau karena mereka orang-orang yang kikir. Lalu bagaimana jika yang disembuhkan tidak seperti mereka?

Sedangkan dari teori medis, dapat dibuktikan sebagai berikut, bahwa sengatan itu berasal dari hewan yang mempunyai racun, yang berarti mempunyai jiwa yang kotor dan terbentuk karena amarah, lalu menyalurkan unsur racun yang panas lewat sengatan itu. Jika jiwa yang kotor ini terbentuk bersamaan dengan terbentuknya kemarahan, maka ia akan merasa senang jika dapat menyalurkan racun ke tempat yang layak menerimanya, sebagaimana orang jahat yang merasa senang jika dapat menyalurkan kejahatannya terhadap orang yang layak menerimanya. Bahkan dia merasa tersiksa jika tidak bisa menyalurkan kejahatannya itu kepada seseorang.

Prinsip penyembuhan ialah dengan menggunakan kebalikannya dan menjaga dengan sesuatu yang serupa. Kesehatan dijaga dengan sesuatu yang serupa dan penyakit disembuhkan dengan kebalikannya. Ini merupakan hukum sebab-akibat yang sudah

diatur sedemikian rupa oleh Allah Yang Maha Bijaksana. Namun hal ini tidak akan berhasil kecuali dengan kekuatan jiwa pelakunya dan reaksi penerimanya. Jika jiwa orang yang disengat tidak layak menerima ruqyah itu dan jiwa yang membaca-kan ruqyah tidak mampu memberikan pengaruh apa-apa, maka kesem-buhan tidak akan berhasil.

Jadi di sini ada tiga unsur: Kesesuaian obat dengan penyakit, kesungguhan orang yang mengobati dan orang yang diobati bisa menerimanya. Jika tidak ada kelaikan pada salah satu unsur ini, maka kesembuhan tidak akan terjadi.

Siapa yang bisa memahami hal ini, tentu dia bisa memahami rahasia ruqyah tersebut, bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat dan bisa mencocokkan obat dengan penyakit yang hendak diobati, seperti penggunaan pedang untuk memotong barang yang memang bisa dipotong dengan pedang itu.

Sedangkan dari kesaksian pengalaman, maka cukup banyak orang yang mengalaminya. Saya sendiri pernah mempunyai pengalaman dalam penggunaan Al-Fatihah sebagai ruqyah ini dengan hasil yang benar-benar menakjubkan, terutama pada saat-saat saya menetap di Makkah. Suatu saat saya sakit yang benar-benar amat menyiksa, hingga hampir-hampir saya tidak bisa menggerakkan badan karenanya.

Padahal saat itu saya harus mengerjakan thawaf dan lain-lainnya. Maka saya segera membaca Al- Fatihah, lalu mengusapkan telapak tangan ke bagian-bagian tubuh yang sakit. Seakan-akan dari bagian yang sakit itu ada kerikil yang jatuh. Pengalaman seperti ini tidak terjadi hanya sekali saja, tapi beberapa kali. Pernah juga saya mengambil air Zamzam lalu membacakan Al-Fatihah pada air itu dan saya meminumnya. Hasilnya, saya merasa mendapat kekuatan baru yang tidak pernah kurasakan yang seperti itu. Tentu saja semua ini harus didasari kekuatan iman dan keyakinan yang benar.

Al-Fatihah Mencakup Bantahan terhadap Semua Golongan Yang Batil, Bid'ah dan Sesat

Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara: Global dan terinci. Secara global dapat diketahui bahwa ash-shirathul-mustaqim mencakup pengetahuan tentang kebenaran, memprioritaskan kebenaran daripada yang lain, mencintai, menyeru dan memerangi musuh-musuh kebenaran me-nurut kesanggupan. Kebenaran di sini adalah apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat, seperti ilmu dan amal

tentang sifat Allah, asma', perintah, larangan, janji, ancaman dan haki-kat- hakikat iman, yang semuanya merupakan etape orang-orang yang berjalan kepada Allah. Semua masalah ini diserahkan kepada beliau dan bukan kepada pendapat dan pemikiran manusia. Jadi tidak dapat diragu-kan bahwa ilmu dan amal yang ada pada diri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat adalah pengetahuan tentang kebenaran, yang harus diprioritaskan daripada yang lain. Inilah yang disebut ash-shirathulmustaqim.

Dengan cara yang global ini dapat diketahui bahwa siapa pun yang bertentangan

dengan jalan ini adalah batil, atau merupa-kan satu jalan dari dua jenis golongan: Golongan yang mendapat murka dan golongan yang sesat. Adapun dengan cara yang rinci, maka kita perlu mengetahui satu persatu setiap madzhab yang batil. Namun yang pasti, setiap kalimat Al-Fatihah mencakup penjelasan tentang kebatilannya.

Manusia secara umum dapat dibagi menjadi dua macam: Golongan yang mengakui kebenaran dan golongan yang mengingkari kebenaran. Sementara Al-Fatihah mencakup penetapan adanya Khaliq dan penolak-an orang yang mengingkari keberadaan-Nya, yaitu dengan penetapan Rububiyah-Nya atas semesta alam. Perhatikanlah semua benda alam, baik alam atas maupun alam bawah, tentu engkau akan melihat bukti keberadaan Sang Pencipta. Keberadaan Allah ini lebih nyata bagi akal dan

fitrah daripada keberadaan sungai yang mengalir. Siapa yang tidak mempunyai pandangan seperti ini dalam akal dan fitrahnya, berarti harus dipertanyakan, adakah sesuatu yang tidak beres pada akalnya?

Seiring dengan kebatilan orang-orang yang mengingkari keberadaan Allah, batil pula pendapat orang-orang yang mengatakan tentang wahdatul-wujud (kesatuan wujud), bahwa wujud alam ini juga merupa-kan wujud Allah dan Allah merupakan hakikat wujud alam ini. Jadi menu-rut mereka tidak ada lagi istilah Rabb dan hamba, penguasa dan yang dikuasai, pengasih dan yang dikasihi, pemberi pertolongan dan yang meminta pertolongan, pemberi petunjuk dan yang diberi petunjuk, pemberi nikmat dan yang diberi nikmat, sebab Allah adalah hamba itu sendiri, yang disembah adalah yang menyembah itu sendiri. Perbedaan wujud hanya sekedar masalah relatifitas yang bergantung kepada fenomena dzat dan penampakannya, sehingga terkadang bisa berwujud seorang hamba

biasa, terkadang berwujud Fir'aun, pemberi petunjuk, nabi, rasul, ulama dan lain sebagainya. Sekalipun berbeda-beda, semua berasal dari satu inti, bahkan Allah adalah inti itu sendiri.

Surat Al-Fatihah, semenjak pertama hingga akhirnya menjelaskan kebatilan dan kesesatan golongan ini.

Orang-orang yang menetapkan adanya Khaliq ada dua macam:

1. Golongan yang mengesakan Khaliq atau ahli tauhid.

2. Golongan yang menyekutukan Khaliq atau ahli syirik.

Ahli syirik ada dua macam:

1. Orang-orang yang menyekutukan Rububiyah dan Uluhiyah-Nya, seperti orang-orang Majusi dan yang serupa dengan mereka dari golongan Qadariyah. Mereka menetapkan adanya pencipta Allah yang menyertai Allah, sekalipun mereka tidak mengatakan adanya kesetaraan di antara keduanya. Golongan Qadariyah Majusi menetapkan adanya para pencipta perbuatan di samping Allah. Perbuatan ini di luar ke-hendak Allah dan Allah tidak mempunyai kekuasaan terhadapnya, tapi para

pencipta selain-Nya itulah yang menjadikan diri mereka bisa berbuat dan berkehendak. Di dalam Iyyaka na'budu terkandung sanggahan terhadap pendapat mereka. Sebab pertolongan yang mereka mohonkan kepada-Nya berarti mengharapkan sesuatu yang ada di Ta-ngan Allah dan ada dalam kekuasaan serta kehendak-Nya. Lalu bagaimana mungkin orang yang katanya mampu berbuat, tapi dia masih meminta pertolongan?

2. Orang-orang yang menyekutukan Uluhiyah-Nya. Mereka mengatakan bahwa hanya Allah penguasa dan pencipta segala sesuatu, bahwa Allah adalah Rabb mereka dan bapak-bapak mereka semenjak dahulu. Tetapi sekalipun begitu mereka masih menyembah selain-Nya, mencintai dan mengagungkannya. Mereka menciptakan tandingan bagi Allah. Mereka tidak menetapi hak iyyaka na'budu. Sekalipun memang mereka na'buduka (kami menyembah-Mu), tapi mereka tidak murni dalam iyyaka na'budu, yang mengandung pengertian: Kami tidak menyembah kecuali Engkau semata, dengan penuh kecintaan, harapan, ketakutan, ketaatan dan pengagungan. Iyyaka na'budu merupakan penge-jawantahan dari tauhid dan peniadaan syirik dalam Uluhiyah, seba-gaimana iyyaka nasta'in merupakan pengejawantahan dalam tauhid Rububiyah dan peniadaan syirik dalam Rububiyah.

Surat Al-Fatihah juga mengandung sanggahan terhadap pendapat berbagai golongan yang menyimpang dan sesat, seperti:

1. Al-Jahmiyah yang meniadakan sifat-sifat Allah.

2. Al-Jabariyah yang meniadakan pilihan dan kehendak bagi manusia, yang segala

sesuatu pada diri manusia berdasarkan kehendak Allah.

3. Golongan yang menetapkan perbuatan Allah pada hal-hal yang pasti dan Dia tidak

mempunyai pilihan serta kehendak.

4. Golongan orang-orang yang mengingkari keterkaitan ilmu-Nya dengan hal-hal parsial.

5. Golongan orang-orang yang mengingkari nubuwah.

6. Golongan yang mengatakan tentang keberadaan alam semenjak dahulu kala.

7. Ar-Rafidhah yang menganggap hanya keturunan Rasulullah yang benar, sedangkan

selain mereka tidak benar dan tidak akan masuk surga, sekalipun itu semacam shahabat

Abu Bakar.

Cakupan Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in terhadapMakna-makna Al-Qur'an, Ibadah dan Isti'anah

Rahasia penciptaan, perintah, kitab-kitab, syariat, pahala dan siksa terpusat pada dua penggal kalimat ini, yang sekaligus merupakan inti ubudiyah dan tauhid. Sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa Allah menurunkan seratus empat kitab, yang makna-maknanya terhimpun dalam Taurat, Injil dan Al-Qur'an. Makna-makna tiga kitab ini terhimpun di dalam Al-Qur'an. Makna-makna Al-Qur'an terhimpun dalam surat-surat

yang pendek. Makna-makna dalam surat-surat yang pendek terhimpun dalam surat Al-Fatihah. Makna-makna Al-Fatihah terhimpun di dalam iyyaka na'budu wa iyya-ka nasta'in. Dua kalimat ini dibagi antara milik Allah dan milik hamba-Nya. Separoh bagi Allah, yaitu iyyaka na'budu, dan separoh lagi bagi hamba-Nya, yaitu iyyaka nasta'in. Ibadah mengandung dua dasar: Cinta dan penyembahan. Menyembah di sini artinya, merendahkan diri dan tunduk. Siapa yang mengaku cinta namun tidak tunduk, berarti bukan orang yang menyembah. Siapa yang tunduk namun tidak cinta, juga bukan orang yang menyembah. Dia disebut orang yang menyembah jika cinta dan tunduk. Karena itu orangorang yang mengingkari cinta hamba terhadap Allah adalah orang-orang yang mengingkari hakikat ubudiyah dan sekaligus mengingkari keberadaan Allah sebagai Dzat yang mereka cinta, yang berarti mereka juga mengingkari keberadaan Allah sebagai Ilah (sesembahan), sekalipun mereka mengakui Allah sebagai penguasa semesta alam dan pencipta-nya. Inilah tauhid mereka yang terbatas pada tauhid Rububiyah, seperti pengakuan bangsa Arab, tapi mereka tidak keluar dari syirik, sebagaimana

firman Allah :

"Dan, sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?' niscaya mereka menjawab, 'Allah'." (Az-Zumar; 38).

Isti'anah (memohon pertolongan) menghimpun dua dasar: Kepercayaan terhadap Allah dan penyandaran kepada-Nya. Adakalanya seorang hamba menaruh kepercayaan terhadap seseorang, tapi dia tidak menyandarkan semua urusan kepadanya, karena dia merasa tidak membutuhkan dirinya. Atau adakalanya seseorang menyandarkan berbagai urusan kepada seseorang, padahal sebenarnya dia tidak percaya kepadanya, karena dia merasa membutuhkannya dan tidak ada orang lain yang memenuhi kebutuhannya. Karena itu dia bersandar kepadanya.

Tawakal merupakan makna yang juga cocok dengan dua dasar ini, kepercayaan dan penyandaran, yang sekaligus merupakan hakikat iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Dua dasar ini, tawakal dan ibadah disebut-kan di beberapa tempat dalam Al-Qur'an, yang keduanya disebutkan secara berurutan, di antaranya,

"Dan, kepunyaan Allahlah apa yang gaib di langit dan di bumi dan kepada- Nyalah dikembalikan semua urusan, maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya." {Hud: 123).

"Ibadah" didahulukan daripada "Isti'anah" di dalam Al-Fatihah merupakan gambaran didahulukannya tujuan daripada sarana. Hal ini bias dilihat dari beberapa sebab:

1. "Ibadah" merupakan tujuan penciptaan hamba, sedangkan "Isti'anah" merupakan

sarana untuk dapat melaksanakan "Ibadah" itu.

2. Iyyaka na'budu berkaitan dengan Uluhiyah-Nya dan asma "Allah". Sedangkan iyyaka nasta'in berkaitan dengan Rububiyah-Nya dan asma "Ar-Rabb". Karena itu iyyaka na'budu didahulukan daripada iyyaka nasta'in, sebagaimana asma Allah yang didahulukan daripada asma Ar- Rabb di awal Al-Fatihah.

3. Iyyaka na'budu merupakan bagian Allah dan juga merupakan pujian terhadap Allah, karena memang Dia layak menerimanya, sedangkan iyyaka nasta'in merupakan bagian hamba, begitu pula ihdinash-shirath-almustaqim hingga akhir surat.

4. "Ibadah" secara total mencakup "Isti'anah" dan tidak bisa dibalik. Se-tiap orang yang beribadah kepada Allah dengan ibadah yang sempurna adalah orang yang memohon pertolongan kepada-Nya, dan tidak bias dibalik. Sebab orang yang dikuasai berbagai macam tujuan pribadi dan syahwatnya, juga bisa memohon pertolongan kepada-Nya, hanya karena ingin memuaskan nafsunya. Karena itu ibadah harus lebih sempurna. Berarti "Isti'anah" merupakan bagian dari "Ibadah" dan tidak bias dibalik, sebab "Isti'anah" merupakan permohonan dari-Nya, sedang "Ibadah" merupakan permohonan bagi-Nya.

5. "Ibadah" hanya dilakukan orang yang ikhlas, sedangkan "Isti'anah" bias dilakukan

orang yang ikhlas dan yang tidak ikhlas.

6. "Ibadah" merupakan hak Allah yang diwajibkan kepada hamba, sedangkan "Isti'anah"

merupakan permohonan pertolongan untuk dapat melaksanakan "Ibadah".

7. "Ibadah" merupakan gambaran syukur terhadap nikmat yang dilim- pahkan kepadamu,

dan Allah suka untuk disyukuri. Pemberian pertolongan merupakan taufik Allah yang diberikan kepadamu. Jika engkau komitmen dalam beribadah kepada-Nya dan ibadahmu lebih sempurna, maka pertolongan Allah yang diberikan kepadamu juga lebih besar.

8. Iyyaka na'budu merupakan hak Allah dan iyyaka nasta'in merupakan kewajiban Allah. Hak-Nya harus didahulukan daripada kewajiban-Nya. Sebab hak Allah berkaitan dengan cinta dan ridha-Nya, sedangkan kewajiban-Nya berkaitan dengan kehendak-Nya. Apa yang bergantung kepada cinta-Nya harus lebih sempurna daripada apa yang bergantung kepada kehendak-Nya. Semua yang ada di alam, para malaikat maupun syetan, orang-orang Mukmin maupun orang-orang kafir, orang yang taat maupun orang yang durhaka, semuanya bergantung kepada kehendak-Nya. Apa yang bergantung kepada cinta-Nya adalah ketaatan dan iman mereka. Orang-orang kafir ada dalam kehendak-Nya dan orang-orang Mukmin ada dalam cinta-Nya.

Dari beberapa rahasia ini dapat diketahui secara jelas hikmah didahulukannya iyyaka na'budu daripada iyyaka nasta'in.

Pembagian Manusia Berdasarkan Kandungan Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in

Jika engkau sudah mengetahui secara jelas masalah ini, maka berdasarkan dua dasar (Ibadah dan isti'anah) manusia bisa dibagi menjadi empat golongan:

1. Ahli ibadah dan isti'anah kepada Allah. Mereka merupakan golongan yang paling

mulia dan paling tinggi. Ibadah kepada Allah merupakan tujuan mereka, dan mereka pun memohon agar Allah menolong dan memberikan taufik, sehingga mereka dapat melaksanakan ibadah itu. Karena itu permohonan paling utama yang disampaikan kepada Allah ialah pertolongan menurut keridhaan-Nya, seperti yang diajarkan Nabi

Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada orang yang beliau cintai, Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu Anhu. Beliau bersabda, "Wahai Mu'adz, demi Allah, aku benar-benar mencintaimu. Maka janganlah engkau lalai untuk mengucapkan seusai setiap shalat, 'Ya Allah, tolonglah aku untuk menyebut nama-Mu, bersyukur dan beribadah secara baik kepada- Mu'."

2. Orang-orang yang tidak mau beribadah dan tidak mau memohon pertolongan kepada-Nya. Mereka tidak mengenal ibadah dan isti'anah. Ini kebalikan dari golongan yang pertama. Bahkan jika salah seorang di antara mereka memohon kepada-Nya, maka hal itu dimaksudkan untuk memuaskan nafsunya, bukan berdasarkan keridhaan dan hak-Nya. Semua yang ada di langit dan di bumi memohon kepada-Nya. Bahkan makhluk yang paling dibenci Allah dan musuh-Nya, Iblis, ma-sih sempat memohon kepada Allah dan Allah pun memenuhinya. Tapi karena apa yang dimohon itu bukan untuk mendapatkan keridhaan-Nya, maka ia semakin menambah penderitaan, kesengsaraan dan dia semakin jauh dari Allah. Begitulah keadaan setiap orang yang memohon pertolongan kepada Allah, namun tidak dimaksudkan untuk menambah ketaatan kepada-Nya, sehingga dia menjadi budak dari apa yang dimintanya.

Hendaklah diketahui, bahwa kalaupun Allah memenuhi permintaan orang yang meminta kepada-Nya, bukan karena ada kemuliaan pada diri orang yang meminta itu. Hamba meminta kepada-Nya dan Allah memenuhinya, padahal permintaannya itu boleh jadi menjadi sumber kehancuran dan penderitaannya, sehingga pemenuhan Allah ini justru menjadi kehinaan baginya. Sebaliknya, tidak adanya pemenuhan Allah atas permintaan hamba justru merupakan kemuliaan dan gambaran cinta Allah kepadanya, perlindungan dan penjagaan Allah baginya dan bukan merupakan gambaran kekikiran Allah. Tapi orang yang bodoh akan mengira bahwa Allah tidak mencintai dan tidak pula memuliakannya, sehingga dia berburuk sangka terhadap Allah. Pemberian dan pencegahan Allah merupakan ujian. Firman-Nya :

"Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberikan-Nya kesenangan, maka dia berkata, 'Rabbku telah memuliakanku'. Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezkinya, maka dia berkata, 'Rabbku menghinakanku'. Sekali-kali tidak (demikian)."(Al-Fajr: 15-16).

Allah menyanggah dugaan orang, bahwa keluasan rezkiyang dilimpahkan- Nya merupakan kemuliaan dari-Nya, sedangkan kemiskinan merupakan kehinaan dari-Nya, dengan befirman, "Aku tidak menguji hamba-Ku dengan kekayaan karena dia mulia di Mata-Ku. Aku tidak mengujinya dengan kemiskinan karena dia hina di Mata-Ku." Dia memberitahukan bahwa kemuliaan dan kehinaan tidak berkisar pada keluasan harta dan pembatasannya. Toh Allah menghamparkan harta seluas-luasnya kepada orang kafir, bukan karena dia mulia, dan membatasi harta pada orang Mukmin, bukan karena dia hina. Segala puji bagi Allah atas semua ini, dan Dia Mahakaya lagi Maha Terpuji. Jadi kebahagiaan dunia dan akhirat tetap kembali kepada iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in.

3. Golongan orang yang memiliki sebagian ibadah tanpa menghendaki isti'anah. Mereka ada dua kelompok: Pertama, golongan Qadariyah yang berpendapat bahwa Allah telah melakukan apa yang ditetapkan- Nya pada hamba dan Dia tidak perlu lagi memberikan pertolongan kepada hamba, karena Allah telah menolongnya dengan mencipta-kan alat baginya, memperkenalkan jalan dan mengutus para rasul. Sehingga setelah adanya pertolongan ini, hamba tidak perlu lagi memo-hon kepada- Nya. Kedua, golongan yang beribadah namun tidak total dalam tawakal dan memohon pertolongan kepada-Nya. Pandangan mereka tidak mengaitkan orang yang bergerak kepada siapa yang meng-gerakkan, tidak mengaitkan sebab kepada pembuat sebab, tidak mengaitkan alat kepada pelaku.

4. Golongan yang mempersaksikan bahwa hanya AUahlah satu-satunya yang memberikan manfaat dan mudharat. Apa pun yang dikehendaki- Nya pasti akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, namun mereka tidak berbuat apa yang dicintai dan diridhai- Nya.

Seorang hamba tidak bisa mewujudkan iyyaka na'budu kecuali dengan dua dasar: Mengikuti Rasulullah dan ikhlas terhadap Allah yang disembah. Ditilik dari dua dasar ini, maka manusia bisa dibagi menjadi empat golongan:

  1. Orang-orang yang ikhlas karena Allah dan mengikuti Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Merekalah yang benar-benar menghayati iyyaka na'budu. Semua perkataan dan perbuatan mereka karena Allah, memberi karena Allah, menahan karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah. Mu'amalah mereka secara lahir dan batin karena mengharap Wajah Allah semata, tidak dimaksudkan untuk mencari imbalan, pujian, pengaruh, kedudukan dan simpati di hati manusia atau pun menghindari celaan manusia. Bahkan mereka mengang-gap semua manusia tak

ubahnya mayat yang sudah mati, tidak bisa memberi manfaat dan mudharat. Perbuatan yang dimaksudkan untuk mendapatkan kedudukan, mengatur manfaat dan mudharat, sama sekali tidak mereka kenal. Maka Al-Fadhl bin Iyadh pernah berkata, "Amal yang baik ialah yang paling ikhlas dan paling benar." Orang-orang bertanya, "Wahai Abu Ali, apa yang dimaksudkan paling ikhlas dan paling benar itu?" Dia menjawab, "Jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak

diterima. Jika amal itu benar namun tidak ikhlas, maka ia tidak diteri-ma pula, hingga ia ikhlas dan benar. Ikhlas artinya karena Allah. Benar artinya berdasarkan As-Sunnah. Inilah yang dimaksudkan dalam firman Allah :

"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya." (Al-Kahfi: 110).

2. Orang yang tidak ikhlas dan tidak mengikuti As-Sunnah. Amalnya tidak sejalan dengan syariat dan tidak pula ikhlas terhadap Allah yang disembah, seperti perbuatan orang-orang yang ingin pamer di hadapan manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling buruk dan paling dibenci Allah. Mereka inilah yang digambarkan dalam firman Allah :

"Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih." (Ali Imran: 188).

3. Ikhlas dalam amalnya namun tidak mengikuti perintah dan As-Sunnah, seperti yang dilakukan para ahli ibadah yang bodoh, mereka yang cenderung kepada zuhud dan hidup miskin, orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak sesuai dengan perintah- Nya.

4. Amalnya sesuai dengan perintah dan As-Sunnah, tetapi untuk tujuan selain Allah, seperti orang yang berjihad karena riya' dan memamer-kan patriotismenya, menunaikan haji agar dia dipuji atau membaca Al- Qur'an agar disanjung. Amal mereka secara zhahir sesuai dengan perintah, tetapi tidak shalih.

Orang-orang yang mengamalkan iyyaka na'budu secara konsisten memiliki sisi pandang yang berbeda tentang ibadah yang paling utama, paling bermanfaat, paling layak untuk diprioritaskan. Dalam hal ini mereka ada empat pendapat:

1. Orang-orang yang menganggap ibadah yang paling baik dan utama adalah yang paling sulit dan berat, karena ibadah semacam ini adalah yang paling jauh dari hawa nafsu. Sementara menurut mereka, pahala juga diukur dari kadar kesulitan ibadah. Mereka berpendapat kepada hadits yang sama sekali tidak ada dasarnya, "Amal yang paling utama adalah yang paling sulit atau berat." Mereka adalah orang-orang yang memang rajin beribadah, namun bertindak semena-mena terhadap diri sendiri. Orang-orang

yang menganggap ibadah paling utama adalah zuhud di dunia, meminimkan andil dalam keduniaan dan tidak peduli terhadap kehidupan dunia.

2. Orang-orang yang menganggap ibadah paling utama adalah yang manfaatnya merambah secara luas. Menurut mereka, menyantuni orangorang miskin, memenuhi kebutuhan orang banyak, membantu mereka dengan tenaga dan harta adalah ibadah yang paling utama. Mereka beralasan bahwa amal ahli ibadah hanya bagi dirinya sendiri, sedangkan amal orang yang bisa memberi manfaat kepada orang lain bias dirasakan orang banyak, karena itu kelebihan orang yang berilmu atas ahli ibadah seperti kelebihan rembulan atas seluruh bintang-gemin-tang. Mereka juga berhuj jah dengan hadits-hadits tentang pahala yang diberikan kepada pelaku kebaikan dan dia juga mendapatkan pahala orang-orang yang mengikuti kebaikan yang dilakukannya itu.

3. Orang-orang yang menganggap ibadah paling utama adalah amal yang dilakukan untuk mendapatkan ridha Allah, sesuai dengan timingnya dan tugas yang memang harus dilaksanakannya. Ibadah yang paling utama pada waktu jihad adalah berjihad, sekalipun harus meninggal-kan shalat malam dan puasa, bahkan sekalipun dia harus meninggal-kan shalat fardhu karena kondisi perang. Ibadah yang paling utama sewaktu ada tamu yang datang ialah memenuhi hak-hak tamu. Ibadah yang paling utama pada waktu sahur adalah mengerjakan shalat, mem-baca Al-Qur'an, berdoa dan berdzikir. Begitu pula setiap ibadah yang disesuaikan dengan situasi dan kondisinya, maka itulah ibadah yang paling utama.

4. Golongan yang keempat ini adalah ahli ibadah yang tak mengenal batasan, sedangkan tiga golongan lain sebelumnya adalah ahli ibadah yang terbatas. Jika salah seorang di antara tiga golongan ini keluar dari jenis ibadah yang menjadi andalannya, maka dia menganggap ada yang kurang dalam ibadahnya itu atau dia telah meninggalkan ibadahnya sama sekali, karena dia beribadah kepada Allah dengan satu pola. Sementara orang yang ibadahnya tidak mengenal batasan, tidak mementingkan satu ibadah daripada yang lain. Tujuan yang diraihnya adalah keridhaan Allah, di mana dan kapan pun dia berada. Dia selalu berpindah-pindah di berbagai tempat ibadah. Jika engkau melihat para ulama, maka dia tampak bersama mereka. Jika engkau melihat para ahli ibadah, dia tampak bersama mereka. Jika engkau melihat para mujahidin, dia tampak terlihat bersama mereka. Jika engkau melihat orang-orang yang mengeluarkan shadaqah, dia tampak bersama mereka. Inilah hamba yang tidak terikat dan tidak memiliki gambar tertentu. Dialah orang yang mewujudkan makna iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in secara konsekuen.

Bangunan Iyyaka Na'budu dan Keharusan Ibadah Hingga Akhir Hayat

Iyyaka na'budu didasarkan kepada empat kaidah, yaitu mewujudkan apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, berupa perkataan hati dan lisan, amal hati dan anggota badan. Ubudiyah merupakan nama yang meliputi empat tingkatan ini.

Perkataan hati merupakan keyakinan terhadap apa yang dikabarkan Allah, tentang Diri-Nya, sifat, asma' dan perbuatan-Nya, para malaikat, perjumpaan dengan-Nya, yang disampaikan para rasul-Nya. Perkataan lisan adalah pengabaran tentang keyakinan ini. Amal hati ialah seperti cinta kepada Allah, tawakal, tunduk, takut dan berharap kepada-Nya serta hal-hal lain yang merupakan gerak hati. Sedangkan amal anggota tubuh seperti shalat, jihad, melangkah ke masjid untuk shalat Jum'at dan jama'ah, membantu orang miskin, berbuat baik kepada sesama manusia dan lain sebagainya. Sementara itu, keharusan melaksanakan iyyaka na'budu berlaku hingga akhir hayat. Allah befirman :

"Dan, sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)." (Al-Hijr. 99).

Di dalam Ash-Shahih juga disebutkan tentang kisah kematian Uts-man bin Mazh'un, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Telah datang kepada Utsman ajal dari Rabb-nya."

Hamba tidak terbebas dari ibadah selagi dia berada di dunia. Bahkan di alam Barzakh pun dia tetap memiliki bentuk ibadah tersendiri tatkala dua malaikat bertanya kepadanya, "Siapakah yang disembah dan apakah yang dia katakan tentang Rasulullah?" Maka kedua malaikat menunggu jawaban yang akan keluar dari hamba itu. Bahkan pada hari kiamat pun masih ada ibadah yang dilakukan, yaitu saat Allah menyeru semua makhluk untuk sujud. Maka orang-orang Mukmin sujud, sedangkan orang-orang kafir dan munafik tidak bisa sujud. Jika sudah masuk surga atau neraka, maka tidak ada lagi kewajiban, selain dari tasbih yang dilakukan para penghuni surga.

Siapa yang berpendapat bahwa dia sudah mencapai suaru tingkatan yang membuatnya terbebas dari ibadah adalah orang zindiq yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya.1 Padahal orang yang mencapai sekian ba-nyak tingkatan ibadah, justru ibadahnya semakin besar dan kewajibannya lebih banyak daripada yang lain, seperti kewajiban para rasul yang lebih banyak dan lebih berat.

Tingkatan-tingkatan Iyyaka Na'budu dan Penopang Ubudiyah

Ditilik dari ilmu dan amal, ubudiyah itu mempunyai beberapa tingkatan. Ubudiyah dari sisi ilmu ada dua tingkatan: Ilmu tentang Allah dan ilmu tentang agama-Nya. Ilmu tentang Allah ada lima macam: Ilmu tentang Dzat, sifat, perbuatan, asma' Allah dan membebaskan-Nya dari hal-hal yang tidak sesuai dengan-Nya. Ilmu tentang agama-Nya ada dua macam: Ilmu yang berkaitan dengan perintah dan syariat, yang

sekaligus merupakan jalan lurus yang menghantarkan kepada Allah, dan ilmu yang berkaitan dengan pahala serta siksa.

Ubudiyah berkisar pada beberapa penopang. Siapa yang dapat menyempurnakan penopang-penopang ini, maka dia dapat menyempurna-kan tingkatan-tingkatan ubudiyah di atas. Jelasnya, ubudiyah itu terbagi atas hati, lisan dan anggota tubuh. Masing-masing dari tiga bagian ini mempunyai ubudiyah yang bersifat khusus. Sementara hukum-hukum

ubudiyah ada lima macam: Wajib, sunat, haram, makruh dan mubah. Lima hukum ini berlaku untuk hati, lisan dan anggota tubuh.

Yang wajib bagi hati ada yang sudah disepakati kewajibannya dan ada yang diperselisihkan. Yang disepakati kewajibannya adalah: Ikhlas, tawakal, cinta, sabar, pasrah, takut, berharap, pembenaran, niat dalam ibadah. Yang diharamkan bagi hati adalah: Takabur, riya', ujub, dengki, lalai dan kemunafikan. Semua ini dapat dihimpun dalam dua perkara: Kufur dan kedurhakaan. Kufur seperti keragu-raguan, kemunafikan, syirik dan segala cabangnya. Kedurhakaan ada dua macam, besar dan kecil. Kedurhakaan yang besar seperti riya', takabur, ujub, membanggakan diri, putus asa dari rahmat Allah, merasa aman dari tipu daya Allah, merasa senang melihat penderitaan orang Muslim, suka jika ada kekejian yang menyebar di tengah orang-orang Muslim, iri terhadap karunia yang mereka terima, berharap agar karunia itu sirna dari mereka dan hal-hal lain

yang sejenis. Semua ini jauh lebih diharamkan daripada pengharam-an zina dan minum khamr serta dosa-dosa besar yang zhahir. Semua keburukan ini muncul karena ketidaktahuan tentang ubudiyah hati dan tidak memperhatikannya. Tugas iyyaka na'budu dibebankan kepada hati terlebih dahulu sebelum dibebankan kepada anggota tubuh. Jika tugas ini diabaikan, maka yang muncul adalah kebalikannya.

Dosa-dosa kecil dalam hati seperti menginginkan hal yang haram dan membayangkannya. Perbedaan tingkat keinginan, tergantung pada perbedaan tingkat sesuatu yang diinginkan. Keinginan terhadap kufur dan syirik adalah kufur. Keinginan terhadap bid'ah adalah kefasikan. Keinginan terhadap dosa besar adalah kedurhakaan. Jika seseorang meninggalkan keinginan ini karena Allah menurut kesanggupannya, maka dia mendapat pahala.

Sedangkan ubudiyah lisan ada lima macam: Yang wajib adalah mengucapkan syahadatain, membaca apa yang harus dibaca dari isi Al- Qur'an, seperti yang menjaga keabsahan shalat, mengucapkan dzikirdzikir yang wajib dalam shalat seperti yang diperintahkan Allah dan Rasul- Nya, membalas ucapan salam, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar, mengajari orang yang bodoh, menunjuki

orang yang sesat, memberikan kesaksian yang dibutuhkan, berkata jujur dan lain-lainnya. Sedangkan yang sunat bagi lisan adalah membaca Al- Qur'an, terus-menerus menyebut asma Allah, menggali ilmu yang bermanfaat dan lain-lainnya. Sedangkan yang haram

bagi lisan ialah mengucapkan perkataan apa pun yang dibenci Allah dan Rasul-Nya, menyampaikan bid'ah yang bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya,

menyeru kepada bid'ah, menuduh dan mencaci orang Muslim, dusta, memberikan kesaksian palsu dan mengatakan tentang Allah tanpa didasari pengetahuan. Sedangkan yang makruh bagi lisan ialah mengatakan sesuatu, padahal andaikata hal itu tidak dikatakan, maka akan lebih baik. Hal ini tidak mengakibatkan siksaan.

Ubudiyah yang harus dilakukan anggota tubuh ada dua puluh lima, karena indera ada lima dan masing-masing indera mempunyai lima kewajiban, yang meliputi wajib, sunat, haram, makruh dan mubah.

Persinggahan Iyyaka Na'budu di dalam Hati Saat Mengadakan Perjalanan kepada Allah

Banyak orang yang mensifati persinggahan ini dan menyebutkan bilangannya. Di antara mereka ada yang menyebutnya seribu, ada pula yang menyebutnya seratus, ada yang kurang dan ada yang lebih. Masingmasing orang mensifatinya menurut perjalanan yang dilakukannya. Berikut ini akan saya sebutkan secara ringkas namun tuntas masing-masing di antara persinggahan ini.

Yang pertama adalah al-yaqzhah, artinya kegalauan hati setelah terjaga dari tidur yang lelap. Hal ini sangat penting dan membantu pembenahan perilaku. Siapa yang merasakannya, berarti dia telah merasakan satu keberuntungan. Jika tidak, berarti dia tetap dicengkeram kelalaian. Jika sudah tersadar, dia diberi bekal hasrat untuk memulai perjalanannya dan menuju persinggahannya yang pertama dan ke tempat dimana dia

ditawan.

Jika perjalanan sudah dimulai, maka hati beralih ke persinggahan alazm, yaitu tekad yang bulat untuk melakukan perjalanan, siap menghadapi segala rintangan dan mencari penuntun yang dapat menghantarkan ke tujuan. Seberapa jauh seseorang memiliki kesadaran, maka se-jauh itu pula tekadnya, dan seberapa jauh tekad yang dimilikinya, maka sejauh itu pula persiapan yang dilakukannya.

Jika sudah terjaga, maka dia memiliki al-fikrah, yaitu pandangan hati yang hanya tertuju ke sesuatu yang hendak dicari, sekalipun dia belum memiliki gambaran jalan yang menghantarkannya ke sana. Jika fikrah-nya sudah benar, tentu dia memiliki al-bashirah, yaitu cahaya di dalam hati untuk melihat janji dan ancaman, surga dan neraka, apa yang telah dijanjikan Allah terhadap para wali dan musuh-Nya. Dengan semua ini seakan-akan dia bisa melihat apa yang terjadi pada hari akhirat, semua orang dibangkitkan dari kuburnya, para malaikat didatangkan, para nabi, syuhada dan shalihin dihadirkan, jembatan dibentangkan, musuh-musuh dikumpulkan, api neraka dikobarkan. Di dalam hatinya seakan ada mata yang dapat melihat berbagai kejadian akhirat, dan dia juga

melihat bagaimana keduniaan ini yang begitu cepat berlalu.

Al-Bashirah merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam hati, sehingga seseorang bisa melihat hakikat pengabaran para rasul, seakanakan dia bisa melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dengan begitu dia bisa mengambil manfaat dari seruan para rasul dan melihat adanya bahaya yang mengancamnya jika dia bertentangan dengan mereka.

Al-Bashirah itu didasarkan pada tiga derajat, siapa yang dapat menyempurnakan tiga derajat ini, berarti dia dapat menyempurnakan bashirah- nya, yaitu: Pertama, bashirah tentang asma' dan sifat. Kedua, bashirah tentang perintah dan larangan. Ketiga, bashirah tentang janji dan ancaman.

Bashirah tentang asma' dan sifat-sifat Allah, artinya imanmu tidak dipengaruhi syubhat yang bertentangan dengan sifat-sifat yang diberikan Allah kepada Diri-Nya sendiri dan juga yang disifati Rasul-Nya. Sebab syubhat dalam hal ini sama dengan keragu-raguan tentang wujud Allah.

Tingkatan bashirah yang dimiliki masing-masing manusia berbe-dabeda, tergantung dari tingkat pengetahuan mereka tentang pengabaran Nabawy dan pemahamannya serta ilmu tentang syubhat yang bertentangan dengan hakikat-hakikatnya. Orang yang paling lemah bashirah-nya adalah para teolog batil yang biasanya suka mencela orang-orang salaf, karena mereka tidak mengetahui nash dan tidak memahaminya. Syubhat mengendap di dalam hati mereka. Orang-orang awam yang bukan termasuk orang-orang Mukmin yang sesungguhnya, justru lebih sempurna daripada para teolog itu, lebih kuat imannya, lebih mempercayai wahyu dan lebih

tunduk kepada kebenaran.

Bashirah tentang perintah dan larangan artinya membebaskan hati dari penentangan karena melakukan ta'wil, taqlid atau mengikuti hawa nafsu, sehingga di dalam hatinya tidak ada syubhat yang bertentangan dengan ilmu tentang perintah dan larangan Allah, tidak pula dikuasai nafsu yang menghalanginya untuk melaksanakan perintah dan larangan itu, tidak pula mengikuti taqlid yang membuatnya merasa tidak perlu berusaha menggali hukum dari nash.

Bashirah tentang janji dan ancaman artinya engkau mempersaksi-kan penanganan Allah terhadap apa pun yang dilakukan setiap manusia, yang baik maupun yang buruk, di dunia maupun di akhirat. Ini merupakan konsekuensi Ilahiyah dan Rububiyah-Nya, keadilan dan hikmah-Nya. Keraguan tentang hal ini sama dengan keraguan tentang Uluhiyah dan rububiyah-Nya, bahkan keraguan tentang wujud-Nya.

Orang yang berada di persinggahan bashirah mempunyai alternative jalan lain, yaitu bashirah yang membebaskannya dari kebingungan.

Jika seseorang sudah sadar dan memiliki bashirah, maka dia akan mengambil maksud dan kehendak yang tulus, menghimpun maksud dan niat untuk melakukan

perjalanan kepada Allah. Setelah tahu dan yakin tentang hal ini, maka dia mulai melakukan perjalanan, membawa bekal menuju hari datangnya pembalasan, membebaskan diri dari rintangan yang menghambat perjalanannya. Maksud bisa dibagi menjadi tiga tingkatan:

Pertama, maksud yang membangkitkan keteguhan dan membebaskan diri dari keragu-raguan.

Kedua, maksud yang karenanya semua rintangan akan disingkirkan dan semua penghalang akan dihadapi.

Ketiga, maksud yang mendorongnya mencari pengetahuan dan mau men-dengarkan nasihat dari orang yang lebih bijaksana.

Jika maksud sudah kuat, maka ia berubah menjadi tekad yang bu-lat, lalu mengharuskannya memulai perjalanan sambil disertai tawakal kepada Allah. Firman-Nya:

"Kemudian apabila kamu sudah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah." (Ali Imran: 159).

Al-Azm artinya maksud yang bulat dan yang mendorong munculnya aksi. Karena itu ada yang menganggap tekad yang bulat ini merupa-kan permulaan aksi untuk mencari maksud dan tujuan. Pada hakikatnya tekad ini merupakan kekuatan kehendak yang sudah berhimpun untuk mengadakan aksi.

  • Tekad ini ada dua macam:

Pertama, tekad orang yang hendak mengayunkan langkah melakukan perjalanan atau bisa juga disebut permulaan perjalanan.

Kedua, tekad saat berada di dalam perjalanan. Hal ini sifatnya lebih khusus lagi.

Pada etape ini seseorang perlu membedakan antara apa yang menjadi haknya dan kewajibannya, agar dia tahu apa yang memang menjadi bagiannya dan apa yang menjadi kewajibannya, yaitu muhasabah sebelum taubat. Tetapi pengarang Manazilus-Sa'irin menempatkan taubat sebelum muhasabah.

Yang perlu diketahui bahwa persinggahan ini jangan disamakan dengan persinggahan menurut kenyataan, dimana seseorang berada di satu tempat itu lalu meninggalkannya begitu saja untuk berpindah ke tempat berikutnya. Tentunya engkau juga tahu bahwa al-yaqzhah (kesa-daran) harus selalu menyertai dan tidak bisa ditinggalkan, di mana pun tempatnya, begitu pula al-bashirah, al-iradah, al-azm maupun at-taubah. Seperti wajarnya taubat yang ada di akhir, maka ia juga harus ada di permulaannya dan bahkan ia harus ada di mana-mana. Memang Allah menjadikan taubat ini sebagai bagian akhir dari keadaan hamba-hamba-Nya yang khusus, seperti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan para shahabat beliau dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Allah befirman berkaitan dengan perang Tabuk, peperangan terakhir yang

mereka lakukan, dan sekaligus merupakan perjalanan yang paling berat bagi mereka,

"SesungguhnyaAllah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu." (At-Taubah: 117).

Muhasabah dan Pilar-pilarnya

Siapa pun yang mengadakan perjalanan kepada Allah tidak lepas dari empat persinggahan, yaitu al-yaqzhah, al-bashirah, al-fikrah dan alazm. Empat persinggahan ini tak ubahnya pilar bagi suatu bangunan. Perjalanan tidak akan sampai kepada-Nya kecuali dengan melewati empat persinggahan ini, tak ubahnya perjalanan secara nyata yang harus melewati beberapa etape. Orang yang hanya menetap di kampung halaman-nya, tidak

berpikir untuk mengadakan perjalanan kecuali dia sadar dari kelalaiannya untuk mengadakan perjalanan. Jika sudah memiliki kesadaran, maka dia harus mengetahui segala urusan tentang perjalanannya, bahaya, manfaat dan kemaslahatannya. Kemudian dia berpikir untuk mengadakan persiapan dan mencari bekal. Kemudian dia harus memiliki tekad yang bulat. Jika tekad dan maksudnya sudah bulat, maka dia mulai beralih ke persinggahan muhasabah, atau memilah antara bagiannya dan kewajibannya. Dia boleh mengambil apa yang menjadi bagiannya dan harus melaksanakan kewajibannya. Sebab dia akan mengadakan perjalanan dan tidak akan kembali lagi.

Dari muhasabah dia beralih ke taubah. Sebab jika dia sudah menghisab dirinya, tentu dia akan mengetahui hak yang harus dia penuhi, lalu keluar untuk memberikan hak itu kepada yang berhak menerimanya. Inilah hakikat taubat. Tetapi dengan mendahulukan muhasabah akan menjadi lebih baik. Kalaupun mendahulukannya juga tidak apa-apa, karena muhasabah tak bisa dilakukan kecuali setelah ada taubat yang sebenarnya.

Yang pasti, taubat itu ada di antara dua muhasabah, yaitu muhasabah sebelum taubat yang hukumnya wajib dan muhasabah sesudah taubat yang hukumnya harus tetap dijaga. Taubat akan tetap terjaga jika berada di antara dua muhasabah ini, sebagaimana yang ditunjukkan firman Allah :

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).(Al-Hasyr: 18).

Maksud "Memperhatikan" dalam ayat ini ialah memperhatikan kelengkapan persiapan untuk menyongsong hari akhirat, mendahulukan apa yang bisa menyelamatkannya dari siksa Allah, agar wajahnya menjadi bersih di sisi Allah. Umar bin Al-Khaththab pernah berkata, "Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang dan berhiaslah kalian untuk menghadapi hari penampakan yang agung."

Menurut Abu Isma'il, pengarang Manalizus-Sa'irin, ada tiga pilar yang menopang muhasabah, yaitu:

1. Membandingkan antara Nikmat Allah dan Kejahatanmu

Maksudnya, engkau harus membandingkan apa yang berasal dari Allah dan apa yang berasal dari dirimu. Dengan begitu engkau akan mengetahui letak ketimpangannya, dan engkau juga akan mengetahui bahwa di sana hanya ada ampunan dan rahmat Allah di satu sisi, dan di sisi lain adalah kehancuran dan kerusakan.

Dengan membandingkan seperti ini engkau bisa mengetahui bahwa Allah adalah Allah dalam pengertian yang sebenarnya, dan hamba adalah hamba dalam pengertian yang sebenarnya. Engkau juga akan mengetahui hakikat jiwa dan sifat-sifatnya, keagungan Rububiyah Allah, hanya Allahlah yang memiliki kesempumaan, setiap nikmat berasal dari-Nya sebagai karunia, dan siksaan juga berasal dari-Nya yang ditimpakan secara adil. Jika engkau tidak membuat perbandingan seperti ini, tentu engkau tidak akan bisa mengetahui hakikat dirimu sendiri dan Rububiyah Pencipta jiwamu. Jika engkau membuat perbandingan seperti ini, maka engkau akan tahu bahwa jiwamu adalah sumber segala kejahatan dan kekurangan. Sedangkan hukum yang dimilikinya adalah kebodohan dan kezhaliman. Andaikan tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya yang mensucikan jiwa itu, tentu ia tidak akan menjadi suci sama sekali.

Kemudian engkau juga bisa membandingkan antara kebaikan dan keburukan. Sehingga dengan membandingkan ini engkau bisa mengetahui mana yang lebih banyak dan mana yang lebih dominan di antara keduanya. Perbandingan yang kedua ini merupakan perbandingan antara perbuatanmu dan apa yang datang dari dirimu secara khusus.

Seseorang tidak bisa membuat perbandingan ini jika dia tidak memiliki tiga indikator:

1. Cahaya hikmah

2. Buruk sangka terhadap did sendiri

3. Membedakan antara nikmat dan ujian.

Cahaya hikmah merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam hati orang-orang yang mengikuti para rasul. Dengan kata lain, cahaya hikmah adalah ilmu yang dimiliki seseorang sehingga dia bisa membedakan antara yang haq dan batil, petunjuk dan kesesatan, mudharat dan manfaat, yang sempurna dan yang kurang, yang baik dan yang buruk. Dengan cahaya hikmah ini seseorang bisa melihat tingkatanrtingkatan

amal, mana yang harus dipentingkan dan mana yang tidak dipenting-kan, mana yang harus diterima dan mana yang ditolak. Jika cahaya ini kuat, maka muhasabah juga akan kuat dan sempurna. Buruk sangka terhadap diri sendiri amat diperlukan, sebab baik sangka terhadap diri sendiri akan menghalangi koreksi dan kerancuan, sehingga dia melihat keburukan sebagai kebaikan, aib sebagai kesempumaan. Membedakan nikmat

dari ujian, artinya membedakan nikmat yang dilihatnya sebagai kebaikan dan kasih sayang Allah serta yang bisa membawanya kepada kenik-matan yang abadi, dan membedakannya dengan nikmatyang hanya seke-dar sebagai tipuan. Sebab berapa banyak orang yang tertipu dengan nik-mat, sementara dia tidak menyadarinya, tertipu oleh pujian orang-orang bodoh, terpedaya oleh limpahan Allah, dan justru kebanyakan manusia termasuk dalam kelompok yang kedua ini.

Tiga indikator ini merupakan tanda kebahagiaan dan keselamatan. Jika tiga hal ini dilaksanakan secara sempurna, maka seseorang bias mengetahui nikmat Allah yang sebenarnya. Selain itu ada ujian yang berupa nikmat atau cobaan berupa limpahan pemberian. Maka hendaklah setiap orang mewaspadai hal ini, sebab dia berada di antara anugerah dan hujjah, dan banyak orang yang timpang dalam membedakan dua hal ini.

2. Membedakan antara Bagian dan Kewajiban

Harus ada pemilahan antara hak-hak yang harus engkau penuhi, seperti kewajiban-kewajiban ibadah, ketaatan dan menjauhi kedurhakaan, dan hak yang menjadi bagianmu. Apa yang menjadi bagianmu adalah mubah menurut ketetapan syariat, dan apa yang menjadi kewajibanmu harus engkau penuhi dan engkau harus memberikan hak kepada siapa pun yang berhak menerimanya.

Banyak orang yang mencampur aduk antara kewajiban dan hak-nya, sehingga dia sendiri menjadi kebingungan antara mengerjakan dan meninggalkan. Banyak orang yang sebenarnya dia boleh mengerjakan sesuatu namun dia justru meninggalkannya, seperti orang yang raj in beribadah dengan meninggalkan apa yang sebenarnya boleh dia kerja-kan, seperti meninggalkan hal-hal yang mubah, karena dia mengira bah-wa hal itu tidak boleh dia kerjakan. Begitu pula sebaliknya, orang yang rajin beribadah dengan mengerjakan sesuatu yang sebenarnya harus dia tinggalkan, karena dia mengira hal itu merupakan haknya.

Yang pertama seperti orang yang rajin beribadah dengan tidak mau menikah, tidak mau memakan daging, buah-buah, makanan yang lezat dan pakaian yang bagus. Karena kebodohannya dia mengira bahwa semua itu merupakan larangan baginya, sehingga dia harus meninggalkannya, atau dia berpendapat bahwa dengan meninggalkannya akan membuat ibadahnya bertambah afdhal. Dalam Ash-Shahih disebutkan pengingkaran Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap beberapa shahabat yang tidak mau menikahi wanita, terus-menerus berpuasa dan shalat malam. Yang kedua

seperti orang yang rajin beribadah, namun bid'ah. Dia melihat cara ibadahnya itu benar, karena begitulah yang banyak dilaku-kan orang.

3. Tidak Ridha terhadap Ketaatan Yang Dilakukan

Engkau harus tahu bahwa setiap ketaatan yang engkau ridhai, akan menjadi beban dosa bagimu, dan setiap kedurhakaan yang dituduhkan saudaramu kepadamu, maka

terimalah tuduhan itu dan anggaplah bahwa memang itulah yang benar. Sebab keridhaan seorang hamba terhadap ketaatan dirinya merupakan bukti baik sangka terhadap diri sendiri dan kebodohannya terhadap hak-hak ubudiyah serta tidak tahu apa yang dituntut Allah darinya, lalu akhirnya melahirkan takabur dan ujub, yang dosanya lebih besar dari dosa-dosa besar yang nyata, seperti zina, minum khamr, lari dari medan peperangan dan lain-lainnya.

Orang-orang yang memiliki bashirah justru lebih meningkatkan istighfar setelah mengerjakan berbagai macam ketaatan, karena mereka menyadari keterbatasannya dalam melaksanakan ketaatan itu dan merasa belum memenuhi hak-hak Allah sesuai dengan keagungan-Nya. Allah juga memerintahkan agar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam senantiasa memohon ampunan dalam setiap kesempatan dan sehabis melaksanakan tugas-tugas risalah atau setelah melaksanakan suatu ibadah. Dalam surat terakhir yang diturunkan, Allah juga tetap memerintahkan beliau untuk memohon ampunan,

"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada- Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat." (An-Nashr: 1-3).

Maka Umar bin Al-Khaththab dan Ibnu Abbas memahami turunnya surat ini sebagai isyarat telah dekatnya ajal beliau. Seakan-akan Allah hendak memberitahukan hal ini kepada beliau, dengan memerintahkan agar beliau memohon ampunan sehabis mengerjakan setiap tugas. Dengan kata lain, surat ini semacam pemberitahuan: Engkau telah rampung mengerjakan kewajibanmu dan tidak ada lagi kewajiban yang menyisa setelah itu. Maka jadikanlah istighfar sebagai kesudahannya.

Taubat Sebagai Persinggahan Pertama dan Terakhir

Jika seorang hamba sudah berada di persinggahan muhasabah ini secara benar, maka ada persinggahan lain, yaitu taubat. Dengan muhasabah dia bisa membedakan mana yang menjadi haknya dan mana yang menjadi kewajibannya. Maka selanjutnya dia harus tetap membulatkan tekad dan ambisi dalam melanjutkan perjalanan menuju Allah sampai akhir hayatnya.

Taubat merupakan awal persinggahan, pertengahan dan akhirnya. Seorang hamba yang sedang mengadakan perjalanan kepada Allah tidak pernah lepas dari taubat, sampai ajal menjemputnya. Sekalipun dia ber-alih ke persinggahan yang lain dan melanjutkan perjalanannya, taubat selalu menyertainya. Taubat merupakan permulaan langkah hamba dan kesudahannya. Kebutuhannya terhadap taubat amat penting dan mendesak, tak berbeda dengan permulaannya. Allah befirman,

"Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung." (An-Nur: 31).

Ayat ini turun di Madinah. Di sini Allah mengarahkan firman-Nya kepada orang-orang yang beriman dan orang-orang pilihan-Nya, agar mereka bertaubat, setelah mereka beriman, bersabar, berjihad dan berhijrah. Bahkan Allah mengaitkan keberuntungan dengan satu sebab, dan juga menggunakan kata "supaya", yang mengindikasikan pengharapan. Dengan kata lain, jika kalian bertaubat, maka diharapkan kalian akan beruntung. Sementara tidak ada yang mengharap keberuntungan kecuali orang-orang yang bertaubat. Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk golongan mereka. Di samping itu, Allah juga befirman tentang kebalikan dari golongan ini,

"Dan, barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orangorang yang zhalim." (Al-Hujurat: 11).

Hamba dibagi menjadi orang yang bertaubat dan yang tidak bertaubat atau zhalim. Tidak ada orang ketiga setelah itu. Cap zhalim diberi-kan kepada orang yang tidak bertaubat dan tidak ada orang yang lebih zhalim dari dirinya, karena dia tidak tahu Allah dan hak-Nya, tidak tahu aib dirinya dan kekurangan amalnya.

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

"Wahai sekalian manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah. Demi Allah, aku benar-benar bertaubat kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari."

Dalam suatu majlis sebelum beliau beranjak pergi, para shahabat pernah menghitung, beliau mengucapkan sebanyak seratus kali ucapan berikut,

"Wahai Rabbi, ampunilah dosaku dan terimalah taubatku, karena Engkaulah Maha Penerima taubat lagi Maha Pengampun."

Karena taubat itu merupakan langkah kembalinya hamba kepada Allah dan meninggalkan jalan orang-orang yang mendapat murka lagi sesat, maka dia tidak bisa memperolehnya kecuali dengan hidayah Allah agar dia mengikuti ash-shirathul-mustaqim. Sementara hidayah-Nya tidak bisa diperoleh kecuali dengan memohon pertolongan kepada-Nya dan mengesakan-Nya. Urutan-urutan semacam ini sudah terangkum secara baik dan lengkap di dalam Al-Fatihah. Siapa yang memberikan hak kepada Al-Fatihah sesuai dengan kapasitas ilmu, kesaksian, kondisi dan ma'- rifahnya, tentu dia akan mengetahui, bahwa pembacaan surat Al-Fatihah ini belum dianggap sah dalam ibadah kecuali disertai taubat yang sebenar- benarnya (taubatan nashuha). Sebab hidayah yang sempurna untuk mengikuti ash-shirathul-mustaqim tidak akan diperoleh jika tidak tahu terhadap dosa yang telah dilakukan, terlebih lagi jika dosa itu terus-menerus dilakukan. Karena itu taubat dianggap tidak sah kecuali setelah mengetahui dosa dan mengakuinya, lalu berusaha mencari jalan keselamatan dari akibat yang akan diterima di kemudian hari.

Ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam taubat, yaitu penyesalan, meninggalkan dosa yang dilakukan, dan memperlihatkan kelemahan serta

ketidakberdayaan.

Hakikat taubat adalah menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan di masa lampau, membebaskan diri seketika itu pula dari dosa tersebut dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi di masa mendatang. Tiga syarat ini harus berkumpul menjadi satu pada saat bertaubat. Pada saat itulah dia akan kembali kepada ubudiyah, dan inilah yang disebut hakikat taubat.

Menurut Abu Ismail, rahasia hakikat taubat ada tiga macam:

1. Memisahkan ketakutan dari kemuliaan.

2. Melupakan dosa dan kesalahan.

3. Taubat dari taubat.

Memisahkan ketakutan dari kemuliaan, bahwa taubat itu harus dimaksudkan sebagaiwujud ketakutan kepada Allah, melaksanakanperin-tah dan menjauhi larangan-Nya, lalu dia melaksanakan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah dan mengharapkan pahala-Nya. Dia juga harus meninggalkan kedurhakaan kepada Allah berdasarkan cahaya dari- Nya, takut terhadap siksa-Nya dan tidak dimaksudkan untuk menda-patkan kemuliaan. Karena bagaimana pun juga ketaatan itu mempunyai kemuliaan dalam lahir maupun batin. Siapa yang bertaubat dengan maksud untuk mencari kemuliaan, maka taubatnya itu menjadi sia-sia.

Melupakan dosa dan kesalahan harus dirinci lebih lanjut lagi. Bahkan ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di kalangan orang-orang yang meniti jalan kepada Allah. Di antara mereka ada yang berpendapat, sibuk mengingat dosa adalah perbuatan yang sia-sia. Mempergunakan waktu bersama Allah jauh lebih bermanfaat bagi orang yang bertaubat. Maka ada pepatah, "Mengingat masa kemarau di musim penghujan adalah kemarau." Ada pula yang berpendapat, memang yang lebih tepat ialah tidak melupakan dosa itu dan dosa itu seakan-akan harus selalu hadir di depan matanya, sehingga membuat hatinya senantiasa sedih.

Yang benar dalam masalah ini, jika seorang hamba merasakan adanya ujub pada dirinya, melupakan karunia dan tidak merasa membutuhkan Allah atau tidak melihat kekurangan dirinya, maka mengingat dosa lebih bermanfaat baginya. Namun pada saat dia melihat karunia Allah yang dilimpahkan kepadanya, hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah, kerinduan untuk bersua dengan-Nya, merasakan kebersamaan dengan-

Nya, melihat keluasan rahmat dan ampunan-Nya, maka melupakan dosa dan kesalahan lebih bermanfaat baginya. Sebab jika seorang hamba te-rusmenerus mengingat dosa dan kesalahannya, sementara dia dalam keadaan yang kedua ini, maka dia akan turun dari tingkatan yang tinggi ke tingkatan yang rendah, dan ini termasuk tipu daya syetan. Sebab dua keadaan ini harus dibedakan.

Sedangkan taubat dari taubat, merupakan istilah yang masih ran-cu, bisa berarti benar dan bisa berarti salah. Taubat termasuk kebaikan yang paling agung. Taubat dari

kebaikan merupakan keburukan yang paling besar dan kesalahan yang paling buruk, bahkan bisa disebut ku-fur. Sebab dengan begitu tidak ada bedanya antara taubat dari taubat dan taubat dari Islam serta iman. Layakkah dikatakan taubat dari iman? Jika seorang hamba senantiasa beserta Allah, senantiasa mengingat karunia, menyebut asma' dan sifat-sifat-Nya serta senantiasa menghadap kepada-Nya, namun dia juga masih mengingat-ingat dosanya yang telah lampau sebagai perwujudan taubat, maka dia perlu bertaubat dari taubatnya itu.

Kendala-kendala Taubat Orang-orang Yang Bertaubat

Biasanya taubat orang-orang awam disertai dengan keberatan di dalam hati karena menganggap jenis-jenis ketaatan dan kebaikan yang harus dilakukan terlalu banyak. Jika dibandingkan dengan kedudukan orang-orang yang khusus, hal ini akan menimbulkan tiga kerusakan:

1. Kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan merupakan keburukan menurut orang-orang yang khusus. Kebaikan orang awam bisa menjadi keburukan bagi orang yang mendekatkan diri kepada Allah. Dia perlu bertaubat dari kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, karena dia melalaikan aib dan kekurangannya, karena menganggap kebaikankebaikan yang dilakukannya itu sudah banyak. Dia mengingkari

nikmat Allah, karena nikmat itu tidak tampak atau ditangguhkan. Jika engkau menginginkan pemahaman lebih mudah tentang hal ini, maka perhatikanlah keadaanmu saat membaca Al-Qur'an. Jika engkau tidak memahami, menelaah dan memikirkannya, menyimak apa yang dimaksudkan dalam setiap ayat, tidak peduli terhadap seruan yang seakan ditujukan kepadamu, engkau hanya ingin menamatkan bacaan, engkau tidak merasakan pengobatannya di dalam hatimu, atau engkau membacanya secara serampangan, tentu engkau akan merasa bahwa bacaanmu terlalu banyak. Namun jika engkau menelaah, menyimak maksud ayat-ayat yang engkau baca, merasa bahwa ayat-ayat itu ditujukan kepadamu, engkau merasakan pengobatannya di dalam hatimu, maka engkau tidak merasa bahwa engkau telah membaca satu ayat atau satu surat dan seterusnya. Begitu pula jika engkau memaksakan hatimu untuk khusyu' saat mengerjakan dua rakaat shalat sunat, maka shalat berikutnya akan engkau kerjakan dengan berat hati. Tapi jika hatimu tidak terbebani dengan hal itu, maka berapa pun rakaat yang engkau kerjakan tidak akan terasa berat. Bertaubat dengan menganggap ketaatan terlalu banyak tanpa memperhatikan aib dan kekurangannya, adalah taubatnya orang awam.

2. Orang yang bertaubat merasa mempunyai hak terhadap Allah, agar Dia memberikan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dia kerjakan, dengan memasukkannya ke surga dan memberinya kenikmatan serta keridhaan. Akibatnya, pikiran seperti ini jauh lebih

banyak dari porsi kebaikan yang dia lakukan. Sementara amalan orang yang lebih rajin dari dia pun belum menjamin dirinya masuk surga dan terbebas dari api neraka. Tak seorang pun yangbisa selamat dari neraka dengan amal-nya, kecuali setelah dia mendapat ampunan dan rahmat Allah.

3. Merasa tidak membutuhkan ampunan Allah, padahal dalam kenyataannya dia masih membutuhkan ampunan dari kesalahannya dan pahala dari kebaikan dan ketaatannya. Jika dia menganggap ketaatan yang dilakukannya sudah banyak, lalu membuatnya merasa tidak membutuhkan ampunan Allah, maka itu benar-benar merupakan kelancangan terhadap Allah.

Tidak dapat diragukan bahwa hanya sekedar berbuat dengan amalamal anggota tubuh tanpa disertai kehadiran hati dan menghadap diri kepada Allah, maka bisa menimbulkan tiga macam kerusakan ini dan juga lain-lainnya. Yang demikian ini tidak banyak memberikan manfaat di dunia maupun di akhirat, seperti amal yang tidak memperhatikan ketentuan perintah dan tidak disertai keikhlasan kepada Allah. Sekalipun amal itu banyak, tapi tidak banyak bermanfaat dan hanya melelahkan. Sesungguhnya Allah tidak menetapkan pahala bagi hamba dari shalatnya kecuali yang dia hayati secara sungguh-sungguh. Begitu pula setiap ibadah yang mengharuskan adanya kekhusyu'an.

Sedangkan kendala taubatnya orang-orang kelas menengah ialah menganggap sedikit kedurhakaannya. Tentu saja ini merupakan sikap yang lancang dan merasa dirinya dalam keadaan terjaga dari kesalahan. Dengan kata lain, menganggap kedurhakaannya hanya sedikit adalah perbuatan dosa, sebagaimana menganggap ketaatannya banyak, juga dosa. Orang yang arif ialah yang memandang kebaikan-kebaikannya remeh dan dosa-dosanya besar. Selagi kebaikan-kebaikannya dianggap kecil, maka ia menjadi besar di sisi Allah. Selagi kebaikan-kebaikan itu terasa banyak dan besar di dalam hatimu, maka ia menjadi sedikit dan kecil di sisi Allah. Begitu pula sebaliknya yang berkaitan dengan keburukan. Siapa yang mengetahui hak-hak Allah dan melaksanakan ibadah sesuai dengan keagungan-Nya, maka kebaikan-kebaikannya tampak menjadi kecil, dan dia merasa tidak bisa selamat dari siksaan-Nya.

Sedangkan kendala taubatnya orang-orang yang khusus adalah membuang-buang waktu, lalu lama-kelamaan menjurus kepada kekurangan, memadamkan cahaya pengawasan dan mengeruhkan kebersamaan dengan Allah. Maksud membuang-buang waktu di sini bukan berarti menghabiskan waktu dalam kedurhakaan dan canda atau meninggalkan kewajiban. Sebab andaikan mereka berbuat seperti ini, berarti mereka bukan termasuk orang-orang yang khusus, tapi orang-orang awam. Waktu bagi mereka mempunyai pengertian yang spesifik. Bahkan di antara mereka ada yang menyebut waktu di sini adalah kebenaran. Ada pula yang mengartikannya kebenaran yang diselami hamba, atau pengertian-pengertian lain yang serupa. Kendala taubat golongan ini ialah dengan membuang waktu-waktu khusus dan yang sebaiknya digunakan bersa-ma Allah

dan tidak dikotori debu.

Ada pula kedudukan taubat yang lebih tinggi dan lebih khusus dari gambaran-gambaran ini, yang tidak diketahui kecuali orang-orang khusus, yang menganggap perbuatan, perkataan dan tindakannya masih terlalu sedikit untuk memenuhi hak kekasihnya. Mereka tidak melihat apa yang ada pada dirinya kecuali dari sisi kekurangannya saja, melihat keadaan kekasihnya lebih agung, kekuasaannya lebih tinggi dari sekedar meridhai amalnya. Mereka adalah orang-orang yang paling menghinakan amalnya sendiri. Jika mereka merasa tidak mampu memenuhi hak kekasihnya, maka mereka bertaubat seperti taubatnya orang yang melakukan dosa besar. Jadi taubat tidak pernah mereka tinggalkan. Taubat mereka meru- pakan satu warna tertentu, sedangkan taubat selain mereka merupakan warna lain yang berbeda, sehingga tampak jelas perbedaannya.

Taubat tidak dianggap sempurna kecuali dengan membebaskan hati dari maksud-maksud selain Allah, kemudian mengetahui alasan dari taubat itu, kemudian bertaubat setelah tahu alasan tersebut. Jika sudah begitu keadaannya, maka dia akan beribadah kepada Allah semata sesuai dengan perintah-Nya, tidak menyekutukan-Nya dan memohon pertolong-an kepada-Nya, sehingga semua yang ada pada dirinya bagi Allah dan bersama Allah. Yang demikian ini tidak akan terjadi kecuali orang yang sudah dikuasai rasa cinta, hatinya dipenuhi cinta kepada Allah, diisi pengagungan, kepasrahan dan ketundukan kepada-Nya.

Pernik-pernik Hukum Yang Berkaitan dengan Taubat

Di sini perlu saya sebutkan beberapa masalah yang berkaitan dengan taubat, yang perlu dijabarkan dan tidak boleh diabaikan oleh seseorang. Di antaranya:

  • Pertama:

Bertaubat dari dosa wajib dilakukan secara langsung, seketika itu pula dan tidak boleh ditunda-tunda. Siapa yang menundanya, berarti dia telah durhaka karena penundaannya itu. Apabila dia bertaubat dari dosa itu, maka dia harus bertaubat lagi, yaitu dari penundaan taubatnya. Yang seperti ini jarang disadari orang yang bertaubat. Biasanya, jika dia sudah bertaubat dari dosa tersebut, maka dia menganggap tidak perlu lagi bertaubat. Padahal masih ada taubat yang menyisa karena penundaan taubatnya. Tidak ada yang menyelamatkan hal ini kecuali taubat yang bersifat umum, yaitu taubat dari dosa-dosa yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Sebab dosa dan kesalahan-kesalahan yang tidak diketahui hamba justru lebih banyak dari yang diketahuinya. Karena dia tidak mengetahuinya, bukan berarti dia terbebas dari hukuman, kalau memang sebenarnya memungkinkan baginya untuk mengetahuinya. Dengan begitu dia telah durhaka karena tidak ingin mengetahui dan tidak ber-amal, sehingga kedurhakaannya

semakin berlipat.

Di dalam Shahih Ibnu Hibban disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Syirik di dalam umatku ini lebih tersembunyi daripada rangkakan semut."

Abu Bakar bertanya, "Wahai Rasulullah, lalu bagaimana cara untuk menyelamatkan diri darinya?"

Beliau menjawab, "Hendaklah engkau mengucapkan, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari berbuat syirik kepada- Mu sedang aku tidak mengetahuinya, dan aku memohon ampunan kepada-Mu dari dosa-dosa yang tidak kuketahui."

Dalam sebuah hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, disebutkan bahwa beliau berdoa dalam shalatnya,

"Ya Allah, ampunilah bagiku kesalahan dan kebodohanku, berlebihle- bihanku dalam urusanku dan apa pun yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku. Ya Allah, ampunilah bagiku kesungguhan dan sendagurauku, kelalaian dan kesengajaanku, dan semua itu adapada diriku. Ya Allah, ampunilah bagiku apa yang telah kudahulukan dan apa yang kuakhirkan, yang kurahasiakan dan yang kutampakkan, serta apa pun yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku. Engkau Ilahku yang tiada Ilah selain Engkau."

  • Kedua:

Apakah taubat dari suatu dosa dianggap sah, sementara dosa yang lain masih tetap dilakukan?

Ada dua pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini, yang keduanya diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad. Tapi tidak ditemukan adanya perbedaan pendapat dari orang yang mengisahkan adanya ijma' tentang sahnya taubat itu, seperti yang dilakukan An-Nawawy dan lainlainnya. Memang masalah ini bisa dianggap rumit, yang perlu ada kepastian untuk salah satu di antara kedua pendapat ini, yang tentu saja harus disertai dalil yang pasti. Golongan yang menganggap taubat itu sah, berhujjah bahwa selagi seseorang sudah masuk Islam secara benar, yang berarti dia sudah bertaubat dari kekufuran, maka Islamnya itu sudah sah sekalipun dia masih melakukan kedurhakaan dan dia belum bertaubat dari kedurhakaan itu. Maka taubat dari satu dosa sudah dianggap sah sekalipun dia masih melakukan dosa lain.

Golongan satunya lagi menanggapi hujjah ini, bahwa Islam merupakan satu keadaan yang tidak bisa disamakan dengan yang lain, karena kekuatan, pengaruh dan cara mendapatkannya, yang biasanya anak le-bih cenderung mengikuti agama kedua orang tuanya, atau budak yang mengikuti agama tuannya.

Yang lain lagi berpendapat bahwa taubat adalah kembali kepada Allah, yang tadinya durhaka berubah menjadi taat kepada-Nya. Lalu apakah makna kembali di sini bagi orang yang bertaubat dari satu dosa, dan dia masih terus melakukan dosa yang lain?

Menurut mereka, Allah tidak akan menghukum orang yang bertaubat, karena dia sudah kembali menaati dan beribadah kepada-Nya serta bertaubat dengan sebenar-benarnya. Orang yang masih melakukan dosa seperti dosa yang dia mintakan am-punannya kepada Allah, berarti belum bertaubat dengan sebenar-benarnya. Jika orang yang bertaubat kepada Allah dapat menghilangkan cap orang yang durhaka, sebagaimana orang kafir yang sudah kehilangan cap kafir jika dia sudah masuk Islam, maka jika dia masih mengerjakan dosa, maka cap durhaka itu belum hilang darinya, sehingga taubatnya belum dianggap sah.

Letak permasalahannya, apakah taubat itu bisa dipilah-pilah seperti halnya kedurhakaan, sehingga orang yang bertaubat dari satu dosa belum dianggap bertaubat dari dosa yang lain, seperti halnya iman dan Islam?

Memang taubat itu bisa dipilah-pilah. Sebagaimana cara pelaksanaannya yang berbeda, porsinya pun juga berbeda. Jika seseorang melakukan satu kewajiban dan meninggalkan kewajiban lainnya, maka dia mendapat hukuman berdasarkan kewajiban yang ditinggalkannya dan bukan dihukum berdasarkan kewajiban yang dilakukannya. Begitu pula jika dia bertaubat dari satu dosa dan tetap melakukan dosa yang lain. Berarti dia harus bertaubat dari dosa itu. Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa taubat adalah satu perbuatan. Artinya, taubat adalah membebaskan diri dari hal-hal yang dimurkai Allah, kembali menaati-Nya dan menyesali apa yang telah diperbuat. Jika taubat itu tidak dikerjakan secara sempurna, maka ia belum dianggap sah, karena ia merupakan satu bentuk ibadah. Melakukan seba-gian di antaranya dan meninggalkan sebagian yang lain lagi, sama dengan melakukan sebagian ibadah wajib dan meninggalkan sebagian yang lain.

Ada pula yang berpendapat, setiap dosa mempunyai taubat yang khusus baginya, atau merupakan kewajiban darinya. Satu taubat tidak berkaitan dengan taubat lainnya, sebagaimana satu dosa yang tidak berkaitan dengan dosa lainnya.

Menurut pendapat saya dalam masalah ini, bahwa taubat itu tidak dianggap sah dari satu dosa tertentu, jika dosa lain yang sejenis tetap dikerjakan. Sedangkan taubat dari satu dosa tertentu dianggap sah, sekalipun ada dosa lain yang tidak berkait dengannya masih tetap dilaku- kan. Contohnya, seseorang bertaubat dari dosa riba, tapi belum bertaubat dari dosa minum khamr atau bahkan tetap melakukannya. Taubatnya dari riba ini dianggap sah. Tapi jika dia bertaubat dari riba fadhl dan tidak bertaubat dari riba nasi'ah, atau dia bertaubat dari mengkonsumi ganja namun tetap meminum khamr, maka taubatnya itu tidak dianggap sah. Keadaannya seperti bertaubat dari zina dengan seorang wanita, namun dia tetap berzina dengan wanita lainnya. Ini pada hakikatnya belum bertaubat dari dosa tersebut. Dia hanya beralih dari satu jenis dosa ke jenis lainnya yang serupa, berbeda andaikan dia beralih dari satu kedurha-kaan ke kedurhakaan lain yang

tidak serupa.

  • Ketiga:

Agar taubat menjadi sah, apakah ada syarat bagi orang yang bertaubat untuk tidak kembali lagi melakukan dosa sama sekali, ataukah tidak ada syarat seperti itu?

Sebagian orang mensyaratkan larangan mengerjakan kembali dosa yang sama. Jika kembali melakukannya secara sengaja, berarti taubatnya tidak sah. Namun kebanyakan orang tidak mensyaratkan seperti itu. Sahnya taubat tergantung kepada pembebasan dirinya dari dosa itu, menyesalinya dan bertekad untuk tidak melakukannya kembali. Jika permasalahannya menyangkut hak manusia, maka apakah disyaratkan pembebasan hak itu? Masalah ini harus dirinci lebih lanjut. Jika dia kembali melakukannya, padahal dia sudah bertekad untuk tidak melakukannya kembali saat bertaubat, maka keadaannya seperti orang yang mulai melakukan kedurhakaan, dan taubat sebelumnya tidak gugur.

Permasalahan ini dikembalikan kepada asal-muasalnya, bahwa jika seorang hamba bertaubat dari suatu dosa, kemudian dia melakukannya kembali, maka apakah dosa yang telah dimintakan taubat itu kembali lagi, sehingga dia berhak mendapat siksaan atas dosanya yang pertama dan yang terakhir, jika dia mati dalam keadaan tetap melakukan dosa itu? Dengan kata lain, apakah dia harus menanggung seluruh dosanya?

Ataukah dia hanya mendapat siksa atas dosanya yang terakhir?

Dalam hal ini ada dua pendapat. Golongan pertama berpendapat, dosanya yang pertama kembali kepadanya lagi karena taubatnya dianggap batal. Menurut mereka, karena taubat itu bisa disejajarkan dengan Islam setelah kufur. Jika orang kafir masuk Islam, maka keislamannya itu menghapus segala dosa semasa kekufurannya. Namun jika dia murtad, maka dosanya yang pertama akan kembali lagi kepadanya dan ditambah dengan dosa murtad. Hal ini seperti yang disebutkan di dalam Ash-Sha-hih, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

"Barangsiapa berbuat kebaikan semasa Islam, maka tidak ada hukuman yang dijatuhkan kepadanya dari amalnya semasa Jahiliyah, dan barangsiapa berbuat keburukan semasa Islam, maka dia mendapat hukuman karena keburukannya yang pertama dan yang terakhir."

Inilah keadaan orang yang masuk Islam dan berbuat keburukan setelah dia masuk Islam. Sebagaimana yang diketahui, murtad merupa-kan keburukan yang paling besar dalam Islam. Jika dia dihukum setelah murtad dan juga dosanya sewaktu kufur, sementara Islam yang membatasi dua keadaannya tidak berperan apa-apa, maka begitu pula taubat yang membatasi antara dua dosa, yang tidak bisa menggugurkan dosa yang lampau, sebagaimana ia yang juga tidak bisa menggugurkan dosa berikutnya.

Masih menurut mereka, sahnya taubat ini disyaratkan dengan kelangsungannya.

Sesuatu yang digantungkan kepada syarat akan diang-gap musnah jika syaratnya musnah, sebagaimana sahnya Islam yang disyaratkan dengan kelangsungannya. Jadi taubat merupakan keharusan sepanjang hayat, sehingga hukumnya juga berlaku sepanjang hayat. Hal ini ditunjukkan sebuah hadits shaliih, yaitu sabda beliau,

"Sesungguh-nya seorang hamba benar-benar mengerjakan amal penghuni surga, sehingga jarak antara dirinya dan surga itu hanya sejengkal. Namun dia didahului ketetapan takdir, sehingga dia mengerjakan amal penghuni neraka, lalu dia pun masuk ke dalam neraka."

Dalam As-Sunan juga disebutkan sabda beliau, "Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengerjakan ketaatan kepada Allah selama enam puluh tahun. Menjelang kematiannya, dia berbuat aniaya dalam wasiatnya, sehingga dia masuk neraka." Kesudahan yang buruk lebih umum dari sekedar kesudahan karena kufur atau suatu kedurhakaan, dan amal-amal itu diukur dari kesudahannya.

Apabila ada yang berkata, "Berarti kebaikan terhapus oleh keburukan", maka ini adalah pendapat golongan Mu'tazilah. Sementara Al- Qur'an dan As-Sunnah memberitahukan bahwa kebaikanlah yang menghapus keburukan, bukan sebaliknya, seperti firman Allah :

"Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapus (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk." (Hud: 114).

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Mu'adz bin Jabal,

"Bertakwalah kepada Allah di mana pun kamu berada, dan susulilah keburukan dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapusnya, dan gaulilah manusia dengan akhlak yang baik."

Hal ini bisa dijelaskan, bahwa Al-Qur'an dan As-Sunnah telah memberitahukan timbangan terhadap kebaikan dan keburukan. Sebagian isi Kitab Allah tidak akan bertentangan atau menggugurkan sebagian yang lain, dan Al-Qur'an tidak bisa disanggah oleh pendapat golongan Mu'tazilah. Di dalam Al-Qur'an juga disebutkan tentang amal yang bias gugur karena perbuatan tertentu, seperti firman-Nya,

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghilangkan (pahala) shadaqah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)." (Al-Baqarah: 264).

Jika sudah ada kejelasan tentang kaidah syariat, bahwa sebagian keburukan itu ada yang bisa menggugurkan kebaikan, maka keburukan melakukan dosa kembali juga bisa menggugurkan kebaikan taubat, yang membuat taubat itu seakan-akan tidak pernah terjadi. Dengan begitu tidak ada lagi pembatas di antara dua dosa itu, yaitu dosa pertama dan dosa yang diulangi lagi.

Al-Qur'an, As-Sunnah dan ijma' sudah menjelaskan adanya timbangan. Faidahnya untuk mengetahui mana yang lebih berat timbangannya, sehingga pengaruhnya tertuju

bagi yang lebih berat dan mengabaikan yang lebih ringan. Ibnu Mas'ud berkata, "Pada hari kiamat manusia akan dihisab. Barangsiapa keburukannya lebih banyak daripada kebaikannya, walaupun hanya selisih satu saja, maka dia masuk neraka. Barangsiapa

kebaikannya lebih banyak daripada keburukannya, walaupun selisih satu saja, maka dia masuk surga." Kemudian dia membaca ayat,

"Maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan, siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri." (Al-A'raf: 8-9).

Kemudian Ibnu Mas'ud berkata lagi, "Timbangan itu bisa menjadi ringan atau menjadi berat karena amal yang seberat biji-bijian. Barangsiapa kebaikan dan keburukannya sama, maka dia termasuk penghuni Al- A'raf (antara surga dan neraka)."

Ini artinya, apakah yang kuat akan menghapus yang ringan, sehingga seakan-akan yang ringan itu seperti tidak pernah ada sama sekali, atau kedua belah pihak cukup hanya dengan ditimbang dan kesudahannya diberikan kepada bagian yang lebih berat? Jika kebaikannya lebih berat, apakah dia mendapat pahala dan tidak disiksa atas keburukan yang dia lakukan? Atau jika keburukannya lebih berat walau hanya selisih satu keburukan saja, apakah dia dilemparkan ke dalam neraka?

Tentu saja semua ini harus dikembalikan kepada golongan yang melihat berlakunya alasan dan hikmah. Jika manusia selamat dari syirik umpamanya, yang merupakan dosa yang tidak diampuni Allah, maka tidak ada amalnya yang sia-sia dan tidak ada pahalanya yang dikurangi. Timbangan atas kebaikan dan keburukannya kembali kepada pengaruh pensucian jiwa, karena masing-masing akan mendapatkan derajat sesuai dengan amalnya. Sementara tidak ada yang bisa mengetahui kemantap-an pensucian jiwa yang bisa menyelamatkan orang Mukmin dari siksa kecuali Allah semata. Dengan jawaban ini, maka beberapa ayatyang menjelaskan masalah pahala, amal dan timbangan bisa dikompromikan. Tetapi gugurnya amal mempunyai tanda-tanda yang bisa diketahui orang yang menghisab dirinya.

Sedangkan golongan Jabariyah yang tidak melihat berlakunya alasan, sebab dan hikmah, pahala dan siksa, menolak semua ini. Karena semua perbuatan dan perkataan manusia menurut mereka ada di Tangan Allah, sementara mereka tidak tahu apa yang dikehendaki Allah. Sehing-ga orang yang lebih banyak kebaikannya pun bisa mendapat siksa dan orang yang lebih banyak keburukannya pun bisa mendapat pahala.

Sedangkan golongan lain berpendapat bahwa dosa pertama tidak kembali kepada pelakunya karena taubatnya yang batal atau rusak. Sebab dosa itu sudah diampuni karena taubat, sehingga sama dengan sesuatu yang belum pernah dikerjakan dan tidak pernah terjadi. Yang kembali kepadanya adalah dosa setelah taubatnya yang rusak dan bukan yang sebelumnya. Keabsahan taubatnya tidak disyaratkan dengan adanya kema'shuman dirinya dari kesalahan hingga akhir hayat. Tapi jika dia menyesal, melepaskan diri dari

dosa yang lalu dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, maka dosanya itu dihapuskan. Jika kemudian dia mengulanginya lagi, maka dosanya terletak pada pengulangan itu. Hal ini tidak bisa disamakan dengan kufur yang menggugurkan semua amal. Kufur merupakan kondisi tersendiri yang menghapus semua kebaikan. Sementara mengulang kembali dosa yang sudah dimintakan taubat tidak menggugurkan kebaikan-kebaikan yang lampau.

Taubat adalah kebaikan yang paling besar. Andaikan kebaikan ini terhapus oleh dosa yang dilakukan kembali, tentunya semua kebaikan yang lampau juga ikut terhapus. Tentu saja logika ini tidak bisa diterima, karena mirip dengan pendapat Khawarij yang menghapus semua dosa, atau mirip dengan pendapat Mu'tazilah yang menganggap semua pelaku dosa besar berada di neraka selama-lamanya, sekalipun dia mempunyai sekian banyak kebaikan. Sementara dua golongan ini tertolak dalam Islam, karena pendapat pendapat dua golongan ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan nash. Allah befirman :

"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang pun walau seberat dzarrah, dan jika ada kebajikan seberat dzarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar." (An-Nisa': 40).

Tentang keberlangsungan taubat, maka itu merupakan syarat kesempurnaannya, bukan merupakan syarat sahnya taubat untuk dosa yang telah lampau. Tidak demikian halnya dengan ibadah-ibadah lain seperti puasa selama sehari penuh dan bilangan-bilangan rakaat shalat, karena ini merupakan satu bentuk ibadah tersendiri, yang tidak bisa diterima kecuali dengan mengikuti semua rukun dan bagian-bagiannya yang sudah baku. Tapi taubat merupakan ibadah yang bilangannya banyak, tergan-tung dari banyaknya dosa. Satu dosa mempunyai satu taubat secara khusus. Perbandingannya, seseorang puasa Ramadhan. Pada suatu hari dia makan tanpa ada alasan yang diperbolehkan. Apakah hari batalnya puasa ini menggugurkan pahala hari-hari lain yang diisi dengan puasa? Apakah orang yang tidak berpuasa menghapuskan pahala shalat fardhu yang dikerjakannya? Inti permasalahan ini, bahwa taubat adalah suatu kebaikan sedangkan mengerjakan dosa kembali adalah suatu keburukan. Pengulangan dosa ini tidak membatalkan kebaikan. Ini lebih dekat dengan prinsip Ahlus-Sunnah, bahwa seseorang terkadang menjadi orang yang dicintai Allah dan juga dimurkai-Nya, terkadang di dalam dirinya ada iman dan juga nifaq, iman dan juga kufur.

  • Keempat:

Jika orang yang durhaka dihalangi dari sebab-sebab kedurhakaan dan dia dibuat tidak berdaya untuk melakukannya, maka apakah taubatnya dianggap sah? Gambarannya seperti pendusta, orang yang suka menuduh dan orang yang memberi kesaksian palsu, yang lidahnya dipotong, atau pezina yang kemaluannya dikebiri, atau pencuri yang

tangan dan kakinya dilumpuhkan.

Ada dua pendapat tentang hal ini. Golongan pertama berpendapat, bahwa taubatnya dianggap tidak sah. Sebab taubat itu hanya berlaku bagi orang yang memungkinkan untuk melakukan sesuatu dan meninggalkannya. Taubat hanya dari orang yang memungkinkan untuk berbuat dan bukan dari orang yang mustahil berbuat. Jangan menggambarkan taubat dari orang yang bisa memindahkan sebuah gunung dari tempat-nya, mampu mengeringkan lautan dan lain-lainnya. Karena merekayang digambarkan ini layaknya orang yang dipaksa untuk meninggalkan suatu perbuatan, sehingga taubatnya dianggap tidak sah. Beberapa nash juga telah menjelaskan bahwa taubat pada saat menjelang ajal tidak berguna sama sekali, karena itu merupakan taubat dalam keadaan terpaksa dan terdesak, bukan atas kesukaan hati. Firman Allah :

"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orangorang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan, tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejaliatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, 'Sesungguhnya saya bertaubat sekarang'. Dan, tidak pula (diterima taubat) orang-orang yang mati, sedang mereka dalam kekufuran." (An-Nisa': 17-18).

Kejahilan di sini adalah kejahilan amal sekalipun mengetahui keharamannya. Qatadah berkata, "Para shahabat sepakat bahwa apa pun bentuk kedurhakaan terhadap Allah adalah kejahilan, sengaja maupun tidak disengaja dan setiap orang yang durhaka kepada Allah adalah orang jahil."

Sedangkan taubat dengan segera dalam ayat ini menurut Jumhur mufassirin adalah taubat sebelum melihat kedatangan malaikat yang akan mencabut nyawanya. Di dalam Al-Musnad dan lainnya, dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda :

"Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selagi ajal belum menghampirinya."

Selagi ajal sudah di depan mata, lalu dia menyatakan taubat, maka taubatnya itu tidak diterima, karena ini merupakan taubat yang terpaksa. Di samping itu, hakikat taubat adalah menahan hati dari perbuatan yang berkaitan dengan larangan. Menahan di sini harus berasal dari urus-an yang memang bisa dikerjakan. Tapi untuk sesuatu yang mustahil bias dikerjakan, maka bagaimana mungkin menahan hati darinya?

Pendapat kedua, dan ini yang benar, bahwa taubatnya tetap sah dan dianggap mungkin, bahkan nyata, sebab rukun-rukun taubat sudah terpenuhi di dalamnya. Yang bisa dilakukan dalam hal ini adalah penyesalan. Di dalam Musnad disebutkan secara marfu', "Penyesalan itu sama dengan taubat." Bagaimana mungkin taubat dicabut darinya, padahal dia sangat menyesali dosanya? Apalagi jika penyesalan ini disertai

dengan tangis, kesedihan, ketakutan dan tekad yang bulat, dengan disertai niat, bahwa jika dia dalam keadaan sehat dan mampu, tidak akan mengerjakannya lagi.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menempatkan orang yang tidak mampu melakukan suatu ketaatan, sama dengan orang yang melakukannya, yaitu jika niatnya benar dan bulat. Beliau bersabda, "Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang. Tidaklah kalian melewati suatu jalan dan tidaklah kalian melintasi suatu lembah, melainkan mereka beserta kalian."

Para shahabat bertanya, "Sementara mereka ada di Madinah?"

Beliau menjawab, "Ya, mereka berada di Madinah. Mereka tertahan halangan."

Orang yang memang tak mampu melakukan kedurhakaan dan meninggalkannya dalam keadaan terpaksa, dengan disertai niat untuk meninggalkannya atas inisiatif hatinya, maka kedudukannya sama dengan orang yang meninggalkannya secara sengaja dan atas inisiatif hatinya.

Perbedaan keadaan ini dengan orang yang melihat ajal di depan matanya atau ketika kiamat sudah tiba, bahwa taklif (keharusan mengerjakan kewajiban) sudah terputus pada saat ajal di depan mata. Taubat berlaku hanya pada masa taklif. Orang yang lemah itu belum terputus dari taklif, berarti perintah dan larangan masih berlaku bagi dirinya.

  • Kelima:

Jika dosa yang dilakukan berkaitan dengan hak orang lain, yang berkaitan dengan hak harta atau tindak kejahatan terhadap badan, maka dia harus memenuhi hak orang itu dan meminta pembebasan diri dari kesalahan setelah memberitahukannya, seperti yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

"Barangsiapa berbuat zhalim terhadap harta atau kehormatan saudaranya, maka hendaklah dia membebaskan dirinya (dengan membayar tebusan) pada hari ini pula, sebelum (datang hari dimana) dinar dan dirham tidak ada artinya, selain kebaikan dan keburukan."

Jika kezhaliman itu berupa ghibah, cacian atau tuduhan, maka apakah dalam taubatnya itu disyaratkan agar dia memberitahukan bentuk ghibahnya itu dan meminta ampunannya agar dia terbebas dari dosa itu? Ataukah dia cukup memberitahukan bahwa dia telah melanggar kehormatannya dan tidak perlu menyebutkan bentuknya secara rinci? Ataukah tidak ada syarat seperti dua gambaran ini, tapi dia cukup meminta ampunan bagi dosa saudaranya dan dosa dirinya, tanpa memberitahukan bahwa dia telah menuduh atau mengghibahnya?

Pendapat yang dikenal di dalam madzhab Asy-Syafi'y dan Abu Hanifah serta Malik, disyaratkan memberitahukannya dan pembebasan dirinya. Begitu pula yang disebutkan rekan-rekan mereka di dalam buku-bukunya. Mereka berhujjah, bahwa dosa itu berkaitan dengan hak manu-sia, sehingga belum dianggap gugur kecuali setelah ada

pembebasan darinya. Mereka berhujjah dengan hadits di atas. Masih menurut mereka, bahwa kejahatan ini berkaitan dengan dua hak, yaitu hak Allah dan hak manusia. Meminta kebebasan kejahatannya dari orang yang dijahati untuk memenuhi haknya, dan penyesalan atas kejahatannya untuk me-menuhi hak Allah. Maka dari itu taubatnya seorang pembunuh belum dianggap sempurna kecuali adanya ketetapan dari wali korban terhadap nasib dirinya. Jika menghendaki, wali korban bisa menuntut balas darah dengan

pelaksanaan qishash, dan jika menghendaki bisa memaafkan-nya. Begitu pula taubatnya orang yang memotong tangan orang lain.

Pendapat lain, bahwa tidak ada syarat untuk memberitahukan tuduhan dan ghibahnya kepada orang yang dighibah. Tapi taubatnya cukup dengan memohon ampunan kepada Allah bagi dosanya, lalu dia harus membela orang yang dighibahnya dan mengatakan kebalikan dari ghibahnya di tempat-tempat dimana dia telah mengghibah. Sebagai contoh, dia mengganti ghibahnya dengan pujian dan menyebut kebaikan-kebaikannya, lalu memintakan ampunan bagi orang yang dighibahnya itu. Pendapat ini juga merupakan pilihan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah.

Golongan ini berhujjah, karena dengan memberitahukan ghibahnya justru hanya akan mendatangkan kerusakan, sama sekali tidak menjamin adanya kemaslahatan, semakin menambah sakit hati dan suasana menjadi keruh. Padahal hatinya tenang sebelum mendengar pemberitahuannya. Bahkan setelah mendengarnya, ada kemungkinan dia tidak mampu menguasai diri lalu bisa menimbulkan tindak kekerasan terhadap fisik atau bahkan pembunuhan. Hal ini tentu berlawanan dengan maksud pembawa syariat yang hendak menyatukan hati manusia, agar mereka saling menyayangi, mencintai dan mengasihi.

Memang hal ini berbeda dengan hak-hak material dan tindak kejahatan fisik, yang bisa dilihat dari dua pertimbangan:

1. Korban bisa memanfaatkan harta, jika harta itu dikembalikan kepadanya, dan hal ini juga tidak boleh ditutup-tutupi, karena harta itu mut-lak menjadi miliknya, sehingga orang yang mengambilnya harus mengembalikannya. Berbeda dengan ghibah dan tuduhan, yang sama sekali tidak ada manfaat secara langsung yang bisa dinikmati korban. Akibatnya hanya akan menambah sakit hati.

2. Jika orang yang mengambil harta orang lain memberitahukan perbuatannya, tidak akan menyakiti hati korban, tidak memancing amarahnya atau menimbulkan permusuhan, bahkan sebaliknya, akan membuatnya senang dan gembira. Hal ini berbeda dengan pemberitahuan pelaku, bahwa dia telah mengoyak kehormatannya, mengghibah dan menuduhnya dengan berbagai macam tuduhan. Kalaupun dua hal ini dibandingkan, maka ini merupakan perbandingan yang tidak setara dan rusak.

  • Keenam:

Jika seorang hamba sudah bertaubat dari suatu dosa, maka apakah keadaannya

kembali ke derajat sebelum dia melakukan dosa itu ataukah tidak bisa kembali seperti semula? Ada perbedaan pendapat mengenai masalah ini.

Ada yang berpendapat, dia kembali ke derajatnya semula, karena taubat itu memangkas dosanya secara keseluruhan dan menjadikan dirinya seakan-akan dosa itu tidak pernah ada. Maka iman dan amal shalihnya kembali ke derajat semula karena taubat. Alasannya menurut mereka, karena taubat itu kebaikan yang besar dan amal yang shalih. Jika dosa pernah menyingkirkan dirinya dari derajatnya semula, maka kebaikan-nya dengan bertaubat itu telah mengembalikan derajatnya. Hal ini seperti orang yang jatuh ke dalam sumur, lalu saudara kandungnya menjulurkan tali ke dalam sumur dan menariknya ke atas, ke tempatnya semula. Begitu pula taubat dan amal shalih yang bisa diibaratkan saudara se-kandung dan pasangan yang serasi.

Ada pula yang berpendapat, dia tidak bisa kembali ke derajat dan keadaannya semula sebelum melakukan dosa, karena dia masih dalam posisi berhenti, yang semestinya dia naik ke atas. Dengan adanya dosa, berarti dia dalam posisi turun ke bawah. Jika bertaubat, maka dia dalam posisi siap naik ke atas lagi. Perumpamaan keadaan ini seperti dua orang yang sama-sama melewati satu jalan dengan cara yang sama dan berjejer. Salah seorang ada penghalang atau ada sesuatu yang membuatnya menghentikan perjalanan, sementara satunya lagi meneruskan perjalanan. Jika orang pertama berjalan lagi mengikuti jejak temannya, tentu dia tidak akan mampu menyusulnya. Orang pertama berjalan dengan kekuatan amal dan imannya. Kekuatannya semakin bertambah selagi perjalanannya terus bertambah. Sementara orang kedua yang menghentikan perjalanan, kekuatannya bisa melemah karena dia berhenti.

Saya pernah mendengar Ibnu Taimiyah mengisahkan perbedaan ini, dan dia berkata, "Yang benar, di antara orang-orang yang bertaubat ada yang tidak bisa kembali ke derajatnya semula, ada pula yang bisa kembali ke derajatnya semula, dan ada pula yang justru kembali ke derajat yang lebih tinggi lagi, sehingga dia menjadi lebih baik daripada keadaan-nya sebelum melakukan dosa, seperti halnya Nabi Daud yang menjadi lebih baik dari keadaan beliau sebelum melakukan kesalahan, setelah bertaubat. Tentu saja hal ini kembali ke keadaan orang yang bertaubat setelah dia menyatakan taubat, kesungguhan, tekad dan kewaspadaan-nya. Jika taubatnya lebih sungguh-sungguh dan keadaannya lebih baik, maka dia menjadi lebih baik daripada keadaan sebelumnya dan derajatnya lebih tinggi. Jika keadaannya sama dengan sebelumnya, berarti derajatnya juga sama."

Antara Orang Taat Yang Tidak Pernah Durhaka dan OrangDurhaka Yang Melakukan Taubatan Nashuhan

Dari sini pula dapat diketahui satu masalah yang cukup penting, apakah orang taat yang tidak pernah durhaka lebih baik daripada orang durhaka yang bertaubat kepada

Allah dengan taubatan nashuhan? Atau-kah orang yang bertaubat itu yang lebih baik?

Ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Ada golongan orang yang menegaskan bahwa orang yang tidak pernah durhaka lebih baik daripada orang durhaka yang melakukan taubatan nashuhan (taubat dengan sebenar-benarnya). Mereka mengemukakan beberapa hujjah:

1. Hamba yang paling sempurna dan utama ialah yang paling taat kepada Allah. Orang yang tidak pernah durhaka berarti orang yang paling taat, sehingga dia menjadi orang yang paling utama.

2. Pada saat orang durhaka sibuk dengan kedurhakaannya, maka orang yang taat menempuh beberapa tahapan menuju ke atas, sehingga derajatnya lebih tinggi. Taruklah bahwa orang yang durhaka itu bertaubat lalu menyusul perjalanannya. Tapi mana mungkin dia dapat menyusulnya, karena sebelumnya dia sudah berhenti?

3. Maksud taubat adalah untuk menghapus kesalahan-kesalahannya, lalu setelah itu dia seperti tidak pernah melakukan kesalahan itu. Perbuatannya pada masa kedurhakaan tidak mendatangkan keberuntungan dan tidak pula hukuman baginya. Lalu bagaimana jika keadaannya ini dibandingkan dengan orang yang berusaha dan mendapat keberuntungan?

4. Allah membenci kedurhakaan terhadap-Nya dan menyalahi perintah- Nya. Pada waktu dia melakukan dosa ini, maka dia mendapat kebencian dari Allah. Sementara orang yang taat mendapat keridhaan dan Allah senantiasa ridha kepadanya. Maka tidak dapat diragukan bahwa keadaan orang kedua ini lebih baik daripada keadaan orang yang diridhai Allah, lalu dimurkai, lalu diridhai. Ridha yang berkelanjutan lebih baik daripada ridha yang berselang-seling.

5. Dosa itu bisa diibaratkan minum racun, sedangkan taubat merupakan penawar dan obatnya. Sementara ketaatan bisa diibaratkan kesehatan. Terus-menerus dalam keadaan sehat tentu lebih baik daripada keadaan sehat yang diselingi dengan sakit karena sakit atau racun yang masuk, lalu sembuh dan sehat kembali.

6. Orang yang durhaka dalam keadaan gawat dan terancam bahaya, yang keadaannya tidak lepas dari tiga hal: Mati karena minum racun, kekuatannya berkurang dan melemah kalau memang tidak mati, dan kekuatannya kembali seperti semula, atau lebih lemah atau lebih baik.

7. Orang yang taat berada dalam sebuah kebun yang dikelilingi ketaatannya, sehingga membentuk pagar yang kokoh bagi dirinya, dan musuh pun tidak mampu menyusup ke sana. Tumbuh-tumbuhannya segar dan buahnya lebat.

8. Musuh tamak kepada orang yang durhaka, karena kelemahan ilmu dan

tekadnya, karena itu dia disebut orang jahil.

9. Kedurhakaan pasti menimbulkan pengaruh yang kurang baik, entah berupa kehancuran total, penyesalan atau pun siksaan, dan kesudahannya bisa berupa ampunan dan

masuk ke surga. Orang yang bertau-bat harus membebaskan pengaruh ini dan menebus kesalahannya, sedangkan orang yang taat tinggal menambah dan meninggikan derajatnya. Maka shalat malam yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bermanfaat untuk meninggikan derajat beliau, sedangkan shalat malam yang dilakukan selain beliau untuk menebus kesalahan. Dua keadaan ini saja tidak bisa disetarakan.

10. Orang taat kepada Allah berjalan dengan seluruh amalnya. Selagi ke taatan dan amalnya bertambah, maka bertambah pula usaha ketaatannya. Dia bisa diibaratkan pedagang yang melancong dan berusaha untuk mendapatkan keuntungan sepuluh kali lipat dari modalnya. Lalu dia melancong lagi dengan membawa modal pertama dan ditambah keuntungannya, sehingga dia mendapatkan keuntungan sepuluh kali lipat lagi. Begitu seterusnya dalam perjalanan ketiga kalinya, dengan keuntungan yang berlipat-lipat. Apabila sekali saja dia tidak mengadakan perjalanan, maka dia tidak akan mendapatkan keuntungan seperti yang dia dapatkan dalam satu kali perjalanannya, atau bahkan lebih. Inilah makna yang tersirat di dalam perkataan Al-Junaid Rahimahullah, "Jika orang yang beribadah menghadap secara tulus kepada Allah selama seribu tahun, kemudian dia berpaling sesaat saja, maka pahala yang terlepas darinya lebih banyak daripada apa yang didapatkannya."

Ada golongan lain yang mengatakan bahwa orang yang bertaubat dengan taubatan nashuhan lebih baik daripada orang yang belum pernah melakukan kedurhakaan, sekalipun mereka tidak mengingkari keadaan orang kedua yang lebih banyak kebaikannya. Mereka mengemukakan beberapa alasan:

1. Taubat merupakan ubudiyah yang paling dicintai Allah dan paling mulia, Allah mencintai orang-orang yang bertaubat. Andaikan taubat bukan merupakan sesuatu paling Dia cintai, tentunya Dia tidak akan menguji hamba dengan dosa. Karena kecintaan-Nya kepada taubat hamba, maka Dia mengujinya dengan dosa, agar hamba itu melakukan sesuatu yang paling dicintai-Nya, yaitu taubat. Sebagai tambahan atas kecintaan-Nya kepada hamba, maka orang-orang yang bertaubat mendapatkan kecintaan secara khusus di sisi-Nya.

2. Taubat mempunyai tempat tersendiri di sisi Allah, yang tidak dimiliki ketaatan-ketaatan lainnya. Karena itu Allah amat gembira melihat taubat hamba-Nya. Kegembiraan Allah itu dimisalkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan kegembiraan seorang musafir yang mendapatkan kembali onta yang membawa seluruh bekalnya, di suatu tempat yang ganas dan kering, setelah onta itu lepas entah kemana, dan orang itu sudah putus asa untuk bisa bertahan hidup di tempat itu. Kegembiraan ini tidak ditampakkan terhadap satu ketaatan pun kecuali terhadap taubat. Tentu saja kegembiraan Allah ini mempunyai pengaruh yang amat kuat di

dalam hati orang yang bertaubat. Sehing-ga orang yang bertaubat mendapatkan kecintaan Allah, yang berarti dia menjadi kekasih Allah.

3. Di dalam taubat terkandung kehinaan, kehancuran hati, kehampaan, ketundukan dan kebergantungan kepada Allah, suatu sikap yang lebih dicintai Allah daripada sekian banyak amal-amal zhahir, sekalipun takaran dan porsinya lebih banyak daripada ubudiyah taubat. Sebab menghinakan diri merupakan ruh ibadah dan intinya.

4. Tingkatan menghinakan diri bagi orang yang bertaubat lebih sempur-na daripada tingkatan-tingkatan ubudiyah lainnya, karena dia masih bias melakukan apa yang dilakukan orang lain, sementara dia memi-liki keistimewaan dengan menghinakan diri dan merasakan hatinya yang hampa. Allah lebih dekat dengan hamba-Nya saat dia menghinakan diri.

5. Terkadang dosa justru lebih bermanfaat bagi hamba selagi disertai dengan taubat daripada berbagai macam ketaatan. Inilah makna perkataan sebagian orang salaf, "Adakalanya seorang hamba berbuat dosa lalu masuk surga, dan adakalanya seorang hamba melakukan ketaatan lalu masuk neraka."

Orang-orang bertanya, "Bagaimana itu bisa terjadi?" Dia menjawab,

"Dia berbuat dosa, dan dosa itu selalu tampak di depan matanya. Jika berdiri, duduk dan berjalan dia selalu teringat dosanya itu lalu membuat hatinya terasa hancur, bertaubat, menyesal dan memohon ampunan, sehingga yang demikian ini menjadi sebab keselamatannya. Dia berbuat kebaikan dan kebaikannya itu selalu tampak di depan matanya. Jika berdiri, duduk dan berjalan dia selalu teringat kebaikannya itu, sehingga membuatnya takabur, ujub dan merasa telah mendapat karunia, sehingga yang demikian ini menjadi sebab kebinasaannya." Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada seorang hamba, maka Dia memberinya dosa yang membuat hatinya hancur, kepalanya merunduk,

tidak ujub dan tidak takabur, sehingga dosa ini lebih ber-manfaat daripada sekian banyak ketaatan. Taubatnya ini bisa diumpa-makan obat yang diminum untuk mengeluarkan seluruh penyakit di dalam tubuh.

6. Ada kabar gembira yang disampaikan Allah kepada orang-orang yang bertaubat, jika taubatnya itu disertai dengan iman dan amal shalih, sebagaimana firman-Nya :

"Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Furqan: 70).

Ibnu Abbas berkata, "Aku tidak pernah melihat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menunjukkan kegembiraan karena sesuatu seperti kegembiraan beliau saat ayat ini turun, begitu pula saat surat Al-Fath turun." Orangorang berbeda pendapat tentang sifat penggantian ini, apakah hal itu berlaku di dunia ataukah di akhirat? Menurut Ibnu Abbas dan rekan rekannya, keburukan amal mereka diganti dengan kebaikan,

syirik diganti dengan iman, zina diganti dengan menjaga kehormat-annya, dusta diganti dengan kejujuran, khianat diganti dengan amanat. Berdasarkan makna ayat ini, sifat-sifat dan amal-amal mereka yang buruk diganti dengan sifat dan amal yang shalih, sebagaimana sakit yang diganti dengan kesehatan.

Sedangkan menurut Sa'id bin Al-Musayyab dan lain-lainnya dari kalangan tabi'in, maksudnya Allah mengganti keburukan yang mereka lakukan di dunia dengan kebaikan di akhirat, Dia memberi tempat bagi setiap keburukan dengan kebaikan.

7. Dengan penyesalannya, orang yang bertaubat mengganti setiap keburukannya dengan kebaikan. Penyesalan ini merupakan wujud taubat dari keburukan itu. Taubat dari segala dosa adalah kebaikan. Sehingga setiap dosa yang dilakukan akan hilang dengan adanya taubat, karena tempatnya diganti dengan kebaikan. Berdasarkan logika seperti ini, porsi kebaikan itu akan menjadi sama dengan keburukan, lebih sedikit atau lebih banyak. Ini tergantung dari bobot taubat dan ketulusan hati orang yang bertaubat. Inilah rahasia masalah taubat dan sentuhannya yang halus.

8. Dosa orang yang diakui pelakunya bisa menimbulkan kebaikan yang lebih besar, lebih banyak, lebih bermanfaat dan lebih mendatangkan kecintaan Allah daripada dosa itu sendiri. Sampai-sampai syetan berkata, "Andaikan saja aku tidak pernah menyeretnya untuk melakukan dosa itu." Syetan merasa menyesal karena mendorong dan menyeret orang itu untuk melakukan dosa, seperti penyesalan pelakunya karena telah melakukan dosa itu. Tetapi dua penyesalan ini jauh berbeda. Allah menyukai hamba-Nya karena telah memancing amarah musuh-Nya, sementara hamba itu juga mendapatkan sesuatu yang dicintai Allah, yaitu taubat, apalagi jika taubat itu disertai dengan tambahan amal

shalih, sehingga satu keburukan berubah menjadi satu kebaikan dan bahkan banyak kebaikan.

Perhatikanlah firman Allah, "Maka kejahatan-kejahatan mereka di-ganti Allah dengan kebaikan-kebaikan". Allah tidak mengatakan satu bilangan keburukan dan kebaikan, tetapi banyak. Ini bisa berarti satu keburukan diganti dengan banyak kebaikan, tergantung dari kondisinya.

Taubat Menurut Al-Qur'an dan Kaitan Taubat dengan Istighfar

Banyak orang yang menafsiri taubat dengan tekad untuk tidak kembali mengulangi dosa, melepaskan diri darinya seketika itu pula dan menyesali apa yang telah dilakukannya di masa lampau. Jika dosa itu berkaitan dengan hak seseorang, maka dibutuhkan cara lain, yaitu membebaskan diri dari dosa itu.

Inilah yang mereka sebut dengan taubat, dan bahkan itulah syaratsyaratnya. Sementara taubat menurut penyampaian Allah dan Rasul-Nya, di samping meliputi hal-

hal itu, juga meliputi tekad untuk melaksana-kan apa yang diperintahkan dan mengikutinya. Jadi, taubat tidak sebatas membebaskan diri dari dosa, tekad dan menyesal, yang kemudian dia disebut orang yang bertaubat, sehingga dia mempunyai tekad yang bulat untuk mengerjakan apa yang diperintahkan dan mengikutinya. Inilah

hakikat taubat, suatu istilah yang memadukan beberapa hal dari dua perkara ini. Tapi kalau istilah taubat ini disertakan dengan pelaksanaan apa yang diperintahkan, memang merupakan ungkapan seperti yang mereka sebutkan itu. Namun jika disendirikan, maka secara otomatis dia akan meliputi dua perkara ini. Seperti lafazh "Taqwa", yang jika disendirikan mengandung pengertian mengerjakan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Jika disertakan kepada pelaksanaan apa yang diperintahkan, maka artinya bisa menahan diri dari apa yang dilarang.

Hakikat taubat adalah kembali kepada Allah dengan mengerjakan apa-apa yang dicintai-Nya dan meninggalkan apa-apa yang dibenci-Nya, atau kembali dari sesuatu yang dibenci kepada sesuatu yang dicintai. Kembali kepada apa yang dicintai merupakan bagian dari kelazimannya dan kembali dari apa yang dibenci merupakan bagian yang lain. Karena itu Allah mengaitkan keberuntungan yang mutlak dengan pelaksanaan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Firman-Nya,

"Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung." (An-Nur: 31).

Setiap orang yang bertaubat adalah orang yang beruntung. Seseorang tak akan beruntung kecuali dengan mengerjakan apa yang diperin-tahkan dan meninggalkan apa yang dilarang. Firman-Nya :

"Dan, barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orangorang yang zhalim." (Al-Hujurat: 11).

Orang yang meninggalkan apa yang diperintahkan dan mengerjakan apa yang dilarang adalah orang zhalim. Untuk menghilangkan sebutan zhalim ini, hanya bisa dilakukan dengan taubat, yang menghimpun dua perkara sekaligus. Karena manusia itu ada dua macam: Orang yang bertaubat dan orang yang zhalim. Tidak ada yang lain. Orang-orang yang bertaubat adalah mereka yang disifati Allah,

"Yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah." (At-Taubah: 112).

Memelihara hukum-hukum Allah merupakan bagian dari taubat. Jadi taubat merupakan kumpulan dari perkara-perkara ini. Seseorang disebut orang yang bertaubat, karena dia kembali kepada perintah Allah dari larangan-Nya, kembali kepada ketaatan dari kedurhakaan kepada-Nya. Jadi taubat merupakan hakikat Islam, dan semua unsur Islam masuk dalam istilah taubat. Karena itu orang yang bertaubat layak menjadi kekasih Allah, karena Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan juga orangorang yang

mensucikan diri. Allah suka jika perintah-Nya dilaksanakan dan larangan-Nya ditinggalkan. Jika taubat juga disebut kembali dari apa yang dibenci Allah secara lahir dan batin kepada apa yang dicintai Allah secara lahir dan batin, berarti di dalamnya terkandung istilah Islam, iman dan ihsan. Inilah yang menjadi tujuan setiap orang Mukmin, permulaan dan kesudahan hidupnya. Banyak orang yang tidak mengetahui porsi taubat dan hakikatnya, terlebih lagi pengamalannya berdasarkan ilmu dan kondisinya. Karena Allah memberikan kecintaan-Nya kepada orang-orang yang bertaubat, berarti mereka adalah orang-orang yang khusus di sisi- Nya.

  • Istighfar ada dua macam:
  1. Istighfar yang berdiri sendiri
  2. dan istigh-far yang dikaitkan dengan taubat.

Istighfar yang berdiri sendiri seperti perkatan Nuh Alaihis-Salam atau perkataan Shalih Alaihis-Salam kepada kaumnya, atau seperti firman Allah :

"Dan, mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Baqarah: 199).

Istighfar yang dikaitkan dengan taubat, seperti firman Allah : "Hendaklah kalian meminta ampun kepada Rabb kalian dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kalian mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi keniktnatan yang baik (terus-menerus) kepada kalian sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiaptiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) ke-utamaannya." (Hud: 3).

Istighfar yang berdiri sendiri seperti taubat, dan bahkan istighfar itu sendiri adalah taubat, yang berarti menghapus dosa, menghilangkan pengaruhnya dan mengenyahkan kejahatannya, tidak seperti yang dikira sebagian orang, bahwa artinya adalah menutupi aib. Toh Allah menutupi aib orang yang diberi-Nya ampunan atau yang tidak diberi-Nya ampunan. Penutupan aib hanya sekedar kelaziman dari maknanya atau sebagian di antaranya. Istighfar inilah yang mencegah turunnya adzab, sebagaimana firman-Nya :

"Dan, tidaklah Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka meminta ampun." (Al-Anfal: 33).

Allah tidak akan mengadzab orang yang meminta ampunan. Sedangkan orang yang masih tetap berbuat dosa, namun dia juga meminta ampun kepada Allah, maka hal ini tidak bisa disebut istighfar yang mur-ni. Karena itu, istighfarnya tidak mampu mencegah adzab. Istighfar men-cakup taubat dan taubat mencakup istighfar, masing-masing masuk dalam pengertian yang lain. Jika keduanya disertakan, maka makna istighfar adalah menjaga dari kejahatan yang lampau, sedangkan makna taubat adalah kembali dan mencari penjagaan dari sesuatu yang ditakutinya di masa mendatang, berupa keburukan-keburukan amalnya. Ada dua macam dosa, yaitu dosa yang telah lampau dan dosa yang dikhawatirkan akan terjadi di masa mendatang. Istighfar dari dosa yang telah

lampau berarti mencari perlindungan dari kejahatannya, dan taubat dari dosa yang dikhawatirkan akan terjadi berarti bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Orang yang berdosa diibaratkan orang yang melewati suatu jalan, padahal jalan ini akan membawanya kepada kehancuran dan tidak menghantarkannya ke tujuan. Maka dia diperintahkan untuk menghentikan langkah kakinya, meninggalkan jalan itu dan kembali ke jalan yang membawanya kepada keselamatan dan menghantarkannya ke tujuan.

Dari sinilah bisa diketahui secara jelas masalah taubatan nashuhan dan hakikatnya, seperti firman Allah :

"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai." (At-Tahrim: 8).

An-Nashuh dalam taubat dan ibadah artinya membersihkannya dari kebohongan, kekurangan dan kerusakan serta mengerjakannya sesempurna mungkin. An-Nashuh kebalikan dari tipuan. Orang-orang salaf saling berbeda dalam mendefinisikannya. Umar bin Al-Khaththab dan Ubay bin Ka'b Radhiyallahu Anhuma berkata, "At-Taubatun-nashuh artinya taubat dari suatu dosa dan pelakunya tidak mengulanginya lagi, sebagaimana air susu yang tidak bisa kembali ke kantong kelenjarnya."

Al-Hasan Al-Bashry berkata, "Artinya, seorang hamba menyesali apa yang dilakukannya di masa lampau dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi."

Al-Kalby berkata, "Artinya, seorang hamba harus memohon ampun dengan lidahnya, menyesal dengan hatinya dan menahan diri dengan anggota tubuhnya."

Sa'id bin Al-Musayyab berkata, "Artinya, kalian harus jujur terhadap diri sendiri."

Muhammad bin Ka'b Al-Qarzhy berkata, "Artinya, seorang hamba harus menghimpun empat perkara: Istighfar dengan lidah, membebaskan diri dengan anggota badan, tekad untuk tidak mengulang lagi dengan hati dan menjauhi teman-teman yang masih melakukannya."

Menurut pendapat saya, at-taubatan-nashuh harus mencakup tiga perkara:

1. Mencakup segala macam dosa yang pernah dilakukan, sehingga tidak ada satu dosa pun melainkan sudah tercakup di dalamnya.

2. Membulatkan tekad dan kemantapan hati secara menyeluruh, sehingga tidak ada lagi keragu-raguan dan penangguhan. Kehendak dan tekadnya harus dibulatkan seketika itu pula.

3. Membebaskan taubat itu dari kekeruhan dan alasan-alasan tertentu yang bisa mengotori keikhlasannya, hati didorong untuk takut kepada Allah semata dan mengharap apa yang ada di sisi-Nya, tidak seperti orang yang bertaubat karena hendak menjaga kedudukan, pangkat dan harga dirinya, melindungi kekuasaan,

kekuatan dan hartanya, agar dipuji orang dan tidak dicela.

Yang pertama berkaitan dengan dosa yang dimintakan taubat. Yang kedua berkaitan dengan hati orang yang bertaubat dan jiwanya. Yang ketiga berkaitan dengan diri orang yang bertaubat.

Ada perbedaan antara menghapus kesalahan dan mengampuni dosa. Di dalam Kitab Allah hal ini disebutkan secara berurutan, dan ada pula yang disebutkan secara sendiri-sendiri. Yang disebutkan secara berurutan seperti firman Allah yang mengisahkan hamba-hamba-Nya yang Mukmin :

"Wahai Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti." (Ali Imran: 193).

Yang disebutkan secara sendirian seperti firman-Nya :

"Dan, orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amalamal yang shalih serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang hak dan Rabb mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka." (Muhammad: 2).

Firman Allah tentang maghfirah (ampunan) :

"Dan, mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka." (Muhammad: 15).

Di sini disebutkan empat perkara: Dosa, kesalahan, ampunan dan penghapusan.

Dosa maksudnya adalah dosa besar. Kesalahan maksudnya adalah dosa kecil, yang cukup hanya dengan dihapuskan. Sementara penghapusan ini tidak efektif untuk dosa besar, seperti menghapus dosa membunuh secara sengaja dan sumpah palsu. Inilah dalil bahwa maksud kesalahan di sini adalah dosa kecil dan penghapusannya :

"Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian dan Kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (surga)." (An- Nisa': 31).

Disebutkan di dalam Shahih Muslim, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Shalat-shalat lima waktu, Jum'at ke Jum'at dan Ramadhan ke Ramadhan menghapus kesalahan-kesalahan di antara keduanya selagi dosa dosa besar dijauhi."

Lafazh "maghfirah" (ampunan) lebih sempurna daripada lafazh "takfir" (penghapusan), karena itu maghfirah berlaku untuk dosa-dosa besar dan penghapusan berlaku untuk dosa-dosa kecil. Maghfirah mencakup pemeliharaan dan penjagaan, sedangkan takfir mencakup penutupan aib dan pengenyahannya. Namun jika disebutkan secara sendirian, maka masing-masing bisa masuk ke dalam pengertian yang lain. Jadi

takfir bias mencakup dosa besar dan dosa kecil, bahkan bisa mencakup amal yang paling buruk sekalipun, seperti firman-Nya :

"Agar Allah menghapus (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan." (Az-Zumar: 35).

Orang-orang yang berdosa mempunyai tiga sungai besar yang bias dipergunakan untuk membersihkan dosa-dosanya di dunia. Jika belum juga bersih, maka mereka akan dibersihkan di sungai neraka di hari kiamat. Tiga sungai itu ialah:

1. Sungai at-taubatun-nashuh

2. Sungai kebaikan-kebaikan yang melimpah ruah dan menghanyutkan berbagai macam

kesalahan di sekitarnya.

3. Sungai musibah dan cobaan yang menghapus semua dosa.

Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada diri hamba-Nya, maka Dia memasukkannya ke dalam salah satu sungai ini, sehingga dia dating pada hari kiamat dalam keadaan bersih, sehingga dia tidak memerlukan cara pensucian yang keempat.

Dosa Besar dan Dosa Kecil

Menurut nash Al-Qur'an dan As-Sunnah, ijma' orang-orang salaf dan istilah, dosa-dosa itu dibagi menjadi dua macam: Dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil. Firman Allah,

"Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian." (An-Nisa': 31),

"Orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil." (An-Najm: 32).

Sedangkan apa yang dikisahkan dari Abu Ishaq Al-Isfira'ainy, bahwa semua dosa adalah dosa besar dan sama sekali tidak ada dosa yang kecil, maka bukan itu maksudnya. Sebab kalau tidak, dosa memandang sesuatu yang diharamkan sama dengan dosa berzina. Tapi yang dimaksudkan adalah pengaitannya dengan keagungan yang didurhakai, dengan

pengertian, sebagian bisa lebih besar dosanya daripada yang lain.

Orang-orang salaf saling berbeda pendapat tentang dosa-dosa besar. Namun perbedaan pendapat di kalangan mereka ini tidak terlalu tajam, dan pendapat-pendapat mereka hampir sama.

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Asy-Sya'by, dari Abdullah bin Amr, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda :

"Dosa-dosa besar adalah: Syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa dan sumpah palsu."

Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari hadits Abu Wa'il, dari Amr bin Syurahbil, dari Abdullah bin Mas'ud, dia berkata, "Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah dosa yang paling besar itu?" Beliau menjawab, "Jika engkau membuat tandingan bagi Allah,

padahal Dialah yang menciptakan kami." "Kemudian apa lagi?" tanyaku. Beliau menjawab, "Jika engkau membunuh anakmu karena takut dia makan bersamamu." "Kemudian apa lagi?" tanyaku. Beliau menjawab, "Jika engkau berzina dengan istri tetanggamu." Kemudian Allah menurunkan ayat yang membenarkan sabda beliau ini,

"Dan, orang-orang yang tidak menyembah sesembahan lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina." (Al-Furqan: 68).

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda :

"Jauhilah oleh kalian tujuh kedurhakaan". Mereka bertanya, "Apakah itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri saat pertempuran, menuduh wanita-wanita suci yang lalai dan beriman."

Dalam hadits lain juga disebutkan, bahwa yang termasuk dosa besar adalah mencaci bapak dan ibu seseorang serta mencemarkan nama baik orang lain tanpa alasan yang dibenarkan.

Abdullah bin Mas'ud Radhiallau Anhu berkata, "Dosa-dosa besar yang paling besar adalah: Syirik kepada Allah, merasa aman dari tipu daya Allah, putus asa dari rahmat Allah dan karunia-Nya."

Sa'id bin Jubair berkata, "Ada seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas tentang dosa-dosa besar, apakah jumlahnya ada tujuh? Maka Ibnu Abbas menjawab, "Jumlahnya lebih dekat dengan tujuh ratus macam. Hanya saja tidak ada istilah dosa besar selagi disertai istighfar, dan tidak ada istilah dosa kecil selagi dilakukan terus-menerus. Segala sesuatu yang dilakukan untuk mendurhakai Allah, disebut dosa besar. Maka barangsiapa yang melakukan sebagian dari dosa itu, hendaklah memohon ampunan kepada Allah, karena Allah tidak mengekalkan seseorang dari umat ini di dalam neraka kecuali orang yang keluar dari Islam, atau mengingkari satu kewajiban atau mendustakan takdir."

Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu Anhu berkata, "Apa yang dila-rang Allah dari awal surat An-Nisa' hingga ayat 31, semuanya adalah dosa besar."

Adh-Dhahhak berkata, "Dosa besar adalah dosa yang telah diperingatkan Allah, berupa hukuman yang pasti di dunia dan siksa di akhirat."

Sufyan Ats-Tsaury berkata, "Dosa-dosa besar ialah segala dosa yang di dalamnya terdapat kezhaliman antara dirimu dan orang lain. Sedangkan dosa kecil ialah yang di dalamnya ada kezhaliman antara dirimu dan Allah, sebab Allah Maha Murah hati dan pasti mengampuni."

Menurut pendapat saya, yang dimaksudkan Sufyan, bahwa dosa antara hamba dan Allah lebih mudah urusannya daripada kezhaliman terhadap manusia, karena dosa ini

dapat hilang dengan istighfar, ampunan, syafaat dan lain-lainnya. Sedangkan kezhaliman terhadap manusia, maka harus ada pembebasan darinya.

Menurut Malik bin Mighwal, dosa besar adalah dosanya para ahli bid'ah, sedangkan kesalahan adalah dosanya Ahlus-sunnah. Menurut pendapat saya, yang dimaksudkan Malik, bahwa bid'ah itu termasuk dosa besar dan ia merupakan dosa besar Ahlus-sunnah yang paling besar. Sedangkan dosa-dosa besar yang dilakukan Ahlus-sunnah merupakan dosa kecil jika dibandingkan dengan bid'ah. Inilah maksud perkataan sebagian salaf, "Bid'ah adalah kedurhakaan yang paling disukai Iblis, karena dosa

bid'ah itu tidak diampuni sedangkan dosa kedurhakaan diampuni."

Ada pula yang berpendapat, dosa besar adalah dosa yang disengaja, sedangkan kesalahan adalah kelalaian dan sesuatu yang terpaksa dilakukan. Menurut pendapat saya, ini merupakan definisi yang paling lemah.

Ada pula yang berpendapat, dosa besar adalah dosa yang dianggap kecil oleh hamba, sedangkan dosa kecil adalah dosa yang dianggap besar, sehingga dia takut untuk melakukannya.

Masih banyak pendapat-pendapat lain yang mendefinisikan dosa besar dan dosa kecil, dan masing-masing mempunyai hujjah dan alas an yang mendukung pendapatnya. Tapi pada intinya, dosa-dosa besar tidak melenceng jauh dari perkara-perkara yang telah mereka sebutkan di atas, sekalipun apa yang mereka definisikan itu perlu uraian lebih lanjut dan tidak mutlak benar.

Jenis-jenis Dosa Yang Harus Dimintakan Ampunan (Taubat)

Seorang hamba tidak berhak mendapat sebutan "Orang yang bertaubat" kecuali setelah dia membebaskan diri dari perkara-perkara yang harus dimintakan ampunan, yang jenisnya ada dua belas, seperti yang disebutkan di dalam Kitab Allah, yang semuanya merupakan jenis-jenis perkara yang diharamkan, yaitu: Kufur, syirik, nifaq, fusuk, kedurhakaan, dosa, pelanggaran, kekejian, kemungkaran, aniaya, mengeluarkan perkataan terhadap Allah tanpa dilandasi ilmu dan mengikuti selain jalan orang-orang Mukmin.

Dua belas jenis ini merupakan poros dari berbagai macam perkara yang diharamkan Allah. Pada diri seseorang ada beberapa perkara dari jenis-jenis ini, dalam jumlah yang lebih banyak atau lebih sedikit, atau hanya ada satu saja, dan bisa jadi dia mengetahuinya atau bisa jadi dia tidak mengetahuinya. Sementara at-taubatun-nashuh ialah membebaskan diri dari perkara-perkara ini, melindungi diri dan wawas diri agar tidak terseret kepadanya. Tapi yang bisa membebaskan diri darinya ialah orang yang mengetahuinya. Saya perlu menguraikan masing-masing jenis dan cabangcabangnya, agar ada kejelasan batasan dan hakikatnya.

Uraian ini termasuk uraian yang paling banyak manfaatnya dari keseluruhan kandungan buku ini, dan setiap hamba sangat membutuhkannya.

  • Kufur

Kufur ada dua macam: Kufur besar dan kufur kecil. Kufur besar mengakibatkan kekekalan di dalam neraka, sedangkan kufur kecil layak mendapatkan ancaman siksa dan tidak mengakibatkan kekekalan di dalam neraka, seperti yang disebutkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yaitu mencela nasab, meratapi orang yang meninggal dunia, menyetu-buhi istri pada duburnya, mendatangi dukun dan peramal, yang semuanya disebut dengan istilah kufur, atau seperti firman Allah :

"Dan, barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka merekalah orang-orang yang kufur." (Al- Maidah:44).

Menurut Ibnu Abbas dan Thawus, ini merupakan kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama. Tapi siapa yang melakukannya layak mendapat sebutan kufur, tidak seperti kufur kepada Allah dan hari akhirat." Atha' menyebutnya kufur tidakseperti kufuryang semestinya, zhalim tidak seperti zhalim yang semestinya, fusuk tidak seperti fusuk yang semestinya.

Ada yang mena'wili ayat ini sebagai berikut: Tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, karena mengingkarinya. Ada pula yang mena'wilinya sebagai berikut: Tidak memutuskan perkara me- nurut semua ketetapan yang diturunkan Allah. Ada pula yang mena'wilinya sebagai berikut: Memutuskan perkara secara sengaja dan bukan karena tidak tahu dan bukan kesalahan ta'wil, menurut ketetapan yang bertentangan dengan nash. Ada pula yang menganggapnya sebagai kufur yang mengeluarkan pelakunya dari agama.

Pendapat yang benar, memutuskan perkara tidak menurut apa yang diturunkan Allah bisa berarti dua jenis kufur, kecil dan besar, tergantung dari keadaan pelakunya. Siapa yang meyakini keharusan memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, namun dia menyimpang darinya karena durhaka, sementara dia juga mengakui bahwa dia layak mendapat hukuman, maka ini disebut kufur kecil. Jika dia yakin bahwa itu merupakan hukum Allah, namun dia yakin bahwa penerapannya tidak wajib dan boleh memilih yang lain, maka ini disebut kufur besar.

Kufur besar ada lima macam yaitu :

1. Takdzib : Kufur takdzib ialah keyakinan terhadap kedustaan para rasul. Tapi yangtermasuk jenis ini jarang terjadi di kalangan orang-orang kafir.

2. Kufur istikbar atau iba' ialah seperti kufurnya Iblis. Dia tidak mengingkari adanya perintah Allah, namun dia tidak patuh karena rasa takabur di dalam dirinya. Yang termasuk jenis ini adalah kufurnya orang yang mengakui kebenaran para rasul, namun dia tidak mau mengikutinya karena rasa takabur. Ini adalah kufurnya musuh-musuh para rasul, seperti kufurnya Fir'aun dan para pengikutnya dan kufurnya Abu Thalib.

3. Kufur i'radh artinya berpaling dari Rasul dengan pendengaran atau hatinya, tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan, tidak menolong dan tidak pula me-musuhinya serta tidak peduli terhadap apa yang dibawanya, seperti kata seseorang dari Bani Abdi Yalail kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Demi Allah, aku akan mengatakan satu kalimat kepadamu, jika engkau benar, maka engkau lebih mulia untuk kutolak, dan jika engkau dusta, maka engkau lebih hina daripada aku harus berbicara denganmu."

4. Kufur syakk artinya tidak pernah memiliki kemantapan hati untuk membenarkan atau mendustakan rasul, tapi selalu ada keragu-raguan dalam dirinya. Keragu-raguan ini akan terus membayang jika dia tidak mau melihat bukti-bukti kebenaran Rasululullah, tidak mau mendengar dan tidak mau mem-perhatikannya. Padahal kejelasan bukti ini seperti kejelasan matahari pada siang hari.

5. Kufur nifaq artinya memperlihatkan iman dengan lisannya, namun memendam pendustaan di dalam hatinya. Ini merupakan nifaq yang paling besar, dan di bagian mendatang akan diuraikan macam-macamnya.

  • Syirik

Syirik besar tidak akan diampuni Allah kecuali dengan taubat, yaitu membuat tandingan bagi Allah, pelakunya mencintai tandingan ini seperti cintanya kepada Allah. Ini merupakan syirik seperti syiriknya orang-orang musyrik yang menyama-kan sesembahannya dengan Allah Rabbul- 'alatnin. Sementara mereka tetap mengakui bahwa hanya Allah semata yang menciptakan segala sesuatu, penguasa dan rajanya, sementara sesembahan mereka tidak mampu mencipta, memberi rezki, menghidupkan dan mematikan. Penyamaan ini hanya dalam kecintaan, pengagungan dan penyembahan, seperti keadaan mayoritas orang-orang musyrik di mana pun jua, atau bahkan setiap orang musyrik. Mereka mencintai, mengagungkan, memuja dan membela sesembahannya selain Allah itu, dan bahkan mereka lebih mencintainya daripada cinta mereka kepada Allah. Mereka lebih marah jika sesembahannya dicaci daripada kemarahan mereka jika Allah dicaci.

Begitulah keadaan para penyembah berhala, yang menjadikan bebatu-an, pepohonan atau benda mati apa pun sebagai sesuatu yang dipuja-puja. Allah befirman tentang para pendahulu orang-orang musyrik,

"Dan, orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), 'Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya'." (Az-Zumar: 3).

Mereka merasa yakin di dalam hati bahwa sesembahan-sesembahan itu akan memberi syafaat (pertolongan) kepada mereka di sisi Allah. Maka Allah menyanggah anggapan mereka ini, bahwa semua syafaat ada di Tangan Allah. Tak seorang pun bisa memberi syafaat di sisi-Nya kecuali setelah mendapat izin Allah untuk memberikan

syafaat, yang perkataan dan perbuatannya diridhai, dan mereka ini adalah ahli tauhid. Syafaat yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya adalah syafaat yang keluar dari izin-Nya. Diantara kebodohan orang musyrik ialah keyakinannya bahwa siapa yang dijadikannya sebagai penolong atau pemberi syafaat, bisa memberi syafaat dan manfaat kepadanya di sisi Allah, seperti lazimnya pertolongan yang diberikan para pemimpin dan penguasa terhadap rakyat-nya. Mereka tidak sadar bahwa siapa pun tidak akan bisa memberi syafaat di sisi Allah kecuali yang mendapat izin-Nya. Sementara tak seorang pun yang diberi izin oleh Allah kecuali yang perbuatan dan perkataannya diridhai Allah.

syirik kecil seperti sedikit riya', mencari muka di hadapan manusia, bersumpah dengan selain Allah, perkataan seseorang kepada orang lain, "Menurut kehendak Allah dan kehendakmu", atau perkataannya, "Ini berasal dari Allah dan darimu", atau perkataannya, "Aku bergantung kepada Allah dan juga kepadamu", atau perkataannya, "Kalau bukan dirimu, tentu hal ini tidak akan terjadi". Tapi perkataan seperti ini bisa berubah menjadi syirik besar, tergantung kepada siapa yang mengatakannya dan apa tujuannya. Macam-macam syirik ini banyak sekali dan hampir tak terhitung banyaknya, yang tidak cukup bila disebutkan satu-persatu di sini.

  • Nifaq

Nifaq merupakan penyakit yang tersembunyi di dalam batin, yang bisa memenuhi seluruh batin dan hatinya, sementara dia tidak menyadarinya, sebab hal ini tidak bisa diketahui orang lain. Nifaq ini tersembunyi karena keadaannya yang samar-samar. Dia mengira nifaq itu bagus, tapi ternyata merusak.

Nifaq besar mengakibatkan kekekalan di dalam neraka dan berada di lapisan paling bawah. Gambarannya, orang munafik menampakkan iman kepada Allah, para malaikat, kitab, para rasul dan hari akhirat di hadapan orang-orang Muslim, padahal di dalam batinnya dia tidak memiliki iman itu. Dia tidak beriman bahwa Allah menurunkan wahyu kepada manusia yang dijadikan-Nya sebagai rasul, yang memberi petunjuk, peringatan dan ancaman.

Allah telah menyibak tabir orang-orang munafik dan mengungkap rahasia mereka di dalam Al-Qur'an. Perkara mereka dijelaskan di hadapan orang lain, agar menjadi peringatan. Di awal surat Al-Baqarah disebutkan tiga macam golongan manusia yang ada di dunia ini, yaitu: Orang-orang Mukmin, orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Empat ayat tentang orang-orang Mukmin, dua ayat tentang orang-orang kafir dan tiga belas ayat tentang orang-orang munafik. Ayat tentang mereka lebih banyak jumlahnya, karena jumlah mereka yang cukup banyak dan cobaan yang mereka akibatkan lebih menyeluruh serta lebih membahayakan Islam dan para pemeluknya. Cukup berat cobaan yang harus ditanggung Islam, karena mereka menisbatkan diri kepada Islam, menunjukkan loyalitas kepada Islam, padahal hakikatnya mereka adalah musuh Islam.

Demi Allah, berapa banyak orang yang seakan membela Islam, padahal sebenarnya dia menghancurkan Islam. Berapa banyak orang yang membangun fondasi benteng, padahal sebenarnya dia merusaknya. Islam dan para pemeluknya senantiasa dalam intaian bahaya karena keberadaan mereka.

Inilah gambaran keadaan mereka yang disebutkan secara berurutan dalam surat Al-Baqarah, dari ayat 8 hingga ayat 20:

Ayat 8 : Mereka mengenakan pakaian iman, sedang di dalam hatinya ada perasaan sesal dan merugi, dusta dan pengingkaran. Lidah mereka lidah orang yang pasrah, sedang batin mereka lebih dekat dengan orang-orang kafir.

Ayat 9 : Modal mereka adalah tipuan dan makar. Barang dagangan mereka kedustaan dan pengkhianatan. Mereka mempunyai logika agar tetap eksis, yaitu memperlihatkan keridhaan kepada kedua belah pihak, sehingga mereka tetap merasa aman.

Ayat 10 : Penyakit syubhat dan syahwat menyusup ke dalam hati mereka lalu merusaknya. Maksud yang buruk menguasai kehendak mereka dan niat mereka rusak, lalu menyeret mereka kepada kebinasaan yang tidak bisa diobati oleh dokter.

Ayat 11 & 12: Siapa yang bejana imannya disusupi keragu-raguan mereka, maka imannya akan tercabik-cabik, siapa yang pendengarannya dipengaruhi syubhat kesamar-samaran mereka, maka keyakinan di dalam hatinya akan hilang, karena kerusakan mereka di muka bumi amat ba-nyak, namun mereka tidak mau mengakuinya.

Ayat 13 : Seseorang yang berpegang kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dalam pandangan mereka adalah orang yang berpegang kepada benda mati, dianggap kurang beres akalnya. Orang yang melaksanakan nash menurut pandangan mereka seperti keledai yang membawa kitab suci. Dagangan pedagang wahyu menurut pandangan mereka tidak laku dan mereka tidak mau menerimanya. Orang yang mengikuti Rasul menurut pandangan mereka termasuk orang-orang bodoh, dan mereka akan mengejeknya.

Ayat 14: Masing-masing di antara mereka mempunyai dua wajah. Wajah saat berhadapan dengan orang-orang Mukmin, dan satu wajah lagi saat mereka berkumpul dengan rekan-rekan segolongannya. Mereka juga mempunyai dua lidah, satu lidah dipergunakan jika bersama orang-orang Muslim, dan satu lidah lagi dipergunakan untuk menerjemahkan rahasia yang terpendam di dalam hati mereka.

Ayat 15: Mereka berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah, karena hen-dak mengolok-olok dan mengejek orang-orang yang berpegang kepada keduanya.

Ayat 16: Mereka keluar mencari perniagaan yang sia-sia di tengah lautan kegelapan, sambil naik perahu keragu-raguan dan berlayar di tengah gelombang hayalan yang tidak pasti. Perahu mereka pun terom-bang-ambing dihembus badai hingga mereka pun terhempas dalam kebinasaan.

Ayat 17: Api iman menyala di dekat mereka sehingga dengan ca-hayanya mereka bisa melihat tempat-tempat yang berdasarkan petunjuk dan tempat yang menyesatkan. Tapi kemudian cahayanya padam dan tinggal setitik api yang kadang menyala dan kadang tidak, sehingga mereka tersiksa dengan keadaan itu, kemudian mereka sama sekali tidak bisa melihat.

Ayat 18: Pendengaran, penglihatan dan lidah mereka sudah tertu-tup kerak, sehingga mereka tidak bisa mendengar seruan iman, tidak bisa melihat hakikat Al-Qur'an dan tidak bisa mengatakan kebenaran.

Ayat 19: Hujan wahyu turun kepada mereka, yang di dalamnya ter-hadap kehidupan bagi hati dan ruh. Tapi yang mereka dengar dari hujan itu hanya suara petir peringatan, ancaman dan kewajiban yang dibebankan kepada mereka setiap pagi dan petang. Maka mereka menyumbatkan jari ke lubang telinga mereka dan merekapun lari.

Ayat 20: Dalam hujan lebat itu mereka tidak bisa melihat hanya dengan mengandalkan kilat yang menyambar, dan pendengaran mereka tidak mampu mendengar petir janji, perintah dan larangan. Mereka pun berdiri dalam keadaan bingung di hamparan tanah yang kering kerontang.

Masih banyak sifat orang-orang munafik lainnya dan penggambar-an tentang diri mereka yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sun-nah.

  • Fusuk dan Kedurhakaan

Fusuk disebutkan dalam dua macam dalam Al-Qur'an: Fusuk yang disebutkan sendirian, dan fusuk yang dikaitkan dengan kedurhakaan. Yang disebutkan sendirian ada dua macam: Fusuk kufur yang mengeluar-kan pelakunya dari Islam, dan fusuk yang tidak mengeluarkannya dari Islam.

Fusuk kufur seperti firman Allah :

"Dan, adapun orang-orang yang fasik, maka tempat mereka adalah neraka. Setiapkali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya." (As-Sajdah: 20).

fusuk yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam seperti firman Allah,

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti." (Al-Hujurat: 6).

Ayat ini turun berkenaan dengan Al-Walid bin Uqbah bin Abu Mu'aith yang memanipulasi berita.

Fusuk yang dikaitkan dengan kedurhakaan ialah melakukan apa yang dilarang Allah. Kedurhakaan di sini artinya mendurhakai perintah. Penggunaan lafazh fusuk lebih

tertuju kepada pelaksanaan apa yang dilarang, sedangkan kedurhakaan lebih tertuju kepada menyalahi dan melanggar perintah. Namun melakukan apa yang dilarang juga bisa berarti kedurhakaan jika kata ini disebutkan sendirian. Jika disertakan dengan kata yang lain, maka pengertiannya seperti di atas.

Fusuk keyakinan ialah seperti fusuknya ahli bid'ah. Mereka beriman kepada Allah, Rasul-Nya hari akhirat, mengharamkan apa yang diharamkan Allah, melaksanakan apa yang diwajibkan Allah, tetapi mereka meniadakan sekian banyak ketetapan Allah dan Rasul-Nya, entah kare-na kebodohan, ta'wil atau taqlid kepada guru, lalu mereka menetapkan sesuatu yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.

Taubat dari fusuk ialah dengan menetapkan bagi dirinya seperti

yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, tanpa merubah atau pun mengganti.

  • Dosa dan Pelanggaran

Dosa dan pelanggaran merupakan pasangan, seperti firman-Nya,

"Dan, tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al-Maidah: 2).

Jika masing-masing dipisahkan, maka yang satu mencakup yang lainnya, sebab setiap dosa merupakan pelanggaran dan setiap pelanggaran adalah dosa, sebab keduanya berarti melaksanakan apa yang dilarang Allah dan meninggalkan apa yang diperintahkan-Nya, atau dengan kata lain merupakan pelanggaran terhadap perintah dan larangan-Nya, dan setiap pelanggaran adalah dosa. Tetapi jika keduanya dipasangkan, maka masing-masing bisa berdiri sendiri, tergantung kaitan dan sifatnya.

Dosa ialah sesuatu yang diharamkan dari segi jenisnya, seperti dusta, zina, minum khamr dan lain-lainnya. Sedangkan pelanggaran ialah sesuatu yang diharamkan dari segi porsi dan tambahannya. Pelanggaran artinya tindakan yang melampaui batas dari apa yang diperbolehkan ke porsi yang diharamkan dan ukuran yang berlebihan, seperti berlebihan dalam mengambil hak dari orang yang justru seharusnya dia memberikan hak itu kepada orang tersebut, entah berupa perampasan hartanya, badan atau kehormatannya. Jika orang yang dilanggar marah, maka orang yang melanggar justru lebih marah kepadanya. Jika orang yang dilanggar mengeluarkan perkataan yang pedas, maka perkataan orang yang melanggar justru lebih pedas lagi. Ini semua disebut pelanggaran dan perbuatan yang menyimpang dari keadilan.

Pelanggaran terhadap hak Allah seperti melanggar sesuatu yang diperbolehkan untuk dilakukan, semacam bersetubuh dengan istri, lalu melakukan persetubuhan dengan selain istri. Bisa juga berupa pelanggaran apa yang diperbolehkan saat berhubungan dengan istri, lalu melakukan persetubuhan yang dilarang, seperti menyetubuhi istri saat haid, nifas, puasa, di dubur dan lain-lainnya.

Pelanggaran terhadap hak Hamba / porsi yang diperbolehkan, lalu melakukannya dengan porsi yang lebih banyak, seperti memandang wanita yang hendak dilamar, kesaksian, mu'amalah, berobat dan lain-lainnya.

  • Kekejian dan Kemungkaran

Kekejian merupakan sifat dari sesuatu yang disifati, yang artinya perbuatan atau sesuatu yang keji, yang keburukannya jelas tampak dihadapan siapa pun dan tidak bisa dipungkiri siapa pun yang pikirannya masih waras. Maka terkadang kekejian ini juga ditafsiri dengan perbuatan zina dan homoseks. Allah menyebutnya fahisyah, karena keburukannya yang tidak mungkin dicegah. Namun perkataan yang buruk juga bisa disebut kekejian, yaitu perkataan yang jelas tampak keburukannya, seperti umpatan, tuduhan atau yang sejenisnya.

Kemungkaran juga merupakan sifat dari sesuatu yang disifati, atau perbuatan yang mungkar. Artinya perbuatan yang diingkari akal dan fitrah. Penisbatan kemungkaran ke akal seperti penisbatan bau busuk yang sampai ke indera penciuman, pemandangan buruk yang sampai ke indera penglihatan, makanan tidak enak yang sampai ke indera rasa, suara sumbang yang sampai ke indera pendengaran. Tentu saja akal dan fitrah akan menolaknya, karena itu merupakan kekejian, seperti penolakan setiap indera ini. Yang mungkar menurut akal ialah sesuatu yang tidak dikenalinya dan tidak bisa diterima. Sedangkan keburukan yang dibenci dan dihindari adalah kekejian. Karena itu Ibnu Abbas ber-ata, "Kekejian adalah zina dan kemungkaran adalah sesuatu yang tidak dikenal dalam syariat dan As-Sunnah."

  • Mengada-adakan terhadap Allah Tanpa Dilandasi Ilmu

Mengatakan terhadap Allah tanpa dilandasi ilmu merupakan perbuatan haram yang paling haram dan paling besar dosanya. Maka hal ini disebutkan pada tingkatan keempat dari perkara-perkara yang diharamkan, yang pengharamannya telah disepakati berbagai syariat dan agama, dalam keadaan bagaimana pun tidak diperbolehkan dan apapun bentuknya tetap haram, tidak seperti bangkai, darah dan daging babi, yang dalam kondisi tertentu masih diperbolehkan.

Hal-hal yang diharamkan itu ada dua macam: Yang diharamkan berdasarkan barangnya, tidak diperbolehkan dalam keadaan bagaimana pun juga, dan yang diharamkan menurut pertimbangan waktunya. Allah telah menjelaskan di dalam surat Al-A'raf: 33, empat tingkatan hal-hal yang diharamkan dilihat dari jenis barangnya, dari yang lebih ringan ke tingkatan berikut yang lebih berat dan lebih besar. Perhatikanlah baik-baik masalah ini :

"Katakanlah, 'Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak atau pun yang tersembunyi." Kemudian menanjak ke tingkatan yang lebih besar lagi, "Perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar."

Kemudian menanjak ke tingkatan yang lebih besar lagi, "Mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu."

Kemudian menanjak ke tingkatan yang paling besar, "Mengada-adakan terhadap Allah apa-apa yang tidak kalian ketahui."

Mengada-adakan sesuatu terhadap Allah merupakan keharaman yang paling besar dan paling berat dosanya, karena di dalamnya terkandung kedustaan terhadap Allah, menisbatkan sesuatu yang tidak layak kepada- Nya, merubah agama-Nya, meniadakan apa yang ditetapkan-Nya dan menetapkan apa yang ditiadakan-Nya, memusuhi siapa yang ditolong-Nya dan menolong siapa yang dimusuhi-Nya, mencintai apa yang dibenci-Nya dan membenci apa yang dicintai-Nya, dan memberikan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya terhadap Dzat, sifat, perkataan dan perbuatan-Nya.

Tidak ada jenis hal-hal yang diharamkan yang lebih berat dosanya daripada mengada-adakan terhadap Allah sesuatu yang tidak diketahui, sebab ini merupakan cikal bakal syirik dan kufur, dasar bid'ah dan kesesat-an. Setiap bid'ah yang dianggap sesat dalam agama karena bermula dari mengada-adakan sesuatu terhadap Allah tanpa dilandasi ilmu. Karena itu orang-orang salaf sangat gencar pengingkarannya terhadap bid'ah ini dan memperingatkan semua orang tentang bahaya-bahayanya. Pengingkaran mereka terhadap bid'ah jauh lebih keras daripada pengingkaran terhadap kemungkaran, kekejian, kezhaliman dan pelanggaran, sebab dampak negative dari bid'ah terhadap agama juga lebih keras. Allah juga sangat mengingkari orang yang menisbatkan kepada agama-Nya, dengan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, yang katanya itu datang dari Allah. Firman-Nya :

"Dan, janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta, 'Ini halal dan ini haram', untuk mengadaadakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (An- Nahl: 116).

Di antara orang salaf ada yang berkata, "Hendaklah seseorang di antara kalian waspada untuk mengatakan, 'Allah menghalalkan ini dan mengharamkan yang itu', lalu Allah berkata kepadanya, 'Engkau dusta, karena Aku tidak menghalalkan ini dan tidak pula mengharamkan itu'." Mengada-adakan sesuatu terhadap Allah lebih umum daripada syirik, dan syirik merupakan bagian dari perbuatan ini. Karena itu kedustaan terhadap Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyeret pelakunya ke neraka. Semua dosa ahli bid'ah masuk dalam dosa jenis ini, dan taubat darinya hanya bisa dilakukan dengan taubat dari segala bid'ah. Tapi bagaimana mungkin pelakunya mau taubat dari bid'ah, sementara dia tidak mau mengakui bahwa perbuatannya adalah bid'ah?

Taubat Orang Yang Tidak Mampu Memenuhi Hak atau Melaksanakan Kewajiban Yang Dilanggar Ini termasuk pernik-pernik hukum taubat dan permasalahannya, yaitu

berkaitan dengan orang yang melanggar hak, namun ternyata dia juga tidak mampu memenuhi hak itu. Karenanya dia bertaubat. Lalu bagaimana hukum taubatnya?

Hal ini dikaitkan dengan hak Allah dan hak hamba. Kaitannya dengan hak Allah seperti orang yang meninggalkan shalat fardhu secara sengaja dan tanpa ada alasan yang diperbolehkan, padahal dia juga tahu kewajibannya. Lalu dia bertaubat dan menyesal. Orang-orang salaf saling berbeda pendapat tentang masalah ini.

Ada golongan yang mengatakan, taubatnya dengan cara menyesali tindakannya, melaksanakan kewajiban-kewajiban pada masa berikutnya dan mengqadha' kewajiban yang ditinggalkan. Ini merupakan pendapat empat imam dan juga lain-lainnya.

Ada pula yang berpendapat, taubatnya dengan melaksanakan kewajiban pada masa mendatang dan qadha'nya terhadap kewajiban yang pernah ditinggalkan tidak memberikan manfaat apa-apa, tidak diterima dan tidak wajib. Ini merupakan pendapat Az-Zhahir dan sebagian orang-orang salaf.

Hujjah golongan yang mewajibkan qadha' adalah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Barangsiapa tertidur dan ketinggalan mendirikan shalat atau melalaikannya, maka hendaklah dia mendirikannya jika sudah mengingatnya."

Inilah beberapa hujjah yang dikemukakan golongan kedua:

- Jika qadha' diwajibkan terhadap orang yang tertidur dan lalai, yang berarti dia tidak sengaja meninggalkannya, maka kewajiban qadha' jauh lebih ditekankan terhadap orang yang sengaja meninggalkannya.

- Ada dua macam kewajiban yang harus dia tanggung: Shalat dan pelaksanaannya pada waktunya. Jika salah satu ditinggalkan, maka kewajiban yang ditinggalkan masih menyisa satu lagi.

- Jika seorang hamba tidak mendapatkan kemaslahatan perbuatan, maka dia bisa mendapatkannya menurut cara yang dimungkinkan. Karena dia tidak memperoleh kemaslahatan perbuatan pada waktu yang telah ditetapkan, maka dia bisa mendapatkannya dengan cara yang dimungkinkan, yaitu di luar waktunya.

- Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Apabila aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah, maka kerjakanlah menurut kesanggupan kalian." Pelaksanaan apa yang diperintahkan ini bisa dilakukan di luar waktu, karena pelakunya tidak bisa

melaksanakan-nya pada waktu yang telah ditetapkan. Maka dia tetap harus melaksa-nakannya menurut kesanggupannya.

- Apa anggapan orang terhadap syariat, karena ia membebaskan orang yang sengaja meninggalkan fardhu dan durhaka kepada Allah untuk meninggalkan fardhu itu, sementara ia mewajibkannya kepada orang meninggalkan fardhu itu dengan alasan tertidur atau lalai?

- Shalat di luar waktu merupakan pengganti daripada shalat pada waktunya. Jika ibadah ada penggantinya dan ada alasan dari apa yang diganti, maka apa yang diwajibkan bisa beralih kepada penggantinya, seperti tayammum sebagai pengganti wudhu', memberi makan orang miskin sebagai pengganti dari keharusan puasa, dan masih banyak contoh lain.

- Karena shalat itu merupakan hak yang ada batasan waktunya, maka penundaan pelaksanaannya tidak dianggap gugur kecuali dengan segera melaksanakannya di luar waktu, seperti hutang yang ditangguhkan pembayarannya.

- Memang dia tetap berdosa karena penundaannya, dan dosa ini tidak gugur karena qadha', seperti orang yang menunda pembayaran zakat dari waktu yang diwajibkan atau menunda pelaksanaan haji.

- Orang yang meninggalkan shalat Jum'at secara sengaja, maka dia adalah orang yang durhaka karena penundaannya. Maka dia harus mendirikan shalat zhuhur. Pengaitan zhuhur ini dengan Jum'at, sama dengan pengaitan pelaksanaan shalat subuh setelah matahari terbit dengan pelaksanaannya sebelum matahari terbit.

- Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menunda shalat ashar hingga setelah matahari terbenam pada waktu perang Ahzab. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaannya dimungkinkan di luar waktu secara sengaja, entah karena ada alasan seperti ini dan juga yang dilakukan para shahabat sewaktu perang Bani Quraizhah, atau pun tanpa ada alas an seperti orang yang menundanya secara sengaja.

- Andaikan shalat di luar waktu itu tidak sah dan tidak wajib, tentunya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak memerintahkan para shahabat untuk shalat kecuali setelah tiba di perkampungan Bani Quraizhah. Maka di antara mereka ada yang mengerjakan shalat ashar pada malam harinya, sementara beliau tidak menghardik mereka.

- Setiap orang yang bertaubat mempunyai jalan untuk bertaubat. Lalu mengapa jalan taubat ini harus ditutup dan dosa kesia-siaan harus ditanggungnya? Tentu saja hal ini tidak sejalan dengan kaidah syariat, hikmah dan rahmatnya, yang sangat memperhatikan kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat.

Dan, inilah hujjah-hujjah yang dikemukakan golongan lainnya, yang mengatakan bahwa qadha' itu tidak ada artinya, beserta sanggahan terhadap hujjah golongan yang pertama:

- Jika ada perintah ibadah dengan sifat dan waktunya yang tertentu, maka orang yang mendapat perintah tidak boleh melaksanakannya kecuali menurut ketentuan yang diperintahkan, yang mencakup sifat, waktu dan syaratnya.

- Mengeluarkan shalat dari waktu yang telah ditentukan sama seperti mengeluarkan shalat itu dari keharusan menghadap kiblat, sujud pada pipi sebagai ganti kening dan lain-lainnya.

- Ibadah yang sudah ada ketentuan waktunya, sama dengan ibadah yang sudah ada ketentuan tempatnya. Satu tempat tidak bisa menggantikan tempat lainnya, seperti tempat-tempat manasik haji. Thawaf di sekeliling Ka'bah tidak bisa dialihkan ke Arafah atau tempat lainnya. Begitu pula yang lainnya, dan begitu pula dengan ketentuan waktu

setiap ibadah. Memindahkan waktu shalat yang sudah ditetapkan ke waktu lain, seperti memindahkan waktu wuquf di Arafah ke Muzdalifah pada waktu yang lain, dan memindahkan bulan haji ke bulan lainnya.

- Orang-orang yang mengesahkan pelaksanaan shalat fardhu di luar waktunya (secara sengaja) tidak didukung nash, ijma' maupun qiyas yang benar. Kami juga akan menggugurkan semua qiyas yang mereka pergunakan dan kami juga akan menjelaskan ketidak akuratannya.

- Di dalam Musnad Al-Imam Ahmad dan juga lainnya disebutkan dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, "Barangsiapa tidak puasa sehari pada bulan Ramadhan tanpa ada alasan, maka dia tidak perlu mengqadha'nya dengan puasa setahun penuh." Lalu bagaimana mungkin mereka yang mengatakan bahwa dia harus mengqadha' sehari seperti yang ditinggalkannya?

- Karena ibadah yang sah seperti yang dijelaskan pembawa syariat, maka tidak ada yang bisa diketahui tentang sah tidaknya kecuali berdasarkan pengabaran beliau dan yang sesuai dengan perintah beliau. Maka bagaimana mungkin mereka bisa mengklaim sahnya shalat itu?

- Sah atau tidak sah itu merupakan dua hukum syariat, yang dikembalikan kepada pembawa syariat. Yang sah adalah yang dipersaksikan bahwa memang ibadah itu sah atau diketahui sejalan dengan perintahnya. Sementara shalat fardhu yang sengaja ditinggalkan ini tidak sejalan dengan kaidah ini. Letak kesalahannya, karena mereka membandingkannya dengan penundaan shalat karena memang ada alas an yang diperbolehkan. Dengan kata lain, mereka membandingkan sesuatu justru dengan sesuatu yang berlawanan. Berarti ini merupakan qiyas yang tidak sah.

- Dalil yang mereka pergunakan, yaitu sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Barangsiapa tertidur dan ketinggalan mendirikan shalat atau melalaikannya, maka hendaklah dia mendirikannya jika sudah mengingatnya", bahwa qadha' diwajibkan terhadap orang yang meninggalkan shalat karena alasan tertentu, sehingga siapa yang meninggalkannya justru lebih wajib, ini merupakan hujjah yang justru menjadi bumerang. Beliau mensyaratkan dua alasan meninggalkan pelaksanaan shalat itu hingga setelah lewat dari waktunya, yaitu tertidur dan lalai. Sesuatu yang digantungkan kepada syarat, akan dianggap tidak ada jika syaratnya juga tidak ada. Berarti qiyas yang seharusnya mereka pergunakan ialah membandingkannya dengan orang durhaka yang layak mendapat hukuman.

- Waktu shalat bisa dibagi menjadi tiga macam: Pertama, waktu bagi orang yang mampu, terjaga, ingat dan tidak ada rintangan, yang jumlahnya ada lima. Kedua, waktu bagi orang yang ingat, terjaga dan ada rintangan, yang jumlahnya ada tiga: Waktu zhuhur dan ashar, maghrib dan isya' dan subuh. Ketiga, waktu bagi orang yang tidak dianggap mukallaf, yaitu karena tertidur dan lalai. Yang ketiga ini tidak ada batasannya sama sekali. Waktunya ialah setelah dia terjaga dan ingat. Tidak ada waktu shalat selain yang tiga macam ini.

- Menurut hujjah golongan yang pertama, bahwa ada dua kewajiban yang ditanggungnya, yaitu shalat dan pelaksanaannya pada waktunya. Jika satu ditinggalkan, maka akan menyisakan satunya lagi. Yang seperti ini berlaku jika yang satu tidak berkait dengan satunya lagi dalam kaitan syarat, seperti orang yang diperintahkan untuk menunaikan haji dan zakat. Jika satu dikerjakan, tidak akan menggugurkan satunya lagi. Tapi jika salah satu merupakan syarat bagi yang lain, maka bagaimana mungkin dia diperintahkan untuk mengerjakan yang satu tanpa yang lainnya?

- Tentang sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Apabila aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah, maka kerjakanlah menurut kesanggupan kalian", terlalu jauh untuk dijadikan hujjah. Sabda beliau ini menunjukkan bahwa orang yang mukallaf dalam keadaan tidak mampu untuk mengerjakan sejumlah perintah, sehingga dia cukup mengerjakan apa yang disanggupinya, seperti orang yang tidak mampu berdiri sewaktu shalat, atau menyempurnakan anggota wudhu', atau menginfakkan harta yang wajib diinfakkan, atau lain-lainnya, sehingga dia bisa mengerjakannya menurut kesanggupannya dan dia dimaafkan tentang apa yang ada di luar kesanggupannya. Tapi orang yang tidak melaksanakan apa yang diperintahkan hingga keluar dari waktunya secara sengaja atau meremehkannya tanpa ada alasan, maka tidak perlu dibicarakan lagi di sini, karena permasalahannya sudah jelas.

- Perkataan golongan pertama, "Apa anggapan orang terhadap syariat, karena ia membebaskan orang yang sengaja meninggalkan fardhu dan durhaka kepada Allah untuk meninggalkan fardhu itu, sementara ia mewajibkannya kepada orang meninggalkan fardhu itu dengan alasan", sulit diterima. Karena orang yang berhalangan melaksanakan shalat itu melaksanakannya sesuai dengan perintah seperti pada saat-nya.

- Perkataan golongan pertama, "Shalat di luar waktu merupakan pengganti daripada shalat pada waktunya. Jika ibadah ada penggantinya dan ada alasan dari apa yang diganti, maka apa yang diwajibkan bisa beralih kepada penggantinya", hanya sekedar isapan jempol dan pernyataan yang dibuat sepintas lalu saja. Apa dalil yang menunjukkan bahwa shalat orang yang mengabaikan itu ada penggantinya? Sesuatu dianggap sebagai pengganti bisa diketahui dari apa yang ditetapkan syariat, seperti pensyariatan tayammum saat tidak sanggup menggunakan air dan makan saat tidak kuat berpuasa.

- Mengerjakan shalat di luar waktunya dianggap sah, yang diqiyaskan kepada pembayaran hutang di antara manusia, yang dianggap sah jika dilaksanakan di luar waktu yang telah ditetapkan, jelas merupakan qiyas yang tidak tepat. Sebab waktu pembayaran hutang tidak memiliki batasan seperti halnya shalat.

- Tentang Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menunda shalat ashar hingga setelah tenggelamnya matahari sewaktu perang Ahzab, maka ada dua pendapat di antara para ulama, apakah hal ini mansukh (dihapus) atau tidak? Jumhur, seperti Ahmad, Asy-Syafi'y dan Malik berpendapat, ini terjadi sebelum turunnya shalat khauf. Karena itu masalah ini pun dianggap hangus dengan datangnya shalat khauf. Penundaan itu mirip dengan penundaan karena ada dua shalat yang dijama'. Jadi tidak shalat ashar pada waktunya jangan dianggap sama dengan sesuatu yang diharamkan. Pendapat kedua mengatakan bahwa kejadian ini tidak dihapus. Orangyang sedang berperang mempunyai hak untuk menunda shalatnya, karena dia sibuk dengan urusan peperangan, lalu mengerjakannya pada saat yang memungkinkan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan juga ada riwayat dari Ahmad. Berdasarkan dua pendapat ini, maka menunda shalat dengan sengaja tidak diang gap sah. Begitu pula yang dilakukan para shahabat saat menunda shalat ashar sewaktu perang Bani Quraizhah. Bahkan penundaan itu berdasarkan perintah dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ini menurut pendapat Ahli Zhahir. Sementara ada pula yang menganggap penundaan itu memerlukan ta'wil. Karena itu beliau tidak menghardik salah satu pihak di antara para shahabat.

- Tentang perkataan golongan pertama, "Setiap orang yang bertaubat mempunyai jalan untuk bertaubat. Lalu mengapa jalan taubat ini harus ditutup dan dosa kesia-siaan harus ditanggungnya?", tentu saja tidak mungkin bagi Allah untuk menutup pintu yang telah dibukakan-Nya bagi semua hamba yang berdosa, hingga mereka meninggal dunia, semenjak matahari terbit dari tempat tenggelamnya. Tapi yang perlu dipertimbangkan adalah cara taubat dan penerapannya. Apakah jelas ada kepastian hukum bahwa shalat itu memang perlu diqadha' dan apa yang telah dilakukannya itu dianggap angin lalu, bukan merupa kan pahala baginya dan bukan merupakan dosa di pundaknya? Apa kah hukumnya seperti orang kafir yang masuk Islam, sehingga amalnya dianggap tidak ada dan taubatnya langsung diterima?

Sedangkan taubat orang yang tidak sanggup memenuhi hak, yang berkaitan dengan hak manusia, bisa digambarkan lewat beberapa masalah berikut ini.

Pertama: Seseorang mengambil harta orang lain, kemudian pada kesempatan lain dia bertaubat namun tidak mampu mengembalikan apa yang telah diambilnya itu kepada pemiliknya atau kepada ahli warisnya, karena dia tidak mengenal mereka atau alasan lainnya. Ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.

Ada golongan yang berpendapat, taubatnya tidak berarti sama sekali kecuali dengan mengembalikan hak kepada orang yang berhak menerimanya. Jika dia tidak sanggup, maka taubatnya juga tidak bisa diterima. Maka pada hari kiamat nanti akan diberlakukan qishash berdasarkan kebaikan dan keburukannya.

Menurut pendapat mereka, karena hal ini berkait dengan hak manu-sia yang lepas darinya. Sementara Allah tidak membiarkan sedikit pun di antara hak-hak hamba, sehingga sebagian memenuhi hak itu terhadap sebagian yang lain, tidak ada kezhaliman orang yang zhalim. Orang yang dizhalimi harus mengambil hak dari orang yang menzhaliminya, seka-lipun itu hanya berupa satu tamparan, serangan kata-kata atau lemparan kerikil. Cara lain yang bisa dilakukan orang yang zhalim ialah dengan memperbanyak kebaikan, agar dia dapat memenuhi hak yang telah dirampasnya pada hari yang harta tidak bermanfaat apa-apa. Dia harus berbis-nis agar dapat memenuhi hak. Ada pula yang sangat bermanfaat baginya, yaitu bersabar jika kemudian dia dizhalimi orang lain, disakiti, digunjing dan dituduh macam-macam. Dia tidak perlu meminta haknya di dunia dan tidak perlu membalasnya, supaya kebaikannya tidak habis. Sebab selagi dia menuntut pemenuhan hak, maka keduanya dalam posisi yang sama. Ada perbedaan pendapat tentang harta yang ada di tangannya. Segolongan orang mengatakan, harta itu harus dibekukan dan tidak boleh dipergunakanuntukkeperluanapapun. Golonganlainberpendapat, harta itu diserahkan kepada penguasa atau kepada wakil yang sudah ditunjuk, menunggu sampai menemukan ahli warisnya. Jadi hukumnya seperti

harta yang hilang.

Kedua: Jika seseorang mengambil hak orang lain, lalu dia bertaubat dan ingin mengembalikan hak itu, namun dia tidak mampu. Kemudian ada orang lain yang sanggup membantunya, namun bantuannya berasal dari harta yang haram, seperti dari hasil melacur, bernyanyi, menjual khamr dan lain-lainnya. Sementara uang ganti rugi itu masih ada di tangannya. Maka bagaimana hukumnya?

Segolongan orang berpendapat, dia harus mengembalikan harta itu kepada pemiliknya, karena dia tidak berhak menerimanya kecuali menurut ketentuan yang diperbolehkan syariat. Ada pula yang berpendapat, uang itu harus dishadaqahkan.

Ketiga: Seseorang mengambil harta, lalu pemiliknya meninggal dunia, sehingga dia tidak bisa mengembalikan lagi kepada pemiliknya. Seperti yang sudah ditentukan, dia harus menyerahkannya kepada ahli warisnya. Jika ahli warisnya juga sudah meninggal dunia, maka dia harus menyerahkan kepada ahli waris berikutnya. Begitu seterusnya. Jika dia tidak bias mengembalikan kepada pemiliknya atau pun kepada salah seorang ahli

warisnya, siapakah yang berhak menuntut di akhirat? Apakah pemilik aslinya ataukah ahli warisnya yang menerima pengalihan hak itu?

Ada dua pendapat di kalangan fuqaha' dan dua pendapat dalam madzhab Asy-Syafi'y Namun pertanyaan ini dapat dijawab sebagai berikut : Penuntutan itu menjadi hak

pewaris yang menjadi pemilik asli dan juga hak masing-masing ahli waris, karena mereka semua mempunyai hak untuk itu. Orang yang mengambil tetap berkewajiban mengembalikan-nya. Jika tidak mengembalikan, berarti dia telah berbuat zhalim. Maka di akhirat dia akan dituntut atas hak tersebut.

Lalu bagaimanakah caranya bertaubat agar dia terbebas dari tuntutan mereka?

Ada yang berpendapat, caranya dengan menshadaqahkan harta itu atas nama pemilik aslinya dan ahli warisnya, sehingga harta itu terus berkembang manfaatnya dan mendatangkan pahala bagi mereka, sesuai dengan manfaat yang seharusnya mereka peroleh dari harta tersebut.

Taubat Yang Tertolak

Para ulama saling berbeda pendapat, apakah di antara berbagai macam dosa, ada dosa yang taubatnya tidak diterima ataukah taubat dari dosa apa pun diterima?

Menurut Jumhur, taubat harus dilakukan untuk setiap dosa. Setiap dosa memungkinkan untuk dimintakan ampunan dengan bertaubat. Ada pula golongan yang mengatakan, bahwa taubat pembunuh tidak diterima.

Ini termasuk pendapat Ibnu Abbas dan salah satu riwayat dari Ahmad. Bahkan Ibnu Abbas harus berdebat dengan rekan-rekannya, yang mengatakan, "Bukankah Allah telah befirman dalam surat Al-Furqan: 68-70,

'Dan, orang-orang yang tidak menyembah sesembahan yang lain beserta Allah

dan tidak pula membunuh jiwa yang diharamkan Allah...' sampai, 'kecuali

orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka

kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan?"

Ibnu Abbas menyanggah, "Ayat ini berkaitan dengan perbuatan di masa Jahiliyah. Pasalnya, ada beberapa orang musyrik yang dulu pernah melakukan tindak pembunuhan dan juga pernah berzina. Lalu mereka menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, seraya berkata, 'Apa yang engkau serukan itu benar-benar bagus. Andaikan saja engkau memberitahukan kepada kami tentang suatu tebusan dari apa yang pernah kami lakukan'. Maka turunlah ayat ini. Jadi, ayat ini berkenaan dengan diri mereka. Sementara dalam surat An-Nisa' telah disebutkan firman Allah :

'Dan, barangsiapa membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya'. Jika seseorang mengetahui Islam dan syariatnya, lalu dia membunuh dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam."

Menurut golongan ini, karena membunuh orang Mukmin secara sengaja tidak bisa diterima dan tidak ada cara untuk meminta pembebasan darinya, apalagi mengembalikan nyawanya. Taubat dari hak manusia tidak dianggap sah kecuali dengan salah satu dari

dua cara ini. Sementara keduanya tidak bisa lagi dilakukan oleh pembunuh. Berbeda dengan harta, yang sekalipun pemiliknya sudah meninggal dunia, maka orang yang merampasnya masih bisa menyampaikan manfaat harta itu kepada pemiliknya yang sudah meninggal, dengan cara menshadaqahkannya.

Mereka juga berkata, "Kami tidak menolak pendapat bahwa syirik itu lebih besar dosanya daripada tindak pembunuhan, dan taubat dari syirik itu masih bisa dilakukan. Tapi taubat dari syirik ini berkait dengan hak Allah, dan memohon ampunan dari-Nya masih memungkinkan. Tapi kaitannya dengan hak manusia, maka taubatnya tergantung pada pengembalian hak itu atau meminta pembebasan darinya.

Jumhur yang berpendapat bahwa taubat dari dosa apa pun bias diterima, berhujjah dengan firman Allah :

"Dan, sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih kemudian tetap di jalan yang benar." (Thaha: 82).

Jika pembunuh itu bertaubat, beriman dan beramal shalih, maka Allah akan mengampuni dosanya. Juga telah disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, tentang orang yang pernah membunuh seratus orang kemudian bertaubat, dan ternyata taubatnya itu diterima. Ada beberapa hadits lain yang menyatakan hal yang sama. Tentang surat An-Nisa': 93, bahwa orang yang membunuh orang Mukmin secara sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam, banyak nash lain yang senada dan yang di dalamnya disebutkan ancaman seperti itu, seperti firman-Nya :

"Dan, barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkan-Nya ke dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan." (An-Nisa': 14).

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa membunuh dirinya sendiri dengan sepotong besi, maka besi itu akan menghunjam dirinya, dia kekal dan dikekalkan di neraka Jahannam."

Manusia saling berbeda tentang nash semacam ini. Di antara mereka ada yang mengartikannya menurut zhahirnya, bahwa pelakunya akan kekal di dalam neraka. Ini merupakan pendapat golongan Khawarij dan Mu'tazilah. Dalam hal ini pun mereka juga saling berbeda pendapat. Khawarij mengatakan, mereka itu sama dengan orang kafir, karena yang kekal di dalam neraka hanya orang kafir. Mu'tazilah berpendapat, mereka bukan orang-orang kafir, tetapi orang-orang fasik yang juga kekal di dalam neraka, jika mereka tidak bertaubat. Golongan lain berpendapat, siapa yang melakukannya yakin tentang pengharamannya, maka dia tidak mendapat ancaman ini (kekal di dalam neraka), sekalipun dia tetap mendapat ancaman masuk neraka.

Kemudian ada perbedaan pendapat tentang pembunuh yang bertaubat dan dia menyerahkan diri untuk dijatuhi hukuman setimpal (qishash). Apakah pada hari kiamat korbannya masih mempunyai hak untuk menuntut atas dirinya?

Satu golongan berpendapat, pembunuh itu tidak lagi mempunyai dosa yang harus ditanggungnya di hadapan korban pada hari kiamat, sebab memang hukum qishashlah yang harus diterapkan kepadanya. Hukuman merupakan tebusan bagi pelakunya. Dengan cara itu seakanakan dia telah memenuhi hak warisan korban terhadap ahli warisnya dengan cara mengorbankan dirinya. Sebab tidak ada bedanya apakah seseorang memenuhi hak orang lain lewat dirinya atau wakilnya.

Golongan lain berpendapat, korban telah dizhalimi dan kehilangan hak-haknya. Sementara dia juga tidak tahu apa yang terjadi setelah dia dizhalimi, sekalipun kemarahan ahli warisnya dapat dipadamkan. Tapi manfaat apa yang diperoleh korban? Hak dalam pidana pembunuhan itu ada tiga macam: Hak Allah, hak korban dan hak waris. Hak Allah tidak terpenuhi kecuali dengan taubat. Hak ahli waris bisa terpenuhi dengan meminta pelaksanaan hukuman sehubungan pembunuhan itu. Ada tiga

pilihan untuk ini: Pelaksanaan qishash, ampunan tanpa disertai tebusan harta, dan tebusan harta. Sekalipun ahli waris sudah menerima tebusan dari pembunuh, hak korban belum terpenuhi secara total. Sebab bagaimana mungkin haknya sudah terpenuhi, jika ini merupakan salah satu dari tiga cara pemenuhan hak? Andaikata korban dapat berkata, "Jangan-lah kalian membunuhnya, karena aku akan menuntutnya sesuai dengan hakku pada hari kiamat, namun nyatanya mereka membunuhnya, apakah dengan begitu hak korban dianggap gugur?

Yang benar dalam masalah ini menurut hemat saya, dan Allah le-bih mengetahui mana yang benar, jika pembunuh bertaubat sebagai pemenuhan terhadap hak Allah, dan dengan suka rela dia menyerahkan dirinya kepada ahli waris, agar dengan begitu dia dapat memenuhi hak korban, maka dua hak telah dia penuhi. Kini tinggal hak korban yang belum terpenuhi, yang tentunya Allah tidak akan menyia-nyiakannya. Namun ampunan Allah yang diberikan kepada pembunuh sudah dianggap sebagai pengganti dari

hak korban, sebab apa yang dialaminya juga tidak bisa dihalangi dengan membunuh pembunuhnya. Taubat yang sebenar-benarnya sudah cukup untuk menghapus dosa di masa lampau dan hal ini menjadi pengganti dari kezhalimannya, sehingga dia tidak dijatuhi hukuman karena kesempurnaan taubatnya. Hal ini seperti orang kafir yang pernah memerangi Allah dan Rasul-Nya serta membunuh orang Muslim. Namun jika kemudian dia masuk Islam dan Islamnyabagus, maka Allah akan memberikan pengganti kepada korban yang dibunuhnya dan mengampuni orang kafir yang masuk Islam itu, karena keislamannya. Dia tidak dihukum karena pernah membunuh orang Muslim secara zhalim. Taubat yang menghapus dosa sebelumnya, sama seperti Islam yang menghapus dosa seseorang sebelum masuk Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar