Selasa, 02 November 2010

MADARIJUS SOLIHIN ( PENDAKIAN MENUJU ALLAH 5 )

Kata futuwwah berasal dari fata yang artinya pemuda. Firman Allah tentang para penghuni gua : "Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada

Rabb mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk." (Al- Kahfi: 13).

Istilah futuwwah tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an, As-Sunnah maupun orang-orang salaf. Tapi istilah ini muncul pada era setelah itu yang berarti akhlak yang baik. Yang awal mula menggunakan istilah ini adalah Ja'far bin Muhammad, Al-Fudhail bin Iyadh, Al-Imam Ahmad, Sahl bin Abdullah dan Al-Junaid. Dikisahkan bahwa Ja'far bin Muhammad pernah ditanya seseorang tentang futuwwah ini. Dia tidak langsung menjawab, tapi justru balik bertanya kepada penanya itu, "Apa komentarmu?" Orang itu menjawab, "Jika engkau diberi, maka engkau bersyukur, dan jika tidak diberi, maka engkau bersabar." Ja'far berkata, "Anjing pun di tempat kami juga bisa begitu." Orang itu bertanya, "Wahai anak keturunan Rasulullah, kalau begitu apa maknanya menurut kalian?" Ja'far menjawab, "Jika kami diberi, makan kami lebih suka memberikannya kepada orang lain lagi, dan jika kami tidak diberi, maka kami bersyukur."

Pengarang Manazilus-Sa'irin, berkata, "Inti futuwwah artinya engkau tidak melihat kelebihan pada dirimu dan engkau tidak merasa memiliki hak atas manusia."

Manusia berbeda-beda tingkatannya dalam masalah ini. Yang paling tinggi adalah yang seperti ini, dan yang paling rendah adalah keba- likannya. Sedangkan yang pertengahan adalah yang tidak melihat kelebihan dirinya, tapi dia melihat adanya hak terhadap orang lain. Ada tiga derajat futuwwah, yaitu:

1. Meninggalkan permusuhan, pura-pura melalaikan kesalahan orang lain dan melupakan gangguan orang lain. Untuk menunjukkan futuwwah, engkau tak perlu memusuhi seseorang dan tidak menempatkan dirimu sebagai musuh bagi seseorang. Derajat ini ada tiga macam:

- Tidak memusuhi seseorang dengan lisannya

- Tidak memusuhinya dengan hatinya

- Di dalam pikirannya tidak terlintas keinginan untuk memusuhinya.

Hal ini berkaitan dengan hak dirinya. Tapi jika berkaitan dengan hak Allah, maka futuwwah ini justru harus ditunjukkan dengan cara memusuhi karena Allah dan bersama Allah serta menyerahkan hokum kepada Allah, seperti doa iftitah yang dibaca Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Karena-Mu aku berperang dan kepada-Mu aku menyerahkan hukum."

Pura-pura melalaikan kesalahan orang lain artinya, jika engkau melihat dia melakukan kesalahan yang menurut syariat harus ada sangsi hukuman, maka buatlah seakan-akan engkau tidak melihatnya. Yang demikian ini lebih baik daripada menyembunyikan kesalahannya itu, padahal engkau melihatnya

Abu Ali Ad-Daqqaq menuturkan, bahwa ada seorang wanita yang menemui Hatim dan menanyakan suatu masalah kepadanya. Pada saat itu tanpa disengaja wanita tersebut

kentut, sehingga dia merasa sa-ngat malu. Hatim berkata, "Bicaralah yang keras!" Wanita itu lang-sung menampakkan rona kegembiraan, karena dia mengira Hatim tuli atau tidak normal pendengarannya. Wanita itu berkata, "Kalau begitu dia tidak mendengar suara kentutku." Karena kejadian ini Hatim diju-luki Hatim si tuli. Tindakan Hatim seperti ini bisa disebut separoh futuwwah. Engkau juga harus melupakan gangguan orang lain terhadap dirimu, agar hatimu menjadi bersih dan engkau tidak melancarkan balasan atau kebencian kepadanya.

2. Mendekati orang yang menjauhimu, memuliakan orang yang menyakitimu, memaafkan orang yang berbuat jahat kepadamu, lapang dada dan bukan amarah, kasih-mengasihi dan bukan menahan-nahan diri serta pura-pura sabar. Derajat ini lebih tinggi dan lebih sulit dari sebelumnya, karena derajat pertama hanya meninggalkan permusuhan dan pura-pura lalai, sedang-kan derajat ini mengandung sikap santun kepada orang yang justru berbuat tidak baik dan jahat kepadamu. Kebaikan dan kejahatan meru-pakan dua garis sejajar yang tidak bertemu pada satu titik. Siapa yang ingin memahami derajat ini sebagaimana lazimnya, maka hendaklah dia melihat perikehidupan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan Pergaulan beliau bersama manusia. Tidak ada yang lebih sempurna dalam masalah ini selain beliau, kemudian para pewaris beliau, termasuk pula Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah. Rekan-rekannya berkata, "Aku ingin sikapku terhadap teman-temanku seperti sikap-nya terhadap musuhmusuhnya." Menurut yang saya lihat, dia tidak pernah mendoakan kecelakaan bagi seorang pun di antara orang-orang yang memusuhinya, tapi beliau senantiasa berdoa bagi keselamatan mereka. Suatu hari saya mene-mui Syaikhul-Islam untuk mengabarkan kematian seseorang yang paling gencar memusuhinya dan bahkan menyakiti serta meng-ganggunya. Rupanya dia tidak suka dengan cara penyampaianku ini. Setelah mengucapkan inna lillahi dia bangkit dari duduknya lalu da-tang ke rumah keluarga orang yang meninggal itu. Dia berkata, "Aku akan menjadi wakilnya bagi kalian. Jika kalian membutuhkan suatu pertolongan dariku, maka aku pasti akan menolong kalian." Mereka sangat gembira mendengarnya dan tak tergambarkan rasa terima kasih mereka. Memaafkan orang yang berbuat jahat kepadamu, memang sepintas lalu agar sulit untuk dipahami. Karena bagaimana mungkin kejahatan harus dimaafkan begitu saja? Pemahaman lebih jauh, engkau tidak perlu menjatuhkan hukuman kepadanya atas kejahatannya terhadap dirimu. Lalu buatlah pergaulan dengan manusia semacam ini muncul darikelapangan dadamu dan tenggang rasamu, bukan dengan cara menahan-nahan amarah, dengan dada yang menyesak dan memaksakan kesabaran, karena yang demikian ini sama dengan pemaksaan yang cepat akan berubah, lalu akhirnya membuka sifatmu yang asli, yaitu tidak bisa memaafkan kesalahan orang lain dan tidak lapang dada.

3. Tidak bergantung kepada bukti penunjuk dalam perjalanan, tidak mengotori

pemenuhan hak Allah dengan pengganti dan tidak menegakkan kesaksian kepada rupa.

Inilah tiga perkara yang terkandung di dalam derajat ini. Tidak bergantung kepada bukti penunjuk dalam perjalanan, artinya, orang yang mengadakan perjalanan kepada Allah berpijak kepada keyakinan, bashirah dan kesaksian. Jika dia bergantung kepada bukti penunjuk dan ramburambu jalan, berarti dia belum mencium bau keyakinan. Karena itu para rasul tidak menyeru menekankan ajakan untuk menyata-kan adanya Pencipta, tetapi menyeru mereka untuk menyembah dan mengesakan- Nya. Untuk pengakuan tentang adanya Allah, maka seruannya sudah pasti tanpa disertai keragu-raguan sedikit pun, seperti firman Allah : "Rasul-rasul mereka berkata, 'Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?" (Ibrahim: 10).

Bagaimana mungkin tuntutan pembuktian atas sesuatu yang harus dibuktikan dianggap sah, sementara sesuatu yang harus dibuktikan itu lebih nyata daripada pembuktiannya? Dalam memenuhi hak Allah, maka engkau tidak boleh meminta imbalan. Pemenuhanmu terhadap hak Allah harus dilakukan secara tu-lus, dilandasi cinta dan mencari apa yang dicintai-Nya, tidak mengo-torinya dengan tuntutan pengganti dan imbalan, karena yang demikian ini sama sekali tidak mencerminkan futuwwah. Siapa yang tidak menuntut dari selain Allah dan tidak menodainya dengan imbalan yang dimintanya, tapi dilakukan atas dasar cinta dan mengharapkan Wajah Allah, pada hakikatnya dia telah beruntung mendapatkan pengganti dan imbalan. Selagi imbalan ini bukan merupakan tujuannya, maka dia justru mendapatkan bagian yang lebih banyak, dia terpuji dan disyukuri. Taruhlah bahwa engkau mempunyai empat orang budak: Yang pertama, menghendakimu dan tidak menghendaki darimu, yang kehen-daknya tergantung kepada dirimu dan keridhaanmu. Kedua, menghendaki darimu dan tidak menghendakimu, yang hanya sibuk dengan imbalan dan bagian yang harus diterimanya. Ketiga, yang menghendakimu dan menghendaki darimu. Keempat, yang tidak menghendakimu dan tidak menghendaki darimu. Maka yang engkau pilih dan yang paling engkau cintai dari empat budak ini adalah yang pertama, yaitu yang menghendakimu dan tidak menghendaki bagian darimu. Begitulah keadaan kita di hadapan Allah.

Tidak menegakkan kesaksian kepada rupa, artinya tidak melandaskan kesaksian terhadap hal-hal yang tampak seperti yang sudah dijelas-kan di bagian terdahulu. Kesaksian yang benar mampu meniadakan hal-hal yang nyata dan rupa-rupa yang bisa mengecoh. Maksudnya, semua makhluk tidak dianggap sebagai sesuatu yang agung. Menurut ilmu orang-orang yang khusus, mencari cahaya hakikat berdasarkan tuntutan bukti penunjuk, tidak diperbolehkan bagi orang yang me-ngaku memiliki futuwwah. Jika terhadap musuhmu saja engkau tidak perlu menuntut maaf dan pembuktian tentang kebenaraan maafnya, maka bagaimana mungkin engkau menuntut bukti tauhid dan

ma'rifat terhadap Pelindung dan Kekasihmu, kekuasaan dan kehendak-Nya? Tentu saja hal ini bertentangan dengan futuwwah dari segala segi. Jika ada seseorang mengundangmu untuk datang ke rumahnya, lalu engkau berkata kepada utusannya, "Aku tak akan pergi bersamamu ke rumahnya, kecuali apabila engkau memberikan bukti tentang ke-beradaan orang yang mengundangmu", berarti engkau adalah orang yang membual dan terlalu hina untuk memiliki futuwwah. Lalu bagai-mana mungkin engkau

menuntut bukti dari Allah, yang keberadaan-Nya, keesaan, kekuasaan, Rububiyah dan Uluhiyah-Nya lebih nyata dari segala bukti dan dalil?

Muru'ah

Muru'ah (Keperwiraan) artinya sifat-sifat kemanusiaan yang dimiliki jiwa seseorang, yang dengannya dia berbeda dengan binatang dan syetan yang terkutuk. Di dalam jiwa ada tiga penyeru yang saling tarik menarik:

- Penyeru yang mengajak kepada sifat-sifat syetan, seperti takabur, iri, dengki, sombong, aniaya, kejahatan, kerusakan, penipuan, kebohong-an dan lain-lainnya.

- Penyeru yang mengajak kepada sifat-sifat hewan, atau yang mengajak kepada nafsu syahwat.

- Penyeru yang mengajak kepada sifat malaikat, seperti kebaikan, kebajikan, ilmu, ketaatan dan lain-lainnya.

Hakikat muru'ah ialah jika engkau membenci dua penyeru yang pertama dan memenuhi penyeru ketiga. Kemanusiaan, keperwiraan dan kejantanan terjadi karena mengingkari dua penyeru yang pertama dan memenuhi penyeru yang ketiga. Sebagian salaf berkata, "Allah menciptakan para malaikat yang mempunyai akal dan tidak mempunyai syahwat, menciptakan hewan yang mempunyai syahwat dan tidak mempunyai akal, dan menciptakan manusia yang di dalam dirinya ada akal dan syahwat. Siapa yang akalnya dapat mengalahkan syahwatnya, maka dia termasuk golongan malaikat, dan siapa yang syahwatnya mengalahkan akalnya, maka dia termasuk golongan binatang."

Para fuqaha berkata tentang pembatasan muru'ah, "Maksudnya adalah pemakaian sesuatu yang membaguskan hamba dan meninggal-kan apa yang mengotori dan memperburuk dirinya."

Ada pula yang mengatakan bahwa muru'ah adalah menerapkan setiap akhlak yang baik dan menjauhi setiap akhlak yang buruk.

Hakikat muru'ah adalah menghindari hal-hal yang rendah dan hina, baik perkataan, perbuatan maupun akhlak. Muru'ah lisan berupa perkataan yang manis, baik, lembut dan yang dapat memudahkan untuk meraih hasil. Muru'ah akhlak ialah kelapangannya dalam menghadapi orang yang dicintai dan dibenci. Muru'ah harta ialah ketepatan penggunaannya untuk hal-hal yang terpuji, baik dalam pandangan akal, tradisi

maupun syariat. Muru'ah kedudukan ialah menggunakan kedudukan itu untuk seseorang yang memerlukannya. Ada tiga derajat muru'ah, yaitu:

1. Muru'ah seseorang saat bersama dirinya, yaitu dengan membawanya kepada hal-hal yang membuatnya baik dan bagus, meninggalkan halhal yang mengotori dan memperburuknya, agar dia menjadi malaikat secara zhahirnya. Barangsiapa menginginkan sesuatu dalam kesendiriannya, maka dia harus menjadi malaikat dalam penampakannya, sehingga dia tidak perlu menyingkap aibhya saat sendirian, tidak berkata keras jika memungkinkan melakukan kebalikannya, tidak mengeluarkan angin yang bersuara jika dia mampu melakukan kebalikan nya, tidak perlu rakus dan makan banyak. Secara umum dapat dikatakan, seorang hamba tidak boleh melakukan sesuatu yang membuatnya malu di muka umum, kecuali yang tidak dilarang syariat dan akal, tidak melakukan sesuatu yang membuatnya malu saat sendirian, seperti saat berjima'.

2. Muru'ah saat bersama manusia, yaitu dengan melaksanakan syaratsyarat adab, rasa malu dan akhlak yang baik bersama mereka, tidak memperlihatkan apa yang dibencinya terhadap orang lain di hadapan mereka, menjadikan orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Apa pun yang dibencinya, entah berupa perkataan, perbuatan atau akhlak, harus dihindarinya, dan apa yang disenanginya dan dianggapnya baik harus dilakukan. Orang yang ada dalam derajat ini bisa mengambil manfaat dari siapa pun yang ada di sekitarnya, yang sempurna maupun yang kurang, yang akhlaknya baik maupun yangburuk, yang tidak memiliki muru'ah maupun yang tinggi muru'ah-nya. Banyak orang yang belajar muru'ah dan akhlak yang mulia dari orang-orang yang justru memiliki sifat-sifat kebalikannya, sebagaimana yang diriwayatkan dari seseorang yang terkenal, bahwa dia memiliki seorang budak yang perangainya kasar, keras hatinya dan buruk akhlaknya. Tapi dia justru bersyukur dengan keberadaan budak itu. Ketika hal itu ditanyakan kepadanya, maka dia menjawab, "Aku bisa belajar akhlak yang mulia dari dirinya."

3. Muru'ah saat bersama Allah, dengan merasa malu karena Dia melihatmu kapan pun dan dalam setiap hembusan napas. Engkau juga harus berusaha memperbaiki aibmu. Sesungguhnya Allah telah membeli jiwamu dari dirimu, dan engkau berusaha menyerahkan barang yang sudah dibeli dan menerima harganya. Tidak termasuk muru'ah jika engkau menyerahkan barang dagangan yang ada aibnya, tapi engkau ingin menerima harga secara utuh, atau engkau ingin melihat karunia-Nya selagi engkau sibuk memperbaiki aib itu. Dialah yang berkuasa atas dirimu dan bukan engkau sendiri. Engkau

perlu merasa malu atas tabiatmu.

Azam

Azam (tekad) itu ada dua macam:

- Azam orang yang hendak memulai perjalanan dan ini merupakan permulaan.

- Azam orang yang sedang mengadakan perjalanan, dan inilah kedudukan yang diinginkan pengarang Manazilus-Sa'irin, yang maksudnya adalah usaha mewujudkan tujuan dalam keadaan senang atau tidak senang, dalam keadaan suka atau terpaksa.

Ada tiga derajat azam, yaiut:

1. Menyesuaikan keadaan dengan petunjuk ilmu, karena sudah melihat pengungkapan dan cahaya serta keinginan untuk mematikan hawa nafsu. Setiap keadaan yang tidak mengikuti ilmu adalah keadaan yang rusak dan jauh dari Allah, tapi bukan berarti orang yang sudah memiliki ilmu tidak bisaturuntingkatannya. Orang yang memiliki suatu keadaan tidak mau menoleh ke ilmu, maka dia adalah batil. Ilmu merupakan syarat untuk suatu keadaan, yang kesehatannya tidak bisa diketahui kecuali dengan ilmu. Jika jalan yang ada di hadapannya sudah terungkap dan tersibak, berarti sudah ada cahaya yang menerangi. Jika jalan sudah tersibak, maka orang yang mengadakan perjalanan layaknya orang yang akan mati, sehingga di antara mereka ada yang terjerembab ke tanah dan mengira dia sudah mati. Jika sudah begitu keadaannya, maka dia akan segera bangkit, karena tabiat manusia ditetapkan untuk tidak menyukai kematian. Jika tekad sudah bulat, maka hawa nafsu akan mati dan tidak dipedulikan.

2. Tenggelam dalam kesaksiannya, mencari cahaya yang menyinari jalan dan menghimpun kekuatan istiqamah. Tenggelam dalam kesaksian artinya menyibukkan diri dengan perjalanannya dan tidak peduli dengan hal-hal selainnya. Mencari cahaya yang menyinari jalan artinya memperlihatkan kesungguhan dan berusaha meraih apa yang dituju. Hal ini seperti orang yang berjalan menuju suatu kota. Jika kota itu sudah terlihat dari kejauhan, berarti dia sudah melihat jalan yang menghantarkannya ke kota tersebut dan cahaya-nya menjadi terang. Sebelum dia melihat kota itu, boleh jadi dia membayangkan kota itu tidak akan tercapai. Tapi kini dia tidak akan kehilangan pintu kota itu. Kekuatan zhahir dan batinnya serta tekadnya harus terhimpun, apalagi jika dia sudah melihat tujuannya.

3. Mengetahui penghalang azam dan membebaskan diri dari beban yang membuatnya meninggalkan azam. Sebab azam tidak mewariskan kepada pelakunya sesuatu yang lebih mulia daripada mengetahui penghalang azam. Penghalang azam adalah hal-hal yang dinisbatkan kepada nafsunya.

Iradah

Sehubungan dengan persinggahan iradah (kehendak) ini Allah telah berfirman, "Dan, janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki Wajah-Nya." (Al- An'am: 52).

Allah befirman terhadap para istri Nabi Shallallahu Alaihi wa Salam : "Dan, jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul- Nya serta (kesenangan) di akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar."(Al-Ahzab: 29).

Para teolog merasa kesulitan mengaitkan kehendak kepada Allah dan menjadikan Wajah Allah sebagai sasaran kehendak. Menurut mereka, kehendak tidak bisa dikaitkan kecuali dengan hal-hal yang baru, dan tidak bisa dikaitkan dengan hal-hal yang lama. Sebab sesuatu yang lama tidak bisa dikehendaki. Mereka mena'wili kehendak yang dikaitkan dengan sesuatu yang baru sebagai kehendak untuk mendekatkan diri ke-padanya, dan mereka menganggap mustahil mendekatkan diri dengan sesuatu yang lama. Inilah anggapan mereka yang membuat hati mereka menjadi keras, karena penghalang bagi mereka terlalu tebal, karena mereka tidak memiliki ruh perilaku dan keindahan cinta. Sebab kehendak bagi orangorang yang lebih mementingkan perilaku adalah membebas-kan diri dari kehendak. Kehendak menurut mereka dianggap tidak sah kecuali bagi orang yang tidak memiliki kehendak. Jangan anggap hal ini kontradiktif, tapi memang inilah yang benar. Ada yang berpendapat, iradah adalah kebangkitan hati untuk mencari kebenaran.

Ad-Daqqaq berkata, "Iradah adalah kilatan di dalam sanubari, nya-la di dalam hati, cinta yang membara di dalam perasaan, teriakan di dalam batin dan kobaran di dalam hati."

Ada yang berpendapat, di antara sifat orang yang berkehendak ialah mencintai Allah dengan mendirikan shalat-shalat nafilah, ikhlas dalam memberikan nasihat kepada umat, merasakan kebersamaan dengan Allah saat sendirian, sabar dalam menghadapi kekerasan para penguasa, mengutamakan perintah Allah, merasa malu karena Allah melihatnya, berusa-ha melakukan apa yang disukai sang kekasih, puas dengan yang ada, tidak merasakan ketenangan batin hingga dapat bersua pelindung dan sesembahannya.

Hatim Al-Asham berkata, "Jika engkau melihat orang yang berkehendak menghendaki selain kehendak Allah, maka ketahuilah bahwa dia telah menampakkan kehinaan dirinya."

Abu Utsman Al-Hiry berkata, "Siapa yang kehendaknya tidak benar pada permulaannya, maka semakin hari dia justru semakin mundur ke belakang."

Diriwayatkan adanya dua versi pernyataan tentang iradah dari Al- Junaid, tapi sifatnya sangat global dan perlu rincian lebih lanjut. Yang pertama dari Ja'far, dia berkata, "Aku pernah mendengar Al-Junaid berkata, "Jika orang yang berkehendak benar, dia tidak memerlukan orang lain yang berilmu." Yang kedua juga dari Ja'far, dia berkata, "Aku pernah mendengar Al-Junaid berkata, "Jika Allah menghendaki kebaikan pada diri orang yang berkehendak, maka Dia akan menghimpunnya ke dalam golongan orang-orang sufi dan mencegahnya bergaul dengan para qari'."

Saya katakan, jika orang yang berkehendak benar dan perjanjiannya dengan Allah benar pula, maka Allah akan memasukkan barakah kebenaran ke dalam hatinya dan mu'amalah yang baik dengan Allah, yang membuatnya tidak memerlukan ilmu yang

datang dari pemikiran manusia dan pendapat mereka, tidak memerlukan ilmu yang tidak dibutuh-kan sebagai bekal ke alam kubur, tidak memerlukan berbagai macam isya-rat dan ilmu orang-orang sufi, yang dengan isyarat dan ilmu itu mereka tidak bias mengetahui nafsu, aib, kekurangan dan amal-amalnya yang rusak.

Sebagai misal, seseorang yang duduk di suatu negeri, siang dan malam sibuk mempelajari ilmu tempat-tempat persinggahan dalam perjalanan, perintang, lembah-lembah yang dilewati, tempat-tempat yang menguntungkan dan segala seluk beluknya. Sementara ada orang lain yang benar kehendaknya dan menempuh perjalanan. Kebenarannya ini membuatnya tidak memerlukan ilmu orang yang duduk tersebut. Jika yang dimaksudkan Al-Junaid adalah kebenaran kehendak yang membuatnya tidak memerlukan ilmu halal dan haram, hukum-hukum perintah dan larangan, pengetahuan tentang macam-macam ibadah, syarat, ke-wajiban dan hal-hal yang membatalkannya, ilmu-ilmu Allah dan Rasul-Nya yang zhahir dan batin, maka tentunya Allah melindungi Al-Junaid dari anggapan seperti ini. Yang demikian ini hanya dikatakan para pe-rampok

jalanan dari kalangan zindiq dan sufi, yang tidak melihat itba' Rasul sebagai syarat dalam perjalanan. Orang berkehendak yang benar, maka hatinya akan dibukakan oleh Allah, diberi cahaya dari sisi-Nya dan ditambah lagi dengan cahaya ilmu, yang dengannya dia bisa mengetahui berbagai masalah agama, sehingga dia tidak memerlukan berbagai macam ilmu manusia. Ilmu itu adalah cahaya, dan hati orang yang benar dipenuhi dengan cahaya kebenaran, di samping dia juga memiliki cahaya iman, sehingga ada cahaya yang memberi petunjuk kepada cahaya. Al-Junaid ingin memberitahukan, seperti inilah keadaannya. Apa yang diriwayatkan di atas, tentunya hanya sepotong-potong dan tidak menyeluruh. Kebenaran Al-Junaid membuatdirinya merasa memerlukan ilmu. Tentang keperluan terhadap ilmu ini juga ditegaskan Al-Junaid di tempat lain, bahwa orang yang tidak berilmu tidak akan beruntung, bahwa tak seorang pun boleh berbicara tentang jalan kecuali berdasarkan ilmu. Dia berkata, "Siapa yang tidak menjaga Al-Qur'an dan tidak menulis hadits, maka dia tidak layak diikuti. Sebab ilmu kami terikat kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah." Tentang perkataan Al-Junaid, "Jika Allah menghendaki kebaikan pada diri orang yang berkehendak, maka Dia akan menghimpunnya ke dalam golongan orang-orang sufi dan mencegahnya bergaul dengan para qari'", ialah para ahli ibadah, baik dengan membaca Al-Qur'an atau melaksanakan berbagai macam ibadah, namun hanya sebatas zhahirnya saja, tanpa disertai ruh ma'rifat, hakikat iman, cinta dan amal-amal hati. Mereka sangat mendetail dalam pelaksanaan ibadah, seperti puasa dan shalat, namun semua itu tidak disertai dengan manisnya amal hati dan keinginan untuk mengasah jiwa, karena memang bukan itu jalan mereka. Sedangkan maksud golongan sufi adalah kebalikannya.

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, kaitannya dengan masalah iradah ini, Allah telah befirman, "Katakanlah, 'Setiap orang berbuat menurut keadaannya masingmasing. "(Al-Isra': 84)

.

Penyitirannya terhadap ayat ini terkandung pembuktian yang sangat agung tentang posisi hamba dalam masalah ilmu. Artinya, setiap orang berbuat menurut keadaan yang membentuknya dan yang sesuai dengan dirinya. Orang jahat akan berbuat sesuai dengan keadaan dirinya, begitu pula orang kafir, munafik, orang yang menghendaki kedu-niaan dan gemerlapnya, akan berbuat yang sesuai dengan keadaan dirinya. Orang yang mencintai Allah dengan benar dan tulus, akan berbuat yang sesuai

dengan keadaan dirinya, bertindak menurut pembentukan kehendaknya dan yang sesuai dengan keadaannya.

Ada tiga derajat iradah, yaitu:

1. Meninggalkan kebiasaan berdasarkan kebenaran ilmu, bergantung kenapas orang-orang yang melakukan perjalanan dan yang disertai tujuan yang benar, meninggalkan teman yang menyibukkannya dan melepaskan ikatan kampung halaman. Meninggalkan kebiasaan artinya meninggalkan nafsu dan syahwat yang sebelumnya biasa dilakukan, yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan disertai ilmu, karena ilmu merupakan cahaya yang menerangi seseorang, agar dia Iebih mengutamakan tujuannya. Siapa yang tidak disertai ilmu, maka iradah-nya tidak akan benar. Syaikh bergantung ke napas orang-orang yang melakukan perjalanan dan bukan ke napas ahli ibadah, karena ahli ibadah hanya sebatas melaksanakan amal, sedangkan orang yang melakukan perjalanan lebih memperhatikan keadaan. Meninggalkan teman yang menyibukkannya dan melepaskan

ikatan kampung halaman, artinya menggambarkan berbagai macam rintangan.

2. Memotong keterikatan keadaan, membiasakan kebersamaan dan berjalan antara menahan dan melepaskan. Memotong keterikatan keadaan artinya menolak pengaruh mu'ama-lah dari hati, yang bisa mendatangkan kemalasannya dan menghambat kebersamaannya dengan Allah, yang telah melimpahkan nikmat kepada makhluk, sehingga seorang hamba bisa beralih dari rupa amal ke hakikat amal, naik dari Islam ke iman, dari iman ke ihsan. Pada awal mulanya hamba yang mengadakan perjalanan memang akan merasakan beban dan beratnya amal, karena hatinya belum terbiasa bersama sesembahannya. Jika ia sudah terbiasa, maka tidak ada lagi keberatan dan kesulitan itu, sehingga ibadahnya akan menjadi kesenangan dan kenikmatannya, shalat menjadi kesenangan, yang sebe-lumnya hanya sebatas amal. Yang menjadi ukurannya adalah sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Kesenanganku dijadikan dalam shalat." Inilah maksud membiasakan kebersamaan, yaitu kebersamaan dengan Allah. Menahan dan melepaskan merupakan dua keadaan yang saling bertentangan, yang lahir karena rasa takut di satu saat, dan di saat lain lahir karena harapan. Rasa takut menahannya dan harapan melepaskannya.

3. Kebingungan yang disertai istiqamah dan memperhatikan hak dan disertai adab. Maksud kebingungan di sini ialah tidak menoleh ke hal-hal yang lain. Kebingungan akan bermanfaat jika disertai dengan istiqamah, yaitu menjaga ilmu dan tidak

Menyia nyiakannya. Jika tidak, maka keadaannya yang paling baik ialah seperti orang gila yang tidak lagi dituntut untuk melakukan kewajiban dan tidak akan disiksa karena tidak istiqamah. Jika sebab kebingungannya mengeluarkannya dari istiqamah, maka dia adalah orang yang durhaka dan mengabaikan perintah Allah. Syaikhul-Islam pernah berkata, "Jika sebab mabuk adalah sesuatu yang dilarang, maka mabuk itu tidak dimaafkan." Memperhatikan hak di sini artinya memperhatikan hak-hak Allah dengan memperhatikan adab-adabnya.

Adab

Allah be firman sehubungan dengan masalah adab ini : "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (At-Tahrim: 6).

Menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya, maksud ayat ini, didiklah dan ajarilah mereka.

Kata adab merupakan himpunan dari beberapa hal. Jadi adab artinya himpunan perkara-perkara yang baik pada diri hamba. Ada pula kata ma'dabah, yang artinya makanan yang dikerubuti beberapa orang untuk dimakan. Sedangkan ilmu adab artinya ilmu yang mengatur kebagusan lisan, ucapan, membaguskan lafazh-lafazhnya, menjaganya dari kesalahan dan kekeliruan, yang merupakan cabang dari adab secara umum.

Adab dalam pembahasan ini ada tiga macam: Adab bersama Allah, adab bersama Rasulullah dan syariatnya, adab bersama makhluk Allah.

Adab bersama Allah ada tiga macam:

- Menjaga mu'amalah dengan-Nya agar tidak dinodai kekurangan.

- Menjaga hati agar tidak berpaling kepada selain-Nya.

- Menjaga kehendak agar tidak bergantung kepada sesuatu yang dibenci Allah.

Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, "Dengan ketaatannya kepada Allah, seorang hamba bisa mencapai surga, dan dengan adabnya dia bias mencapai ketaatan kepada Allah." Dia juga pernah berkata, "Aku pernah melihat seseorang yang hendak mengulurkan tangan ke arah hidung-nya, namun kemudian dia mengurungnya karena menjaga adab di hadapan

Allah."

Yahya bin Mu'adz berkata, "Siapa yang memelihara adab Allah, maka dia termasuk orang-orang yang dicintai Allah."

Ibnul-Mubarak berkata, "Adab yang sedikit lebih kami butuhkan daripada ilmu yang banyak." Al-Hasan Al-Bashry pernah ditanya tentang adab yang paling bermanfaat. Maka dia menjawab, "Memahami agama, berzuhud di dunia dan mengetahui hak-hak Allah atas dirimu."

Al-Junaid pernah berkata kepada Abu Hafsh, "Engkau telah mendidik rekan-rekanmu dengan adab para sultan." Maka Abu Hafsh menyahut, "Adab yang baik secara zhahir merupakan tanda adab yang baik di dalam batin. Adab bersama Allah ialah kebersamaan yang baik dengan- Nya, menyelaraskan gerak zhahir dan batin berdasarkan pengagungan dan rasa malu, seperti suasana dalam pertemuan para raja di hadapan para

punggawanya."

Menurut Abu Nashr As-Siraj, ada tiga tingkatan manusia dalam kaitannya dengan adab:

- Ahli dunia, yang adab mereka berkisar pada masalah kefasihan bicara, sastra bahasa, menjaga ilmu, nasab para raja dan syair-syair.

- Ahli agama, yang adabnya berkisar pada masalah melatih jiwa, mendidik anggota tubuh, menjaga hukum dan meninggalkan nafsu dan syahwat.

- Ahli hal-hal yang bersifat khusus, yang adab mereka berkisar pada masalah mensucikan hati, memperhatikan hal-hal yang tersembunyi, memenuhi janji, menjaga waktu, membaguskan adab dan taqarrub.

An-Nawawy berkata, "Siapa yang tidak memiliki adab waktu, maka waktunya akan menjadi kebencian."

Perhatikanlah keadaan para rasul bersama Allah, seruan dan doa mereka. Tentunya engkau akan mendapatkan, bahwa semua tindakan mereka tidak lepas dari adab.

Al-Masih Alaihis-Salam berkata di dalam surat Al-Maidah: 116-118, berkaitan dengan pertanyaan Allah kepadanya, apakah dia menyatakan kepada manusia agar dijadikan sesembahan? Maka beliau menjawab, "Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya". Beliau tidak menjawab, "Jika aku tidak pernah mengatakannya". Ada perbedaan yang jauh antara dua jawaban ini dalam mewujudkan hakikat adab. Kemudian beliau melandaskan urusan kepada ilmu Allah, yang mengetahui yang tampak dan yang tersembunyi, dengan berkata,"Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku". Kemudian beliau memuji Allah dan disusul dengan menyebutkan sifat-Nya yang hanya Dialah yang mengetahui perkara-perkara gaib, "Sesungguhnya Engkau mengetahui perkara-perkara yang gaib". Kemudian beliau menyatakan bahwa beliau hanya mengatakan seperti yang diperintahkan Allah kepadanya, yang berarti ini merupakan pernyataan tauhid, "Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (untuk mengatakan-nya), yaitu, 'Sembahlah Allah, Rabb kalian dan juga Rabbku'." Kemudian beliau mengabarkan kesaksiannya terhadap diri mereka selagi beliau masih hidup di tengah-tengah mereka. Tapi setelah beliau wafat, maka beliau tidak tahu-menahu tentang keadaan mereka dan hanya Allahlah yang mengetahui dan yang mengawasi keadaan mereka, "Aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (mengangkat) aku,

Engkaulah yang mengawasi mereka". Kemudian beliau mensifati Allah, bahwa kesaksian-Nya di atas segala kesaksian, "Dan, Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu". Kemudian beliau berkata, "Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguh-nya mereka adalah hamba-hamba Engkau". Ini merupakan gambaran adab yang tinggi bersama Allah dalam keadaan tersebut, yaitu saat mengharap rahmat bagi hamba-hamba-Nya. Mereka adalah hamba-hamba-Mu dan bukan hamba selain-Mu. Jika Engkau mengadzab mereka, padahal mereka bukanlah hamba yang buruk dan durhaka, maka mengapa Engkau mengadzab mereka? Sebab adanya penghambaan mengharuskan ada-nya kebaikan dan kasih sayang terhadap hamba.

Kemudian Al-Masih berkata, "Jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". Beliau tidak mengatakan, "Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang", karena menjaga adab bersama Allah. Yang demikian ini dikatakan Al-Masih pada saat Allah murka kepada mereka dan memerintahkan agar mereka dimasukkan ke dalam neraka. Ini bukan merupakan kesempatan untuk meminta kasih sayang dan syafaat, tapi untuk membebaskan diri dari perbuatan mereka. Seandainya dikatakan, "Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang", berarti sama dengan meminta kasih sayang bagi musuh-musuh-Nya yang dimurkai-Nya. Jadi Al-Masih harus menyesuaikan diri dengan keadaan Allah yang sedang murka kepada mereka, sehingga tidak menyebutkan sifat rahmat, kasih sayang dan ampunan-Nya, tetapi menyebutkan keperkasaan dan kebijaksanaan, yang mengandung kesempurnaan kekuasaan dan ilmu-Nya. Dengan kata lain, jika Engkau mengampuni mereka, maka ampunan itu datang dari kesempurnaan kekuasaan dan ilmu, bukan karena ketidakmampuan membalas mereka dan bukan karena tidak tahu dosa-dosa mereka. Sebab bisa saja manusia mengampuni orang lain karena dia tidak mampu membalas kejahatan-nya atau karena tidak tahu kejahatannya.

Begitu pula perkatan Ibrahim, "Dan, jika aku sakit, maka Dia menyembuhkan aku". Beliau tidak mengatakan, "Jika Dia membuatku sakit", karena menjaga adab bersama Allah.

Begitu pula perkataan Adam, "Wahai Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri". Beliau tidak mengatakan, "Wahai Rabbi, Engkau telah menakdirkan kepadaku".

Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan agar seseorang menutup auratnya meskipun dalam keadaan sendirian tanpa di-lihat orang lain, untuk menjaga adab bersama Allah, karena kedekatan-nya dengan Allah, sekaligus sebagai pengagungan dan rasa malu kepada-Nya.

Abdullah bin Al-Mubarak berkata, "Siapa yang meremehkan adab, maka dia dihukum dengan tidak melaksanakan yang sunat. Siapa yang meremehkan yang sunat, maka dia dihukum dengan tidak melaksanakan yang wajib. Siapa yang meremehkan yang wajib, maka dia dihukum dengan tidak mendapatkan ma'rifat."

Ada yang berkata, "Adab dalam amal merupakan pertanda diterimanya amal itu."

Hakikat adab adalah menerapkan akhlak yang baik. Karena itu adab juga bisa dikatakan sebagai upaya mengeluarkan kesempurnaan dan kekuatan dalam tabiat kepada pelaksanaan. Allah telah mempersiapkan diri manusia untuk menerima kesempurnaan, dengan memberinya keahlian dan kesiapan, yang dijadikan Allah tersembunyi di dalam dirinya seperti api dalam sekam, lalu Allah memberinya ilham, kekuatan, ma'rifat dan petunjuk, mengutus para rasul, menurunkan kitab-kitab, untuk mengeluarkan kekuatan yang telah disempurnakan itu kepada perbuatan dan amal. Allah befirman : "Demi jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesung guhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (Asy-Syams: 7-10).

Allah menggambarkan penciptaan jiwa yang sama dan memiliki kesempurnaan, kemudian mengabarkan bahwa jiwa itu bisa menerima kefasikan dan ketakwaan, yang semua itu merupakan ujian dan cobaan baginya. Kemudian mengkhususkan keberuntungan bagi orang yang mensucikan jiwanya, menumbuhkan dan meninggikannya dengan adab yang dibawa para rasul dan wali-Nya. Kemudian Allah menetapkan penderitaan bagi orang yang mengotori jiwanya dan menodainya dengan kefasikan.

Adab adalah semua kandungan agama. Menutup aurat termasuk adab. Wudhu dan mandi janabah termasuk adab. Bersuci dari kotoran termasuk adab, termasuk pula berdiri di hadapan Allah dalam keadaan suci. Karena itu banyak orang yang suka berhias ketika shalat, karena mereka sedang berdiri di hadapan Allah. Saya pernah mendengar Syaikhul- Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Allah memerintahkan lanjutan dari menutup aurat dalam shalat, yaitu memakai pakaian yang indah, sebagaimana firman Allah, "Pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid". Allah mengaitkan perintah ini dengan memakai pakaian yang indah, bukan dengan menutup aurat, sebagai isyarat dan perkenan dari Allah bahwa selayaknya bagi hamba untuk mengenakan perhiasan dan pakaiannya yang paling indah saat mendirikan shalat."

Sebagian di antara orang-orang salaf ada yang memiliki pakaian yang harganya sangat mahal, yang biasa dikenakan saat shalat. Dia ber- kata, "Rabb-ku lebih berhak atas diriku untuk mengenakan pakaian ini dalam shalatku."

Sebagaimana yang sudah diketahui, Allah suka melihat pengaruh nikmat-Nya atas hamba, terlebih lagi saat hamba itu berdiri di hadapan- Nya. Keadaan yang paling baik saat berdiri di hadapan-Nya ialah dengan mengenakan pakaian yang bagus dan menampakkan nikmat-Nya secara zhahir dan batin.

Yang juga termasuk adab adalah larangan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, agar orang yang mendirikan shalat tidak mengarahkan pandangan ke arah langit. Saya mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Yang termasuk kesempurnaan

adab shalat ialah seorang hamba berdiri di hadapan Rabb-nya dalam keadaan merunduk, mengarahkan pandangan matanya ke tanah, dan tidak mengangkat pandangan ke atas."

Sementara golongan Jahmiyah, karena tidak memahami adab ini dan tidak mengenalnya, mengira ini merupakan dalil bahwa Allah tidak berada di atas 'Arsy di atas langit, seperti yang dikabarkan Allah tentang Diri-Nya, yang juga disepakati para rasul dan sesuai dengan ijma' Ahlus- Sunnah. Hal ini menunjukkan kebodohan mereka, bahkan merupakan bukti bahwa apa yang mereka pahami dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak sejalan dengan perkataannya. Sebab di antara adab di hadapan raja ialah larangan mengarahkan pandangan kepadanya dan harus melihat ke arah bawah. Lalu bagaimana dengan adab di hadapan Raja Segala Raja?

Saya juga pernah mendengar Syaikhul-Islam berkata tentang larangan membawa Al-Qur'an saat ruku' dan sujud, "Karena Al-Qur'an merupakan kalam Allah yang mulia. Sementara saat ruku' dan sujud merupakan keadaan hamba yang merendahkan diri. Maka adab bersama kalam Allah ialah tidak membacanya dalam dua keadaan ini. Saat yang paling layak untuk dibaca ialah saat berdiri

Di antara adab bersama Allah ialah tidak menghadap atau pun membelakangi Baitullah Al-Haram saat buang hajat, seperti yang diriwayatkan dari Nabi Sallallahu alaihi wasallam .Namun yang benar dalam masalah ini berlaku secara umum, baik buang hajat itu di tempat terbuka maupun di dalam bangunan.

Masih banyak adab-adab lain bersama Allah. Adapun adab bersa-ma Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sudah banyak disebutkan di dalam Al-Qur'an. Adab yang paling penting bersama beliau adalah ke-tundukan kepada beliau secara utuh, patuh kepada perintah beliau, menerima pengabaran beliau dengan pembenaran tanpa disertai penentangan yang berasal dari hayalan atau pemikiran, tanpa disertai kesang-sian dan keragu-raguan, tidak mengutamakan pendapat para pemimpin daripada pengabaran beliau, sehingga beliaulah satu-satunya yang dijadikan penentu hukum, dipatuhi dan diikuti, sebagaimana yang meng-utus beliau, Allah dijadikan satu-satunya yang disembah, yang dijadikan tempat bersandar dan tempat kembali.

Ini merupakan dua macam tauhid. Seorang hamba tidak selamat dari siksa Allah kecuali dengan dua tauhid ini, yaitu tauhid Allah yang mengutus rasul dan tauhid mengikuti rasul, sehingga seorang hamba tidak bertahkim kepada selain beliau dan tidak ridha terhadap hukum selain hukum beliau.

Di antara adab bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ialah tidak mendahului beliau dalam masalah perintah dan larangan, perkenan maupun perilaku, hingga beliau memerintah dan melarang, sebagaimana firman-Nya : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allahdan Rasul-Nya." (Al-Hujurat: 1).

Hal ini berlaku hingga hari kiamat dan sama sekali tidak terhapus. Mendahulukan Sunnah setelah beliau wafat, sama dengan mendahulu-kan Sunnah selagi beliau masih

hidup, tidak ada perbedaan di antara keduanya bagi orang yang memiliki akal yang sehat. Menurut Mujahid, maksudnya, janganlah kalian lancang membuat fatwa dengan mengalahkan Rasulullah. Abu Ubaidah berkata, "Orang Arab biasa berkata, "Janganlah kalian mendahului pemimpin dan adab". Artinya janganlah kalian terburu-buru mengambil perintah dan larangan dengan mengabaikannya." Yang lain lagi berkata, "Artinya, janganlah kalian memerintah sehingga beliau memerintah, dan janganlah kalian melarang sehingga beliau melarang."

Di antara adab bersama beliau adalah tidak mengeraskan suara di atas suara beliau, karena yang demikian ini bisa menggugurkan amalan. Maka lalu bagaimana dengan meninggikan pendapat di atas Sunnah beliau? Apakah yang demikian ini membuat amal bisa diterima, sementara meninggikan suara saja bisa menggugurkan amalan? Di antara adab bersama beliau ialah tidak menjadikan panggilan kepada beliau seperti panggilan kepada selain beliau. Firman Allah, "janganlah kalian jadikan panggilan Rasul di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian (yang lain)." (An-Nur: 63).

Ada dua pendapat tentang hal ini di kalangan para mufassir: Pertama, janganlah kalian memanggil dengan nama beliau (Muhammad) sebagaimana sebagian di antara kalian memanggil sebagian yang Iain, tetapi katakanlah, "Wahai Rasulullah, wahai Nabi Allah". Kedua, janganlah kalian menganggap panggilan beliau seperti panggilan sebagian di antara kalian terhadap sebagian yang lain, jika mau maka dia memenuhinya dan jika tidak mau maka dia meninggalkannya.

Di antara adab bersama beliau ialah seperti yang dilakukan para shahabat, bahwa jika mereka bersama beliau dalam suatu urusan yang melibatkan orang banyak, seperti saat beliau menyampaikan pidato, saat berjihad dan saat mengadakan persiapan untuk jihad, maka tak seorang pun di antara mereka yang pergi untuk suatu keperluan, sehingga dia meminta izin kepada beliau, sebagaimana firman-Nya, "Sesungguhnya yang benar-benar orang Mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam suatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya." (An-Nur: 62).

Jika kepergian ini dikaitkan dengan suatu keperluan yang ada pada saat itu, yang tidak mereka lakukan kecuali setelah meminta izin kepada beliau, lalu bagaimana dengan kepergian secara mutlak dari agama, meninggalkan dasar dan cabangnya?

Di antara adab bersama beliau ialah tidak menganggap rumit perkataan beliau, tapi yang dianggap rumit adalah berbagai pendapat. Juga tidak boleh mempertentangkan nash beliau dengan qiyas, tapi berbagai macam qiyas harus disingkirkan karena ada nash beliau. Juga tidak boleh mengalihkanperkataan beliau dari hakikatnya karena jalan-jalan pemikir-an manusia.

Sedangkan adab bersama makhluk ialah cara bermu'amalah dengan mereka, dengan mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan tingkatan mereka. Karena ada adab untuk masing-masing tingkatan. Ada adab khusus bersama kedua orang tua. Ada adab khusus bersama orang yang berilmu. Begitu pula bersama para pemimpin, kerabat, tetangga, rekan, tamu dan lain-lainnya, masing-masing ada adabnya sendiri-sendi-ri. Setiap keadaan juga mempunyai adab masing-masing, saat makan, minum, naik

kendaraan, masuk keluar rumah, bepergian, menginap, ti-dur, buang hajat, berbicara, diam, mendengarkan perkataan orang lain dan lain sebagainya.

Adab seseorang merupakan pertanda kebahagiaan dan keberuntungannya, sedangkan sedikit adab merupakan pertanda penderitaan dan kecelakaannya. Tidak ada yang mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat seperti halnya adab.

Perhatikan lah adab bersama kedua orang tua, bagaimana pelakunya bisa terbebas dari keadaannya yang terjebak di dalam gua, karena secara tiba-tiba mulut gua itu tertutup bongkahan batu.7

Perhatikan pula keadaan setiap orang yang celaka dan yang terkecoh, tidak mendapatkan apa yang diharapkannya karena adabnya yang minim.

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Adab artinya menjaga batas antara berlebih-lebihan dan meremehkan, sambil mengetahui bahaya pelanggaran."

Menyimpang ke salah satu sisi sikap berlebih-lebihan atau meremehkan menunjukkan minimnya adab. Yang disebut adab ialah berada di tengah-tengan di antara dua sisi, tidak meremehkan batas-batas sya-riat dengan meninggalkan kesempurnaannya, dan tidak pula melebihi batas batas syariat. Sebab kedua sisi ini merupakan pelanggaran. Allah tidak suka kepada orang-orang yang melanggar batas. Pelanggaran ini merupakan adab yang buruk.

Di antara orang salaf ada yang berkata, "Agama Allah ada di antara orang yang meremehkan dan berlebih-lebihan."

Menyia-nyiakan adab karena meremehkan seperti orang yang tidak menyempurnakan basuhan ke anggota wudhu' dan tidak memenuhi adabadab shalat yang disunnahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang kalau dihitung mendekati seratus adab, entah yang wajib maupun yang sunat. Menyia-nyiakan adab karena berlebih-lebihan seperti gangguan saat berniat lalu melafazhkannya, menyaringkan suara saat berdzikir dan berdoa, padahal disyariatkan untuk membacanya tanpa bersuara.

Mengambil jalan tengah dalam kaitannya dengan hak para rasul ialah tidak melebih-lebihkan anggapan tentang diri mereka, seperti yang dilakukan orang-orang Nasrani terhadap Al-Masih, namun juga tidak boleh meremehkan mereka seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi. Orang-orang Nasrani menyembah Al-Masih, sedangkan orang-orang Yahudi mendustakan dan bahkan membunuh nabi mereka. Umat yang adil ialah yang mengimani mereka, mendukung dan menolong serta meng-ikuti apa yang mereka bawa.

Mengambil jalan tengah dalam kaitannya dengan hak makhluk ialah tidak berlebih-lebihan dalam memenuhi hak mereka, sehingga mengalahkan kesibukannya untuk memenuhi hak-hak Allah atau menyempurnakannya.

Namun juga tidak boleh mengabaikan hak-hak makhluk. Dua sisi ini merupakan pelanggaran. Berdasarkan batasan ini, maka hakikat adab adalah sikap yang adil.

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, ada tiga derajat adab, yaitu:

1. Mencegah ketakutan agar tidak menjurus ke rasa putus asa, menahan harapan yang menjurus kepada rasa aman, menguasai kegembiraan yang menjurus kepada tindakan yang menyerupai kelancangan. Maksudnya, seorang hamba tidak membiarkan rasa takut yang membawanya ke suatu batasan yang membangkitkan rasa putus asa terhadap rahmat Allah. Rasa takut seperti ini adalah tercela. Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam berkata, "Batasan rasa takut ialah yang mencegahmu dari kedurhakaan kepada Allah. Yang lebih dari itu tidak dibutuhkan." Rasa takut yang menjurus kepada keputusasaan ini merupakan adab yang buruk terhadap rahmat Allah. Padahal rahmat-Nya mengalahkan kemurkaan-Nya, sekaligus menunjukkan ketidaktahuan tentang rahmat itu. Menahan harapan yang menjurus kepada rasa aman, artinya tidak melebih-lebihkan harapan hingga ke suatu batasan yang membuatnya merasa aman dari siksaan. Sesungguhnya tidak ada yang merasa aman dari tipu daya Allah kecuali orang-orang yang merugi. Batasan harapan ialah yang membuatmu merasa nyaman dalam melaksanakan ubudiyah dan mendorongmu untuk mengadakan perjalan kepada Allah. Yang demikian ini sama dengan angin berhembus yang memperjalankan perahu. Jika angin itu tidak berhembus, maka perahu pun juga berhenti. Tapi jika angin itu terlalu kencang, bias menimbulkan kebinasaan. Menguasai kegembiraan yang menjurus kepada tindakan yang menyerupai kelancangan, tidak dapat dilakukan kecuali orang-orang yang kuat hasratnya, yang tidak terlalu gembira karena kelapangan sehingga mengalahkan rasa syukurnya, dan tidak melemah karena kesempitan sehingga mengalahkan kesabarannya. Nafsu merupakanpasangansyetandan menyerupai sifat-sifatnya. Pemberian Allah turun ke dalam hati dan ruh. Sementara nafsu selalu mencuri dengar. Jika pemberian itu turun ke dalam hati, maka nafsu melompat untuk mengambil bagian dan menjadikannya sebagai golongan-nya. Orang yang membiarkan nafsu dan masa bodoh terhadapnya, berarti dia membiarkan nafsu itu berbuat semaunya. Apa pun yang masuk ke dalam hatinya, maka akan menjadi bagian nafsu dan perangkatnya, sehingga dia pun berbuat semena-mena dan aniaya serta melampaui batas, karena dia merasa cukup dengan diri dan nafsunya. Memang begitulah manusia yang suka melampaui batas, karena menganggap dirinya cukup dengan harta yang dimilikinya. Lalu bagaimana jika dia diberi yang lebih tinggi dan lebih penting daripada harta? Tentu dia akan menyimpang ke sisi yang tercela?

2. Keluar dari rasa takut ke medan penguasaan, naik dari harapan ke medan pengungkapan, naik dari kegembiraan ke medan kesaksian. Dalam derajat pertama

disebutkan cara menjaga batasan di antara beberapa kedudukan agar tidak menyimpang ke salah satu sisi yang mencerminkan adab yang buruk. Sedangkan dalam derajat ini disebutkan adab untuk menjaga agar derajat pertama tidak sia-sia. Dengan kata lain, hendaklah seorang hamba berpindah dari bayangan keadaan ke ruhnya. Rasa takut merupakan bayangan dan penguasaan diri meru-pakan ruhnya. Harapan merupakan bayangan dan pengungkapan merupakan ruhnya. Kegembiraan merupakan bayangan dan kesak-sian merupakan ruhnya.

3. Mengetahui adab, melebur dalam adab yang diberikan Allah, kemudian membebaskan diri dari segala beban adab. Mengetahui adab artinya mengetahui hakikat setiap derajatnya, yang tercakup dalam derajat ketiga ini dan yang sekaligus mencakup dua derajat sebelumnya. Jika hal ini sudah diketahui dan merupakan keadaan seorang hamba, tentu dia akan melebur ke dalam adab yang diberikan Allah kepadanya, melebur ke dalam kesaksian hakikat. Pele-buran diri ke dalam adab inilah yang disebut adab yang hakiki. Se-hingga dalam keadaan seperti itu dia akan terbebas dari segala beban adab dan hal hal yang memberatinya. Sebab dengan meleburkan diri ke dalam kesaksian hakikat, maka tidak ada sesuatu pun beban adab yang memberatinya.

Yaqin

Yaqin merupakan bagian dari iman, tak ubahnya kedudukan ruh dari badan. Dengan yaqin ini orang-orang yang memiliki ma'rifat menjadi tehormat, banyak orang yang berlomba karenanya, orang-orang yang beramal berusaha mendapatkannya dan semua isyarat mereka tertuju kepadanya. Jika sabar berpasangan dengan yaqin, maka akan lahir kepemimpinan dalam agama, sebagaimana firman-Nya : "Dan, Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan, adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami." (As-Sajdah: 24).

Allah mengkhususkan orang-orang yang yaqin, bahwa hanya merekalah yang bisa mengambil manfaat dari ayat-ayat dan bukti-bukti keterangan, sebagaimana firman-Nya : "Dan, di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orangorang yang yaqin." (Adz-Dzariyat: 20).

Allah juga mengkhususkan orang-orang yang yakin, bahwa hanya merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk dan keberuntungan di antara para penduduk bumi : "Dan, mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu serta mereka yang yaqin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabbnya dan merekalah orang-orang yang beruntung." (Al-Baqarah: 4-5).

Allah juga mengabarkan bahwa para penghuni neraka adalah mereka yang tidak yaqin : "Dan, apabila dikatakan (kepada kalian), 'Sesungguhnya janji Allah itu adalah benar dan hari berbangkit itu tidak ada keraguan padanya', niscaya kalian menjawab,

'Kami tidak tahu apakah hari kiamat itu, kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak meyaqini(nya)'." (Al-Jatsiyah: 32).

Yaqin merupakan ruh amal hati, yang sekaligus merupakan run amal anggota tubuh dan merupakan hakikat sifat shidq serta inti Islam.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi, beliau bersabda : "Janganlah sekali-kali kamu membuat seseorang ridha dengan kemurkaan Allah, dan janganlah sekali-kali kamu memuji seseorang dengan mengatas namakan karunia Allah, dan janganlah sekali-kali kamu mencela seseorang selagi Allah tidak mengizinkanmu, karena sesungguhnya rezki Allah tidak dihela kepadamu karena hasrat seseorang yang berhasrat dan tidak ditolak darimu karena kebencian seseorang yang benci, dan sesungguhnya Allah, dengan keadilan dan neraca-Nya Dia menjadikan ruh dan kegembiraan ada dalam ridha dan yaqin, menjadikan kekhawatiran dan kesedihan ada dalam keragu-raguan dan kemarahan."

Yaqin merupakan pasangan tawakal. Karena itu ada yang menafsiri tawakal dengan kekuatan keyakinan. Yang benar, tawakal merupakan buah yaqin. Maka ada baiknya jika petunjuk disertai dengan yaqin. Selagi yaqin sampai ke dalam hati, maka ia akan memenuhinya dengan cahaya dan kemuliaan, membersihkannya dari keragu-raguan dan kemarahan, kekhawatiran dan kesedihan mengisinya dengan cinta kepada Allah, rasa

takut, ridha, syukur, tawakal dan penyandaran kepada-Nya. Jadi yaqin merupakan materi semua kedudukan.

Ada perbedaan pendapat tentang kedudukan yaqin, apakah sebagai keadaan yang diusahakan ataukan merupakan pemberian?

Ada yang berpendapat, yaqin merupakan ilmu yang disusupkan ke dalam hati. Yang berarti bukan diperoleh karena usaha. Menurut Sahl, yaqin merupakan tambahan iman, sementara iman diperoleh dengan usaha.

Yang benar, yaqin diperoleh karena usaha jika ditilik dari sebabsebabnya, dan merupakan pemberian jika ditilik dari dzatnya.

Abu Bakar bin Thahir berkata, "Ilmu masih dimungkinkan untuk diragukan. Sedangkan di dalam yaqin tidak ada keraguan sama sekali."

Menurut Dzun-Nun, yaqin mengajak untuk tidak terlalu berharap. Tidak terlalu berharap mengajak kepada zuhud. Zuhud menghasilkan hikmah, dan hikmah mendorong untuk memandang akibat di kemudian hari. Masih menurut pendapatnya, ada tiga tanda yaqin: Tidak terlalu banyak bergaul dengan manusia, tidak memuji mereka jika mendapat pemberian, dan tidak mencela mereka jika tidak mendapat pemberian mereka. Ada tiga tanda lainnya, yaitu: Memandang kepada Allah dalam segala sesuatu, kembali kepada-Nya dalam segala sesuatu, dan memohon pertolongan kepada-Nya dalam keadaan bagaimana pun.

Menurut Al-Junaid, yaqin merupakan kemantapan ilmu yang tidak dapat diubah dan tidak pula diganti serta tidak berubah apa yang ada di dalam hati. Menurut Ibnu Atha', seberapa jauh kedekatan mereka dengan takwa, maka sejauh itu pula mereka bisa mengetahui yaqin. Dasar takwa adalah menyalahi apa yang dilarang atau menyalahi nafsu. Sejauh mana mereka memisahkan diri dari nafsu, maka sejauh itu pula mereka akan mencapai yaqin.

Menurut Abu Bakar Al-Waraq, yaqin merupakan pengendali hati. Kesempurnaan iman terjadi karenanya. Allah bisa diketahui dengan yaqin, dan dengan akal ada pemikiran tentang Allah. Yaqin itu ada tiga macam : Yaqin pengabaran, yaqin pembuktian dan yaqin kesaksian. Yaqin pengabaran artinya ketenangan hatimu dan kepercayaannya terhadap kabar yang disampaikan pemberi kabar. Yaqin pembuktian setingkat di atas yaqin pengabaran, yaitu penerimaan pengabaran itu dengan disertai dalil dan bukti keterangan. Hal ini sebagaimana umumnya pengabaran tentang iman, tauhid dan Al-Qur'an yang dikuatkan Allah dengan berbagai dalil, perumpamaan dan bukti-bukti keterangan yang menunjukkan kebenaran pengabaran-Nya. Dengan begitu manusia bisa menerima yaqin dari dua sisi, dari sisi pengabaran dan sekaligus dari sisi dalil.

Dari sini meningkat lagi ke tingkatan ketiga, yaitu yaqin pengungkapan. Dengan yaqin ini seakan-akan hati mereka bisa merasakan kehadiran pemberi kabar di hadapannya, sehingga pada saat itu kaitan iman kepada yang gaib dengan hati seperti obyek pandangan dengan mata. Ini merupakan ti ngkatan pengungkapan yang paling tinggi. Ini pula yang diisyaratkan dalam perkataan Amir bin Qais, "Jika tabir disingkap, maka keyakin-an akan bertambah." Ini bukan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan tidak pula merupakan perkataan Ali seperti anggapan sebagian orang. Sebagian orang ada yang berkata, "Aku bisa melihat surga dan neraka secara hakiki."

Ada yang bertanya, "Bagaimana hal itu bisa terjadi?" Dia menjawab, "Aku melihatnya dengan kedua mata Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Aku melihat dengan kedua mata beliau lebih baik daripada aku melihat dengan kedua mataku sendiri, karena pandanganku bisa salah semuanya, lain dengan pandangan beliau."

Yaqin membuatnya siap mengemban beban dan menghadapi bahaya serta mendorongnya untuk maju terus ke depan. Jika yaqin tidak disertai ilmu, maka ia membawanya kepada kerusakan, sedangkan ilmu menyuruhnya untuk mundur ke belakang, dan jika ilmu tidak disertai yaqin, maka pelakunya tidak mau bergerak dan tidak mau berusaha.

An-Nahr Jury berkata, "Jika hakikat yaqin sudah sempurna pada diri hamba, maka cobaan bagi dirinya sama dengan nikmat dan kela-pangan sama dengan musibah."

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Yaqin merupakan kendaraan orang yang meniti jalan ini dan merupakan puncak derajat orang awam.

Ada yang berpendapat, yaqin merupakan langkah pertama orang yang khusus."

Yaqin membawa pejalan kepada Allah, seperti yang dikatakan Abu Sa'id Al-Kharaz, "Ilmu adalah yang mendorongmu untuk berbuat dan yaqin adalah yang membawa dirimu. Yaqin adalah kendaraan yang ditunggangi orang yang berjalan kepada Allah. Tanpa adanya yaqin, seorang pelancong tidak akan sampai kepada Allah."

Pengarang Manazilus-Sa'irin menjadikan yaqin ini sebagai akhir atau puncak derajat orang-orang awam, karena memang inilah akhir perjalanan mereka. Kemudian dia menceritakan perkataan seseorang, bahwa yaqin merupakan langkah pertama orang-orang yang khusus. Dengan kata lain, yaqin bukan merupakan tempat kedudukan mereka, tapi merupakan permulaan perjalanan mereka. Dari yaqin inilah mereka memulai perjalanan.

Sebab orang-orang khusus ini melakukan perjalanan ke inti pemaduan dan kefanaan dalam mempersaksikan hakikat, hasrat tidak per-nah berhenti dan tidak terhambat oleh rupa.

Tapi boleh saja bagimu menjadikan yaqin ini sebagai puncak perjalanan orang-orang awam dan awal perjalanan mereka.

Ada tiga derajat yaqin:

1. Ilmul-yaqin. Artinya menerima apa pun yang tampak dari Allah dan menerima apa yang tidak tampak dari Allah serta berada pada apa yang ditegakkan Allah.

Pengarang Manazilus Sa'irin menyebutkan tiga perkara dalam derajat ini, yang semuanya merupakan kaitan yaqin dan rukun-rukunnya, yaitu:

- Menerima apa pun yang tampak dari Allah, yaitu berupa perintah, larangan, syariat, agama-Nya dan apa pun yang tampak dari-Nya, yang disampaikan para rasul. Kita harus menerimanya dengan patuh dan tunduk kepada Rububiyah dan masuk ke dalam ubudiyah.

- Menerima apa yang tidak tampak dari Allah, yaitu iman kepada yang gaib, yang dikabarkan Allah lewat lisan para rasul-Nya, tentang perka-raperkara akhirat, surga, neraka, shirath, timbangan, hisab, tentang langit yang terbelah, planet-planet yang berhamburan, gunung-gunung yang dicabut dari tempatnya dan alam dibalik, tentang alam barzakh, nikmat dan siksanya. Sebelum semua ini harus ada iman dan pembenaran, yaitu yaqin. Artinya, di dalam hati tidak boleh ada keraguan, kesangsian dan kelalaian. - Berada pada apa yang ditegakkan Allah, yaitu ilmu tauhid, yang asas-nya adalah penetapkan asma' dan sifat. Kebalikannya adalah penia-daan dan penafian. Tauhid ini merupakan kebalikan dari peniadaan. Tauhid yang berorientasi tujuan dan kehendak ialah memurnikan amal karena Allah dan menyembah-Nya semata. Kebalikannya adalah syirik. Sedangkan peniadaan tauhid lebih buruk daripada syirik. Sebab pelakunya mengingkari Dzat dan juga kesempurnaan-Nya, atau juga bisa disebut pengingkaran terhadap hakikat Uluhiyah. Dari segi dzat, dia menganggap Allah tidak bisa mendengar,

melihat, berbicara, tidak meridhai, tidak murka, tidak bisa berbuat apa pun, tidak berada di dalam dan di luar alam, tidak berhubungan dan tidak berpisah dengan alam, tidak berada di atas 'Arsy dan tidak pula di bawahnya. Ada atau tidak ada-Nya dianggap sama. Sementara orang musyrik tetap mengakui keberadaan Allah dan sifat-sifat-Nya, tetapi dia menyembah selain-Nya di samping juga menyembah-Nya. Berarti orang musyrik lebih baik daripada orang yang meniadakan Dzat dan sifat Allah. Tiga perkara ini merupakan ilmu manusia yang paling mulia, yaitu ilmu tentang perintah dan larangan, ilmu tentang asma' dan sifat serta tauhid, ilmu tentang hari akhirat.

2. Ainul-yaqin. Artinya yang membutuhkan kesaksian dari suatu kesaksian, yang membutuhkan pandangan dengan mata telanjang dari suatu pengabaran dan kesaksian yang menyibak tabir ilmu. Perbedaan antara ilmul-yaqin dan ainul-yaqin seperti perbedaan anta-ra pengabaran yang benar dan pandangan secara langsung. Sedangkan haqqul-yaqin di atas keduanya. Tiga tingkatan ini dapat diumpamakan dengan ucapan seseorang yang berkata kepadamu, bahwa dia mempunyai madu. Engkau tidak menyangsikan kebenaran pengabarannya itu. Ketika dia memperlihatkan madu itu kepadamu, maka yaqinmu semakin bertambah, kemudian engkau mencicipinya. Yang pertama disebut ilmul-yaqin, yang kedua disebut ainul-yaqin, dan yang ketiga disebut haqqul-yaqin. Pengetahuan kita tentang surga dan neraka disebut ilmul-yaqin. Jika surga diperlihatkan kepada orangorang yang bertakwa dan neraka diperlihatkan kepada orang-orang yang durhaka, sementara semua makhluk juga menyaksikannya, maka itulah yang disebut ainul-yaqin. Jika penghuni surga sudah berada di surga dan penghuni neraka berada di dalam neraka, maka saat itulah disebut haqqul-yaqin. Orang yang berada dalam derajat ini mencari dalil untuk mendapatkan pengetahuan tentang suatu obyek yang dikuatkan dengan dalil itu, seperti penguatan pengabaran dengan pandangan secara langsung. Kesaksian atau pengetahuannya dapat menyingkap tabir ilmu, lalu membawanya kepada obyek yang harus diketahui, sehingga pandangan dan hatinya menjadi terkuak.

3. Haqqul-yaqin. Artinya mengobarkan cahaya penyingkapan, membebaskan diri dari beban yaqin dan melebur dalam haqqul-yaqin. Derajat ini tidak bisa diperoleh di dunia kecuali oleh para rasul. Nabi kita melihat surga dan neraka dengan mata kepala sendiri selagi be-liau masih hidup di dunia. Musa mendengar kalam Allah tanpa peran-tara.

Allah menampakkan Diri-Nya kepada gunung dan Musa melihat kejadian ini, hingga gunung itu hancur berkeping-keping. Memang pada tingkatan tertentu kita bisa mendapatkan haqqul-yaqin, yaitu dengan merasakan hakikat iman yang dikabarkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang berkaitan dengan hati dan amal-amalnya. Jika hati dapat merasakannya, maka ia berhak untuk berada pada haqqulyakin. Tetapi untuk perkara-perkara akhirat dan hari kia-mat, melihat Allah dengan mata kepala sendiri

serta mendengar kalam Allah secara langsung tanpa perantara, maka yang seharusnya dilaku-kan orang Mukmin di dunia ini hanya sebatas iman dan ilmul-yaqin. Sedangkan haqqul-yaqin ditangguhkan hingga tiba saatnya nanti. Tapi jika orang yang mengadakan perjalanan dapat mewujudkan kesaksian hakikat, berakhir kepada kefanaan dan sampai kepada keber-samaan, maka inilah yang disebut mengobarkan cahaya penyingkapan. Artinya mewujudkan cahaya yaqin yang dapat mengalahkan kegelap-an tabir.

Membebaskan diri dari beban yaqin artinya bahwa yaqin mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi pemiliknya, beban dan kesulitannya diemban. Jika dia melebur dalam tauhid, maka dia akan mendapatkan perkara-perkara lain yang tinggi, sehingga akhirnya dia seperti orang yang dibawa setelah dia membawa, seperti terbang setelah berjalan kaki, sehingga hak-hak yang harus dipenuhi dan diembannya itu tidak lagi terasa. Yang menyisa pada dirinya hanya hembusan napas, seperti air yang dimiliki ikan. Ini semua kembali kepada dominasi rasa, yang tidak perlu buru-buru diingkari.

Perhatikanlah keadaan seorang shahabat (Amr bin Al-Hammam) sewak-tu perang Uhud, yang mengambil beberapa buah korma yang dibawa-nya sebagai bekal. Karena dia haus dan lapar, maka dia duduk sambil memakan kormanya itu. Tapi karena dia melihat pasar mati syahid yang ramai, dia segera bangkit dari duduknya lalu melempar kormanya, seraya berkata, "Ini merupakan kehidupan yang terlalu lama, selagi aku masih hidup dan masih memakan korma-korma ini." Seketi-ka itu pula dia bertempur hingga terbunuh sebagai syahid. Begitu pula keadaan para shahabat lainnya, yang tidak jauh berbeda dengan keadaan ini.

Jinak Bersama Allah

Menurut pengarang i4/-Manar, jinak bersama Allah merupakan ruh taqarrub. Karena itu dia menyelaraskan kedudukannya dengan firman-Nya : "Dan, apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwaAku adalah dekat Aku mengambulkanpermohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku." (Al-Baqa-rah: 186).

Hati hamba yang merasakan kebaikan, kebajikan dan keramahan ini mengharuskan kedekatannya dengan Allah. Kedekatannya dengan Allah mengharuskan adanya kejinakan, dan kejinakan ini merupakan buah ketaatan dan cinta. Setiap orang yang taat tentu jinak dan setiap orang yang durhaka tentu liar. Kedekatan mengharuskan adanya kejinakan, keengganan dan cinta.

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, kejinakan bersama Allah ini ada tiga derajat:

1. Kejinakan bersama kesaksian, yaitu manisnya ingatan, mencari santapan dengan pendengaran dan memperhatikan isyarat. Inti dari pernyataan ini terletak pada kata kesaksian, yang menurut orang-orang ada dua macam:

- Hakikat, yaitu apa yang ada di dalam hati hamba, sehingga seakan dia melihat dan menyaksikannya, karena hakikat ini sudah memenuhi hatinya. Apa yang menguasai hatinya dan apa yang diingatnya, seakan akan dia dapat menyaksikannya. Di antara mereka ada yang disaksikannya adalah amal, ada yang berupa ingatan, ada yang berupa cinta dan ada yang berupa rasa takut. Orang yang berjalan kepada Allah menjadi jinak karena kesaksiannya ini dan menjadi liar jika dia kehilangan kesaksiannya.

- Kesaksian keadaan, yaitu pengaruh yang ada pada diri hamba, yang tampak pada amal, perilaku dan keadaannya. Jika dia mempersaksikannya, maka itulah yang akan tampak pada dirinya. Yang dimaksudkan pengarang Manazilus Sa'irin adalah kesaksian yang pertama, yang karenanya seorang hamba menjadi jinak dan merasakan manisnya ingatan serta menyuapi hati dengan memperhatikan dan mendengarkan, sebagaimana dia menyuapi badan dengan makanan dan minuman. Jika dia benar-benar orang yang mencintai seca-ra tulus, mencari apa yang ada di sisi Allah dan ridha-Nya, maka san-tapannya adalah dengan mendengarkan Al-Qur'an. Karena inilah san-tapan orangorang yang terkemuka dari umat Islam dan mereka yang hatinya paling bersih dan mereka yang keadaannya paling benar, yaitu para shahabat. Namun jika dia orang yang menyimpang dan rusak keadaannya, tertipu dan terpedaya, maka santapannya ialah dengan mendengarkan suara-suara syetan, yang isinya dicintai hawa nafsu dan yang para pelakunya adalah orang-orang yang paling jauh dengan Allah serta yang tabir penghalangnya paling tebal, sekalipun isyarat-isyarat-nya yang mengarah kepada Allah cukup banyak. Mendengarkan kandungan Al-Qur'an biasa dilakukan orang-orang yang memiliki ma'rifat tentang Allah, yang memiliki istiqamah untuk meniti jalan Allah yang lurus. Pikiran yang jernih tentu bisa mengam-bil makna, isyarat, ma'rifat dan ilmu dari Al-Qur'an. Hati yang mulia bisa mengambil santapan dengan cahaya kejinakan, lalu ia bisa menda-patkan kenikmatan rohani. Kenikmatan ini merasuk ke relung hati dan ruh, bahkan bias mengimbas hingga ke badan dan menimbulkan kenikmatan yang tidak bisa disamai kenikmatan inderawi. Memang santapan dengan mendengarkan ini memiliki rahasia yang amat lembut, karena memang tempatnya yang juga lembut dan halus. Maka tidak heran jika banyak orang yang suka mendengarkan bait-bait sya'ir, karena di dalam sya'ir itu terkandung santapan hati, kekuat-an dan kenikmatannya. Andaikan engkau membawa seribu ayat atau seribu pengabaran kepadanya, maka ia tidak akan memberikan tem-pat untuk mendengarkan penyampaianmu, karena baginya hal itu le-bih besar artinya daripada berbagai macam fenomena yang ditekuni para filosof dan teolog. Ketahuilah bahwa Allah menjadikan dua macam santapan bagi hamba:

- Santapan yang berupa makanan dan minuman yang bersifat inderawi. Hati akan menyimpulkannya dan setiap bagiannya akan mendapatkan sesuai dengan kesiapan dan penerimaannya.

- Santapan rohani dan spiritual, yang tidak ada kaitannya dengan makanan dan minuman, yaitu berupa kegembiraan, kesenangan, kenikmatan, ilmu dan ma'rifat. Dengan santapan ini dia menjadi unsur langit yang tinggi, dan dengan santapan yang pertama dia menjadi unsur bumi yang rendah. Dia menjadi tegak karena dua macam santapan ini. Dia mempunyai keterkaitan dengan masing-masing di antara lima indera dan santapan yang sampai kepadanya. Dia mempunyai keterkaitan dengan indera rabaan dan santapan yang sampai kepadanya. Begitu pula indera penciuman dan rasa. Sementara keterkaitan dirinya dengan indera pendengaran dan penglihatan lebih kuat daripada keterkaitannya dengan selain keduanya, dan sampainya santapan kepada keduanya lebih sempurna dan lebih kuat daripada selainnya, sehingga peran dua indera ini lebih dominan daripada indera yang lain. Maka tidak heran jika kita mendapatkan Al-Qur'an banyak menyertakan dua indera ini, daripada penyertaan-nya dengan indera yang lain. Bahkan hampir pendengaran dan penglihatan ini merupakan pasangan, yang satu tidak disebutkan melainkan yang satunya juga disebutkan, sebagaimana firman Allah : "Dan, Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran dan penglihatan serta hati, agar kalian bersyukur." (An-Nahl: 78).

"Dan, sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka fahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak diperguna-kannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tan-datanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orangorang yang lalai." (Al-A'raf: 179). Allah befirman tentang sifat orang-orang kafir, "Mereka tuli, bisu dan buta, maka mereka tidak mengerti." (Al-Baqarah: 171).

Peranan pendengaran dan penglihatan sangat dominan, karena pe-ngaruh sesuatu yang didengar dan dilihat lebih besar daripada pe-ngaruh sesuatu yang diterima rabaan, rasa dan penciuman. Maka inilah tiga jalan ilmu, yaitu: Pendengaran, penglihatan dan akal. Ketergantungan dan keterkaitan hati dengan pendengaran, lebih kuat daripada ketergantungan dan keterkaitannya dengan penglihatan. Karena itu pengaruh kenikmatan yang didengar, lebih besar daripada penga-ruh keelokan yang dilihat. Begitu pula hal-hal yang dibenci menurut pendengaran dan penglihatan. Maka satu dari dua pendapat yang lebih benar, bahwa indera pendengaran lebih mulia daripada indera penglihatan, karena kaitannya yang erat dengan hati dan besarnya kebutuhan pendengaran kepada hati, ketergantungan kesempurnaan pendengaran kepada hati dan sampainya ilmu ke pendengaran yang bergantung kepada hati. Sementara ada golongan lain yang lebih menguatkan indera penglihatan, karena kesempurnaan fungsinya,

kerjanya yang tidak menge-nal kedustaan dan dengan penglihatan ini segala keraguan bisa di-singkirkan. Apa yang diperoleh dengan penglihatan disebut ainul-ya-qin, sedangkan yang diperoleh dengan pendengaran adalah ilmul-yaqin. Ainul-yaqin lebih baik dan lebih sempurna daripada ilmul-ya-qin. Apalagi jika dikaitkan dengan melihat Wajah Allah di surga pada hari kiamat, yang tidak ada kenikmatan lebih tinggi daripada kenikmatan ini.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah membuat keputusan yang sangat baik di antara dua golongan ini, dengan berkata, "Orang yang memiliki pengetahuan dengan indera pendengaran, lebih umum dan lebih menyeluruh. Sementara orang yang memiliki pengetahuan dengan penglihatan, lebih komplit dan lebih sempurna. Pendengaran memi-liki keumuman dan cakupan yang menyeluruh, meliputi yang ada dan yang tidak ada, yang sekarang dan yang lampau, yang inderawi dan yang spiritual, sedangkan penglihatan memiliki kesempurnaan." Jika masalah ini sudah diketahui, maka lima indera ini mempunyai bayangan dan ruh. Ruhnya adalah bagian hati., semua indera berhubungan dengan hati dan sanubari, dengan hubungan yang sangat kuat dan saling menyesuaikan, tergantung dari peranan masing-masing indera, sesuai dengan apa yang telah diciptakan Allah. antara manusia ada yang hatinya tidak mempunyai bagian kecuali seperti bagian yang di-miliki hewan, yang kedudukannya serupa dengan kedudukan hewan. Antara dirinya dan hewan sama-sama pada derajat pertama dari dera-jat kemanusiaan. Karena itu Allah menyamakan orang semacam ini layaknya hewan piaraan, dan bahkan menganggapnya lebih sesat lagi. Firman-Nya : "Ataukah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (daripada binatang ternak itu)."(Al-Furqan: 44).

Karena itu Allah menajikan pendengaran, penglihatan dan akal dari diri orang-orang kafir. Boleh jadi penafian ini karena mereka tidak bisa mengambil manfaat dengan pendengaran, penglihatan dan akal itu, sehingga keberadaannya sama dengan tidak adanya, atau boleh jadi penafsiran itu tertuju kepada pendengaran dan penglihatan hati. Hal ini mereka ketahui ketika semua perkara dikuakkan di hadapan mereka, seperti perkataan para penghuni neraka : "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala- nyala." (Al-Mulk: 10). Begitu pula firman-Nya : "Dan, kamu melihat mereka itu memandang kepadamu padahal ia tidak melihat." (Al-A'raf: 198).

Ada dua ta'wil tentang ayat ini: Pertama, orang-orang kafir melihat rupa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan indera yang tampak dan tidak melihat beliau sebagai sosok nabi, atau dengan indera batin yang merupakan penglihatan hati. Kedua, kata mereka dalam ayat ini adalah berhala-berhala, yang maksudnya merupakan penyerupaan, atau seakan-akan berhala-berhala itu memandangmu, padahal mereka

tidak mempunyai penglihatan yang digunakan untuk memandangmu. Namun artinya juga bisa saling berhadapan, seperti perkataan, "Rumahku memandang rumahmu", atau rumahku berhadapan dengan rumahmu. Begitu pula keadaan orang-orang kafir yang memiliki pendengaran dan hujjah telah ditegakkan kepada mereka, tapi pendengaran hati dinajikan dari mereka. Mereka mendengarkan Al-Qur'an dengan pendengaran inderawi, seperti kambing yang biasa mendengarkan panggilan dan teriakan penggembalanya, namun tidak bisa mendengarkan panggilan itu dengan ruh yang hakiki, yang menjadi ruh indera pendengaran dan merupakan bagian hati. Andaikan mereka mendengarkannya dari sisi ini, tentu mereka akan mendapatkan kehidupan yang menyenangkan, yang muncul karena pengaruh pendengaran terhadap hati. Dengan begitu mereka tidak disebut bisu dan tuli, terselamatkan dari kobaran api neraka. Pendengaran yang hakiki merupakan dasar munculnya kehidupan yang menyenangkan. Sementara kehidupan yang menyenangkan merupakan jenis kehidupan yang paling sempurna di dunia ini, dan dengan ini puladapatdiperoleh santapan hati, sehingga tercipta kesempurnaan dalam kekuatan, hidup, kegembiraan dan kenikmatannya. Jika hati tidak mendapatkan santapan yang baik, berarti santapannya buruk. Jika santapannya buruk, berarti hidupnya juga buruk, hilang kekuatan dan kegembiraannya, seperti halnya badan, jika santapannya buruk, maka hidupnya juga menjadi buruk. Karena keterkaitan pendengaran yang zhahir dengan hati sangat kuat dan jarak di antara keduanya lebih dekat daripada jarak antara penglihatan dan hati, maka pengaruh keterkaitan ini lebih cepat daripada pengaruh keterkaitan penglihatan dengan hati. Karena itu ada orang yang langsung pingsan tak sadarkan diri ketika mendengar perkataan yang menyenangkan atau menyedihkannya, atau pun suara yang merdu merayu. Sementara dia tidak akan pingsan jika melihat sesuatu yang elok. Apa yang didengarkan ini berpengaruh amat besar di dalam hati. Tapi terkadang pelakunya tidak merasakannya jika dia sibuk dengan urusan yang lain, karena saat itu tidak ada keselarasan antara zhahir dan batinnya. Jika dia membebaskan dirinya dari hal-hal yang lain, maka akan muncul kekuatan pengaruh itu. Jika ruh dan hati dalam keadaan bebas dan terputus dari kaitan-kaitan badan, maka porsi yang didengarkannya relatif lebih banyak dan lebih kuat. Jika yang didengarkan merupakan makna yang mulia dan ditunjang dengan suara yang merdu, maka hati akan menyerap makna tersebut dan ruh akan menikmati bagian kemerduan suara, sehingga kenikmatan yang dida-patkan seakan menjadi berlipat, menguasai seluruh badan dan bah-kan orang-orang di sekitarnya. Yang demikian ini tidak diperoleh kecuali dengan mendengarkan kalam Allah. Jika ruh dalam keadaan bebas dan siap, hati menyatu dengan ruh makna, semua menghadapkan diri terhadap apa yang didengarkan, apalagi jika ditunjang dengan suara yang merdu, maka seakan hati bisa lepas dari alam ini, lalu menuju ke alam lain. Pada saat itulah akan diperoleh kenikmatan dan keadaan yang amat menyenangkan, yang

tidak bisa diserupai hal-hal lain. Ini merupakan sentuhan lembut dari keadaan para penghuni surga. Sementara yang demikian itu tidak bisa diperoleh dengan mendengarkan suara-suara yang berbau syetan. Kalaupun ada kenikmatan yang dirasakan, maka itu hanya semata karena suara yang merdu, bukan karena maknanya yang khusus. Tidak ada kenikmatan para penghuni surga yang lebih tinggi daripada kenikmatan memandang Wajah Allah, kekasih mereka, dengan mata telanjang, serta mendengarkan kalam-Nya. Abdullah bin Al-Imam Ahmad menyebutkan sebuah atsar di dalam Kitabus-Sunnah, tapi tidak ada penjelasan lebih lanjut, apakah riwayat ini mauquf ataukah mar-fu', yang bunyinya, "Jika manusia mendengarkan Al-Qur'an pada hari kiamat dari Allah Yang Maha Pemurah, maka seakan-akan me reka tidak pernah mendengar yang seperti itu." Jika hati dipenuhi sesuatu dan terjadi pertentangan antara yang zha-hir dan batin, maka telinga berperan menyampaikan ke hati apa yang sesuai dengannya, sekalipun apa yang didengarkan itu tidak menun-jukkan maksudnya dan juga tidak dikehendaki pembicaranya serta tidak menunjuk ke makna tertentu. Semua terbatas pada suara semata. Pendengaran yang paling sempurna ialah pendengaran orang yang mendengar berkat pertolongan Allah dan mendengarkan apa yang dating dari Allah, yaitu kalam-Nya. Ini adalah pendengaran orang-orang yang jatuh cinta dan yang dicintai, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits qudsy riwayat Al-Bukhary : "Hamba-Ku tidak mendekat kepada-Ku seperti dia melaksanakan apa yang Kufardhukan kepadanya. Hamba-Ku senantiasa mendekat kepada- Ku dengan melaksanakan nafilah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang, Aku menjadi kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Maka dengan-Ku dia mendengar, melihat, memegang dan berjalan." Hati dapat terpengaruh karena pendengaran, tergantung dari cinta yang ada di dalamnya. Jika hati dipenuhi cinta kepada Allah dan suka mendengarkan kalam Kekasihnya, atau dengan menghadirkan Allah di dalam hatinya, maka seperti itulah keadaannya. Jika hati tidak diisi dengan kecintaan kepada Allah, berarti keadaannya juga tidak seperti itu. Keadaan yang kedua ini ada tiga macam:

- Orang yang hatinya diisi dengan sifat-sifat nafsu, sehingga hatinya berupa nafsu semata, dikuasai bencana nafsu dan seruan nafsu. Bagi-an pendengarannya seperti bagian binatang, yang tidak mendengar kecuali panggilan dan teriakan. Perbedaan di antara keduanya tidak jauh berbeda.

- Orang yang nafsunya diisi dengan sifat-sifat hati, sehingga nafsunya berupa hati semata. Dia dikuasai ma'rifat, cinta dan penalaran serta kesenangan terhadap sifat-sifat kesempurnaan. Nafsunya bercahaya karena cahaya hati. Pendengarannya merupakan

santapan hati dan ruhnya serta kenikmatannya di dunia ini. Karena pengertian seperti inilah banyak orang yang terlena dengan mendengarkan pantun dan sya'ir, sehingga membuat mereka menyimpang dari jalan lurus, entah ke kanan entah ke kiri entah ke belakang.

- Orang yang memiliki salah satu dari dua kedudukan. Hatinya tetap berada pada fitrahnya yang pertama, tetapi nafsunya bertingkah lalu mengalihkannya dari fitrah itu dan menghilangkan tanda-tandanya, atau adakalanya nafsu tidak mampu mengalihkan hati itu dari fitrahnya. Begitu pula bagiannya berkaitan dengan pendengaran, yang akan memilih salah satu dari dua keadaan. Pada saat hati mendapat kemenangan, maka dia menjadi kuat, dan jika pada saat tertentu nafsunya yang menang, maka dia menjadi lemah. Sedangkan pendengaran yang berbau syetan, dilakukan dengan kebalikan cara-cara di atas, yang meliputi sekian banyak kerusakan, lebih dari seratus macam kerusakan. Kami tidak menyebutkannya satu per-satu karena terlalu panjang uraiannya. Kembali ke pembahasan semula tentang derajat pertama dari kejinak-an bersama Allah, bahwa kejinakan bersama kesaksian dengan memperhatikan isyarat, maksud isyarat di sini ialah makna-makna yang tertuju ke hakikat, dari tempat yang jauh dan dari balik tabir. Terkadang isyarat ini berasal dari sesuatu yang didengarkan, terkadang dari sesuatu yang dilihat, terkadang dari sesuatu yang dinalar dan terkadang dari sesuatu yang diterima semua indera. Isyarat termasuk jenis bukti dan pertanda. Sebabnya adalah kejernihan yang diperoleh per-paduan beberapa unsur, sehingga perasaan dan pikiran mendapat sentuhan halus, lalu terbangkit untuk mengetahui perkara-perkara yang lembut, yang tidak bisa diperoleh dengan cara lain. Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Yang benar, isyarat ialah yang ditunjukkan lafazh dari pintu qiyas yang pertama." Contoh yang bisa diberikan adalah firman Allah, "Tidak ada yang menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan." Makna yang benar tentang ayat ini ialah lembaran-lembaran yang ada di tangan para malaikat. Hal ini dengan beberapa pertimbangan, di antaranya:

- Sebelumnya disifati sebagai kitab-kitab yang terpelihara. Maksud-nya tidak dapat dilihat mata. Tidak ada makna lain tentang hal ini kecuali kitab-kitab yang ada di tangan para malaikat.

- Hamba-hamba yang suci (muththahharun) adalah para malaikat. Kalau punyang dimaksudkan adalah orang-orang yang wudhu', maka dikatakan mutathahharun, sebagaimana firman Allah, "Sesungguh-nya Allah menyiikai orang-orang yang bertaubat dan menyvkai orang-orang yang bersuci." Para malaikat adalah hamba-hamba yang suci, sedangkan orang-orang Mukmin adalah hamba-hamba yang bersuci.

- Kalimat dalam ayat ini merupakan pengabaran. Andaikata merupakan larangan tentu dikatakan, "Tidak boleh menyentuhnya", dengan menggunakan kata larangan.

- Ini merupakan sanggahan terhadap orang yang berkata, bahwa sye-tan datang dengan membawa Al-Qur'an. Lalu Allah mengabarkan bahwa Al-Qur'an itu berada di dalam kitab yang terpelihara, tidak dapat disentuh dan diraba syetan, seperti firman-Nya : "Dan, Al-Qur'an itu tidak dibawa turun oleh syetan-syetan, dan tidaklah patut mereka membawa turun Al-Qur'an itu, dan mereka pun tidak akan kuasa." (Asy-Syu'ara': 210-211). Yang bisa membawanya adalah ruh-ruh yang suci, yaitu para malaikat.

- Malik berkata di dalam Muwaththa', "Tafsir terbaik yang pernah kudengar tentang ayat ini adalah pernyataan serupa yang difirmankan Allah yang lain, "Maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang di-tinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti." (Abasa: 12-16).

- Sekiranya yang dimaksudkan adalah kitab yang ada di tangan manusia, tentu tidak didahului dengan sumpah Allah yang amat agung. Sebagaimana yang sudah dimaklumi, setiap perkataan yang ada di dalam suatu kitab, bisa benar dan bisa salah. Lain halnya jika kitab itu disertai dengan sumpah, bahwa ia berada di dalam kitab yang terpelihara, tidak bisa dilihat mata, ada di sisi Allah, tidak bisa disentuh dan dijamah syetan serta tidak disentuh kecuali oleh ruh-ruh yang suci. Jadi, makna inilah yang lebih tepat untuk ayat di atas, tanpa ada keraguan di dalamnya. Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Dengan isyarat ayat ini menunjukkan bahwa Mushhaf Al-Qur'an tidak disentuh kecuali oleh hamba yang suci (para malaikat). Jika Mushhaf ini tidak disentuh kecuali hamba-hamba yang suci, mengingat kehormatannya di sisi Allah, maka Mushhaf Al-Qur'an ini pun lebih layak jika tidak disentuh kecuali orang yang dalam keadaan suci." Saya juga pernah mendengar Syaikhul-Islam berkata tentang sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Para malaikat tidak masuk suatu rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar", bahwa jika para malaikat yang termasuk jenis makhluk merasa terhalang untuk masuk rumah yang ada anjing dan gambarnya, maka bagaimana mungkin hati yang diisi anjing dan gambar syahwat bisa diisi ma'rifat tentang Allah, cinta kepada-Nya dan kejinakan berdekatan dengan-Nya? Inilah isyarat lafazh yang benar. Ada gambaran lain, bahwa kesucian pakaian dan badan merupakan syarat sahnya shalat dan persiapan sebelum shalat. Jika tidak, maka shalatnya dianggap batal dan rusak. Lalu bagaimana jika hatinya yang najis dan pelakunya tidak mensucikannya? Bagaimana mungkin hati itu siap untuk shalat? Bukankah kesucian zhahir hanya bisa disempurnakan dengan kesucian batin?

2. Kejinakan karena cahaya pengungkapan, yaitu kejinakan yang lebih tinggi dari kejinakan derajat pertama, yang dikuasai gerakan-gerakan yang tidak beraturan, yang dihempas gelombang kefanaan, yang mampu menguasa akal manusia dan merampas kekuatan mereka ser-ta mengikat mereka dengan belenggu ilmu. Karena hal inilah disebut-kan dalam doa, "Aku memohon kepada-Mu kerinduan untuk bersua dengan-

Mu, tanpa ada kesempitan yang menimbulkan mudharat, tidak pula cobaan yang menyesatkan." Apa perbedaan antara cahaya kejinakan dan cahaya pengungkapan, sehingga salah satu di antara keduanya menjadi sebab bagi yang lain? Perbedaannya, cahaya pengungkapan termasuk masalah ma'rifat dan pengungkapan hakikat bagi hati, sedangkan cahaya kejinakan termasuk masalah kedekatan dan ketenangan terhadap siapa yang dijinaki. Kebalikan jinak adalah liar dan kebalikan cahaya pengungkapan ada-lah kegelapan tabir. Awal dari kejinakan yang disebutkan di sini ialah mengungkap asma' dan sifat yang memang selaras dengan kejinakan dan menjadi gantungannya, seperti asma' Al-Jamil, Al-Birr, Al-Lathif, Al-Wadud, Al-Halim, Ar-Rahim dan lain-lainnya. Kebergantungan kepada asma' ini semakin kuat jika akal tenggelam di dalamnya, yang dipadu dengan asma' lainnya, sehingga akal dipaksa dengan kekuasaannya. Orang yang memiliki kejinakan ini melihat kefanaan mengitari dirinya dan menempatkan dirinya seakan berada di lautan yang bergelombang, bergerak kesana kemari. Inilah makna perkataannya, "Dikuasai gerakan- gerakan yang tidak beraturan, yang dihempas gelombang kefanaan". Menguasai akal manusia dan merampas kekuatan mereka, artinya karena mereka melihat sesuatu di atas pengetahuan akal dan di atas kekuatan indera zhahir serta batin, sehingga menimbulkan kekuatan kesak-sian dan kekuasaan terhadap akal. Mereka yang sudah sempurna dalam masalah ini menjadi tegar seakan tidak bergerak layaknya gunung. Mengikat mereka dengan belenggu ilmu, artinya ilmu itu mengikat pemiliknya sedangkan ma'rifat membebaskannya dan membuatnya bisa melihat hakikat segala sesuatu, sehingga segala belenggu yang muncul karena tidak adanya cahaya ma'rifat menjadi sirna. Orang yang memiliki ma'rifat adalah orang yang memiliki cahaya pengungkapan, hati dan pengetahuannya tentang hakikat jauh lebih luas serta lebih bebas daripada orang yang memiliki ilmu. Perbandingan di antara keduanya seperti orang berilmu dengan orang bodoh. Seba-gaimana orang berilmu yang lebih luas pengetahuannya tentang hakikat dan mempunyai kebebasan karena ilmunya, maka orang yang memiliki ma'rifat lebih luas pengetahuannya tentang hakikat daripada orang yang berilmu. Orang berilmu terikat dengan fenomena-fenomena ilmu dan hukumhukumnya, sedangkan orang yang memi-liki ma'rifat tidak melihat fenomena dan hukum ilmu sebagai pengikat. Berangkat dari sinilah orang-orang zindiq melakukan penyimpangan. Mereka mengira bahwa jika mereka melihat hakikat sesuatu dan raha-sia-rahasianya, maka mereka melepaskan ikatan zhahir dan rupanya, sibuk dengan tujuan dan melupakan sarana, sibuk dengan hakikat dan melalaikan rupa. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak akan sam-pai kepada Allah dalam perjalanannya, karena mereka dirampok di tengah perjalanan. Memang telah ada kesepakatan bahwa orang-orang yang memiliki ma'rifat harus berbicara tentang hakikat dan mereka memerintahkan untuk beralih dari rupa dan hal-hal yang tampak ke hakikat serta tidak boleh berhenti. Lalu orang-orang zindiq

beranggapan bahwa mereka juga sudah lepas dari rupa dan hal-hal yang zhahir itu. Tidak dapat diragukan bahwa siapa yang membual seperti ini, maka dia termasuk golongan mereka. Allah akan menghimpun yang buruk dengan yang buruk lainnya, lalu melemparkan mereka semua ke dalam neraka Jahannam, dan merekalah orang-orang yang merugi. Sementara orang yang ada dalam derajat ini mengisyaratkan kepada makna yang benar seperti yang diisyaratkan para pemimpin mereka yang lurus. Penggunaan dalil dengan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Aku memohon kepada-Mu kerinduan untuk bersua dengan-Mu, tanpa ada kesempitan yang menimbulkan mudharat, tidak pula coba-an yang menyesatkan", tidak tepat dalam hal ini. Sebab tidak ada ke-selarasan antara kerinduan bersua dengan Allah, yang mendorong untuk melakukan persiapan, dengan hantaman gelombang kef anaan yang menguasai akal mereka.

3. Kejinakan ketiadaan dalam mempersaksikan hakikat, yang tidak bias diungkap dengan kata-kata dan tidak bisa disebut batasannya. Kejinakan pada derajat ini sulit diungkapkan lewat kata-kata, tidak bisa dibatasi pandangan mata, ciri dan hakikat. Kekuasaan hakikat di atas isyarat, ungkapan dan makna bahasa.

Dzikir

Dzikir (mengingat Allah dengan hati dan menyebut-Nya dengan lisan) merupakan tempat persinggahan orang-orang yang agung, yang di sanalah mereka membekali diri, berniaga dan ke sanalah mereka pulang kembali.

Dzikir merupakan santapan hati, yang jika tidak mendapatkannya, maka badan menjadi seperti kuburan dan mati. Dzikir merupakan senja-ta yang digunakan untuk menghadapi para perampok jalanan, merupakan air yang bisa menghilangkan rasa dahaga di tengah perjalanan, merupakan obat yang menyembuhkan penyakit. Jika mereka tidak mendapatkannya, maka hati mereka akan mengkerut, karena dzikir merupakan perantara dan penghubung antara diri mereka dengan alam gaib.

Dengan dzikir mereka menolak bencana dan menyingkirkan kesusahan, se-hingga musibah yang menimpa mereka terasa remeh. Jika ada bencana yang datang, maka mereka berlindung kepada dzikir. Yang pasti dzikir merupakan taman surga yang mereka diami dan modal kebahagiaan yang mereka pergunakan untuk berniaga. Dzikir mengajak hati yang dirundung kepiluan untuk tersenyum gembira dan menghantarkan pelaku-nya kepada Dzat yang didzikiri, dan bahkan membuat pelakunya menja-di orang yang seakan tidak layak untuk diingat.

Dalam setiap anggota tubuh ada ubudiyah yang dilakukan secara temporal. Sedangkan dzikir merupakan ubudiyah hati dan lisan yang tidak mengenal batasan waktu. Mereka diperintahkan untuk mengingat sesembahan dan kekasihnya dalam keadaan seperti apa pun, saat berdiri, duduk, telentang. Seakan-akan surga itu merupakan kebun

dan dzikir adalah tanamannya. Begitu pula hati yang bisa diibaratkan bangunan yang kosong, maka dzikirlah yang membuat bangunan itu semarak.

Dzikir adalah pembersih dan pengasah hati serta obatnya jika hati itu sakit. Selagi orang yang berdzikir semakin tenggelam dalam dzikir-nya, maka cinta dan kerinduannya semakin terpupuk terhadap Dzat yang diingat. Jika ada keselarasan antara hati dan lisan, maka pelakunya akan lalai terhadap segala sesuatu. Sebagai gantinya, Allah akan menjaganya dari segala sesuatu. Dengan dzikir, pendengaran menjadi terbuka, lisan tidak keluar dan kegelapan menyingkir dari pandangan. Dengan dzikir ini Allah menghiasi lisan orang-orang yang berdzikir, sebagaimana Dia meng-hiasi pandangan orang-orang yang bisa memandang dengan cahaya. Lisan yang lalai seperti mata yang buta, telinga yang tuli dan tangan yang bun-tung.

Dzikir merupakan pintu Allah yang paling lebar dan besar, terbuka di antara Allah dan hamba-Nya, selagi pintu itu tidak ditutup sendiri oleh hamba dengan kelalaiannya.

Al-Hasan Al-Bashry berkata, "Carilah kemanisan dalam tiga perkara : Dalam shalat, dalam dzikir dan membaca Al-Qur'an. Jika kalian tidak mendapatkannya, maka ketahuilah bahwa pintunya dalam keadaan tertutup."

Dengan dzikir, hamba bisa mengalahkan syetan, sebagaimana sye-tan yang dapat mengalahkan orang-orang yang lalai dan lupa diri. Di antara orang salaf ada yang berkata, "Jika dzikir ada di dalam hati, lalu syetan mendekatinya, maka dia langsung kalah, sebagaimana manusia yang dikalahkan syetan jika syetan mendekatinya. Dalam keadaan kalah ini syetan-syetan berkerumun di sekelilingnya. Di antara mereka berta-nya, 'Ada apa dengan orang ini?' Yang lain menjawab, 'Dia sedang gila'." Dzikir merupakan ruh amal-amal yang shalih. Jika amal terlepas dari dzikir, maka amal itu seperti badan yang tidak memiliki ruh.

Di dalam Al-Qur'an disebutkan sepuluh versi dalam hubungannya dengan dzikir, yaitu:

1. Perintah dzikir secara terbatas dan tidak terbatas.

2. Larangan kebalikannya, yaitu lupa dan lalai.

3. Keberuntungan yang bergantung kepada banyaknya dzikir dan kontinyuitasnya.

4. Pujian terhadap para pelakunya dan pengabaran tentang surga dan ampunan yang dijanjikan Allah bagi mereka.

5. Pengabaran tentang kerugian yang mengabaikan dzikir dan sibuk dengan selainnya.

6. Allah mengingat orang-orang yang mengingat-Nya sebagai balasan bagi mereka.

7. Pengabaran bahwa dzikir lebih besar dari segala sesuatu.

8. Allah menjadikan dzikir sebagai penutup amal-amal yang shalih dan sekaligus sebagai kuncinya.

9. Pengabaran tentang para pelakunya, bahwa mereka adalah orangorang yang bisa mengambil manfaat dari ayat-ayat Allah dan merekalah orang-orang yang berakal.

10. Allah menjadikan dzikir sebagai pendamping segala amal yang shalih dan ruhnya. Jika amal tidak disertai dzikir, maka ia seperti jasad tanpa ruh.

Perintah dzikir seperti yang disebutkan dalam firman Allah : "Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut tiama) Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan, bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepada kalian dan malaikat-Nya (memohon ampunan untuk kalian), supaya Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan, adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman." (Al-Ahzab: 41-43).

"Dan, sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut" (Al-A'raf: 205).

Di sini ada dua pendapat: Pertama, berdzikir di dalam hatimu dan sembunyi-sembunyi. Kedua, dengan lisan, sehingga engkau pun bisa mendengarnya. Larangan kebalikan dzikir, yaitu lalai, seperti firman Allah : "Dan, janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (Al-A'raf:

"Dan, janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah,lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri." (Al-Hasyr: 19). Tentang keberuntungan yang bergantung kepada banyaknya dzikir dan kontinyuitasnya, seperti firman Allah : "Dan, sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung (Al-Anfal:45)

Pujian terhadap para pelakunya dan kebaikan pahala mereka, seperti firman Allah : "... dan laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. "(Al-Ahzab: 35).

Kerugian orang yang mengabaikan dan melalaikan dzikir, seperti firman Allah : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi." (Al-Munafiqun: 9).

Allah mengingat orang-orang yang mengingat-Nya sebagai balas-an bagi mereka, seperti firman-Nya : "Karena itu ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepada kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku." (Al-Baqarah: 152).

Pengabaran bahwa dzikir lebih besar dari segala sesuatu, seperti firman-Nya : "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al- Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah itu adalah lebih besar." (Al-Ankabut: 45).

Ada tiga pendapat tentang makna lebih besar di sini, yaitu:

- Mengingat Allah lebih besar dari segala sesuatu dan merupakan ketaatan yang paling utama. Sebab maksud dari seluruh ketaatan adalah menegakkan dzikir kepada Allah,

sehingga dzikir ini merupakan raha-sia dan ruh ketaatan.

- Maknanya, jika kalian mengingat Allah, maka Dia mengingat kalian. Sementara pengingatan Allah terhadap kalian lebih besar daripada pengingatan kalian kepada-Nya.

- Mengingat Allah itu lebih besar daripada membiarkan kekejian dan kemungkaran. Bahkan jika dzikir ini lebih sempurna, maka dzikir itu bisa menghapus segala kesalahan dan kedurhakaan. Begitulah yang disebutkan para mufasir.

Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata : "Makna ayat ini, bahwa di dalam shalat terkandung dua faidah yang amat besar, yaitu: Fungsi shalat itu yang bisa mencegah kekejian dan kemungkaran, kandungan shalat itu terhadap dzikir kepada Allah. Kandungan dzikir ini lebih besar daripada fungsi pencegahannya terhadap kekejian dan kemungkaran."

Penutup amal-amal yang shalih ialah dengan dzikir, seperti dzikir sebagai penutup puasa. Firman-Nya : "Dan, hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hcndaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur." (Al-Baqarah: 185).

Dzikir sebagai penutup haji, seperti firman-Nya, "Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kalian menyebut-nye-but nenek moyang kalian atau bahkan berdzikirlah lebih banyak dari itu." (Al-Baqarah: 200).

Dzikir sebagai penutup shalat, seperti firman-Nya, "Maka apabila kalian telah menyelesaikan shalat, ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring." (An-Nisa': 103).

Dzikir sebagai penutup shalat Jum'at, seperti firman-Nya, "Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyak-nya supaya kalian beruntung." (Al-Jumu'ah: 10).

Tentang pengkhususan orang-orang yang berdzikir, yang bias mengambil manfaat dan pelajaran dari ayat-ayat Allah, sehingga mereka disebut pula orang-orang yang berakal, seperti firman-Nya : "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih berganti-nya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orangorang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring." (Ali Imran: 190-191).

Tentang dzikir yang berfungsi sebagai pendamping segala amal dan sekaligus merupakan ruhnya, seperti firman Allah yang menyertakan dzikir dengan shalat : "Dan, dirikanlah shalat untuk mengingat Aku." (Thaha: 14).

Allah menyertakan dzikir dengan puasa, haji dan amal-amal lainnya, dan bahkan menjadikan dzikir ini sebagai ruh haji dan intinya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam : "Sesungguhnya thawaf di sekeliling Ka'bah, sa'i antara Shafa dan

Marwah. dan melempar jumrah itu dijadikan hanya untuk menegakkan dzikir kepada Allah."

Allah juga menyertakannya dengan jihad, memerintahkan dzikir saat berhadapan dengan pasukan musuh, seperti firman-Nya : "Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan (musuh), maka berteguhhatilah kalian dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung." (Al-Anfal: 45).

Orang-orang yang berdzikir adalah orang-orang yang lebih dahulu berjalan, sebagaimana yang diriwayatkan Muslim di dalam Shahih-nya, dari hadits Al-Ala', dari ayahnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah melewati suatu jalan di Makkah, lalu beliau melewati sebuah bukit yang disebut Jumdan. Beliau bersabda, "Teruskanlah perjalanan kalian. Ini adalah Jumdan, dan para mufarridun telah dahulu berjalan." Para shahabat bertanya, "Siapakah para mufarridun itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang berdzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya, laki-laki dan wanita."

Di dalam Al-Musnad disebutkan secara marfu', dari hadits Abud- Darda' Radhiyallahu Anhu : "Ketahuilah, akan kuberitahukan kepada kalian tentang amal-amal kalian yang paling baik, paling suci di sisi Raja kalian, paling tinggi dalam derajat kalian, lebih baik bagi kalian daripada penganugerahan emas dan perak, lebih baik jika kalian berhadapan dengan musuh, lalu kalian memenggal leher mereka atau mereka yang memenggal leher kalian". Mereka bertanya, "Apa itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Dzikir kepada Allah Azza wa jalla."

Beliau juga bersabda, sebagaimana yang disebutkan di dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id Al-Khudry Radhiyallahu Anhuma : "Tidaklah segolongan orang berdzikir kepada Allah melainkan para malaikat mengelilingi mereka, menyelubungi mereka dengan rahmat, menurunkan kepada mereka ketenangan, dan Allah menyebut mereka di antara orang-orang yang ada di sisi-Nya."

Bukti kemuliaan dzikir ini, Allah membangga-banggakan para pelakunya

di hadapan para malaikat, sebagaimana yang disebutkan di dalam Shahih Muslim, dari Mu'awiyah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menemui sekerumunan para shahabat, sera-ya bertanya, "Apa yang membuat kalian berkumpul?" Mereka menjawab, "Kami berkumpul untuk menyebut nama Allah,

memuji-Nya karena telah menunjuki kami kepada Islam dan menganugerahkan Islam itu kepada kami." Beliau bersabda, "Demi Allah, apakah hanya karena itu yang mendorong

kalian untuk berkumpul?" Mereka menjawab, "Demi Allah, hanya inilah yang mendorong kami untuk berkumpul." Beliau bersabda, "Sebenarnya aku tidak meminta kalian untuk bersumpah karena curiga terhadap kalian. Hanya saja Jibril telah mendatangiku dan mengabarkan kepadaku, bahwa Allah membangga-banggakan kalian kepada para malaikat."

Seorang Arab dusun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Apakah amal yang paling utama?" Maka beliau menjawab,"Engkau meninggalkan dunia, sedang lisanmu dalam keadaan basah karena sering menyebut nama Allah."

Ada pula seseorang yang pernah berkata kepada be liau, "Sesungguhnya syariat-syariat Islam terlalu banyak bagiku. Maka perintahkanlah kepadaku suatu perkara yang dapat kujadikan gantungan." Maka beliau bersabda, "Buatlah lisanmu senantiasa basah karena menyebut nama Allah."

Di dalam Al-Musnad disebutkan dari hadits Jabir, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menemui kami seraya bersabda : "Wahai manusia, merumputlah kalian di kebun-kebun surga." Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kebun-kebun surga itu?" Beliau menjawab, "Majlis-majlis dzikir." Beliau juga pernah bersabda : "Pergilah kalian pada waktu pagi dan petang hari serta berdzikirlah. Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah, maka hendaklah dia melihat bagaimana kedudukan Allah di sisinya. Karena Allah menempatkan hamba di sisi-Nya sebagaimana dia menempatkan-Nya di sisinya."

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam meriwayatkan dari Ibrahim Alaihis-Salam pada malam Isra', bahwa Ibrahim Alaihis-Salam berkata kepada Rasulullah : "Sampaikanlah salam dariku kepada umatmu dan kabarkanlah kepada mereka bahwa surga itu bagus tanahnya, segar airnya, bahwa surga itu merupakan kebun-kebun dan adapun tanamannya adalah kalimat Subhanallah walhamdu lillah wa la ilaha illallah wallahu akbar." (Diriwayatkan At-Tirmidzy, Ahmad dan lain-lainya).

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Abu Musa Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda : "Perumpamaan orang yang menyebut nama Rabbnya dan orang yang tidak menyebut nama-Nya seperti orang hidup dan orang mati."

Lafazh Muslim disebutkan : "Perumpamaan rumah yang di dalamnya disebutkan nama Allah dan rumah yang di dalamnya tidak disebutkan nama Allah seperti orang

hidup dan orang mati."

Beliau menganggap rumah orang yang berdzikir seperti rumah yang hidup dan semarak, sedangkan rumah orang yang lalai dan tidak berdzikir sama dengan rumah orang mati atau kuburan. Dalam lafazh pertama, orang yang berdzikir disamakan dengan orang yang hidup, dan orang yang lalai tidak mau berdzikir disamakan dengan orang yang mati. Dua lafazh ini mencakup pengertian bahwa hati yang berdzikir seperti orang hidup yang berada di rumah orang-orang yang juga hidup, sedangkan orang yang lalai tidak mau berdzikir seperti orang mati yang berada di dalam kuburan. Tidak dapat diragukan bahwa tubuh orang-orang yang lalai merupakan kuburan bagi hati mereka, dan hati mereka yang ada di dalam badannya seperti orang mati di dalam kuburan,

sebagaimana yang dikatakan dalam syair : "Lalai menyebut nama Allah merupakan kematian hati jasad mereka adalah kuburan sebelum masuk ke liang kubur ruh berada

di dalam tubuh mereka dalam keadaan liar saat kembali pun mereka tidak mempunyai tempat kembali."

Dalam atsar Ilahy disebutkan : "Allah befirman, 'Jika yang menang atas hamba-Ku adalah menyebut nama-Ku, tentu dia mencintai-Ku dan Aku pun mencintainya." Dalam atsar Ilahy yang lain disebutkan : "Wahai anak Adam, kamu tidak adil kepada-Ku. Aku mengingatmu namun kamu melupakan Aku, Aku menyerumu namun kamu lari kepada selainAku, Aku menyingkirkan bencana darimu, namun kamu senantiasa berada pada kesalahan-kesalahan. Wahai anak Adam, apa yang akan kamu katakan besok jika kamu datang kepada-Ku?"

Dalam atsar Ilahy yang lain disebutkan : "Wahai anak Adam, ingatlah Aku ketika kamu marah, niscaya Aku mengingatmu ketika Aku murka. Ridhalah terhadap pertolongan-Ku kepadamu, karena pertolongan-Ku kepadamu lebih baik daripada pertolonganmu untuk dirimu sendiri."

Di dalam Ash-Shahih juga disebutkan atsar Ilahy yang diriwayatkan

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dari Rabb : "Siapa yang mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku mengingatnya di dalam Diri-Ku, dan siapa yang mengingat-Ku di keramaian orang, maka Aku mengingatnya di keramaian yang lebih baik daripada mere-ka."

Saya telah menyebutkan sekitar seratus faidah dzikir dalam kitab Al-Wabilush-Shayyib, beserta rahasia-rahasia, keagungan manfaat dan buahnya yang bagus. Di sana juga saya sebutkan tiga macam dzikir, yaitu :

- Dzikir asma, sifat dan makna-maknanya, pujian terhadap Allah dengan asma dan sifat sifat itu serta pengesaan Allah.

- Dzikir perintah dan larangan, halal dan haram.

- Dzikir karunia, nikmat, kemurahan dan kebaikan.

Ada tiga macam dzikir lainnya yang berkaitan dengan cara pelaksanaannya, yaitu:

- Dzikir dengan menyelaraskan antara lisan dan hati. Ini merupakan tingkatan dzikir yang paling tinggi.

- Dzikir dengan hati semata.

- Dzikir dengan lisan semata.

Pengarang Manazilus-Sa'irin berkata, "Dzikir artinya membebaskan , diri dari lalai dan Iupa." Perbedaan antara lalai dan Iupa, bahwa lalai merupakan pilihan pelakunya. Sedangkan Iupa bukan karena pilihannya. Karena itu Allah befirman, "Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai". Tidak dikatakan, "Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lupa", karena lalai tidak termasuk dalam pembebanan kewajiban, sehingga tidak dilarang.

Menurut Syaikh, ada tiga derajat dzikir, yaitu:

1. Dzikir secara zhahir, berupa pujian, doa atau pengawasan. Yang dimaksudkan zhahir adalah apa yang disampaikan lisan dan sesuai dengan suara hati. Jadi tidak sekedar dzikir sebatas lisan semata, karena banyak orang yang tidak beranggapan seperti ini. Sedangkan pujian seperti ucapan Subhanallah wal-hamdu lillah, la ilaha illallah wallahu akbar. Sedangkan doa seperti yang banyak disebutkan dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah, dan hal ini sangat banyak jenisnya. Sedangkan pengawasan, seperti ucapan, "Allah besertaku. Allah melihatku. Allah menyaksikan aku", dan lain sebagainya yang dapat menguatkan kebersamaannya dengan Allah, yang intinya mengandung pengawasan terhadap kemaslahatan hati, menjaga adab bersama Allah, mewaspadai kelalaian dan berlindung dari syetan serta hawa nafsu. Dzikir-dzikir Nabawy menghimpun tiga perkara, yaitu: Pujian terhadap Allah, penyampaian doa dan permohonan, pengakuan terhadap Allah. Maka disebutkan di dalam hadits, "Doa yang paling baik adalah ucapan alhamdulillah." Ada seseorang bertanya kepada Sufyan bin Uyainah, "Apa pasalnya alhamdulillah dijadikan doa?" Maka dia menjawab, "Apakah engkau tidak mendengar perkataan Umayyah bin Ash-Shallat kepada Abdullah bin Jud'an yang mengharapkan pemberiannya, "Layakkah aku menyebutkan kebutuhanku, padahal orang yang memberiku telah mencukupi aku? Perilakumu itu pun sudah disebut pemberian." Dzikir-dzikir Nabawy juga mencakup kesempurnaan pengawasan, kemaslahatan hati, kewaspadaan dari kelalaian dan berlindung dari syetan.

2. Dzikir tersembunyi, yaitu membebaskan diri dari segala belenggu, berada bersama Allah dan hati yang senantiasa bermunajat kepada Rabb-nya. Yang dimaksudkan tersembunyi di sini ialah dzikir hanya dengan hati. Ini merupakan buah dari dzikir yang pertama. Sedangkan maksud membebaskan diri dari segala belenggu artinya membebaskan diri dari lalai dan Iupa, membebaskan diri dari tabir penghalang antara hati dan Allah. Berada bersama Allah artinya seakan-akan dapat melihat Allah. Senantiasa bermunajat artinya menjadikan hati bermunajat, terkadang dengan cara merendahkan diri, terkadang dengan cara memuji, mengagungkan dan lain sebagainya dari macam-macam munajat yangdilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau dengan hati. Ini merupakan keadaan setiap orang yang jatuh cinta dan yang dicintai.

3. Dzikir yang hakiki, yaitu pengingatan Allah terhadap dirimu, membebaskan diri dari kesaksian dzikirmu dan mengetahui bualan orang yang berdzikir bahwa ia berada dalam dzikir. Dzikir dalam derajat ini disebut yang hakiki, karena dzikir itu dinisbatkan kepada Allah. Sedangkan dzikir yang dinisbatkan kepada hamba, maka itu bukan yang hakiki. Allah yang mengingat hamba-Nya merupakan dzikir (pengingatan) yang hakiki. Ini merupakan kesaksian dzikir Allah terhadap hamba-Nya dan Dia menyebutnya di antara orang-orang yang layak untuk diingat, lalu menjadikannya orang yang senantiasa

berdzikir kepada-Nya. Jadi pada hakikatnya dia orang yang berdzikir untuk kepentingan dirinya sendiri. Karena Allahlah yang menjadikan dirinya orang yang berdzikir kepada-Nya, lalu Allah pun mengingatnya. Orang yang berada dalam dzikir lalu dia mempersaksikan terhadap dirinya bahwa dia orang yang berdzikir, merupakan bualan. Padahal dia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat. Bualan ini tidak hilang dari dirinya kecuali jika dia meniadakan kesaksian terhadap dzikirnya.

Fakir

Kefakiran merupakan persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in yang paling mulia dan paling tinggi. Bahkan ini merupakan ruh dan inti setiap persinggahan. Semua ini bisa diketahui setelah mengetahui hakikat kefakiran dan makna yang lebih khusus dari sekedar maknanya yang asli.

Lafazh fakir disebutkan di dalam Al-Qur'an di tiga tempat yaitu :

Yang pertama adalah : "(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara

mendesak." (Al-Baqarah: 273).

Jumlah orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin sekitar empat ratus orang. Mereka tidak mempunyai tempat tinggal dan juga sanak kerabat di Madinah. Sementara mereka tidak bisa berusaha karena harus berjihad di jalan Allah. Mereka melibatkan diri dalam pasukan perang yang dikirim Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan mereka adalah Ahlush-Shuffah (orang-orang yang bertempat tinggal di serambi-serambi

masjid). Inilah salah satu dari berbagai pendapat tentang keadaan mereka yang aktif berjihad di jalan Allah.

Ada pula yang berpendapat, diri mereka tertahan untuk melakuka ketaatan (ibadah) kepada Allah. Ada pula yang berpendapat, kefakir-an dan kepapaan menahan mereka untuk bergabung dalam jihad di jalan Allah.

Ada pula yang berpendapat, bahwa ketika mereka memerangi musuhmusuh Allah dan berjihad di jalan Allah, maka mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mencari sumber penghidupan. Adapun pendapat yang benar, karena kefakiran, kelemahan dan ketidak mampuannya, maka mereka tidak bisa berusaha di muka bumi. Tapi karena mereka menjaga kehormatan dirinya, maka orang-orang yang memang tidak mengetahui

keadaan mereka yang sesungguhnya, mengira bahwa mereka adalah orang berkecukupan.

Tempat yang kedua : "Sesungguhnya shadaqah-shadaqah (zakat) itu hanyalah untuk orang orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." (At-Taubah: 60).

Tempat yang ketiga : "Hai manusia, kamulah yang fakir terhadap Allah." (Fathir: 15). Ayat pada tempat pertama adalah orang-orang fakir secara khusus. Yang kedua adalah orang-orang fakir dari kaum Muslimin, secara khusus maupun umum. Yang ketiga adalah kefakiran secara umum dari semua penduduk bumi, yang wujudnya kaya atau miskin, yang Mukmin maupun kafir. Orang-orang fakir yang disifati dalam ayat pertama kebalikan dari orang-orang yang berkecukupan, orang yang tidak terhalang karena berjihad di jalan Allah dan orang yang tidak menyembunyikan kefakirannya karena menjaga kehormatan diri. Kebalikan dari mereka lebih banyak dari kebalikan orang-orang yang disebutkan dalam ayat kedua. Kebalikan dari orang-orang yang disebutkan dalam ayat kedua adalah orangorang kaya dan berkecukupan. Yang termasuk di antara mereka adalah orang-orang yang sengaja meminta-minta dan orang-orang yang terhalang

untuk berusaha karena sibuk berjihad. Sedangkan golongan yang ketiga tidak ada kebalikannya, karena Allah sematalah yang kaya dan selain- Nya adalah fakir yang membutuhkan-Nya.

Tapi yang dimaksudkan fakir di sini lebih khusus dari semua gambaran ini, yaitu perwujudan ubudiyah dan kebutuhan terhadap Allah dalam keadaan bagaimana pun. Makna ini lebih tinggi daripada sekedar sebutan fakir, bahkan ini merupakan hakikat ubudiyah dan intinya.

Yahya bin Mu'adz pernah ditanya tentang kefakiran ini. Maka dia menjawab, "Hakikatnya adalah tidak membutuhkan kecuali Allah semata. Bentuknya adalah meniadakan semua sebab."

Ketika Ruwaim ditanya tentang makna kefakiran ini, maka dia menjawab, "Meleburkan diri dalam hukum-hukum Allah."

Abu Hafsh pernah ditanya, "Apa yang bisa dipersembahkan orang fakir terhadap Rabb-nya" Maka dia menjawab, "Orang fakir tidak mempunyai apa-apa yang bisa dipersembahkan kepada Rabb-nya selain dari kefakirannya."

Lalu kapankah orang fakir berhak menyandang sebutan fakir? Maka sebagian ulama menjawab, "Jika tidak ada sesuatu pun yang menyisa pada dirinya." Bagaimana jelasnya? Dia menjawab, "Yaitu jika sesuatu bagi dirinya dan bukan bagi Allah. Jika sesuatu bukan bagi dirinya, berarti ia bagi Allah."

Ini merupakan ungkapan yang paling pas tentang makna-makna kefakiran yang didefinisikan manusia. Dengan kata lain, orang yang fakir merasa bahwa semua adalah milik Allah, tidak ada yang menyisa bagi dirinya, bagiannya dan keinginannya. Jika dia merasa berhak atas segala sesuatu, berarti makna kefakirannya disangsikan.

Hakikat kefakiran ialah jika tidak ada sesuatu yang diperuntukkan bagi diri sendiri, tapi segala sesuatu bagi Allah. Jika engkau memperuntukkannya bagi dirimu sendiri, berarti itu merupakan kepemilikan dan kecukupan, yang berarti menajikan kefakiran.

Kefakiran yang diisyaratkan di sini bukan berarti menajikan kekaya-an dan harta milik. Para rasul dan nabi Allah adalah orang-orang yang kaya dan memiliki kekuasaan, seperti Ibrahim Alaihis- Salam yang suka menjamu para tamu, karena memang beliau mempunyai harta yang banyak. Begitu pula Sulaiman dan Daud Alaihimas-Salam. Begitu pula nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Salam. Mereka adalah orang-orang yang kaya dalam kefakiran.

Mereka adalah orang-orang fakir dalam kekayaannya. Orang fakir yang hakiki ialah yang senantiasa mempunyai kebutuhan terhadap Allah dalam keadaan bagaimana pun, jika seorang hamba dalam setiap atom zhahir dan batinnya mempersaksikan kebutuhan secara mutlak kepada Allah. Kefakiran merupakan keadaan yang berkaitan dengan dzat hamba, yang kesaksian dan wujud keadaannya bisa diperbarui.

Kefakiran mempunyai berbagai macam pengaruh, tanda, keharusan dan sebab-sebab, yang terlalu banyak untuk disebutkan di sini. Sebagian orang berkata, "Orang fakir ialah yang hasratnya tidak mendahului langkahnya."

Ada yang berpendapat, rukun kefakiran itu ada empat macam: Ilmu yang membisikinya, wara' yang mengekangnya, keyakinan yang membebaninya dan dzikir yang menyertainya.

Menurut Asy-Syibly, hakikat kefakiran ialah tidak membutuhkan sesuatu pun selain Allah. Sahl bin Abdullah pernah ditanya, "Kapankah orang fakir merasa tenang?" Maka dia menjawab, "Jika dia tidak melihat bagi dirinya selain waktu yang dijalaninya." Abu Hafsh berkata, "Tawasul kepada Allah yang paling baik bagi hamba ialah senantiasa membutuhkan-Nya dalam keadaan bagaimana pun juga, mengikuti As-Sunnah dalam segala tindakan dan mencari makanan dari cara yang halal."

Kefakiran mempunyai permulaan dan juga kesudahan, zhahir dan juga batin. Permulaannya ialah kehinaan dan kesudahannya ialah kemuliaan. Zhahirnya adalah ketiadaan dan batinnya adalah kecukupan. Maka ada yang berkata, "Tidak ada istilah kefakiran dan kehinaan, tapi kefakiran dan kemuliaan. Tidak ada istilah kefakiran dan kecukupan, tapi kefakiran dan singgasana." Jika engkau sudah mengetahui makna kefakiran, berarti engkau sudah mengetahui bahwa kekayaan itu hanya milik Allah. Jadi tidak per-lu bertanya, "Mana yang lebih sempurna, membutuhkan Allah ataukah meminta kecukupan dari-Nya?" Ini merupakan pertanyaan yang tidak tepat, karena meminta kecukupan kepada-Nya merupakan kebutuhan kepada-Nya. Jadi tidak bisa dipertanyakan, mana di antara keduanya yang paling baik dan sempurna. Sebab keduanya saling berkaitan, yang satu tidak menjadi sempurna kecuali dengan satunya lagi.

Lalu bagaimana dengan keutamaan di antara dua orang, yaitu orang fakir yang sabar dan orang kaya yang bersyukur? Menurut para peneliti dan ulama, keutamaan di

antara keduanya tidak kembali kepada wujud kefakiran dan kekayaan, tetapi kembali kepada amal, keadaan dan hakikat-hakikatnya. Jadi tidak perlu mempertanyakan, mana yang lebih utama di antara keduanya? Keutamaan di sisi Allah ialah karena takwa dan hakikat-hakikat iman, bukan karena diukur dengan kefakiran dan kekayaan, sebagaimana firman-Nya, "Sesungguhnya

yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah yang paling takwa di antara kalian". Tidak dikatakan, "Yang paling fakir atau yang paling kaya."

Menurut Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, fakir dan kaya merupakan ujian dari Allah bagi hamba, sebagaimana firman-Nya, "Adapun apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi- Nya kesenangan, maka dia berkata, 'Rabbku telah memuliakan aku'.

Adapun apabila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezkinya, maka dia berkata, 'Rabbku menghinakan aku'. Sekali-kali tidak (demikian)." (Al-Fajr: 15-17).

Dengan kata lain, bukan berarti orang yang Kulapangkan rezkinya dan Kuberikan anugerah dari-Ku, adalah orang yang Kumuliakan, bukan berarti orang yang Kusempitkan rezkinya dan Kutahan darinya adalah orang yang Kuhinakan. Yang disebut kemuliaan ialah jika Allah memulia-kan hamba, sehingga dia taat, beriman dan mencintai-Nya.Sedangkan kehinaan ialah jika semua itu dicabut darinya.

Ibnu Taimiyah berkata, "Keutamaan bukan karena kekayaan dan kefakiran, tetapi karena takwa. Jika ada dua orang yang sama dalam takwanya, berarti keduanya sama dalam derajatnya."

Orang-orang mempersalahkan hal ini di hadapan Yahya bin Mu'adz. Maka dia berkata, "Besok pada hari kiamat tidak ada timbangan karena kefakiran dan kekayaan, tetapi karena sabar dan syukur."

Menurut pendapat yang lain, mempersalahkan hal ini adalah sesuatu yang mustahil. Sebab orang kaya maupun orang fakir harus sabar dan juga harus syukur. Iman ada dua paroh; separoh adalah sabar dan separoh lagi adalah syukur. Bahkan boleh jadi kesabaran orang yang kaya lebih banyak daripada orang fakir. Sebab dia sabar dalam keadaan mem-punyai kesanggupan, sehingga kesabarannya lebih sempurna daripada kesabaran orang yang lemah. Boleh jadi syukurnya orang yang fakir lebih sempurna daripada syukurnya orang kaya. Sebab syukur adalah menciptakan kelapangan dalam ketaatan kepada Allah. Jadi daftar iman masing-masing di antara keduanya hanya berdasarkan indicator sabar dan syukur.

Memang banyak orang yang mengisahkan satu permasalahan tentang syukur, dan satu permasalahan lain tentang sabar, lalu mereka lebih menegaskan salah satu di antara keduanya. Mereka menyebutkan orang kaya yang suka menshadaqahkan dan menginfakkan hartanya dalam berbagai jenis ketaatan dan taqarrub, sebagai wujud syukur kepada Allah.

Mereka menyebutkan orang fakir yang banyak melaksanakan ketaatan dan mengerjakan ibadah, sebagai wujud kesabaran atas kefakirannya. Apakah dengan begitu orang yang fakir lebih utama daripada yang kaya, ataukah yang kaya lebih utama daripada orang yang fakir tersebut?

Yang benar dalam masalah ini, yang lebih utama di antara keduanya adalah yang lebih taat. Jika ketaatannya sama, berarti derajatnya juga sama.

Pengarang Manazilus-Sa'irin mengatakan, "Kefakiran merupakan istilah pembebasan diri dari kekuasaan."

Syaikh cukup obyektif dengan menggunakan istilah pembebasan diri dari kekuasaan, dan tidak menggunakan istilah peniadaan kekuasaan, karena memang peniadaan kekuasaan merupakan ciri selain Allah. Allahlah penguasa yang hakiki. Pembahasan tentang masalah kefakiran yang pelakunya dipuji, adalah kefakiran karena pilihan sendiri. Ini lebih khusus daripada kefakiran secara umum. Menurutnya, ada tiga derajat kefakiran, yaitu:

1. Kefakiran orang-orang zuhud, yaitu melepaskan tangan dari dunia, entah berupa menahan hasrat maupun pencarian, menjadikan lisan tidak membicarakan dunia, entah berupa pujian maupun celaan, menyelamatkan diri dari dunia, entah dalam hal mencari maupun meninggalkan. Inilah kefakiran yang kemuliaannya dibicarakan. Dunia yang dimaksudkan di sini adalah hal-hal selain Allah, berupa harta, kedudukan, rupa, martabat dan lain sebagainya. Para teolog saling berbeda pendapat tentang masalah dunia ini, yang terbagi men-jadi dua pendapat seperti yang dikisahkan Abul-Hasan Al-Asy'ary dalam makalahnya, yaitu:

- Sebutan tentang jangka waktu keberadaan di dunia.

- Sebutan tentang wujud antara langit dan bumi. Apa yang ada di atas langit tidak disebut dunia, begitu pula apa yang ada di bawah bumi. Yang pertama merupakan pengertian dunia dari sisi waktu, sedangkan yang kedua dari sisi tempat. Karena masalah dunia ini berkaitan dengan anggota tubuh, hati dan lisan, maka hakikat kefakiran ialah tidak menggantungkan tiga unsur ini kepada dunia. Karena itu dikatakan oleh Syaikh, "Melepaskan ta-ngan dari dunia, entah berupa menahan hasrat maupun pencarian". Artinya, seorang hamba harus melepaskan tangan dari dunia jika dia mendapatkannya, dan jika tidak mendapatkannya, maka dia harus menahan tangannya untuk tidak mencarinya, tidak mencari apa yang tidak didapatkannya dan tidak bakhil jika sudah mendapatkannya. Lisan tidak membicarakan dunia, artinya tidak memuji dan juga tidak

mencelanya. Karena kesibukannya dengan cara memuji atau mencela dunia, merupakan bukti kesenangannya terhadap dunia. Sesungguhnya orang yang mencintai sesuatu, tentu selalu mengingatnya. Dia mencela dunia karena dia tidak mendapatkannya. Orangyang mencela dunia, sebenarnya dia mencintainya, hanya saja dia tidak bisa mendapatkannya. Meninggalkan dunia bisa menimbulkanbencana dan mencarinya juga

bisa menimbulkan bencana. Sementara kefakiran merupakan keselamatan hati dari bencana karena mencari dunia dan meninggalkannya, sehingga tidak ada penghalang zhahir dan batin antara dirinya dan Rabb-nya. Boleh jadi engkau bertanya-tanya, "Aku sudah tahu bencana mencari dan mengambil dunia. Lalu di mana letak bencana meninggalkan dunia dan kebencian terhadap dunia?" Dapat saya jawab sebagai berikut, bahwa jika seorang hamba meninggalkan dunia, padahal dia adalah manusia dan bukan malaikat, maka hatinya justru bisa bergantung kepada sesuatu yang bisa menegakkan tulang punggungnya, makanan dan penghidupannya serta apa pun yang dia butuhkan, sehingga dia terus-menerus dalam perjuanganyang keras melawan hasrat dirinya, karena dia meninggalkan bagian dirinya dari dunia. Yang seperti ini jarang dipahami orang yang mengada-kan perjalanan kepada Allah. Bahkan tidak jarang ada orang arif yang tidak mau menerima sesuap makanan untuk dirinya. Yang benar, beri-kan hak kepada dirimu sendiri dan carilah dari dunia sesuai dengan haknya. Ini merupakan jalan hidup Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan orang-orang yang lurus dalam menempuh perjalanan. Beliau bersabda : "Sesungguhnya dirimu mempunyai hak atas kamu, Rabbmu mempunyai hak atas kamu, istrimu mempunyai hak atas kamu, tamumu mempunyai hak atas kamu. Maka berikanlah hak kepada siapa pun yang lebih berhak." Dampak lain dari meninggalkan dunia, dia bisa melirik apa yang dimiliki orang lain, jika pada saat tertentu dia membutuhkan apa yang dia tinggalkan. Maka membiarkan dunia ada di tangannya, lebih baik dari pada meninggalkannya dan berdampak seperti ini. Kefakiran yang benar ialah selamat dari bencana mengambil dan meninggalkan dunia. Hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan mema-hami hakikat kefakiran.

2. Kembali ke ketetapan awal dengan melihat karunia. Yang demikian ini bisa membebaskan pandangan terhadap amal, memotong kesaksian terhadap keadaan dan membersihkan dari noda-noda perhatian terhadap kedudukan. Kembali ke ketetapan awal artinya melihat ketetapan yang telah ditakdirkan Allah sejak semula, dengan melihat karunia dan kemurah-an- Nya. Kebaikan yang diterima hamba semata karena kemurahan dan karunia Allah. Pada dasarnya hamba tidak mempunyai apa-apa. Dirinya, amalnya, imannya, amalnya dan semua yang ada padanya ber-asal dari karunia Allah. Jika dia mempersaksikan hal ini dan menghadirkannya ke dalam hatinya, maka dia tidak akan memandang amal. Kalaupun dia memandangnya, maka itu karena dari Allah dan berkat pertolongan Allah, bukan berasal dari dirinya dan karena dirinya. Telah ada kesepakatan bahwa memandang amal ini bisa menjadi tabir anta-ra hamba dan Allah. Untuk membebaskannya ialah dengan cara memandang karunia Allah. Membersihkan dari noda-noda perhatian terhadap kedudukan, termasuk jenis membebaskan pandangan terhadap amal dan memotong kesaksian terhadap keadaan, yang semuanya dianggap noda. Melihat karunia bisa membersihkan dari noda-noda ini.

3. Mempersaksikan kesempurnaan kebutuhan yang mendesak, patuh kepada hukum alam dan menghalangi diri untuk melihat hal-hal yang lain. Ini merupakan kefakiran tasawwuf. Pernyataan Syaikh bahwa ini merupakan kefakiran tasawwuf, dapat dipahami bahwa tasawwuf lebih tinggi derajatnya dari kefakiran, karena derajat ketiga ini merupakan derajat yang paling tinggi, yang merupakan sebagian dari kedudukan tasawwuf. Namun ada yang menyanggah pendapat ini, bahwa tasawwuf tidak seperti kedudukan ini, kare-na tasawwuf hanya sekedar merupakan sarana untuk menuju kepada kefakiran ini. Tasawwuf merupakan akhlak, sedangkan kefakiran ini merupakan hakikat. Memang ada perbedaan pendapat tentang hal ini. Namun dapat saya putuskan, bahwa tidak ada keutamaan pada salah satu di antara keduanya. Sebab yang satu tidak menjadi sempurna kecuali dengan yang lain.

Kaya

Kaya atau kecukupan yang merupakan salah satu persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in ada dua macam: Kecukupan karena dari Allah dan tidak membutuhkan selain Allah. Kedua-duanya merupakan hakikat kefakiran. Tapi orang-orang yang meniti jalan kepada Allah mengkhususkan pembahasan tentang kecukupan ini sebagai satu tem-pat persinggahan tersendiri. Dalam kaitannya dengan hal ini Allah telah berfirman : "Dan, Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan." (Adh-Dhuha: 8).

Ada tiga pendapat tentang ayat ini:

- Allah memberikan kecukupan harta kepada beliau, setelah beliau dalam keadaan fakir. Ini merupakan pendapat mayoritas para mufa-sir, karena kecukupan merupakan kebalikan dari kekurangan. Orang yang kekurangan artinya yang membutuhkan.

- Allah menjadikan beliau tidak bergantung terhadap pemberian-Nya dan membuat beliau tidak membutuhkan selain-Nya, sehingga beliau menjadi orang yang kaya hati dan jiwa, bukan kaya harta. Ini merupakan hakikat kecukupan.

- Pendapat yang benar ialah mencakup dua jenis kecukupan dan kekayaan. Allah menjadikan beliau kaya hati dan juga kaya harta. Kaya merupakan sebutan yang diberikan kepada pemilik secara sempurna. Dengan kata lain, siapa yang memiliki di satu sisi tapi tidak memiliki di sisi lain, berarti dia bukan orang yang kaya. Maka sebutan kaya hanya layak diberikan kepada Allah semata, sedangkan selain-Nya adalah fakir.

Menurut pengarang Manazilus-Sa'irin, ada tiga derajat kaya, yaitu:

1. Kaya hati, yaitu keselamatan dari sebab, kepasrahan kepada hukum dan pembebasan dari permusuhan. Hakikat kaya hati ialah hanya bergantung kepada Allah semata, dan hakikat kefakiran yang tercela ialah bergantung kepada selain Allah. Jika seorang hamba bergantung kepada Allah, maka dia memperoleh tiga hasil, yaitu keselamatan

dari sebab, kepasrahan kepada hukum dan terbebas dari permusuhan. Selamat dari sebab artinya tidak bergantung kepada sebab. Kaya menu-rut pengertian orang-orang yang lalai,tergantung kepada sebab. Karena itu hati mereka selalu bergantung kepada sebab. Sedangkan menurut orang-orang yang memiliki ma'rifat, kaya itu tergantung dari pembuat sebab. Kaya menurut orang-orang yang lalai juga digantungkan kepada ketrampilan dan kekuatan. Sebab, ketrampilan dan kekuatan ini merupakan sisi-sisi kekayaan menurut manusia. Karena itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang pemberian shadaqah kepada orang yang kaya, orang yang kuat dan mempunyai mata pencaharian. Ini merupakan kekayaan karena sesuatu dan orangnya menjadi kaya karenanya jika hatinya cenderung kepadanya. Seseorang yang cende-rung kepada Allah, berarti dia kaya karena Allah. Siapa yang jiwanya cenderung kepada sesuatu, berarti ia membutuhkannya dan fakir kepadanya. Pasrah kepada hukum ada dua macam: Pertama, pasrah kepada hokum agama yang bersifat perintah, yaitu menyesuaikan diri dengannya dan tidak menentangnya. Kedua, pasrah kepada hukum alam yang berdasarkan kepada takdir, yang terjadi bukan karena pilihannya dan dia tidak kuasa untuk menolaknya. Dalam masalah hukum ini ada catatan yang perlu ditegaskan, yaitu memurnikan penisbatan kepada pembuat hukum dan tidak menisbatkannya kepada yang lain. Hal ini mencakup tauhid Rububiyah dalam kepasrahan kepada hukum alam, dan tauhid Uluhiyah dalam kepasrahan kepada hukum agama. Dua macam tauhid ini merupakan hakikat iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. Ada yang terpuji tentang pembebasan dari permusuhan, yaitu pem-bebasan dari permusuhan terhadap nafsu dengan nafsu. Jika seorang hamba bermusuhan karena Allah dan membela Allah, maka ini merupakan wujud kesempurnaan ubudiyah.

2. Kaya jiwa, yaitu istiqamah terhadap Allah, keselamatan dari bagian dan riya'. Menurut Syaikh, kaya jiwa lebih tinggi daripada kaya hati. Sebagaima-na yang sudah diketahui, perkara-perkara hati lebih sempurna dan lebih kuat daripada perkara-perkara jiwa. Tapi di sini ada sentuhan lembut, bahwa jiwa itu termasuk pasukan hati dan yang paling keras penentangannya. Dari jiwa inilah sesuatu bisa masuk. Dari jiwa ini pula kecukupan bisa masuk ke dalam hati dan dari jiwa pula kefakiran bisa masuk ke dalam hati. Jika hal ini sudah diketahui, maka kekayaan jiwa karena tiga perkara, yaitu:

- Istiqamah terhadap Allah.

- Keselamatan jiwa dari bagian atau dari hal-hal selain Allah serta tidak bergantung kepadanya, zhahir maupun batin.

- Keselamatan dari riya', yaitu kehendak yang ditujukan kepada selain Allah, baik dari perkataan maupun perbuatan.

3. Kaya karena pertolongan dari Allah. Dalam hal ini ada tiga tingkatan: Pengingatan Allah terhadap dirimu, senantiasa memperhatikan ketetapan yang dibuat Allah sejak semula, dan keberuntungan mendapatkan-Nya. Tingkatan pertama sudah dijelaskan

pada pembahasan sebelum ini. Tingkatan kedua, bahwa Allahlah yang awal dan tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya, dan Dialah yang membuat ketetapan sejak awal bagi segala sesuatu. Tingkatan ketiga merupakan kesudahan perjalanan. Dalam atsar Ilahy disebutkan: "Wahai anak Adam, carilah Aku niscaya kamu akan mendapatkan Aku. Jika kamu sudah mendapatkan Aku, maka kamu akan mendapatkan segala sesuatu, dan jika Aku membuatmu tidak mendapatkan (Aku), maka kamu tidak akan mendapatkan segala sesuatu. Aku ada-lah yang paling kamu cintai daripada segala sesuatu." Siapa yang tidak mengetahui makna keberadaannya karena Allah dan keberuntungan mendapatkan Allah, maka lebih baik baginya untuk menaburkan debu ke kepalanya dan menangisi dirinya.

Ihsan

Ihsan merupakan inti iman, ruh dan kesempurnaannya. Tempat persinggahan ihsan ini menghimpun semua tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, yang berarti semuanya tercakup di dalamnya. Semua yang telah dibicarakan dalam buku ini sejak awal hingga tempat ini termasuk bagian ihsan. Pengarang Manazilus-Sa'irin menguatkannya dengan firman Allah : "Tidak ada balasan ihsan kecuali ihsan (pula)." (Ar-Rahman: 60).

Menurut Syaikh, ihsan menghimpun semua hakikat, yaitu hendak-lah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau dapat melihat-Nya. Tentang makna ayat ini menurut Ibnu Abbas dan para mufasir, tidak ada balasan bagi orang yang mengucapkan la ilaha illallah dan beramal sesuai dengan apa yang dibawa Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, selain dari surga.

Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa beliau pernah membaca ayat ini, lalu bertanya kepada para shahabat : "Tahukah kalian apa yang difirmankan Rabb kalian?" Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau bersabda, "Allah befirman, 'Tak ada balasan bagi orang yang Kuberikan

nikmat tauhid kepadanya selain dari surga'."

Ada tiga derajat ihsan, yaitu:

1. Ihsan dalam tujuan, dengan mengarahkannya dari sisi ilmu, menguatkannya dari sisi hasrat, dan membersihkannya dari sisi keadaan. Dengan kata lain, ihsan dalam tujuan ini dilakukan dengan tiga cara:

- Mengarahkannya dari sisi ilmu, yaitu menjadikannya mengikuti ilmu dan keharusan-keharusannya serta terbebas dari hal-hal keduniaan, sehingga tidak ada tujuan kecuali yang diperbolehkan ilmu. Yang dimaksudkan mengikuti ilmu di sini ialah mengikuti perintah dan ketentuan syariat.

- Menguatkannya dari sisi hasrat, atau menyertai tujuan dengan has-rat yang bisa memberikan dorongan, sehingga tidak ada kelemahan atau keloyoan.

- Membersihkannya dari sisi keadaan. Artinya, keadaan pelakunya harus bersih dari noda dan kotoran, yang menunjukkan tujuannya yang kotor. Karena keadaan menunjukkan tujuan. Jika keadaannya bersih, berarti tujuannya juga bersih.

2. Ihsan dalam berbagai keadaan, yaitu menjaganya karena cemburu, menutupinya dari segala sisi, dan membenahinya dalam kenyataan. Menjaga keadaan karena cemburu maksudnya menjaga keadaan itu agar tidak berubah-ubah. Karena keadaan berlalu seperti awan yang berjalan. Jika hak-haknya tidak dipenuhi, maka ia akan berubah. Menjaga keadaan ialah dengan cara memenuhi hak-haknya. Menutupi keadaan dari segala sisi artinya menutupinya agar tidak dike-tahui manusia menurut kesanggupan, tidak memperlihatkannya kecuali ada alasan atau kebutuhan atau kemaslahatan yang jelas. Mem-perlihatkan keadaan kepada orang tanpa ada alasan-alasan ini, bisa mengakibatkan dampak yang kurang baik, apalagi jika mereka ma-ling, perampok dan pecemburu. Memperlihatkan keadaan kepada manusia merupakan tindakan yang bodoh, karena ini merupakan aksi syetan. Orang-orang yang lurus lebih suka menutupi keadaan dirinya, terlebih lagi dalam masalah harta. Sehingga banyak di antara mereka yang justru memperlihatkan keadaan yang sebaliknya. Membenahi keadaan dalam kenyataan artinya berusaha membenahi dan meluruskan keadaan. Karena keadaan itu bisa dicampuri yang haq dan yang batil. Sementara tidak ada yang bisa membedakan antara yang haq dan batil ini kecuali orang yang memiliki ilmu dan ma'rifat.

3. Ihsan dalam waktu, yaitu engkau tidak menghilangkan waktu yang ada, tidak menghadirkan seseorang dalam hasrat dan menjadikan hijrahmu hanya kepada Allah semata. Tidak menghilangkan waktu yang ada artinya tidak menyia-nyiakannya.

Hal ini tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang yang tegar, yang dapat memotong perjalanan antara jiwa dan hati, antara hati dan Allah. Tidak menghadirkan seseorang dalam hasrat artinya tidak menggantungkan hasrat kepada seseorang selain Allah, karena yang seperti ini termasuk syirik dalam pandangan orang yang berjalan kepada Allah.

Siapa pun yang berjalan kepada Allah secara lurus dan ikhlas, makadia adalah orang yang berhijrah kepada-Nya. Dia tidak boleh terlewatkan dari hijrah ini, dia harus bergabung hingga dapat bersua Allah. Allah mempunyai dua hak hijrah atas setiap hati, dan sekaligus ini merupakan kewajiban, yaitu:

- Hijrah kepada Allah dengan tauhid dan ikhlas, kepasrahan dan cin-ta, rasa takut, harapan dan ubudiyah.

- Hijrah kepada Rasul-Nya, dengan cara patuh, tunduk dan taat kepada beliau, pasrah kepada hukum beliau, menerima hukum yang zhahir maupun yang batin.

Siapa yang hatinya tidak memiliki dua macam hijrah ini, maka hendak-lah dia menaburkan debu ke kepalanya, agar dia sadar, lalu meneliti kembali imannya sejak awal, kembali ke belakang untuk mencari cahaya, sebelum ada penghalang antara dirinya dan iman itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar